CAMPUR ADUK

Monday, February 4, 2019

IMPIAN YANG TERGANTI

Aku diam, tidak dapat mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Abi barusan. Bahkan panas matahari yang masuk melalui celah fentilasi ruang tamu pun, tidak dapat mencairkan otakku yang beku. Satu detik, dua detik, tiga detik.....otakku akhirnya dapat menangkap pernyataan Abi barusannya, mungkin saat ini matahari  sudah mulai mencairkan otakku, lalu sel-sel dalam otakku memerintahkan bibirku untuk berkata-kata.

"Apa Abi? Sekolah di pondok yang ada di Lampung?"

"Iya, Ndra.....Disana lebih dekat dengan Jakarta, jadi kamu bisa lebih modern. Pondok di sana nggak kampung-kampung amat kayak disini. Pondok disana udah kayak sekolah SMA Negeri di desa ini, udah bagus...." bukan Abi, tapi Umi yang menjawab pertanyaanku dengan sabar. Umi memang selalu begitu. Setiap Abi dan aku berbeda pendapat, Umi memang selalu bisa menengahi kami berdua seperti saat ini. Tapi tentu saja, aku harus tetap memperjuangkan keinginanku untuk bersekolah di Jambi bersama teman-teman SMP-ku,

"Nggak, Umi.....Aku nggak mau....mending aku di sini aja, di Jambi, walaupun di kampung kayak gini. Lagian kenapa sih, aku harus sekolah di pondok?" Aku kembali mengelak permintaan mereka.

"Ya.....Maksud Abi sama Umi itu, maunya kamu jadi orang yang bisa mendalami islam, Ndra.....Biar kamu bisa bahagia dunia akhirat," Umi menjawab masih dengan sabarnya. Sementara itu, Abi hanya diam menatapku tajam.

"Kalau Indra sekolah di pondoknya dengan terpaksa, itu artinya Indra nggak bahagia Umi....Pokoknya Indra nggak mau sekolah di pondok, apalagi di Lampung," aku tidak menghiraukan tatapan tajam Abi.

"Indra....tolong turutin permintaan Umi sama Abi, dong...," Umi kembali memintaku dengan penuh harap.

"Nggak Umi! Indra maunya ngelanjutin sekolah SMA Negeri yang Indra impikan. Kemudian melanjutkan kuliah di universitas Negeri yang terkenal di Indonesia Umi.....biar bisa ngebanggain Umi sama Abi juga. Pokoknya, Indra nggak mau sekolah di pondok, titik!" kali ini aku membentak Umi, tanpa memandang ke arah Abi. Nasibku tak ingin seperti Bang Doni, tetanggaku. Setelah lulus dari pondok, ia hanya bisa menjadi ustad biasa. Tidak punya ijazah yang sama seperti di SMA atau MAN, sehingga tak bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri. Ya, walau ada penyetaraan pun, tetap akan susah.

"Cukup Ndra! Kamu jangan bentak-bentak Abi sama Umi lagi kayak gitu. Abi udah janji sama temen Abi yang ada di Lampung, kalau Abi mau menyekolahkan anak Abi di sana, Abi juga udah ngedaftarin kamu dan ngebayar uang sekolahnya separuh. Jadi kamu harus sekolah disana!" Abi sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi.

"Apa Abi? Ya Abi ambil lagi dong uangnya, pokoknya Indra nggak mau!", kali ini aku harus lebih tegas menentang mereka.

"Indra! Jangan bikin Abi marah lagi. Pokoknya, beresin aja baju yang akan kamu bawa!", abi menunjuk ke arahku." Abi udah mesen tiket bis ke Lampung, jadi besok pagi-pagi kita sudah harus berangkat."

"Tapi Abi...,"  aku tidak melanjutkan kata-kataku, karena tatapan tajam Abi mampu membunuh keberanianku.

"Indra! Cukup, kamu nggak usah bantah lagi!"

Aku meihat ke arah Umi untuk meminta pembelaan, namun Umi hanya menganggukan kepada. Menandakan bahwa aku harus menuruti permintaan Abi. akhirnya, akupun menyerah dan berjalan perlahan menuju kamar.

Aku memandang kearah kertas yang tertempel di dinding sebelah lemari belajarku. Disana terdapat tulisan berbentuk poin-poin bertinta warna hitam, yang berjudul 'DAFTAR IMPIANKU ENAM TAHUN KEDEPAN', yang kutulis tiga tahun lalu. Beberapa poin sudah kutandai dengan pena biru dan poin yang lain belum kutandai.

Seharusnya aku menandai semua daftar ini dengan pena biru, namun aku harus terpaksa menodai dua poin dari daftar tersebut dengan pena merah. Sekilas, aku membaca tulisan yang ada di bagian bawah kertas itu. ' Note : tinta biru = impian yang tercapai, tinta merah = impian yang tidak tercapai (do not ever)'. Hatiku perih membaca 'note' tersebut. Namun apa daya, semua harus terjadi, aku harus mengingat bahwa perintah orang tua adalah perintah yang wajib kita lakukan, setelah perintah Allah. Kemudian dengan berat hati, tangganku meraih pena merah yang ada di meja belajar dan menandai dua poin yang bertuliskan 'Masuk SMA Negeri favorit di Jambi' dan 'Masuk PTN favorit di Indonesia'.

***

Setelah dua hari perjalanan yang kutempuh. Akhirnya aku sampai di Lampung, tepatnya di Kota Tapis Berseri, Bandar Lampung. Saat ini aku dan Abi berada di...."Terminal Rajabasa!" Ya, begitu tulisannya. Sepanjang perjalan tersebut aku tidak banyak bicara, masih jengkel dan sedikit marah dengan Abi. Saat ditanya saja baru aku bicara, selebihnya aku hanya diam.

Saat turun dari mobil bis, terasa sekali yang tadinya tulangku pegal-pegal akhirnya dapat direngangkan. Rasanya sungguh melelahkan. Dalam hati, aku berkata sendiri, Sabar Indra, sebentar lagi sampai di Pondok Pesantren dan kemudian beristirahat disebuah kamar tamu yang sudah Abi jelaskan tadi.

"Nah, setelah ini kita naik mobil bis hijau itu Ndra, kira-kira 10 menit," Abi menunjuk sebuah bis yang sedang parkir di ujung terminal, kemudian melanjutkan, "Terus, kita turun di Lampu Merah Untung, dari sana kita naik ojek ke Pondok Pesantren Ulul Albab kira-kira 25 menit. Itu keterangan yang dijelaskan teman Abi."

"Apa Abi? Masih ada perjalanan lagi? Jauh banget, sih Bi.....Indra capek.," tubuhku melemas. Huh! Ternyata peristirahatan yang kutunggu-tunggu harus diundur sekitar 35 menit lagi, kataku dalam hati.

"Iya, Abi juga capek. Ya sudah, kita istirahat dulu ya di warung itu?" Abi menunjuk ke arah sebuah warung makan yang ada di depan kami.

"Iya, Bi," aku pun berjalan gontai mengikuti Abi.

***

Sebuah gerbang besar berbentuk seperti gapura putih menyambutku dan Abi dalam bisu. Tulisan besar diatasnya menarik perhatianku 'Pondok Pesantren Islam Ulul Albab'. Kudongakkan kepadaku bagian dalam pesantren, wilayah yang cukup luas dengan halaman yang ditumbuhi dengan rumput hijau, masjid putih yang cukup besar, yang letaknya di pojok depan halaman pesantren menghiasi pandanganku, sangat asri. Sementara, di lain sisi terlihat ruangan-ruangan pondok bercat putih dengan jendela berwarna biru.

Aku dan Abi memasuki bagian ruangan resepsionis atau biasa disebut ruang TU. Disana seorang wanita berjilbab berumur sekitar 30 tahunan menyapaku dan Abi dengan rumah.

"Selamat ghatong...," wanita tersebut menyapa kami dengan bahasa yang tidak mengerti - sepertinya itu Bahasa Lampung.

"Maaf..." belum sempat Abi melanjutkan kata-katanya, wanita tersebut langsung menyela, sepertinya dia mengetahui maksud ucapan Abi.

"Oh....maaf, saya kira kalian warga Lampung. Maksud saya tadi adalah selamat datang," wanita  tersebut berhenti sebentar ketika meilihat mulutku dan Abi berbentuk huruf 'o'. Kemudian dia melanjutkan, "Oh, mari....silahkan duduk," dia mempersilahkanku dan Abi duduk di kursi yang ada di depan mejanya.

"Oh, iya. Terimakasih," Abi menjawab dan duduk di kursi hitam empuk diikuti olehku.

"Maaf, dengan siapa, ya?" wanita tersebut bertanya kepadaku dan Abi.

"Saya Pak Ferdi, dan ini anak saya Indra. Saya mau mendaftar ulang anak saya yang kemarin sudah saya daftarkan lewat teman saya, Kepada Ulama di sini, Ustad Alamsyah," Abi menjelaskan, sebelum ditanya lebih lanjut oleh wanita tersebut.

"Oh, Pak Ferdi dan Indra ini....Yang dari Jambi itu, ya?" tanya wanita tersebut.

"Iya, benar, Mbak," jawab Abi.

"Baik, kalau begitu....isi formulir ini dulu," wanita tersebut menyerahkan kertas berwarna biru muda padaku, "Maaf Pak Ferdi, Indra, saya permisi sebentar ya....," wanita tersebut kemudian pergi.

Aku kemudian mengisi lembar data tersebut. Beberapa menit kemudian, setelah aku menyelesaikan mengisi semua data tersebut. "Assalamualaikum...," terdengar suara laki-laki memberikan salam.

"Waalaikumsalam...," jawabku dan Abi berbarengan seraya memandang ke arah datangnya suara. Di sana berdiri wanita paruh baya tadi, namun kali ini bersama laki-laki yang umurnya sepertinya sama dengan Abi. Beliau memakai sarung dan peci serta ditangannya memegang tasbih.

Sadar bahwa Abi mengenal laki-laki tersebut, ia langsung berdiri dari kursi yang didudukinya. "Alamsyah...! Masya Allah, sudah lama sekali kita tidak bertemu," Abi langsung memeluk orang tersebut yang ternyata Ustad Alamsyah, teman Abi itu.

"Ya, sudah sangat lama," mereka melepaskan pelukan, "Mana anakmu?" tanya Ustad Alamsyah.

Abi kemudian menggeser tubuhnya yang berisi, agar tidak menutupinya dari pandangan Ustad Alamsyah."Ini anakku....," Abi memperkenalkanku dengan bangga. Aku kemudian menghampiri Ustad Alamsyah dan mencium tangannya. "Asalamualaikum...," sapaku.

"Waalaikumsalam," Ustad Alamsyah menyambut uluran tanganku.

"Sudah besar dan  wawai nihan  anakmu, Fer," Ustad Alamsyah menepuk-nepuk punggungku.

"Ha..ha...ha, kamu ini...ya kan penurunannya juga sudah bagus," Abi menepuk-nepuk dadanya.

Ustad Alamsyah kemudian tergeletak, " Ferdi....Ferdi.....kamu memang tidak berubah dari dulu. Ya sudah....lebih baik kalian sekarang istirahat di kamar tamu. Setelah itu kita sholat maghrib bersama."

"Ya, baiklah.....," Abi menanggapi.

"Dina, tulung attako tian...." Ustad Alamsyah kemudian menyuruh wanita paru baya tadi.
Aku dan Abi kemudian diantar ke sebuah kamar yang terletak lumayan jauh dari ruang TU. Untuk sampai disana, kami melewati beberapa koridor kelas dan ruang asrama yang terlihat sepi karena masih musim liburan.

***

Dua tahun kemudian....

Panas matahari pagi yang keluar dari celah awan-awan yang menggumpal seakan-akan menyodorku. Bagaikan tokoh utama dalam pertunjukkan teater yang disorotkan oleh lampu, sementara tokoh lainnya dibiarkan samar-samar. Semua mata memandangku perhatian, yang berdiri lebih tinggi satu meter dari kawan-kawanku yang lain. Dalam pandanganku, aku melihat mereka menampakkan wajah yang penuh kegembiraan, namun sedikit gelisah karena sudah lama menunggu. Ya, di pesantren ini aku terpilih menjadi ketua santri. Kalau di SMA, istilahnya disebut sebagai ketua OSIS. Setidaknya, impianku menjadi ketua OSIS tercapai, meskipun istilahnya berbeda.

Kehidupan selama dua tahun di pesantren ini, tidak seburuk yang kubayangkan. Kegiatan-kegiatan yang padat, membuat kualitas tidurku meningkat, dan badanku pun terasa lebih sehat, karena setiap pagi melaksanakan senam. Benar kata Umi, pesantren ini sudah lebih modern, dibandingkan pesantren yang ada di Jambi. Ya, walaupun terkadang terasa melelahkan dan membosankan. Namun, apa gunanya teman, kalau tidak untuk membangkitkan semangat?.

"Bismillah...," aku menggumam dalam hati, memulai sambutanku, "Assalamualaikum wr. wb...," aku memberikan salam dengan suara yang lantang, yang kemudian mereka jawab dengan suara yang lantang pula.

"Baiklah kawan-kawanku kelas dua semuanya. Tentu kalian berada disini, pagi ini, karena kalian ingat bahwa hari ini kita akan mengadakan kunjungan pariwisata ke Taman Wisata Way Kambas, Untuk itu, saya sebagai ketua pelaksana acara, meminta kerjasama dengan kalian untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan masalah selama keberangkatan, sampai kita kembali lagi di Pokok Pesantren Ulul Albab yang kita cintai....," aku memberikan sambutan yang mereka dengar dengan seksama, meskipun ada juga beberapa orang yang sibuk mengontrol.

"Baiklah, sebelum kita berangkat. Ada baiknya kalau kita berdoa terlebih dahulu. "Silahkan saudara Fadhil, untuk dapat memimpin doa," aku mempersilahkan Fadhil, untuk dapat memimpin doa," aku mempersilahkan Fadhil, teman terdekatku selama dipesantren. Aku kemudian pergi dari posisiku, yang kemudian digantikan oleh Fadhil.

Beberapa menit kemudian, kami semua sudah berada di dalam bis yang akan membawa kami ke Way Kambas. Bis tersebut ukurannya sama seperti bis yang membawaku dari Jambi ke Lampung, dua tahun yang lalu. Membawaku ke kehidupan yang lebih baik.

***

Setelah kurang lebih dua jam perjalan yang sangat melelahkan, akhirnya kami sampai di Taman Wisata Way Kambas. Letak Taman Wisata tersebut berada di daerah Lampung Timur, tepatnya di Kecematan Labuhan Ratu.

"Selamat ghatong, seunyini....... Silahko kughu...," seorang petugas tiket mempersilahkan kami, setelah memberikan tiket masuk kepada sopir bus.

Setelah masuk ke dalam wilayah, Aku memandang kesegala penjuru taman wisata tersebut. Sangat terlihat jelas segerombolah kawanan gajah yang sedang duduk-duduk ataupun makan rumput. Terbesit rasa bahagia dalam hatiku. Ini adalah kai pertamanya aku datang ke Taman Wisata Way Kambas. Dari kecil, aku sangat mengagumi binatang yang berbelalai ini, aku sangat mengimpikan melihat dari dekat hewan tersebut. Namun, Abi tidak pernah mengajakku pergi kesini, dengan alasan wilayahnya yang jauh.

"Nah, disini sudah ada lebih dari 300 ekor gajah yang dilatih, dijinakkan, dam dikembangbiakkan, dan disebarkan di berbagai kebun bintang yang ada di Indonesia," salah satu petugas menjelaskan, membuatku tersadar dari lamunanku.

"Wahhh... Ternyata di sini juga ada badak, harimau dan buaya juga ya, Pak?" salah satu temanku, Ahmad, bertanya pada petugas tersebut.

"Iyu....selain Gajah Sumatera, disini juga ada Badak Sumatra, Harimau Sumatera, Mentok Rimba dan Buaya Sepit. Sementara itu, jenis burungnya ada Bangau Tongtong, Sempidan Biru, Kuau raja, Burung Pependang Timur dan jenis lainnya. Jama.... untuk jenis tanamannya ada tanaman  Api-api, Pidada, Nipah, dan Pandan," petugas tersebut menjelaskan.

Setelah beberapa jam kami berjalan-jalan di Taman Wisata tersebut, kami pun memutuskan untuk pulang. Saat perjalan pulang, banyak diantara kami tertidur, termasuk aku.

***

Satu tahun kemudian, setelah satu bulan pengumuman kelulusan.

Aku masih mengumpulkan pakaian kotor yang terletak di keranjang plastik yang kuletakkan di bawah kasur tidurku. Tiba-tiba, Fadhil memanggilku untuk segera ke papan pengumunan yang terletak di depan ruang TU. Mendengar hal tersebut, aku langsung mengurungkan niatku untuk mencuci, dan langsung berlari menuju Tempat tujuan.

Aku berjarak lima meter dari papan pengumuman yang sudah dikerumuni oleh santri-santri, sehingga menyebabkan papan pengumuman yang berbentuk papan tulis berukuran 2x1 meter tersebut, tidak terlihat lagi. Aku memutuskan untuk memperlambat langkahku, sambil memandang kawan-kawanku yang baru saja keluar dari kerumunan tersebut.

Ada dua golongan wajah yang tampak dari santri-santri itu, golongan pertama adalah santri yang berteriak bahagia, bersujud syukur, ataupun hanya menyengir lebar dan menggumamkan kalimat 'Alhamdulillah...". Sedangkan golongan kedua adalah santri yang menampakkan wajah sedih dan murung Semoga aku adalah santri yang termasuk dalam golongan satu, aamiiiin.....Doaku dalam hati.

Aku memasuki kerumunan tadi, kemudian memulai mencari namaku pada kertas HVS berjumlah tiga lembar, berisi sejumlah nama santri Pondok Pesantren Ulul Albab. Aku memulai mencari namaku dari lembar terakhir.

Setelah mencari beberapa lama, aku mulai cemas dan putus asa, karena setelah dua lembar kucari namaku tak kunjung kutemukan.

"Bagaimana?" Fadhil menghampiriku.

Aku hanya menggelengkan kepalaku. "Masih ada satu lembar lagi. Bagaimana denganmu?" aku berbalik bertanya kepada Fadhil.

"Alhamdulillah...," Fadhil menyengir sebentar. "Ayo kubantu cari. Kau dari bawah, aku dari atas....," Fadhil telah kembali memasang wajah simpati.

"Baiklah...," aku kembali semangat untuk mencari namaku.

Tidak sampai satu menit kemudian, Fadhil sudah memanggil-manggil namaku.

"Indra! Indra! Ini namamu, kamu masuk di Universitas Al-Azhar Kairo."

"Yang benar? Mana?" aku tak percaya dengan kalimat yang diucapkan Fadhil barusan.

"Ini....kamu ada di urutan kedua," Fadhil menunjuk kesebuah nama, yang ternyata memang benar, itu namaku 'INDRA PUTRA FERDIAWAN' dan disebelahnya tertulis 'AL-AZHAR, KAIRO'.

"Alhamdulillah ya Allah....," aku bersujud syukur setelah keluar dari kerumunan tersebut.

"Selamat ya Ndra...," Fadhil mengulurkan tanggannya.

Aku langsung menyambut uluran tangannya, "Ya, selamat juga untukmu,,,,Oya, kamu masuk mana?"

"Alhamdullilah, sama sepertimu."

"Subhanallah.... Sepertinya kita memang ditakdirkan menjadi sahabat, ya Dil?"

"Iya Ndra, semoga kita menjadi sahabat sejati," jawabnya, dilanjutnya dengan pelukan sahabat.

***

Malam harinya, kuambil daftar impianku. Semuanya telah ditandai pena biru, kecuali dua poin. Kubaca kembali tulisan yang bertanda merah, lalu kutulis kalimat lain dengan pena hitam disebelahnya 'Masuk pondok pesantren yang menyenangkan' dan 'Masuk Universitas luar negeri'. Kemudian kutandai dua poin tersebut dengan pena biru. Jadi sekarang, lengkap sudah daftar impianku.

Aku memandang kembali daftar tersebut sekali lagi, dan tersenyum lebar, Kemudian kulipat kertas tersebut dua kali sehingga menjadi persegi panjang yang lebih kecil. Lalu kumasukan kedalam tas, yang sudah penuh terisi pakaianku.

Aku masih menyadarkan tubuhku di atas tempat tidur, saat melihat ke arah jam dinding yang tertempel empat meter dariku. Pukul dua belas. Kulihat satu persatu kelima teman satu kamarku. Mereka semua sudah tertidur nyenyak. Namun tidak sepertiku, yang masih terjaga, karena menunggu- nunggu hari esok untuk pulang ke Jambi dan ingin cepat-cepat bertemu Abi dan Umi yang sangat aku rindukan.

***


Karya: Ardini Yuliastri Putri

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK