“Tolong beri saya daging, Tuan. Saya sangat lapar,” ujar seorang pengemis tua yang datang dari jauh.
Namun, pria yang ia temui itu hanya memandanginya dengan tatapan dingin. Pria itu sedang berdiri di depan rumahnya yang besar dan indah. Dia adalah Tuan Abu. Tuan Abu memiliki toko roti yang besar. Roti Tuan Abu terkenal kelezatannya. Setiap hari, Tuan Abu membuat roti khusus yang dikirim ke istana. Para bangsawan dan saudagar juga kerap memesan roti ke tokonya. Meskipun bergelimang kekayaan, Tuan Abu tidak pernah membantu orang miskin. Ia terkenal pelit dan kikir. Tuan Abu hanya mau bergaul dengan para bangsawan dan saudagar kaya.
“Tidak! Aku tidak punya. Cepat pergi!” hardik Tuan Abu.
Pengemis tua itu belum mau pergi. Ia masih berdiri di luar pagar sambil terus mengiba.
“Tak mungkin di rumah besar dan mewah seperti itu tak ada sedikit pun makanan,” pikir si pengemis.
“Kalau begitu bagilah kepada saya sedikit susu,” kata pengemis itu.
Tuan Abu hanya mendengus kesal.
“Mungkin Anda memiliki beberapa gandum atau kacang untuk membantu saya, Tuan,” pinta pengemis itu lagi. Kelaparan memaksanya mempermalukan diri dengan meminta-minta.
“Aku tak punya apa-apa!” jawab Tuan Abu ketus.
Pengemis tua itu belum menyerah. Ia masih berdiri di dekat pintu pagar, sementara Tuan Abu menatapnya dengan pandangan merendahkan. Namun pengemis itu tak peduli.
“Jika Anda bersedia memberi saya sepotong roti, saya sangat berterima kasih,” pintanya lagi.
Tuan Abu semakin kesal karena pengemis tak juga mau pergi. Ia berjalan dari teras rumahnya ke dekat pagar. Dia mau mengusir pengemis itu.
“Pergilah! Aku tak memiliki roti!” bentaknya.
“Setidaknya berilah saya beberapa teguk air, Tuan. Saya sangat haus,” ucap pengemis tua itu lagi.
“Aku tak punya air! Cepat pergi!” Tuan Abu membentak lagi.
Pengemis tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tatapannya kepada Tuan Abu berubah menjadi tatapan iba.
“Tuan yang mulia, jika Anda tak memiliki apa pun, mengapa Anda hanya berdiri di sini saja? Lebih baik Anda ikut mengemis makanan dari orang-orang baik di luar sana. Anda bahkan lebih miskin dari saya,” kata si pengemis sebelum ia pergi dari hadapan Tuan Abu.
Tuan Abu benar-benar tersinggung dengan ucapan pengemis tua. Ia merasa pengemis itu menghinanya. Dia pun menyusul pengemis tua dan menyeretnya ke pengadilan. Ia membawa pengemis itu menemui Qadi (hakim) Juhha.
“Tuan Qadi, pengemis ini telah menghina saya. Ia menyuruh saya ikut mengemis bersamanya. Ia juga mengatakan saya lebih miskin darinya. Ini sebuah penghinaan besar bagi saya. Padahal Anda tahu sendiri, siapa yang tak kenal dengan Abu, tukang roti kaya raya yang membuat roti untuk raja dan para bangsawan!”
Tuan Abu mengadukan perkaranya pada qadi di kota itu. Napasnya sampai tersengal-sengal karena emosi.
“Tunggu, tunggu. Sabar, Tuan Abu. Ceritakanlah duduk perkaranya baik-baik,” ucap Qadi Juhha.
Qadi Juhha mendengarkan cerita Tuan Abu dengan saksama. Namun Qadi Juhha juga meminta pengemis menceritakan peristiwa itu dari sudut pandangnya. Qadi Juhha memang terkenal sebagai qadi cerdas. Ia selalu berusaha memutuskan suatu perkara dengan adil.
“Baiklah. Aku telah mengetahui duduk perkaranya dari kalian berdua. Sekarang, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada kalian.”
“Silakan, Tuan Qadi,” kata Tuan Abu sudah merasa menang.
“Tuan Abu, apa tuntutan Anda pada pengemis ini?” tanya Qadi Juhha.
“Saya ingin dia dihukum karena telah menghina saya sebagai orang miskin. Saya juga ingin dia diusir karena menganggu kenyamanan kota ini, Tuan,” jawab Tuan Abu.
“Pak Tua, dari mana asal Anda? Apakah Anda penduduk kota ini?” tanya Qadi Juhha pada pengemis.
“Tidak, Tuan Qadi. Saya bukan penduduk kota ini. Saya berasal dari kota sebelah. Saya tak punya tempat tinggal. Saya datang ke sini sekadar singgah dan meminta belas kasihan.”
“Apakah Anda tahu Tuan Abu orang kaya dan terpandang di kota ini?” tanya Qadi Juhha lagi. Pengemis itu menggeleng.
“Lalu, mengapa Anda menghina Tuan Abu? Bukankah Anda telah meminta-minta di rumahnya yang besar dan megah?”
“Saya tidak bermaksud menghina Tuan Abu. Saya tak tahu rumah itu milik Tuan Abu. Maafkan saya,” jawab pengemis.
“Hanya saja, ketika saya meminta belas kasihan, apa pun yang saya minta Tuan Abu mengatakan tak memilikinya. Bahkan hanya untuk beberapa teguk air. Bukankah bila seseorang tak punya makanan dan minuman sedikit pun termasuk golongan orang miskin? Karena itu saya mengajaknya meminta-minta juga agar bisa bertahan hidup,” lanjutnya jujur.
Qadi Juhha mengerti sekarang. Ia tahu Tuan Abu terkenal pelit dan kikir. Qadi Juhha pun memiliki rencana untuk keduanya.
“Baiklah. Aku telah memutuskan jalan keluar untuk masalah ini. Pak Tua, Anda tak bersalah karena Anda sungguh tak tahu bahwa Tuan Abu bukanlah orang miskin. Karena itu, aku tak bisa memutuskan hukuman untuk Anda. Namun, mengemis bukanlah tindakan yang diperbolehkan di kota ini. Jadi jika Anda masih ingin tinggal di kota ini, Anda harus berhenti mengemis,” ucap Qadi Juhha.
“Tapi Tuan, jika saya tidak mengemis, bagaimana saya bisa makan? Saya sudah terlalu tua untuk bekerja menjadi kuli. Sedangkan pekerjaan lain saya tak terampil melakukannya.”
“Datanglah ke baitul mal dan temui bendahara kota, Pak Tua. Dia akan memecahkan masalah Anda ini. Nanti saya akan mengantar Anda padanya.”
Tuan Abu merasa tidak terima. Ia juga tidak senang pengemis itu akan mendapat bantuan dari baitul mal. Baitul mal di kota itu secara rutin mengumpulkan zakat dari warga kota. Kemudian mereka akan membagikan zakat kepada para fakir dan miskin yang tinggal di sana.
“Tuan Qadi, pengemis ini bukan warga kota. Seharusnya ia tidak berhak menerima bantuan dari baitul mal!” protes Tuan Abu.
“Baitul mal memang mendahulukan warga kota kita sendiri, Tuan Abu. Namun bila masih ada kelebihan, baitul mal juga bisa memberi untuk yang lain,” jawab Qadi Juhha.
“Baiklah, baiklah. Yang penting bukan saya yang harus membantunya,” ucap Tuan Abu sinis.
“Sekarang giliran Anda, Tuan Abu. Saya harus membuktikan ucapan Anda bahwa Anda tak memiliki daging, susu, gandum, kacang, roti, dan air. Bila ternyata Anda memilikinya di rumah Anda, berarti Anda telah berbohong pada Pak Tua.”
Tuan Abu jadi semakin sebal pada Qadi Juhha.
Qadi Juhha, Tuan Abu, dan pengemis tua lantas pergi ke rumah Tuan Abu. Qadi Juhha memeriksa dapur Tuan Abu. Ia menemukan semua makanan itu di dalam lemari dapur. Tuan Abu tak bisa mengelak.
“Tuan Abu, Anda terbukti telah membohongi Pak Tua ini. Anda harus membayar denda atas kebohongan Anda.”
“Denda apa yang harus saya bayar?”
“Anda harus memenuhi permintaan Pak Tua ini sesuai barang yang Anda miliki.”
Tuan Abu merasa kesal. Dengan terpaksa ia memberi pengemis tua itu sekerat daging. Karena itulah yang pertama kali diminta oleh pengemis. Qadi Juhha berhasil memberi pelajaran atas kekikiran Tuan Abu. Sementara si pengemis tua tak pernah meminta-minta lagi di kota itu. Ia menetap di sana dan mendapat bantuan rutin dari baitul mal. Orang-orang tua sebatang kara sepertinya memang selalu diberi bantuan oleh baitul mal. Di lain hari, Tuan Abu menangkap seorang anak kecil yang mengendap-endap di dekat toko rotinya. Tuan Abu curiga anak itu akan mencuri roti di tokonya. Padahal dia hanya berhenti karena mencium aroma roti yang wangi.
“Hei, bocah kecil! Cepat ke sini! Apa yang kau lakukan di situ?” panggil Tuan Abu.
Bocah kecil itu ketakutan dan berusaha berlari menjauh. Sayangnya, tangan Tuan Abu bergerak lebih cepat. Tuan Abu sudah mencengkeram bajunya.
“Mau ke mana kau sekarang, ha?”
“Ampun, Tuan. Saya tidak melakukan apa pun. Lepaskan saya,” rengek bocah kecil itu. Ia menggeliat berusaha melepaskan diri.
“Tidak! Kau harus membayar apa yang telah kau ambil dariku.”
“Tapi aku tak mengambil apa-apa,” ujar bocah malang itu.
“Siapa bilang? Kau pasti telah mencuri rotiku.”
“Tidak! Aku tak mencuri,” elak si bocah.
Dari kejauhan, tampak Qadi Juhha berjalan ke arah toko roti Tuan Abu. Ia tak sengaja lewat karena hendak pergi ke pasar. Melihat Tuan Abu mencengkeram baju anak kecil, Qadi Juhha mendekati mereka.
“Ada apa ini?” tanya Qadi Juhha.
“Bocah ini telah mencuri roti saya.”
“Tidak!” potong si bocah. “Aku tidak mencuri apa pun.”
“Baiklah-baiklah. Sekarang, kita buktikan saja. Geledah saja anak ini. Jika Anda menemukan roti yang Anda maksud, berarti tuduhan Anda benar adanya,” kata Qadi Juhha pada Tuan Abu.
Tuan Abu lalu memeriksa pakaian anak itu. Namun ia tak mendapatkan apa yang dia cari. Tak ada satu pun roti yang ia sembunyikan dalam bajunya.
“Anak ini pasti telah menghabiskannya!” tuduh Tuan Abu.
“Sudah kukatakan aku tak mengambil roti Anda, apalagi memakannya!” Bocah kecil itu berusaha membela diri.
“Aku tak percaya!” sergah Tuan Abu.
“Kalau begitu, periksa saja mulutnya. Jika benar ia telah mengambil dan memakan roti Anda, pasti ada yang tersisa di sela gigi anak ini. Agar lebih adil, biar aku yang memeriksanya. Roti apa yang Anda buat tadi, Tuan Abu?”
“Roti kari kambing.”
Qadi Juhha memeriksa mulut bocah kecil. Ia tak menemukan ada daging yang tertinggal di sela giginya. Juga aroma kari kambing yang khas. Yang tercium justru aroma tak sedap seperti orang yang sedang berpuasa.
“Kau sedang berpuasa, bocah kecil?” tanya Qadi Juhha.
“Tidak, Tuan Qadi. Tapi sejak kemarin sore aku belum makan. Di rumahku sedang tak ada apa pun yang bisa kumakan,” jawab bocah itu jujur.
“Nah, kalau begitu, kau pasti sudah berniat mencuri rotiku. Kau tak punya makanan, kan?” Tuan Abu tak berhenti melayangkan tuduhan.
“Sudah kubilang aku tidak mencuri. Berniat pun tidak. Aku cuma lewat dan mencium aroma roti dari dalam toko. Aroma itu begitu harum. Aku hanya menciumnya saja. Tak ada yang kuambil.”
“Kalau begitu, kau tetap harus membayar padaku. Kau telah mencium aroma rotiku. Rotiku roti istimewa. Persembahan untuk raja. Harganya sangat mahal. Kau telah mengambil aromanya. Berarti kau pun harus membayarnya.”
Tuan Abu mulai berkilah. Ia tak mau rugi sedikit pun. Permintaannya mulai mengada-ada.
“Tuan Qadi yang bijak, coba putuskanlah perkara ini dengan baik,” pinta bocah kecil itu.
Ia tak habis pikir dengan sikap Tuan Abu yang mau untung sendiri. Tentu tak ada seorang pun yang bisa menghindar ketika ada aroma roti mampir di hidungnya. Aroma itu datang sendiri, bukan diminta. Qadi Juhha terdiam. Dia memikirkan jalan keluar terbaik. Permintaan Tuan Abu memang berlebihan. Jika seperti itu, siapa pun yang melewati toko roti dan mencium aroma rotinya harus membayar padanya. Sejenak kemudian mata Qadi Juhha berbinar-binar. Ia telah mendapatkan jalan keluar perkara Tuan Abu dan bocah kecil.
“Tuan Abu, berapa harga yang kau minta dari aroma roti Anda?” tanya Qadi Juhha.
Tuan Abu sedikit terkejut dengan pertanyaan Qadi Juhha. Ia mengira Qadi Juhha lah yang akan membayarnya. Padahal Tuan Abu sendiri tahu tuntutannya hanya mengada-ada saja. Ia tak mengira Qadi Juhha berpihak padanya.
Tuan Abu kemudian menghitung-hitung, “Tiga dinar.”
Qadi Juhha lantas mengambil kantung uangnya dan mengambil sebanyak tiga dinar. Ia menaruh keping uang itu di telapak kanannya lalu menangkupkan telapak kirinya di atasnya.
“Perhatikan ini, Tuan Abu,” ujar Qadi Juhha sambil menggoyang-goyangkan tangannya. Uang dalam genggamannya berbunyi gemerincing nyaring.
“Apa kau mendengar bunyi gemerincing uang itu?” tanya Qadi Juhha lagi.
“Ya. Aku mendengarnya,” jawab Tuan Abu.
“Baiklah, berarti Anda telah menerima bayaran dari aroma roti Anda,” ucap Qadi Juhha sambil tersenyum.
“Apa maksud Anda?” Tuan Abu bertanya dengan gusar.
“Bocah ini telah mencium aroma roti Anda. Ia tak memegang, mengambil, apalagi memakannya. Anda sudah mendengar suara gemerincing uang bayaran yang Anda minta. Anda pun tak perlu memegang dan menggunakannya. Sudah setimpal, bukan?”
Tuan Abu bersungut-sungut mendengar penjelasan Qadi Juhha.
“Ayo, kita pergi, bocah kecil!” ajak Qadi Juhha kemudian. Bocah itu pun berlalu dengan senang.
“Yah, sana pergi jauh-jauh. Jangan mendekati toko rotiku lagi!” teriak Tuan Abu dari kejauhan. Namun Qadi Juhha dan si bocah kecil sudah tak mendengarnya.
***
Amira selesai membaca buku cerita yang bagus, ya buku di tutup dan di taruh di meja.
"Nonton Tv ah!" kata Amira.
Amira pindah duduknya dari ruang tamu ke ruang tengah, ya nonton Tv bersama ayah dan ibu.
No comments:
Post a Comment