Dahulu kala hiduplah seorang gadis bernama Pina. Ia hidup bersama ibunya yang sangat memanjakannya. Sejak kecil Pina selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Ibunya selalu memasak makanan yang disukai oleh Pina. Apa pun yang diinginkan oleh Pina ibunya akan mengabulkannya. Pina pun tidak diijinkan untuk mengerjakan pekerjaan apa pun di rumah. Setiap hari Pina selalu bangun siang. Setelah mandi ia merengek kepada ibunya untuk dibuatkan makanan yang sangat enak. Dengan senang hati ibunya pun mengabulkan permintaan Pina. Ia membuat semangkuk bubur yang sangat lezat. Pina merasa gembira sekali.
Kegiatan Pina hanya bermain ke sana kemari bersama teman-temannya. Setelah bosan bermain Pina akan kembali ke rumah. Di rumah, ibunya telah menyiapkan semua keperluan Pina. Jika Pina merasa lapar, ibunya tidak segan-segan untuk menyuapinya hingga kenyang. Pina pun tidak perlu membantu ibunya mengerjakan pekerjaan di rumah. Ia sungguh seperti seorang putri raja di rumahnya.
Tetangga mereka sering menasihati ibu Pina agar tidak terlalu memanjakannya agar kelak ia bisa menjadi anak yang mandiri. Akan tetapi, ibu Pina tidak pernah mendengarkan nasihat para tetangga karena ia begitu menyayangi anak perempuan satu-satunya itu. Pada suatu pagi yang sangat dingin, Pina terbangun karena merasa kedinginan. Ia masih merasa enggan untuk meninggalkan tempat tidurnya, tapi ia merasa sangat lapar. Ia pun berteriak dengan kencang memanggil ibunya.
“Ibu! Aku lapar!”
Pina berkali-kali berteriak memanggil ibunya. Suaranya hampir habis untuk berteriak kencang namun ia tidak juga mendengar suara langkah ibunya yang terburu-buru untuk menghampirinya. Biasanya jika ia berteriak seperti ini, dalam sekejap saja ibunya akan langsung datang menghampirinya. Namun kali ini, meskipun ia berteriak berkali-kali, ibunya tidak datang menghampirinya. Dengan sangat kesal Pina terpaksa bangkit dari tempat tidurnya.
Pina berjalan menuju dapur tempat ibunya biasa berada ketika pagi seperti ini. Dengan langkah yang diseret serta malas-malasan karena merasa kesal dengan ibunya, Pina segera membuka pintu dapur. Namun ia tidak bisa menemukan ibunya. Pina pun menggerutu. Tidak lama kemudian terdengar suara ibunya memanggil namanya.
“Pina... Pinaaa...”
Suara ibu Pina terdengar sangat lemah. Pina segera mencari suara itu. Ia melihat ibunya tengah berbaring di tempat tidur. Rupanya ibunya sedang sakit sehingga waktu ia memanggil tidak ada suara yang menyahut.
“Pina, Ibu sedang sakit,” kata ibunya.
Bukannya menolong ibunya, Pina justru menggerutu dan merasa semakin kesal.
“Ibu, aku sangat lapar. Kenapa tidak ada makanan di dapur?” Pina berkata sambil merengek-rengek.
“Pina, tolong buatkan secangkir teh panas untuk Ibu,” pinta ibunya.
Ibunya memang tidak pernah sekali pun menyuruh Pina untuk melakukan pekerjaan di rumah. Namun kali ini ibu Pina tidak sanggup bangkit dari tempat tidur sehingga dengan sangat terpaksa menyuruh anak kesayangannya tersebut.
“Ibu, aku tidak tahu cara membuat teh panas,” jawab Pina dengan kesal.
Dengan panjang lebar ibu Pina menjelaskan kepada anaknya bagaimana cara membuat teh panas. Meski dengan perasaan kesal Pina segera pergi ke dapur. Ia berusaha melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh ibunya. Namun, ia tidak melihat gelas satu pun berada di dapur. Ia pun berteriak kepada ibunya.
“Ibu, tidak ada gelas di dapur! Bagaimana aku bisa membuatkan teh tanpa gelas?”
“Gelas itu ada di dalam lemari,” kata ibu Pina dari dalam kamar.
Pina terlalu malas untuk mencari gelas itu. Ia tidak pernah melakukan apa pun di rumah ini sehingga ia merasa sangat enggan untuk melakukan perintah ibunya. Diam-diam Pina menyelinap keluar. Ia pergi bermain bersama teman-temannya. Pina baru kembali ke rumah sore harinya. Ia melihat ibunya yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Melihat Pina sudah pulang, ibunya menyuruh Pina untuk membuatkannya bubur.
“Pina, tolong buatkan Ibu bubur,” kata ibunya.
“Aku tidak tahu bagaimana cara membuat bubur,” jawab Pina kepada ibunya.
“Kamu hanya perlu memasukkan beras ke dalam panci lalu tuangkan air sebanyak-banyaknya dan masaklah di atas api hingga beras itu menjadi lembek,” terang ibu Pina.
Dengan langkah gontai Pina menuju ke dapur. Ia sudah menemukan beras dan air. Namun ia tidak melihat sendok di sekitarnya. Ia pun segera bertanya kepada ibunya.
“Di mana Ibu menyimpan sendok?”
Ibu Pina yang merasa semakin lemah mulai hilang kesabaran kepadanya.
“Ibu menyimpannya di lemari. Kamu harus mencarinya!”
Pina merasa sangat malas untuk membuka lemari dan mencari sendok.
“Tidak ada sendok di mana pun. Bagaimana aku bisa membuatkan Ibu bubur jika aku tidak bisa menemukan sendok?”
Ibu Pina yang berada di dalam kamar mulai kesal. Ia kini menyesal telah memanjakan Pina dan tidak pernah menyuruhnya melakukan pekerjaan di rumah. Ibu Pina mengabaikan nasihat para tetangga yang berpikir bahwa Pina terlalu dimanjakan di rumah ini. Kini saat ibu Pina sedang sakit, anak perempuannya itu tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya.
“Kenapa kamu sangat malas, Pina? Kamu mungkin harus mempunyai seratus mata agar bisa melihat di mana sendok itu berada.”
Ibu Pina mulai memaki di dalam kamar. Pina yang merasa tidak bersalah hendak meninggalkan dapur. Namun setelah ibu Pina mengucapkan kata-katanya, tiba-tiba sebuah petir bergemuruh di langit. Cahayanya berkilauan menerangi seluruh rumah. Setelah itu Pina pun menghilang. Keesokan paginya, ibu Pina terbangun dari tidur. Ia masih merasa sangat lemah dan tidak bisa bergerak. Ia berniat memanggil Pina untuk membawakannya air dan berpikir mungkin saja Pina telah berubah dan mau berusaha menolongnya.
“Pinaaa.....” panggil ibunya dari dalam kamar.
Ibu Pina memanggil anaknya berkali-kali namun tidak ada sahutan yang ia dengar. Meskipun sekujur tubuhnya terasa sakit, ibu Pina terpaksa bangkit dari tempat tidur menuju dapur. Ia sangat haus dan harus minum air agar tubuhnya tidak semakin lemas. Ia masih terus memanggil nama Pina berharap gadis itu segera menemuinya. Setelah meminum air sebanyak-banyaknya ibu Pina berusaha mencari anaknya di kamar. Dengan hati-hati ia membuka pintu. Namun, tidak ada Pina di kamarnya. Ia terus memanggil Pina namun sepertinya ia tidak berada di rumah. Ia pun berpikir mungkin Pina sedang bermain di luar rumah.
Mengetahui ibu Pina sedang sakit, para tetangga berdatangan membantunya. Mereka merasa Pina sangat keterlaluan karena membiarkan ibunya yang sakit berada sendiri di rumah. Semua tetangga merasa yakin bahwa Pina pastilah sedang bermain di luar bersama teman-temannya dan enggan merawat ibunya yang tengah sakit. Mereka kembali menasihati ibu Pina agar mengajari gadis itu melakukan pekerjaan di rumah.
Ibu Pina menyadari bahwa ia mendidik anaknya dengan cara yang salah. Ia pun bertekad setelah ia sembuh dan Pina kembali, ia akan mengajari anaknya dan tidak lagi memanjakan gadis itu. Setelah beberapa hari, ibu Pina kembali sehat seperti semula. Ia berpikir Pina pasti telah kembali ke rumah. Namun di luar dugaannya. Ketika ia terbangun dan mencari Pina di dalam dan di luar rumah, ia tetap tidak bisa menemukan anaknya itu. Ibu Pina mulai khawatir tentang anaknya. Ia pun segera ke luar rumah dan bertanya kepada para tetangga. Namun tidak ada satu pun yang telah melihat Pina akhir-akhir ini. Teman-teman bermain Pina juga tidak ada yang mengetahui keberadaan Pina.
Ibu Pina kembali ke rumah sambil menangis. Ia tidak bisa menemukan anak kesayangannya. Ia pergi ke dapur untuk memasak bubur karena ia sangat lapar. Ketika hendak mengambil beras untuk dicuci, ibu Pina melihat sesuatu berwarna kuning yang berbentuk bulat. Benda itu berada di sudut dapur rumahnya. Benda itu mirip sekali dengan kepala manusia. Ibu Pina pun mendekati benda itu agar bisa melihat dengan jelas. Ia mengambil benda itu dan melihat ada banyak bulatan seperti mata di sekelilingnya.
Tiba-tiba ibu Pina teringat makiannya terhadap Pina ketika ia menyuruhnya memasakkan bubur. Tangannya mulai gemetar. Ia tidak percaya pada apa yang ia lihat sekarang. Rupanya Pina telah berubah menjadi benda yang ada di tangannya kini. Ibu Pina pun menangis. Ia menyesal telah memaki anak kesayangannya tersebut. Ibu Pina merasa sangat kesepian. Untuk itulah ia menanam benda tersebut. Benda itulah yang kini dikenal sebagai buah nanas. Ibu Pina terus menanam sebanyak-banyaknya buah nanas untuk mengenang anak kesayangannya.
***
Chesa selesai membaca cerita pendek di majalah.
"Bagus ceritanya," kata Chesa.
Chesa berhenti membaca majalah, ya di taruh saja di meja. Chesa terus menikmati goreng pisangnya, ya sampai perutnya kenyang.
No comments:
Post a Comment