Rim berdiri di depan kandang sapinya. Ia tertegun mendapati seekor sapinya berbaring tak bernyawa. Selama beberapa hari ini, sapinya mati satu per satu. Ia belum menemukan penyebab kematian binatang peliharaannya itu. Namun, ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi terus-menerus.
“Kyo!” Rim berteriak, memanggil anak tertuanya.
Seorang anak laki-laki berkepala gundul datang mendekat. Matanya yang sipit menatap ayahnya penuh tanya. “Ada apa, Ayah?” Kyo mendekati kandang sapi, tempat sang ayah berdiri.
“Sapi kita ada yang mati lagi.”
Mereka berdua masuk ke dalam kandang, memeriksa sapi mereka.
“Nanti malam, kamu jaga kandang sapi ini. Jangan sampai sapi kita mati lagi,” perintah Rim.
Kyo mengangguk patuh. Malam itu Kyo sudah bersiap di dekat kandang sapinya. Ia memerhatikan keadaan sekitarnya dengan teliti. Bulan nyaris purnama. Cahayanya yang keemasan menerobos dedaunan. Walau tanpa nyala lampu, Kyo bisa melihat sekelebat bayangan mendekati kandang sapinya. Bayangan itu terlihat berhenti sejenak. Wajahnya mendongak menatap bulan. Kyo mengenali bayangan itu. Meski terheran-heran, Kyo memerhatikan bayangan itu tanpa berkedip. Pemilik bayangan itu tampak menari-nari beberapa saat. Kemudian ia melumuri kedua tangannya dengan minyak wijen yang dia bawa. Perlahan-lahan ia membuka kandang sapi dan masuk.
Secepat kilat ia memasukkan tangannya ke dalam tubuh sapi. Lalu tangan itu keluar lagi dengan menggenggam hati sapi. Darah mulai berceceran. Tanpa rasa jijik ia memasukkan hati sapi itu ke dalam mulutnya. Kyo, yang memerhatikan kejadian itu dengan saksama, tiba-tiba merasa jijik dan mual. Dengan sekuat tenaga ia menahannya. Ia tidak ingin pengintaiannya diketahui. Kyo menahan napasnya selama beberapa saat dengan terpaksa. Setelah sosok itu pergi, Kyo menghembuskan napasnya dengan lega. Ia lalu berjalan pulang dengan kaki gemetaran. Keesokan harinya, Kyo menceritakan kejadian yang dilihatnya semalam kepada ayahnya. Akan tetapi, Rim tidak percaya dan justru marah pada Kyo.
“Tidak mungkin, kamu pasti tertidur saat berjaga,” bantah ayahnya.
“Tidak Ayah.”
“Atau kamu bermimpi buruk, hah!” gertak ayahnya dengan suara keras.
“Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, Ayah. Adik kecil kita yang telah melakukannya.” Kyo berusaha meyakinkan ayahnya.
Namun Rim semakin berang. “Pergi kamu dari hadapanku. Mulai sekarang, kamu bukan anakku lagi,” usir Rim.
Kyo segera pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa, selain rasa sakit hati pada ayahnya. Kemarahan Rim meluap. Ia tidak percaya jika anak perempuannya melakukan hal itu. Anak perempuannya hanyalah seorang gadis kecil. Ia tidak mungkin melakukan hal-hal, seperti yang telah diceritakan Kyo. Rim sangat menyayangi anak perempuannya, si bungsu. Dulu Rim rela berdoa selama berbulan-bulan di atas gunung karena dia begitu mendamba kehadiran anak perempuan di dalam keluarganya. Dalam keputus-asaannya itulah dia berkata, “Ya Tuhan, berikanlah aku seorang anak perempuan, walaupun ia seekor rubah.”
Beberapa saat kemudian, doa Rim dikabulkan. Sang istri hamil dan melahirkan seorang anak perempuan. Mereka menamainya Yulmi. Yulmi tumbuh seperti anak-anak lainnya. Akan tetapi, setelah usianya mencapai enam tahun, kejadian aneh sering terjadi. Kejadian-kejadian itu tidak membuat Rim berpikiran buruk terhadap anaknya, apalagi kepada putri kesayangannya. Yulmi adalah permata hatinya. Setelah Kyo pergi, Rim menugaskan anak keduanya, Nam, untuk menggantikan tugas Kyo. Selama satu bulan Nam berjaga, tidak ada seekor sapi pun yang mati. Rim merasa senang karena itu berarti Nam menjalankan tugas yang diamanahkan padanya dengan baik.
“Ini baru anak Ayah,” puji Rim.
Nam tersenyum bangga. Ia senang mendapat pujian dari ayahnya. Nam terus menjalankan tugasnya. Seperti malam sebelumnya, setelah makan malam Nam bersiap di sekitar kandang sapi. Malam terasa lebih terang karena bulan bersinar sempurna. Cahaya keemasannya membuat tempat itu terang benderang. Tiba-tiba Nam terperanjat ketika melihat seseorang keluar dari dalam rumah. Ia memerhatikan orang itu dengan saksama. Orang itu tampak menari sambil berdiri menengadahkan wajahnya ke arah bulan purnama. Lalu ia melumuri kedua tangannya dengan minyak yang ia bawa dari rumah.
Setelah selesai, ia bergegas masuk ke kandang sapi. Nam mengikuti orang itu dari belakang. Tiba-tiba, dengan gerakan yang tidak di duga oleh Nam, orang itu memasukkan tangannya ke dalam tubuh sapi dan mengambil sesuatu. Sapi itu langsung tersungkur tanpa suara. Binatang itu mati seketika. Nam tersentak. Ia sama sekali tidak menduga akan melihat kejadian itu. Ia lebih kaget dan jijik ketika melihat orang itu memakan hati sapi mentah-mentah. Nam bergidik. Ia tidak sanggup melihat kejadian selanjutnya. Ia langsung berlari masuk ke dalam rumah. Sesampai di kamar, ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, tanpa memejamkan mata hingga pagi tiba.
“Yah, ternyata adik kita, Yulmi, yang membunuh sapi-sapi itu,” lapor Nam dengan tubuh gemetar.
“Apa? Itu tidak mungkin terjadi. Katakan yang sebenarnya Nam!” Rim membentak anak keduanya itu.
Melihat kemarahan ayahnya, Nam semakin gemetar. “I...itu...lah yang sebenarnya terjadi Ayah,” kata Nam terbata.
“Kau pasti bermimpi buruk. Ayah sudah begitu percaya kepadamu. Selama ini kamu sudah menjalankan tugas dengan baik. Tapi kali ini, kamu mengkhianati kepercayaan yang ayah berikan. Pergi kamu dari rumah ini. Ayah tidak ingin melihat mukamu lagi.”
Nam terkejut. Matanya terbelalak kaget. Ia tidak menyangka ayahnya akan berkata seperti itu. Ia juga tidak menduga jika harus mengalami nasib yang sama dengan Kyo, kakaknya. Maka Nam meninggalkan rumah dengan berat hati. Tugas menjaga ternak dilanjutkan oleh Daiji, anak ketiga Rim. Seperti kedua kakaknya, setiap malam Daiji berjaga di dekat kandang sapi. Meski ia takut berada di luar sendirian, tapi ia tidak bisa menolak tugas dari ayahnya setelah kdua kakaknya pergi. Ia pun bertekad untuk menjalankan tugas itu dengan sebaik-baiknya.
Ia tidak ingin bernasib serupa dengan kedua kakaknya. Selama satu bulan, keadaan aman terkendali. Sapi-sapi mereka sehat dan gemuk. Tidak ada yang mati seekor pun. Namun ketika bulan purnama tiba, bayangan seorang gadis kecil tampak keluar dari dalam rumah. Gadis itu menatap purnama dengan senyum menyeringai. Kemudian ia melumuri kedua tangannya dengan minyak wijen dan masuk ke kandang sapi. Ia pun melakukan hal yang sama dengan dua purnama sebelumnya. Dengan lahap gadis kecil itu memakan hati sapi yang baru diambilnya. Daiji mematung, tak bergerak di tempatnya. Kejadian itu sungguh diluar dugaannya. Ia dapat melihat darah yang belepotan di mulut Yulmi. Sungguh mengerikan. Keesokan harinya, Rim memanggil Daiji karena seekor sapi mereka mati lagi.
“Apa yang terjadi sehingga sapi itu bisa mati?” tanya sang ayah ingin tahu.
“Tadi malam, saya merasa kehausan. Lalu saya masuk ke dalam rumah untuk mengambil minum. Setelah saya keluar lagi, sapi kita sudah mati Ayah,” kata Daiji berbohong.
Ia menghela napas, berharap ayahnya tidak mengetahui kebohongannya.
“Semua sapi kita mati pada saat bulan purnama. Mungkin, mereka takut pada cahaya bulan, sehingga mereka mati, Ayah,” lanjutnya lagi.
Daiji kembali berbohong. Ia tidak mengatakan yang sebenarnya karena tidak ingin diusir dari rumah.
“Bagus, kamu sudah menjalankan tugasmu dengan baik. Kamu akan menjadi pewaris harta Ayah, setelah Ayah tiada,” kata Rim dengan bangga.
Daiji menghembuskan napas lega karena ayahnya tidak marah. Sementara itu, Kyo dan Nam bertemu di jalan. Mereka pun hidup menggelandang, tanpa mempunyai rumah untuk berteduh dan pekerjaan untuk mendapatkan sedikit makanan. Mereka terus berjalan hingga sampai di sebuah gunung. Di atas gunung itu terdapat sebuah kuil, tempat tinggal para biksu. Setelah Kyo dan Nam menceritakan kejadian yang mereka alami, para biksu mengizinkan mereka untuk tinggal di kuil. Di kuil tersebut, mereka belajar untuk melupakan sakit hati kepada ayah mereka dan menyerap berbagai ilmu yang diberikan dengan giat. Setelah satu tahun berlalu, Kyo dan Nam sudah berhasil menguasai ilmu yang diberikan sang biksu dengan baik. Mereka pun berkeinginan untuk menengok ayah dan adik mereka.
“Kami ingin menengok ayah dan adik-adik kami, Biksu,” kata Kyo meminta izin kepada gurunya.
“Tunggulah sampai besok, aku akan membuatkan kalian ramuan ajaib untuk melindungi diri,” kata sang biksu bijak.
Keesokan harinya, sang biksu menyerahkan tiga buah botol kecil berwarna putih, biru, dan merah sambil memberikan petunjuk bagaimana cara menggunakannya.
“Gunakan ramuan di botol ini sesuai dengan perintahku. Niscaya kalian akan dapat mengalahkan semua musuh, termasuk adik perempuan kalian, si rubah itu.”
Sang biksu memberikan wejangan kepada Kyo dan Nam sebelum mereka berangkat.
“Terima kasih, Guru. Kami akan mengingat nasihat Guru.”
Kedua kakak beradik itu pun turun gunung. Mereka menempuh perjalanan yang cukup lama, hingga akhirnya mereka sampai di desa tempat mereka tinggal dulu. Namun, mereka berdua kaget melihat keadaan rumah yang tidak terurus. Halaman rumah penuh dengan ilalang tinggi, atap rumah sudah bocor di sana-sini, dan pintu depan penuh dengan bekas cakaran, hingga nyaris hancur.
“Mungkin Ayah dan Adik sudah pindah dari rumah ini, Kak,” kata Nam ragu.
“Tidak mungkin, Nam. Tanah ini adalah warisan dari leluhur yang harus tetap dijaga. Sebaiknya kita lihat dulu ke dalam,” ajak Kyo kepada Nam.
Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan kaget mendapati Yulmi sedang duduk di dalam rumah seorang diri.
“Di mana Ayah dan Daiji?” tanya Kyo.
“Mereka sudah meninggal,” kata Yulmi dengan wajah sedih.
Yulmi tidak menjelaskan mengapa Ayah dan Daiji meninggal, namun Kyo dan Nam dapat menduga apa yang terjadi pada Ayah dan Adik mereka.
“Sekarang aku sendiri, Kak. Tinggallah bersamaku di sini. Aku membutuhkan perlindungan kalian,” pinta Yulmi mengiba.
“Tidak, kami sudah menemukan hidup kami sendiri.”
Nam menolak keras. Ia dan Kyo tahu bahwa Yulmi hanya bersandiwara belaka. Yulmi menatap kedua kakaknya dengan pandangan aneh. Namun hal itu tidak disadari oleh Kyo dan Nam.
“Hari sudah mulai malam, kalian bisa melanjutkan perjalanan esok hari,” bujuk Yulmi lagi.
Kyo dan Nam berpikir sejenak. Jalan menuju tempat sang biksu memang melewati hutan lebat. Hal itu akan sangat berbahay bagi mereka. Apalagi jika mereka melakukan perjalanan pada malam hari. Mereka pun memutuskan untuk tinggal di rumah tiu selama satu malam. Yulmi segera menyiapkan makanan dan minuman lezat untuk kedua kakaknya. Kebaikan hati Yulmi membuat Kyo dan Nam curiga. Mereka pun memutuskan untuk berjaga sepanjang malam. Akan tetapi, perjalanan yang melelahkan dan perut yang kenyang membuat mereka tidak dapat terjaga dan justru tertidur dengan lelapnya. Saat tengah maalm, Kyo terbangun karena ingin buang air kecil. Ia berpikir bahwa Nam masih terjaga karena ia mendengar suara orang sedang makan.
Namun, alangkah kagetnya Kyo ketika ia melihat meja makan yang penuh dengan belatung dan darah yang berbau anyir. Tak berapa lama, Kyo mendengar suara orang mengunyah dari sebuah kamar. Kyo pun mendekat dan langsung terperanjat. Ia mendapati Nam telah meninggal karena Yulmi telah mengambil dan memakan hati saudaranya itu.
“Apakah kau tidur dengan nyenyak, Kak?” tanya Yulmi dengan tenang.
“Aku membutuhkan satu hati manusia lagi agar aku bisa menjadi manusia yang sempurna,” kata Yulmi sambil tersenyum menyeringai.
Nyali Kyo menciut. Ia merasa takut. Perutnya juga bergolak karena merasa mual. Dengan terhuyung-huyung, ia berlari ke luar rumah. Ia berusaha berlari sejauh-jauhnya, menghindar dari Yulmi. Akan tetapi, ia tersandung akar pohon yang melintang. Tubuhnya jatuh tersungkur, sehingga Yulmi dapat menyusulnya dengan mudah.
“Kau mau pergi ke mana Kakakku?” tanya Yulmi seraya berdiri di hadapan Kyo.
Kyo semakin ketakutan. Ia segera teringat dengan pesan gurunya. Ia pun mengambil botol kecil berwarna putih dan menaburkan isinya di depan Yulmi. Tiba-tiba muncul asap berwarna putih dan semak belukar lebat. Semak-semak itu menghalangi jalan Yulmi. Yulmi marah dan meraung dengan keras. Tubuhnya langsung berubah ke wujud aslinya, seekor rubah. Dengan wujud aslinya itu, Yulmi lebih mudah menerobos semak belukar di hadapannya. Sementara itu, Kyo berlari kencang dengan sekuat tenaga. Ia tidak ingin menjadi santapan adik perempuannya itu. Namun naas, Yulmi dapat menyusulnya. Ia menjulurkan kaki depannya dan meraih baju Kyo dengan cakarnya yang tajam. Kyo segera merogoh kantungnya dan mengambil botol kecil berwarna biru. Ia langsung melemparkan botol itu kebelakang.
Botol itu melayang di udara selama beberapa saat. Ketika botol itu menyentuh tanah, timbul percikan yang membuat tanah itu berubah menjadi danau berwarna biru yang sangat luas. Rubah Yulmi semakin geram karena ia tidak dapat berenang. Ia pun berjalan mondar-mandir di tepi danau, mencari cara untuk menyeberangi danau. Tak lama kemudian, pandangan Yulmi tertumbuk pada sebuah batang kayu besar. Ia segera menarik kayu itu ke dalam air dan mendayung dengan ekornya. Meski lambat, Yulmi dapat sampai di seberang. Keempat kakinya langsung meloncat dengan lincah. Ia mengejar Kyo yang mulai kelelahan dengan kecepatan penuh. Kali ini Kyo terjatuh lagi. Tubuh rubah Yulmi melompat tinggi ke udara, hendak menerkam kakaknya. Pada saat bersamaan, Kyo melemparkan botol berwarna merah.
“Terimalah ramuan ajaib ini!” teriak Kyo lantang.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia melempar botol itu ke arah adik perempuannya. Dan... “Duaaarrrr...” Botol itu mengenai tubuh rubah Yulmi.
Kemudian muncul cahaya yang menyilaukan mata. Kyo menutup matanya rapat-rapat. Ia pasrah dengan kejadian yang akan menimpa dirinya. Tubuhnya sudah tidak bertenaga lagi. Rubah Yulmi meraung. Suaranya membahana hingga ke segala penjuru mata angin. Tubuhnya terbakar oleh kobaran api yang timbul dari ledakan tadi. Kyo menarik napas lega karena Rubah Yulmi akhirnya mati. Ia pun dapat selamat dari ancaman Rubah Yulmi dan bisa kembali ke kuil berkat tiga ramuan ajaib dari sang guru.
***
Sobia Tezeen selesai membaca bukunya.
"Bagus ceritanya," kata Sobia Tezeen.
Sobia Tezeen menutup buku dan di taruh di meja saja sih.
"Lapar," kata Sobia Tezeen.
Sobia Tezeen keluar dari kamarnya, ya ke dapurlah untuk memasak mie instan yang enak sesuai dengan iklan di Tv sih. Beberapa saat. Mie instan jadi, ya segera di santap dengan baik sama Sobia Tezeen di meja makanlah.
No comments:
Post a Comment