Ali berlarian ke sana kemari mencari anak lelakinya, Hisyam. Anak itu masih berumur sepuluh tahun. Tadi Ali mengajaknya ke pasar untuk berdagang. Ali lalai mengawasinya karena sibuk dengan pembeli. Hisyam pun pergi entah ke mana.
“Apa kau melihat anakku?” tanya Ali pada pedagang di sebelahnya.
“Tadi kulihat dia berlarian di dekatmu. Tapi aku kurang memerhatikan lagi ke mana dia pergi.”
Ali pun menyusuri pasar. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui, terutama para pedagang. Sayangnya tak ada yang tahu persis di mana anak lelakinya sekarang. Pasar sedang ramai. Banyak orang lalu lalang. Ali kesulitan mencari Hisyam. Ali kembali ke tempatnya berdagang. Ia duduk termenung di lapaknya. Ali mencari cara agar bisa menemukan anak itu. Ia tak mungkin pulang tanpa Hisyam. Istrinya bisa marah besar bila mengetahui apa yang terjadi.
“Ali, jangan-jangan anakmu diculik?” ujar seorang pedagang lain.
“Siapa yang mau menculik anak pedagang kecil sepertiku?” ujar Ali.
“Mereka mungkin tak tahu anakmu punya orang tua pedagang kecil sepertimu. Anakmu tampan dan bersih. Pakaiannya pun tampak rapi. Ia begitu polos dan lugu.”
Ucapan pedagang itu semakin membuat Ali khawatir. Ali menanti hingga sore tiba. Pasar mulai sepi. Ali kembali menyisir pasar. Ia mencari anaknya sampai ke kolong-kolong lapak orang. Sayangnya usaha Ali tak membuahkan hasil. Ia tak juga menemukan anaknya.
“Apa anakku benar-benar diculik?” gumam Ali.
Ali terkejut saat seseorang menepuk bahunya kencang. Ia hampir jatuh terjengkang dari kursinya.
“Maafkan aku, Ali. Aku tak bermaksud membuatmu terkejut,” ucap Zahin seraya membantu Ali berdiri.
“Ya, ya. Tidak apa-apa, Zahin,” jawab Ali sambil menepuk-nepuk celananya yang kotor.
“Sudah hampir petang sekarang. Biasanya kau sudah pulang. Ada urusan apa kau masih di pasar?” tanya Zahin.
“Aku kehilangan anak lelakiku,” ucap Ali sedih.
“Bagaimana bisa?”
“Tadi aku mengajaknya berjualan. Aku membiarkannya bermain sendiri. Aku sibuk melayani pembeli. Tiba-tiba saja anakku menghilang. Sudah kucari sampai ke sudut pasar tapi tak kutemukan juga. Aku tak bisa pulang sebelum menemukannya.”
“Mungkin dia bermain lalu tersesat,” hibur Zahin.
“Entahlah. Aku juga sudah mencarinya ke sekitar pasar juga ke lorong-lorong kecil. Ada yang bilang mungkin anakku diculik.”
“Bisa saja itu terjadi, Ali. Sekarang ini banyak anak-anak diculik lalu dijual sebagai budak. Aku berharap anakmu bukan salah satunya.”
“Jangan membuatku semakin khawatir, Zahin!”
Zahin terdiam. Dia ikut memikirkan cara untuk mencari anak Ali yang hilang. Zahin pun menawarkan bantuan.
“Sebaiknya malam ini kau pulang ke rumahku saja. Kita pikirkan bersama cara untuk menemukan anakmu. Aku akan berusaha membantumu.”
Ali akhirnya bersedia menerima tawaran Zahin. Ia tak mungkin pulang tanpa anaknya. Sementara malam juga segera datang. Rumah Zahin lebih dekat dengan pasar. Dengan begitu dia bisa segera ke pasar lagi esok hari untuk mencari anaknya. Zahin menerima Ali di rumahnya dengan baik. Ia menyiapkan tempat istirahat yang layak untuk Ali. Zahin juga menyediakan makanan dan minuman untuk Ali. Setelah makan malam, Zahin mulai membicarakan rencananya dengan Ali.
“Aku sangat berterima kasih atas kebaikanmu ini, Zahin,” ucap Ali merasa sungkan.
“Sesama manusia memang sudah seharusnya saling menolong,” jawab Zahin sambil tersenyum.
“Lalu, apa rencanamu?” tanya Ali tak sabar.
“Kau yakin anakmu diculik?”
“Kurasa begitu. Hisyam bukan anak yang nakal. Biasanya dia selalu patuh padaku. Kalau dia pergi jauh dariku, dia selalu meminta izin terlebih dulu.”
“Bagaimana bila dia tersesat?”
“Aku sudah mencarinya ke seluruh pasar. Juga ke sudut-sudut kampung di sekitar pasar. Tapi aku tak menemukannya. Jika dia hanya tersesat, pasti aku sudah menemukannya.”
“Baiklah kalau begitu. Dengarkan rencanaku.”
Zahin pun menyampaikan rencananya pada Ali. Keesokan harinya, Ali datang lagi ke lapaknya di pasar seperti biasa. Dia tetap berjualan. Dia sudah memercayakan urusan anaknya pada Zahin. Saat pasar sedang ramai-ramainya, Zahin berkeliling pasar. Dia berteriak-teriak membuat pengumuman.
“Pengumuman-pengumuman! Putra kawanku, Ali, telah hilang. Dia anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Namanya Hisyam bin Ali. Barang siapa yang menemukannya, Ali akan memberinya imbalan seribu keping dinar.”
Zahin mengulang-ulang pengumumannya. Tak hanya di pasar, Zahin juga berkeliling kampung. Berita itu pun menyebar dengan cepat. Orang-orang menyebarkannya dari mulut ke mulut. Tak sedikit yang mencoba mencari Hisyam demi mendapatkan seribu keping dinar dari Ali. Sebenarnya Hisyam sedang disekap di sebuah rumah tak jauh dari pasar. Seorang pria telah menculiknya dan membawa Hisyam ke rumahnya. Pria itu juga telah mengetahui pengumuman Zahin. Tadinya dia akan mengirim pesan kepada Ali untuk meminta tebusan. Tapi sekarang tak perlu lagi karena Ali sudah menawarkan hadiah yang besar.
“Sebaiknya aku tak tergesa-gesa membawa anak itu pada ayahnya. Hari ini dia menawarkan seribu dinar. Besok pasti ayahnya menawarkan lebih banyak lagi karena terlalu khawatir pada keadaan anaknya,” gumam si penculik.
Penculik kembali ke rumahnya dan memastikan Hisyam tidak kabur. Hisyam bersandar lemas di ruangan yang gelap. Tangan dan kakinya terikat. Sudah seharian dia tidak makan. Dia menolak menerima makanan apa pun dari si penculik. Hisyam berharap penculik menjadi kesal dan dia dilepaskan. Sekarang perutnya melilit karena lapar. Penculik menghampiri Hisyam dan menaruh sekerat roti di dekatnya. Ikatan tangan Hisyam dilepaskan.
“Cepat makan! Aku tak mau kau mati. Kalau sampai kau mati, sia-sia sudah usahaku. Aku tak bisa mendapatkan apa-apa dari ayahmu!” bentak penculik itu.
Hisyam mulai tergoda. Perutnya keroncongan minta diisi. Dia pun mengambil roti tersebut dan memakannya dengan lahap.
“Cepat habiskan!”
Setelah rotinya habis, tangan Hisyam kembali diikat dengan tali. Penculik itu meninggalkan Hisyam sendiri. Ia pergi entah ke mana. Sudah seharian Zahin dan Ali menanti kabar tentang Hisyam. Tapi tak ada satu pun petunjuk. Mereka semakin yakin Hisyam diculik.
“Simpan dulu seribu dinarmu. Besok kita coba lagi,” ucap Zahin.
Ali tertunduk lesu. Ia khawatir rencana Zahin tak berhasil. Keesokan harinya, Zahin kembali berkeliling pasar dan kampung. Ia meneriakkan lagi pengumumannya.
“Pengumuman-pengumuman! Putra kawanku, Ali, telah hilang. Dia anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Namanya Hisyam bin Ali. Barang siapa yang menemukannya, Ali akan memberinya imbalan lima ratus keping dinar.”
Orang-orang yang mendengarnya bertanya-tanya, mengapa imbalan yang ditawarkan justru lebih sedikit dari hari kemarin. Padahal biasanya hadiah semakin hari semakin bertambah. Yang lebih terkejut lagi tentu penculik yang telah menyembunyikan Hisyam. Ia berpikiran sama seperti orang-orang lainnya. Ketamakan membuatnya menahan Hisyam semakin lama bersamanya. Namun, yang terjadi justru tak seperti yang dia perkirakan.
“Seharusnya hadiah bertambah besar. Ini malah berkurang separuhnya. Jangan-jangan aku salah dengar. Bukan lima ratus dinar, tetapi lima ribu dinar. Ya, ya, aku pasti salah dengar. Lebih baik aku menahannya dulu bersamaku. Paling tidak sampai ayahnya menawarkan sepuluh ribu dinar,” gumam penculik itu sambil menyeringai.
Ali kembali kecewa. Usaha Zahin belum juga menampakkan hasil. Tak ada satu pun orang yang bahkan mengaku melihat putranya, Hisyam.
“Zahin, bagaimana bila anakku tak juga ditemukan? Aku sangat khawatir sekarang,” keluh Ali.
“Tenang saja, Ali, besok anakmu pasti akan kembali.”
“Bagaimana kau bisa begitu yakin?” tanya Ali penasaran.
“Anakmu diculik oleh orang yang tamak. Hari pertama saat aku menawarkan seribu dinar, dia masih menahannya. Dia berharap mendapat tebusan yang lebih besar. Tadi saat tebusan kukurangi menjadi lima ratus dinar, dia masih belum juga menyerahkan. Dia masih bimbang, jangan-jangan besok tebusannya naik lagi. Dia ingin memastikan dulu.”
“Kau yakin besok dia pasti mengembalikan anakku?”
“Ya. Besok aku akan mengurangi tebusannya menjadi seratus dinar saja. Dia pasti merasa rugi bila terus menahan Hisyam,” ucap Zahin meyakinkan Ali.
“Baiklah. Semoga rencana kita berjalan dengan baik.”
Sementara itu, saat si penculik pulang ke rumah, istrinya sudah menunggu dengan membawa gagang sapu. Ia marah pada suaminya.
“Dasar bodoh! Harusnya kau kembalikan anak itu pada ayahnya kemarin. Kita akan mendapatkan seribu dinar. Sekarang, ayahnya hanya mau memberi lima ratus dinar!” serbu istrinya.
“Masa? Bukannya mau memberi lima ribu dinar?” ujar penculik itu.
“Buka telingamu! Atau tanyakan saja pada orang-orang di pasar. Semua tahu tebusannya hanya menjadi lima ratus dinar saja. Sebaiknya kau kembalikan anak itu sekarang juga. Jangan-jangan semakin hari tak ada lagi tebusan yang akan dia berikan!” balas istrinya semakin marah.
“Tenang saja dulu. Aku yakin itu tak akan terjadi. Besok pasti ayahnya menawarkan hadiah lebih besar lagi.”
“Aku tak yakin. Lagi pula kita harus memberi makan anak itu juga. Seharian ini dia sudah dua kali meminta makan padaku.”
“O ya? Kemarin-kemarin dia tak mau makan. Malah aku sempat memaksanya,” kata penculik heran.
“Lihat saja sendiri jika tak percaya!” omel istrinya.
Penculik itu bertahan dengan pendapatnya. Ia masih menahan Hisyam di rumahnya. Ia akan melihat keadaan besok. Ia masih berharap tebusan yang ditawarkan Ali kembali naik. Keesokan harinya, penculik kembali datang ke pasar. Ia menunggu-nunggu Zahin berkeliling memberi pengumuman. Ia berpura-pura makan di kedai kecil di tengah pasar. Pagi itu Zahin berkeliling lagi ke pasar. Ia meneriakkan pengumuman yang sama seperti hari-hari kemarin.
“Pengumuman-pengumuman! Putra kawanku, Ali, telah hilang. Dia anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Namanya Hisyam bin Ali. Barang siapa yang menemukannya, Ali akan memberinya imbalan seratus keping dinar.”
Zahin mengulang-ulang pengumumannya. Penculik itu benar-benar terkejut mendengarnya. Ia tak mengira ternyata ucapan istrinya benar. Hadiah tebusan yang ditawarkan semakin berkurang jumlahnya. Ia pun mendekati Zahin.
“Tuan, beberapa hari lalu aku dengar kau mengumumkan imbalan yang akan diberikan seribu dinar. Kemudian kemarin aku dengar menjadi lima ratus dinar. Sekarang, mengapa semakin sedikit? Hanya seratus dinar?” tanya penculik itu.
Ia berpura-pura sedang berbelanja di pasar.
“Yah, memang begitu seharusnya. Imbalan yang ditawarkan sebanding dengan harga anak yang hilang itu.”
“Maksud Anda?” tanya si penculik semakin penasaran.
“Ketika hari pertama anak itu hilang, dia pasti menolak makanan apa pun yang diberikan oleh orang asing kepadanya. Ia mempertahankan harga dirinya. Maka orang tuanya menganggap anak itu sungguh berharga bagai emas karena bisa menjaga kehormatannya. Imbalan seribu dinar kepada siapa yang menemukannya dirasa setimpal.”
“Ya, saya setuju denganmu Zahin,” ucap seorang pedagang yang juga menyimak pembicaraan Zahin dan si penculik.
“Sayangnya ia tak segera kembali. Anak itu pasti mulai lapar. Ia tak lagi malu menerima makanan pemberian dari orang asing. Bagi orang tuanya, ia telah menurunkan sedikit harga dirinya. Karena itu imbalan yang diberikan pun harus setimpal. Lima ratus dinar saja sudah cukup.”
“Lalu hari ini, kenapa turun lagi menjadi seratus dinar?”
“Itu karena dia mulai putus asa. Dia berani meminta makanan pada orang asing demi mengisi perutnya yang lapar. Ia sungguh telah mempermalukan orang tuanya dengan meminta-minta. Karena itu orang tuanya menganggap seratus dinar cukup untuk imbalan bagi siapa pun yang menemukan anaknya. Bila tak juga kembali, orang tuanya tak akan memberi imbalan apa pun pada orang yang menemukannya.”
“Mengapa begitu?”
“Karena anak itu bukan hilang tersesat atau diculik. Ia pasti pergi atas kemauannya sendiri. Dan dia akan kembali dengan kemauannya sendiri.”
“Bagaimana Anda bisa tahu anak itu akan berlaku demikian?” tanya penculik lagi.
“Karena aku telah menanyakan tabiatnya pada ayahnya. Tapi kenapa Anda ingin tahu sekali tentang hal ini?” Zahin balik bertanya.
Penculik pun gelagapan.
“E... e... maaf aku harus segera pergi,” jawab si penculik.
Penculik itu bergegas pulang ke rumahnya. Ia akan menyuruh istrinya untuk mengantarkan anak itu kembali pada ayahnya. Setidaknya ia bisa menerima seratus dinar sebagai imbalan. Zahin diam-diam mengikuti penculik itu karena curiga, namun si penculik tak menyadarinya. Ia segera masuk ke dalam rumah dan mencari istrinya. “Aku tak mau. Kembalikan saja sendiri!” tolak istri penculik itu.
“Tapi pria yang memberi pengumuman tentang anak hilang itu akan mengenaliku. Dia pasti mengira aku telah menculiknya.”
“Memang kau yang telah menculiknya, kan?”
“Ya. Dan aku tidak akan mendapatkan sepeser pun uang dari mereka. Bisa-bisa mereka meringkusku dan mengirimku ke pengadilan,” kilah penculik itu.
“Aku atau kau yang mengembalikannya, tak ada bedanya. Anak itu pasti bisa bercerita kepada ayahnya.”
Sang istri tetap menolak permintaan suaminya.
“Sebelum anak itu bercerita, ambil uangnya lalu segera pergi,” pinta penculik itu lagi.
“Lebih baik kau lakukan saja sendiri!”
Tiba-tiba pintu didobrak dari luar. Zahin, Ali, dan beberapa orang pria berdiri di luar. Zahin sempat menguping pembicaraan si penculik dan istrinya. Ia lalu segera kembali ke pasar untuk memanggil Ali. Beberapa pedagang yang berjualan di dekat lapak Ali ikut serta.
“Kembalikan anakku!” teriak Ali. Ali dan Zahin segera masuk ke dalam rumah untuk mencari Hisyam, sementara beberapa pria lain memegangi penculik dan istrinya agar tidak kabur.
Ali dan Zahin menemukan Hisyam meringkuk di sudut kamar yang gelap. Mereka segera melepaskan ikatan tali di tangan dan kaki Hisyam. Penculik dan istrinya menangis memohon ampun. Mereka meminta maaf pada Ali. Ali lega anaknya sudah kembali, ia pun memaafkan perbuatan penculik itu.
“Ali memang memaafkan kalian. Tetapi kalian tetap harus dibawa ke pengadilan agar kalian jera. Biar pengadilan yang memutuskan hukuman untuk kalian,” ucap Zahin.
Ali tak jadi kehilangan uang untuk imbalan orang yang menemukan anaknya. Ia menyedekahkan uang yang telah ia siapkan sebagai rasa syukur. Selama ini ia hanya menyiapkan seratus dinar. Cuma itu yang ia miliki. Imbalan seribu dan lima ratus dinar hanyalah taktik dari Zahin saja.
***
Amena selesai membaca bukunya dan berkata dengan baik "Cerita yang bagus."
Amena menutup bukunya dan buku di taruh di rak bukulah.
"Belajar ah!" kata Amena.
Amena ke kamarnya untuk belajar, ya mengulas pelajaran yang di berikan guru dengan baik...agar anak pintar yang membanggakan ibu.
No comments:
Post a Comment