Tasya selesai latihan menyanyi dengan teman-teman, ya cita-cita Tasya ingin jadi penyanyi yang ngetop gitu. Tasya duduk dengan santai di ruang tengah, ya di rumahlah. Ada buku di meja dan di ambil sama Tasya, ya di baca dengan baik tuh buku.
Isi buku yang di baca Tasya :
T’u’ul sedang bermain riang di antara bukit bebatuan. Kelinci itu meloncat ke sana ke mari sambil berdendang. Sudah sejak lama T’u’ul selalu bermain di bukit bebatuan itu. Tetapi, kebiasaannya bermain di bukit itu tak pernah membuatnya bosan meski dia selalu mendatanginya setiap hari. Dulu, T’u’ul sering bermain di bukit bebatuan itu bersama adiknya. Setiap mereka bermain, ibu T’u’ul selalu mengingatkannya untuk berhati-hati dan menjaga adiknya baik-baik. Ibu berkata jika di daerah itu sering ada serigala berkeliaran. Sehingga, apabila mereka lengah, mereka berdua bisa dimangsa serigala.
Sayangnya, T’u’ul keasyikan bermain. Ia kurang memerhatikan adiknya, sehingga seekor serigala dapat menyambar adiknya yang masih kecil. Serigala itu segera membawa adik T’u’ul menjauh. T’u’ul menangisi adiknya. Dalam isak tangisnya, T’u’ul mengingat serigala dengan buku ekor berwarna coklat gelap, yang membawa adiknya. Ia pun berniat untuk mencari adiknya sampai ketemu. T’u’ul yang pemberani segera pergi mencari adiknya sendirian. Ia bertanya pada beberapa burung, kadal, dan kura-kura yang ia temui di jalan.
“Tuan Kadal, yang baik. Apakah kau melihat seekor serigala berekor coklat tua melintas di dekat sini?” tanya T’u’ul.
“Tidak. Aku tidak melihatnya. Untuk apa kau mencari serigala? Kau bisa dimangsa olehnya. Lebih baik kau pulang saja, kelinci kecil,” saran kadal.
“Aku tak bisa pulang tanpa adikku. Serigala itu telah membawanya kabur,” ucap T’u’ul hampir terisak.
“Oh … kasihan. Aku tak yakin adikmu masih hidup. Lebih baik kau pulang sekarang agar tak bernasib sama seperti adikmu,” nasihat kadal lagi.
“Terima kasih, Tuan Kadal. Tapi, aku harus mencari adikku. Dia adik kesayanganku,” pungkas T’u’ul.
Ia segera meninggalkan kadal, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kadal itu menggelengkan kepala melihat T’u’ul yang keras kepala. Tetapi, ia juga kagum akan keberanian T’u’ul. Setelah berjalan cukup jauh, T’u’ul bertemu dengan kura-kura yang sedang menimbun diri di dalam pasir. Badan kura-kura itu tak terlihat dan hanya kepala dan moncongnya yang tampak. Keadaan itu membuat T’u’ul tak sengaja menginjaknya.
“Aw … hai, kelinci kecil, kau menginjak kepalaku!” seru kura-kura.
“Oh, maafkan aku, Tuan Kura-kura. Aku tak sengaja. Sungguh aku tak melihatmu tadi,” T’u’ul meminta maaf dengan sopan.
“Apa yang kau lakukan di daerah ini? Bukankah para kelinci tinggal di bukit bebatuan di sana?” tunjuk kura-kura. T’u’ul menoleh.
Ternyata, ia sudah cukup jauh meninggalkan bukit bebatuan. Ia semakin sedih. Kura-kura melihat kesedihan di wajah T’u’ul, maka dia pun bertanya, “Kenapa kau tampak sedih? Kau tersesat?” tanya kura-kura.
“Tidak, Tuan. Aku memang sengaja pergi untuk mencari adikku. Dia dibawa oleh serigala. Aku melihat serigala itu lari ke arah sini. Apa kau melihat seekor serigala melintas?”
“Ya, aku melihat beberapa ekor serigala melintas hari ini. Aku mengenal beberapa di antaranya. Serigala mana yang kau cari?”
“Aku tidak tahu asalnya. Aku juga tidak tahu namanya. Aku hanya ingat ekornya berbulu lebat berwarna coklat tua.”
“Sepertinya aku tahu siapa yang kau cari. Namanya Ch’amak. Namun, aku tak melihatnya lewat di sekitar sini. Cobalah kau cari di bukit pasir sebelah barat sana. Semoga kau menemukan adikmu.”
Wajah T’u’ul sedikit berbinar, semangatnya kembali meluap. Ia senang karena mendapatkan petunjuk untuk mencari adiknya. Dia pun sudah tahu nama serigala yang ia cari. Ia sungguh berharap jika informasi itu akan mempermudah pencariannya.
“Baiklah, Tuan Kura-Kura. Aku sangat berterima kasih padamu. Aku akan mencari adikku lagi,” pamit T’u’ul.
Kura-kura mengangguk. T’u’ul segera berlari ke arah yang ditunjuk oleh kura-kura. T’u’ul mulai kelelahan. Ia bersandar di sebuah batu besar di dekat batang-batang kaktus. Ia memetik sebutir buah kaktus matang dan memakannya.
“Apa yang kau lakukan di sini kelinci kecil? Apa kau kabur dari rumah?” terdengar cericit burung dari balik batang kaktus.
T’u’ul mendongak. Seekor burung berwarna kecoklatan bertengger di atas batang kaktus, sambil mematuki buah kaktus yang ranum.
“Tidak, Nyonya Burung. Aku sedang mencari adikku. Tadi, kami bermain bersama di bukit bebatuan, tapi seekor serigala membawanya.”
“Oh … malang sekali nasib kalian. Aku rasa adikmu tidak selamat.”
“Bagaimana kau tahu?” tanya T’u’ul cemas.
“Tadi, aku melihat serigala sedang menyantap seekor kelinci berbulu putih. Aku tak tahu kelinci itu adikmu atau bukan, tapi semoga saja bukan,” cerita Nyonya Burung.
“Sungguh?” T’u’ul benar-benar panik sekarang.
Bagaimana bila yang dilihat Nyonya Burung benar-benar adiknya? Apa yang harus dia katakan pada ibunya nanti? Padahal ibu sudah berpesan untuk berhati-hati dan menjaga adiknya baik-baik.
“Nyonya Burung, apa kau tahu nama serigala itu?” tanya T’u’ul hati-hati.
“Sayang sekali, aku tak tahu. Aku hanya ingat jika serigala itu berbadan ramping, berbulu coklat abu-abu, dan berekor lebat berwarna coklat tua. Entah siapa namanya.” T’u’ul lunglai mendengar cerita Nyonya Burung.
“Nyonya, kau benar. Serigala itulah yang membawa adikku. Serigala berekor lebat berwarna coklat. Namanya Ch’amak. Apakah kau bisa menunjukkan padaku di mana kau melihatnya terakhir kali?” tanya T’u’ul dengan mata berkaca-kaca.
Nyonya Burung ikut bersedih, hingga dia menitikkan air mata. Ia pun menunjukkan tempat terakhir kali ia melihat Ch’amak kepada T’u’ul. T’u’ul segera menuju tempat yang ditunjukkan oleh Nyonya Burung. T’u’ul berjalan mengendap-endap ketika mendekati tempat tersebut. Ia khawatir Ch’amak masih ada di sana dan memangsanya juga. Setelah memastikan keadaan aman, T’u’ul mulai menyusuri pasir mencari adiknya. Namun, T’u’ul tak menemukan apa-apa. Ia hanya menemukan sedikit bekas darah mengering yang menempel pada bulu-bulu putih. T’u’ul sangat terpukul. Nyonya Burung ternyata benar. Adiknya tak selamat. T’u’ul segera pulang dengan gontai ke bukit bebatuan. Ia harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai di bukit bebatuan. Ia pun mempercepat langkahnya agar tak kemalaman di jalan. Sesampai di rumah, T’u’ul disambut ibu kelinci yang menunggunya dengan cemas. Ia langsung memeluk ibunya dan menangis.
“Ada apa T’u’ul? Kenapa menangis? Mana adikmu? Kenapa pulang terlambat?” T’u’ul dicecar pertanyaan oleh ibunya, tapi ia hanya bisa menangis.
Ibu T’u’ul membelai kepala anaknya penuh kasih. Firasatnya mengatakan jika sesuatu telah terjadi, tapi ia tak ingin memaksa T’u’ul. Ibu kelinci sabar menunggu T’u’ul berhenti menangis untuk menceritakan yang sebenarnya. Setelah tangisnya reda, T’u’ul menceritakan semuanya. Ibu kelinci sedih karena kehilangan anaknya. Tapi, ia juga bersyukur karena T’u’ul bisa kembali ke rumah dengan selamat. Ibu kelinci berpesan pada T’u’ul agar lebih berhati-hati dan selalu menjaga diri. T’u’ul berjanji akan selalu menuruti pesan ibunya.
T’u’ul masih asyik berdendang di dekat bebatuan ketika beberapa ekor burung datang mengerumuninya. Tanpa sengaja, T’u’ul melihat seekor serigala gurun mengendap-endap dari kejauhan. Burung-burung langsung terbang menjauh. T’u’ul segera turun dari bukit dan bersandar di sebuah batu besar. Ia memancing serigala untuk mendekat padanya. Kali ini T’u’ul memiliki sebuah rencana untuk mengecoh serigala yang memang terkenal dungu. Perkiraan T’u’ul benar. Serigala itu sedang berjalan ke arahnya. Gigi-giginya yang tajam tampak menyeringai. T’u’ul segera mengenali serigala itu. Dia adalah Ch’amak, serigala yang dulu memangsa adiknya.
“Apa yang sedang kau lakukan, T’u’ul?” tanya Ch’amak.
“Hai, Ch’amak. Cepatlah berlindung kemari!” ajak T’u’ul.
Ch’amak tampak kebingungan dengan ucapan T’u’ul.
“Apa maksudmu? Berlindung dari apa?”
“Memangnya kau tak tahu? Langit sebentar lagi akan runtuh. Lihat itu, awan-awan tebal sudah menggantung dekat sekali dengan tanah.”
“Benarkah?” Ch’amak masih tak percaya.
“Hei, apa aku kelihatan sedang berbohong?” ujar T’u’ul.
Dia sedang berusaha mengangkat batu besar untuk bersembunyi di bawahnya. Tapi, T’u’ul tampak kewalahan. Ch’amak berjalan mendekatinya dan memegangi batu yang diangkat T’u’ul.
“Ayo, cepat bantu aku mengangkatnya. Kita akan aman bersembunyi di bawah batu ini,” ucap T’u’ul dengan serius.
Ch’amak yang melihat keseriusan di wajah T’u’ul segera mengangguk, “Baiklah.” Ch’amak akhirnya memercayai T’u’ul.
Mereka mengangkat batu itu bersama-sama. Kini, T’u’ul dan Ch’amak berdiri berdekatan di bawah batu besar yang mereka angkat. T’u’ul terengah-engah menyangga batu yang berat itu.
“Mengapa langit akan runtuh T’u’ul?” tanya Ch’amak, ingin tahu.
“Entahlah. Tadi aku mendengar suara gemuruh yang keras sekali. Suara itu datang dari langit. Lalu, aku melihat awan-awan semakin tebal dan menggantung dekat dengan tanah. Pasti sesuatu yang buruk telah terjadi di langit. Barangkali tali pengaitnya putus,” T’u’ul menjelaskan panjang lebar.
Ch’amak mengangguk-angguk, semakin percaya pada perkataan T’u’ul.
“Ch’amak, batu ini berat sekali, sepertinya kita butuh kayu untuk membantu menyangga batu ini,” kata T’u’ul, mulai bersiasat.
“Ya, kau betul, T’u’ul. Batu ini berat sekali.”
“Kalau begitu, aku akan pergi sebentar mengambil kayu penopang. Kau di sini saja agar aman. Jika kau yang pergi dan langit runtuh, kau pasti tak akan selamat.”
T’u’ul menakut-nakuti Ch’amak. Ch’amak tampak berpikir keras. Ia membenarkan ucapan T’u’ul. Apabila langit runtuh, kelinci akan celaka dan ia akan selamat karena berada di bawah batu. Ch’amak pun menyetujui usulan kelinci.
“Ya, kalau begitu pergilah. Cepat, ya. Aku tak sanggup jika terlalu lama mengangkat batu ini sendirian.”
T’u’ul tersenyum senang mendengar ucapan Ch’amak.
“Tenang saja, Ch’amak. Aku akan segera kembali,” katanya menenangkan Ch’amak.
T’u’ul melepaskan pegangannya dan segera meloncat-loncat, pergi menjauh. Tentu saja ia bukan pergi mencari sebatang kayu penopang, tetapi menyelamatkan diri dari Ch’amak. Saat itu mendung memang sedang menyelimuti langit. Suara guntur terus bergemuruh dari tadi. Akan tetapi, gemuruh itu adalah pertanda hujan akan turun, bukan langit yang runtuh. Ch’amak seharusnya mengetahui hal itu, tapi ia malah memercayai ucapan T’u’ul. Alhasil, dia pun mulai pegal menunggu T’u’ul datang.
“T’u’ul!” panggil Ch’amak.
Tak ada sahutan. Tangan Ch’amak mulai pegal menopang batu besar sendirian. T’u’ul yang ia tunggu tak kunjung datang.
“T’u’ul, cepat kembali! Batu ini berat sekali! Aku sudah lelah,” panggil Ch’amak lagi.
Belum ada sahutan. Ch’amak pun semakin kesal. Ia sudah lelah memanggil T’u’ul, yang sepertinya tak akan datang kembali. Maka, Ch’amak melemparkan batu itu ke tanah dengan marah, “Hhhahhh … aku tak peduli jika langit akan runtuh di atas kepalaku. Aku akan pergi.”
Titik-titik air mulai turun dan semakin besar. Hujan turun dengan sangat lebat dan angin bertiup kencang. Saat itu T’u’ul telah aman di tempat persembunyiannya, namun Ch’amak masih berlarian mencari tempat berteduh. Ch’amak kemudian melihat sebatang pohon besar. Ia segera berlari ke arah pohon itu untuk berteduh. Tapi naas, hujan yang lebat mengganggu pandangan Ch’amak. Ia tak tahu kalau pohon itu tumbuh di tepi jurang. Ch’amak tergelincir dan jatuh ke dalam jurang, tanpa ada yang tahu bagaimana nasibnya. Selama berbulan-bulan T’u’ul belum bertemu lagi dengan Ch’amak. T’u’ul mengira jika Ch’amak tidak selamat karena kelelahan mengangkat batu dan tertimpa batu besar itu sendiri. Hingga suatu malam, T’u’ul sedang berdiri di pinggir telaga.
Ia baru saja melepaskan dahaganya. T’u’ul sedang menikmati keindahan bulan yang bersinar dengan indah, mengagumi cahaya tipis berwarna pelangi yang ada di sekelilingnya, dan memandangi bulan yang berbentuk bulat sempurna, sebuah bulan purnama. Saat tiba-tiba, ada yang datang menghampiri T’u’ul. T’u’ul menoleh dan terkejut. Ia melihat Ch’amak sedang berjalan ke arahnya. T’u’ul ketakutan. Ia mengira Ch’amak akan marah dan membalas tindakannya dulu. T’u’ul pun berpura-pura tidak mengetahui kedatangan Ch’amak dengan lanjut meminum air telaga.
“Hai, T’u’ul,” sapa Ch’amak, sambil mencondongkan moncongnya ke telaga, hendak minum juga.
“Hai, Ch’amak. Bagaimana kabarmu?” tanya T’u’ul berbasa-basi.
“Aku baik. Apa yang sedang kau lakukan di sini? Kau sendirian?”
“Ya, aku sendirian. Aku akan memberitahumu sebuah rahasia. Tapi ingat, jangan bocorkan pada siapa pun.”
“Rahasia apa? Ya, aku berjanji.”
“Aku sengaja meninggalkan kawan-kawanku. Aku sedang mengincar makanan lezat. Aku tak ingin membaginya dengan mereka, Ch’amak,” kata T’u’ul dengan meyakinkan.
“Memangnya makanan apa? Kau harus membaginya denganku!” gertak Ch’amak, tiba-tiba.
“Ya, baiklah. Aku bahkan akan memberikan seluruh bagianku untukmu,” kata T’u’ul yang membuat Ch’amak bersemangat, “ nah, apa kau lihat bulatan berwarna kuning di tengah telaga itu?” tanya T’u’ul.
“Hmmm … Aku melihatnya,” Ch’amak memerhatikan dengan serius.
“Itu adalah keju istimewa, Ch’amak. Dewa sangat jarang menurunkan keju itu ke bumi. Itu adalah keju bulan. Rasanya gurih dan sangat lezat. Ukurannya sangat besar, tak habis dimakan sekali. Keju bulan tahan disimpan bertahun-tahun. Jadi, tak perlu risau akan membusuk,” T’u’ul menjelaskan dengan bersemangat.
“Wow! Aku menginginkan keju bulan itu untuk jadi milikku,” Ch’amak berseru kegirangan.
“Tapi, ada masalah, Ch’amak.”
“Apa masalahnya?”
“Aku belum berhasil mengambil keju bulan. Aku tak bisa berenang. Satu-satunya cara adalah dengan meminum air telaga ini sampai habis, baru aku bisa mengambil keju bulan itu.”
Ch’amak terdiam, berpikir. Ia sudah tergiur membayangkan betapa lezatnya keju bulan. Ch’amak benar-benar menginginkannya, maka ia segera mengsusulkan, “Kalau begitu, biar aku coba. Aku lebih besar daripada kau. Aku pasti bisa menghabiskan air telaga ini.”
“Baiklah, silakan Ch’amak,” dukung T’u’ul.
Ia kemudian melangkah mundur. Ch’amak mulai meminum air telaga sedangkan T’u’ul tampak tersenyum di belakangnya. Dalam hati ia tertawa karena berhasil mengecoh Ch’amak. Sebenarnya, tak ada keju bulan di tengah telaga. Bulatan kuning yang mereka lihat, hanyalah pantulan cahaya bulan di atas air telaga. Pantulan cahaya itu tampak seperti bongkahan keju yang sedap karena bulan sedang bersinar terang dan bulat sempurna. Ch’amak masih bersemangat meminum air telaga. Perutnya mulai menggelembung karena terlalu banyak minum air. Ia bahkan tak memerhatikan kalau T’u’ul mulai menjauh darinya.
“Ch’amak, aku pergi dulu, ya. Aku menyerah. Semua keju bulan itu untukmu saja!” teriak T’u’ul dari kejauhan.
Ch’amak hanya menoleh sekilas tak peduli. Ia terus meminum air telaga itu. Beberapa saat kemudian, perut Ch’amak mulai terasa melilit. Ia terduduk. Napasnya terengah-engah. Ia tak mengira jika meminum air bisa membuatnya kesakitan seperti ini. Ch’amak sudah hampir menyerah, tapi saat ia melihat keju bulan, ia merasa tak rela membiarkan keju itu tetap di sana. Setelah beristirahat sejenak, Ch’amak merasa putus asa. Ia sudah tak kuat lagi meminum air telaga. Akhirnya dengan pendek akal, Ch’amak meloncat terjun ke telaga. Ia berusaha meloncat sejauh-jauhnya agar bisa menggapai keju bulan, sehingga ia dapat mengapung dengan berpegangan pada keju bulan itu. Tetapi, tak ada sesuatu pun yang bisa digenggam Ch’amak. Keju bulan hanyalah sebuah bayangan. Ch’amak pun langsung terjebur ke dalam telaga.
Naasnya, Ch’amak tak bisa berenang. Tangannya bergerak-gerak, berusaha menepi. Moncongnya diangkat agar bisa tetap bernapas. Tapi, Ch’amak sudah kehabisan tenaga. Tak ada binatang yang berada di dekat telaga malam itu. Lolongan Ch’amak yang memilukan pun sia-sia. Akhirnya, dia tenggelam tanpa diketahui siapa-siapa.
***
Tasya selesai baca bukunya.
"Cerita yang bagus dari asalnya cerita, ya di tulis buku sih....Mesiko," kata Tasya.
Tasya menutup bukunya di taruh di meja dengan baik.
"Nonton Tv aja ah!" kata Tasya.
Tasya mengambil remot di meja dan di hidupkan Tv, ya memilih chenel Tv yang acaranya menarik. Tasya memutuskan nonton acara Tv....musik Dangdut di JTV dan kebetulan ada artis yang di sukai Tasya, ya Tasya Rosmala penyanyi dangdut yang teman baiknya Putri Isnari.Tasya asik nonton Tv yang acaranya bagus gitu.
No comments:
Post a Comment