Rindu selesai mengerjakan kerjaannya, ya menjahit gitu. Rindu duduk santai di ruang tengah sambil membaca buku dengan baik.
Isi buku yang di baca Rindu :
Dahulu kala, di Argentina ada seorang gubernur yang bernama Jose. Rakyat biasa memanggilnya dengan sebutan “Tuan Jose”. Satu hal yang membedakan Tuan Jose dengan gubernur-gubernur di Argentina yang lain adalah kemurahan hatinya. Tuan Jose seringkali membantu rakyatnya yang sedang kesusahan. Ia bahkan tidak segan-segan mengeluarkan harta miliknya untuk disedekahkan. Cerita kemurahan hati Tuan Jose yang selalu diingat oleh rakyatnya adalah ketika ia pergi berburu. Ia pergi berburu dengan naik kuda dan pulang berjalan kaki, serta tidak membawa satu pun hasil buruan. Rakyat yang melihat bertanya-tanya tentang apa yang dialami gubernur mereka.
“Kenapa dengan kuda Tuan Jose? Kenapa ia pulang berjalan kaki?”
“Kuda Tuan Jose dirampas perampok.”
“Kuda Tuan Jose diterkam Jaguar.”
“Kuda Tuan Jose dimakan hantu.” Rakyat Tuan Jose akhirnya mendapat jawaban.
Beberapa hari setelah kepulangan Tuan Jose, tersiar sebuah cerita tentang keluarga miskin di pinggir hutan yang mendapat seekor kuda dan hasil buruan tanpa pernah tahu siapa yang memberinya. Cerita itu membuat rakyat sangat mencintai Tuan Jose. Mereka sering membicarakan kebaikannya di mana saja, seperti di jalan, di pasar, di warung, bahkan di tempat tidur.
“Hei, apa kalian sudah tahu kabar terbaru dari Tuan Jose? Ia baru saja menyumbangkan sepuluh gerobak pakaian ke desa sebelah rumahku! Desa itu baru saja terbakar hebat minggu kemarin. Banyak penduduknya yang tidak memiliki baju ganti,” cerita seseorang di sebuah warung.
“Itu belum seberapa, kawanku!” sanggah seorang petani.
“Aku mendengar Tuan Jose baru saja mengirimkan sepuluh gerobak gandum ke sebuah desa di utara kota ini. Penduduk desa itu mengalami gagal panen tahun ini karena cuaca yang panas. Banyak dari mereka yang kelaparan,” lanjutnya.
“Wah, rupanya kalian semua ketinggalan berita,” kata seorang pedagang yang baru masuk ke dalam warung.
Ia kemudian mengambil tempat duduk, memesan Yerba Mate, dan melanjutkan ceritanya.
“Kemarin, aku mendengar Tuan Jose mengirimkan sepuluh gerobak berisi emas batangan ke sebuah desa di pedalaman hutan.”
“Hah, emas batangan?” tanya orang-orang di warung keheranan.
“Benar, kawanku! Emas batangan! Tidak salah lagi!” jelas pedagang itu.
“Kenapa Tuan Jose mengirim emas batangan ke desa itu? Mengapa penduduk desa itu butuh emas batangan? Apa mereka tidak butuh makanan atau pakaian?” tanya seorang pemuda dengan nada ingin tahu.
“Kalian tahu kenapa Tuan Jose mengirim emas batangan ke desa itu?”, tanya pedagang itu.
Semua pengunjung warung diam dan menggelengkan kepalanya.
“Tuan Jose mengirimkan emas batangan ke desa itu karena penduduk di sana tidak pernah melihat dan memegang emas batangan seumur hidupnya,” lanjut pedagang itu sambil meminum Yerba Mate pesanannya.
“Huuuuu... dasar pembohong!” teriak orang-orang di dalam warung.
Mereka kemudian tertawa bersama-sama. Tuan Jose senang mendengarkan cerita rakyatnya tentang kemurahan hatinya. Ia pun semakin sering bersedekah. Jumlah sedekahnya juga semakin banyak, bahkan di luar kewajaran. Seorang petani yang meminta bantuan seekor keledai kepada Tuan Jose malah diberi 10 ekor kuda, lengkap dengan gerobaknya! Lambat laun harta Tuan Jose semakin berkurang karena sedekahnya di luar kewajaran. Ketika hartanya habis, ia mulai memakai harta kerajaan untuk disedekahkan. Bendahara Propinsi kemudian mengingatkan Tuan Jose tentang larangan pemakaian harta kerajaan untuk keperluan pribadi.
“Tuan Jose, saya sangat menghargai kemurahan hati Tuanku,” kata Bendahara Propinsi.
“Tuan Jose sering sekali bersedekah. Itu adalah perbuatan yang bijaksana. Hanya saja memakai harta kerajaan untuk sedekah pribadi Tuanku bukanlah perbuatan yang bijaksana,” lanjutnya.
“Bendahara, kita adalah penjajah di daerah ini. Banyak penduduk lokal yang tidak menyukai kita. Seandainya mereka bersatu menyerang kita, aku jamin tidak lebih sebulan propinsi ini akan jatuh,” jawab Tuan Jose.
“Kerajaan Spanyol tentu tidak akan membiarkan propinsi ini jatuh, Tuanku! Mereka pasti mengirimkan bala bantuan,” bantah Bendahara Propinsi.
“Iya, benar! Dan kau tahu berapa jarak Kerajaan Spanyol dengan propinsi ini? Berbulan-bulan perjalanan kapal laut! Dan ketika bantuan itu datang, semua sudah terlambat, Bendahara,” jelas Tuan Jose.
“Aku bersedekah, selain karena keinginan hatiku, juga untuk meraih simpati penduduk lokal. Aku berharap tindakanku dapat mengubah perasaan mereka kepada kita,” lanjutnya.
“Tuan Jose, sekarang saya bisa mengerti alasan Tuan sering melakukan sedekah. Tetapi kenapa jumlah sedekah Tuanku di luar batas kewajaran?” tanya Bendahara Propinsi.
“Aku adalah wakil Raja Spanyol di wilayah ini. Hal itu membuatku memiliki kekuasaan seperti raja!” kata Tuan Jose.
“Aku yang menentukan nasib rakyatku! Aku yang memutuskan apakah mereka menjadi orang kaya atau orang miskin! Aku juga yang memutuskan apakah mereka tetap hidup atau mati!” tambah Tuan Jose sambil tersenyum.
Bendahara terdiam ketika mendengar penjelasan tersebut. Ia mengerti bahwa sia-sia belaka mengingatkan Tuan Jose atas perbuatannya. Bendahara juga menyadari bahwa jika ia melawan keputusan Tuan Jose maka hukuman mati menantinya. Suatu hari Tuan Jose ingin mengetahui keadaan rakyatnya secara langsung.
“Sudah lama aku tidak menjumpai orang-orang yang datang ke tempatku untuk meminta bantuan. Apakah mereka sudah hidup berkecukupan?” tanya Tuan Jose dalam hati.
“Hmm, aku jadi ingin tahu bagaimana keadaan rakyatku yang sebenarnya. Jika aku mengunjungi rakyatku sebagai gubernur, tentu mereka akan melaporkan hal-hal yang baik. Lain halnya jika aku menyamar,” lanjutnya dalam hati.
Tuan Jose kemudian menyamar sebagai petani yang ingin menjual hasil panennya ke kota. Ia mengambil beberapa karung gandum dari gudang, menaikkannya ke atas keledai, dan membawanya ke pasar. Tuan Jose menawarkan gandum-gandum itu kepada pedagang pertama yang dijumpainya di pasar.
“Selamat pagi, Pak!” sapa Tuan Jose kepada seorang pedagang.
“Selamat pagi! Apa yang kau bawa di atas punggung keledaimu itu?” tanya pedagang itu.
“Gandum,” jawab Tuan Jose.
“Coba aku lihat,” perintah pedagang itu.
Tuan Jose kemudian menurunkan sekarung gandum dan membawanya ke depan pedagang itu. Pedagang itu membuka karung dan mengambil segenggam gandum.
“Wow, gandum milikmu sangat bagus sekali! Bulirnya besar-besar dan berisi. Di mana kau menanam gandum-gandum ini?” tanya pedagang itu setelah memeriksa gandum Tuan Jose.
“Sebuah pampas, sebelah selatan dari sini,” jawab Tuan Jose sekenanya.
“Sebuah pampas di selatan kota ini? Bukankah tanah di selatan kota ini bentuknya berbukit-bukit dengan hutan yang lebat. Kalaupun ada tanah lapang, biasanya hanya berupa padang rumput, susah untuk ditanami. Baru kali ini aku mendengar ada sebuah pampas di daerah tersebut,” tanya pedagang itu sambil mengernyitkan dahi.
Tuan Jose gelagapan mendengar pertanyaan itu. Ia mencoba mengingat-ingat nama-nama pampas di selatan ibu kota. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita di lapak pedagang itu.
“Pak, bolehkah aku berhutang sekantong gandum?” tanya wanita itu.
“Boleh, Bu! Boleh!” jawab pedagang itu.
Ia mengambil beberapa kantong gandum dan memberikannya kepada wanita itu.
“Ini terlalu banyak, Pak! Aku tidak bisa membayar semua kantong gandum ini,” kata wanita itu dengan memelas.
“Ambil saja dan kau cukup membayarnya sekantong saja,” kata pedagang itu.
“Tetapi, Pak...”
“Sudahlah, ambil saja! Buatlah roti yang enak untuk anak-anakmu.”
“Terima kasih, Pak! Besok, ketika suamiku datang, aku akan membayar gandum-gandum ini.” kata wanita itu sambil berseri-seri.
“Jangan terlalu dipikirkan, Bu!” jawab pedagang itu sambil tersenyum.
Tuan Jose terkejut melihat kejadian tersebut. Ia baru menyadari bahwa masih ada rakyatnya yang hidup dalam kelaparan.
“Siapakah wanita itu, Pak? Kenapa ia berhutang gandum kepadamu?” tanya Tuan Jose.
“Dia istri dari seorang Gaucho (koboi, penggembala ternak) yang bekerja di luar kota. Seminggu sekali, setiap hari Sabtu, suaminya pulang untuk memberikan nafkahnya,” jelas pedagang itu.
“Sayangnya, beberapa bulan terakhir ini gaji suaminya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga itu selama seminggu, paling lama 5 hari,” lanjut pedagang itu.
“Jadi, wanita itu berhutang gandum kepadamu untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya sampai suaminya pulang?” tanya Tuan Jose.
“Iya, biasanya dia berhutang setiap hari Jumat dan membayarnya pada hari Sabtu atau Minggu,” jelas pedagang itu.
Tuan Jose manggut-manggut mendengar penjelasan pedagang itu.
“Apa Bapak tidak rugi karena memberi hutangan gandum untuk wanita itu? Bahkan Bapak malah memberinya beberapa kantong gandum,” tanya Tuan Jose menyelidik.
“Aku pernah hidup susah, Temanku! Banyak orang, termasuk Tuan Jose yang membantuku melewati masa-masa itu hingga aku berhasil menjadi pedagang seperti ini. Sejak itu aku berjanji kepada diriku untuk membalas kebaikan orang-orang itu dengan membantu orang-orang yang sedang kesusahan semampuku,” kata pedagang itu sambil matanya menerawang jauh.
“Jadi, kamu mau harga berapa untuk semua gandum milikmu ini?" tanya pedagang itu.
“Tidak perlu, kau ambil saja gandum-gandum itu! Anggap saja sebagai pembayaran hutang wanita itu,” kata Tuan Jose.
“Maaf, Temanku, apa kau tidak butuh uang?” tanya pedagang itu.
Tuan Jose tersenyum.
“Jika kau ingin menolong orang lain, pastikan kebutuhanmu terpenuhi terlebih dahulu,” nasihat pedagang itu.
“Juallah gandum-gandum milikmu ini terlebih dahulu. Setelah kau menerima pembayarannya, ambillah untuk kebutuhanmu dan sisanya bisa kau amalkan,” lanjut pedagang itu.
Tuan Jose membuka penyamarannya. Ia melepas topi dan baju petaninya. Pedagang itu terkejut saat melihat Tuan Jose yang berada di hadapannya. Ia kemudian berlutut, menunduk dan berkata, “Maafkan ketidaktahuan hamba, Tuan Jose.”
“Tidak apa-apa! Sekarang berdirilah dan ambillah semua karung gandum dan keledai ini. Aku memberikannya sebagai hadiah atas kemurahan hatimu,” kata Tuan Jose.
Ia bergegas kembali ke rumah dan memanggil kepala pelayan dan juru masak.
“Tadi pagi aku keluar rumah secara diam-diam, menyamar menjadi seorang petani, dan pergi ke pasar. Di sanalah aku bertemu dengan rakyatku yang sedang kelaparan,” kata Tuan Jose memulai pembicaraan.
Ia kemudian menceritakan pertemuannya dengan pedagang dan wanita miskin di pasar. Juru Masak dan Kepala Pelayan saling berpandangan mendengar cerita Tuan Jose.
“Apakah Tuan bermaksud membantu mereka?” tanya Kepala Pelayan.
“Iya, aku ingin membantu mereka,” jawab Tuan Jose.
“Aku berencana membagikan roti kepada rakyat miskin setiap hari Jumat,” lanjut Tuan Jose.
“Pelayan, umumkan keputusan ini kepada warga kota dan Juru Masak, siapkan roti yang banyak pada hari Jumat nanti,” perintah Tuan Jose.
Hari Jumat berikutnya, rakyat miskin berbondong-bondong mendatangi rumah Tuan Jose. Mereka mengantre untuk mendapatkan roti gratis. Rakyat sangat senang sekali dengan pembagian ini, apalagi Tuan Jose sendiri yang membagikannya. Mereka bisa berkeluh kesah langsung masalahnya dengan gubernur mereka. Pembagian roti gratis ini telah berjalan beberapa minggu. Tuan Jose mulai hafal dengan rakyatnya yang datang mengantre hingga suatu ketika ia melihat ada seseorang lelaki yang baru mengantre.
“Siapakah namamu? Kenapa baru sekarang kau ikut mengantre roti gratis?” tanya Tuan Jose.
“Nama saya Juan. Saya baru saja mendengar bahwa Tuan membagikan roti gratis setiap hari Jumat. Itulah sebabnya saya baru ikut mengantre sekarang, Tuan,” jawab Juan.
“Apakah kamu orang miskin,” tanya Tuan Jose.
“Iya, Tuan! Saya memang orang miskin, bahkan lebih miskin daripada tikus,” jawab Juan dengan nada bercanda. Tuan Jose tertawa mendengar jawaban Juan.
“Apa pekerjaan kamu?” tanya Tuan Jose.
“Saya bekerja sebagai pembantu pandai besi, Tuan! Saya menyukai pekerjaan itu tetapi gajinya tidak cukup untuk menghidupi istri dan ibu saya,” jawab Juan.
Tuan Jose terharu mendengar cerita Juan. Ia juga merasa tidak enak karena Juan terlambat mengikuti pembagian roti yang dilakukannya. Tuan Jose kemudian berencana untuk membantu Juan secara diam-diam.
“Juan, tunggulah di sini sebentar. Aku akan mengambil roti bagianmu,” kata Tuan Jose seraya masuk ke dalam rumah.
Ia mengambil 2 potong roti. Tuan Jose lalu melubangi salah satu roti itu dan mengisinya dengan beberapa keping emas. Setelah penuh dengan kepingan emas, lubang roti itu ditutup secara hati-hati sehingga nampak tidak pernah dilubangi.
“Ini roti bagianmu, Juan! Aku memberikan 2 potong roti kepadamu karena kau terlambat mengetahui pembagian roti ini,” kata Tuan Jose sambil menyerahkan roti kepada Juan.
“Terima kasih, Tuan!” kata Juan dengan wajah berseri-seri.
Hari Jumat berikutnya, Tuan Jose kaget dan marah ketika bertemu dengan Juan.
“Juan, kenapa kau masih ikut mengantre roti untuk orang miskin ini?” tanya Tuan Jose dengan nada marah.
“Saya masih tetap orang miskin, Tuanku!” jawab Juan.
“Orang miskin? Apa kau tidak menemukan keping-keping emas di dalam rotimu? Emas-emas itu bisa membuatmu menjadi orang kaya,” bantah Tuan Jose.
“Maaf, Tuanku! Saya tidak tahu maksud Tuanku tentang keping-keping emas di dalam roti. Roti yang saya terima sama dengan roti yang diterima orang lain, tidak ada yang berbeda,” jelas Juan.
Tuan Jose terkejut dan bingung mendengar penjelasan Juan.
“Juan, sekarang ceritakan kepadaku apa yang kau lakukan setelah menerima roti dariku pada Jumat yang lalu,” tanya Tuan Jose.
“Saya langsung pulang ke rumah setelah menerima roti dari Tuanku. Saya ingin segera membagi roti itu dengan istri dan ibu saya,” jawab Juan.
“Apakah 2 potong roti itu cukup untuk keluargamu?”
“1 potong roti sudah mencukupi kebutuhan keluarga saya di hari itu, Tuanku.”
“Lalu apa yang kau lakukan dengan roti yang lainnya?”
“Oh ya, saya hampir lupa. Ketika pulang dari rumah Tuanku, saya bertemu dengan orang miskin yang ingin mendapat roti dari Tuanku. Hari sudah sore dan saya yakin ia akan terlambat sampai ke rumah Tuanku untuk mendapatkan roti. Jadi, saya berikan salah satu roti pemberian Tuanku kepadanya,” jelas Juan.
Tuan Jose memukul keningnya dengan keras lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia kemudian berkata di dalam hati, “Juan... Juan, kau tidak layak hidup miskin dengan kebaikan hati seperti itu. Aku akan membantumu sekali lagi untuk mengakhiri kemiskinanmu selamanya.”
Tuan Jose kemudian menyuruh Juan untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah. Ia dan Juan pergi ke ruang harta kerajaan. Ada 10 kamar harta di dalam ruangan itu.
“Juan, aku terkesan dengan kebaikan hatimu. Kau sungguh tidak layak hidup dalam kemiskinan. Di dalam ruangan ini ada 10 kamar harta kerajaan, kau boleh mengambilnya semampumu,” kata Tuan Jose.
Juan tertegun mendengar perkataan Tuan Jose. Tuan Jose kemudian mencoba membuka salah pintu kamar tetapi tidak ada kunci yang cocok untuk membukanya. Ia kemudian mencoba membuka pintu yang lain tetapi tetap tidak ada kunci yang cocok dengan pintu-pintu tersebut. Tuan Jose memanggil Bendahara Propinsi untuk membantu membuka pintu-pintu kamar harta tetapi hasilnya sama saja. Tidak ada kunci yang dapat membuka pintu-pintu itu. Tiba-tiba terdengar suara tanpa wujud dari sebuah salib yang menggantung di pintu.
“Jika Tuhan menghendaki seseorang hidup dalam kemiskinan maka tidak ada satu pun usahamu yang bisa membuatnya kaya.”
Tuan Jose, Juan, dan Bendahara terkejut mendengar suara tersebut. Mereka kemudian berlutut dan memohon ampun kepada Tuhan. Sejak saat itu, Tuan Jose tidak pernah lagi membangga-banggakan kekuasaan yang dimilikinya. Ia juga bersedekah sesuai dengan kemampuannya dan tidak membeda-bedakan orang di dalam memberi pertolongan.
***
Rindu selesai baca bukunya.
"Cerita bagus......asal dari Argentina," kata Rindu.
Rindu menutup buku dan membaca bukunya dengan baik.
"Main ke tempat Mira," kata Rindu.
Rindu yang telah memutuskan ingin main ke tempat Mira, ya Rindu keluar dari rumah dan bergerak ke tempat Mira, ya rumahnyalah.
No comments:
Post a Comment