Selesai mengerjakan tugas-tugas kuliah, ya Puspita duduk santai di ruang tengah. Puspita pun membaca bukunya dengan baik.
Isi buku yang di baca Puspita.
Mahau adalah seekor kura-kura gurun. Ia hidup di gurun tandus yang terletak di wilayah Sonora, Meksiko Utara. Suku Yaqui yang tinggal di daerah tersebut mengenalnya sebagai Gran Desierto de Altar. Gran Desierto adalah gurun yang luas dan sangat kering. Permukaannya tertutup pasir dan bebatuan. Hujan sangat jarang turun di gurun tersebut, sehingga tanaman yang bisa bertahan hanyalah tanaman jenis kaktus yang berduri tajam. Masyarakat Meksiko menamai buah kaktus dengan sebutan pitaya. Buah pitaya mempunyai kulit berwarna merah, daging buah berwarna putih atau merah, dan berasa manis atau asam. Di negara lain, buah pitaya juga dikenal dengan sebutan buah naga. Meski berduri tajam, tetapi kaktus-kaktus ini menjadi makanan andalan bagi hewan-hewan gurun, termasuk Mahau.
Pada suatu siang yang terik, Mahau berjalan-jalan sendirian untuk mencari makan. Ia menyusuri gurun dan sampai di antara kaktus-kaktus liar yang sedang berbuah. Mahau tersenyum, senang mendapati puluhan buah pitaya yang terjatuh di pasir. Mahau langsung mengambil buah pitaya merah segar yang paling dekat, memakan, dan menghabiskannya dengan lahap. Mahau kemudian berjalan dengan perlahan menghampiri pitaya berikutnya. Hari ini ia merasa sangat puas karena bisa mengenyangkan perutnya. Bulan Agustus memang menjadi bulan favorit Mahau. Meskipun panas bulan Agustus membuat kulitnya kering, tapi kaktus-kaktus berbaik hati mengeluarkan banyak pitaya dari batang-batangnya.
***
Dahulu, Mahau hanya makan dedaunan perdu yang kadang tumbuh di sela bebatuan. Ia tidak tahu jika bulatan berwarna merah di batang kaktus bisa dimakan. Sampai suatu hari, saat Mahau sedang berjalan-jalan mencari dedaunan perdu, ia bertemu dengan Wiikit, si burung gurun. Wiikit tampak bertengger di atas sebatang kaktus yang besar, sambil bersiul-siul senang.
“Mahau, kau hendak ke mana?” sapa Wiikit, ramah.
“Hai, Wiikit. Aku sedang mencari dedaunan segar untuk mengisi perutku yang keroncongan. Kau sendiri, apa yang sedang kau lakukan?”
“Aku sedang makan,” jawab Wiikit, dengan mulut belepotan. Ia terlihat mematuk-matuk batang kaktus yang berwarna merah.
“Apa yang kau makan? Apa paruhmu tidak sakit terkena duri batang kaktus?” tanya Mahau penasaran.
Wiikit terkikik.
“Mahau, apa kau tidak tahu? Aku tidak sedang mematuk batang kaktus, tetapi buahnya. Buah pitaya ini sangat lezat. Manis dan segar.”
“Apakah buah itu tidak berduri? Bagaimana kalau tertelan?” tanya Mahau ragu.
“Tenang saja, buah pitaya tidak berduri, Mahau. Apa kau mau mencicipinya?”
“Hmm … tapi bagaimana cara memakannya? Aku tak bisa terbang sepertimu. Aku juga tak bisa memanjat batang kaktus.”
“Tunggu sebentar, ya.”
Wiikit terbang sebentar di antara sekumpulan kaktus. Ia mencari pitaya yang paling pendek agar bisa dijangkau Mahau, tapi tak menemukannya.
“Mahau, aku tak menemukan pitaya di batang yang pendek. Hanya ada sebuah pitaya yang jatuh tak jauh dari sini. Apa kau mau?”
Mahau lalu merangkak perlahan di bawah batang-batang kaktus berduri, menghampiri pitaya jatuh yang ditunjukkan Wiikit. Ia penasaran mencoba rasa buah pitaya. Setelah mendapatkannya, Mahau segera menggigit kulit pitaya dan menemukan daging buah berwarna merah segar di dalamnya. Biji buahnya kecil berwarna hitam, menyebar rata pada daging buah pitaya. Mahau menyukai rasanya yang manis asam. Daging pitaya juga banyak mengandung air, sehingga terasa segar bila dimakan saat udara panas terik.
“Wiikit, rasa pitaya ini enak sekali.”
“Ya, ini buah kesukaanku, Mahau,” ucap Wiikit, mencicit senang.
Pitaya Mahau telah habis, namun dia tampak belum puas. Ia melongok-longok ke bawah batang kaktus lain, mencari pitaya yang terjatuh.
“Terima kasih ya, Wiikit. Kau sudah memberitahuku makanan enak ini,” ujar Mahau, sambil melahap pitaya berikutnya.
“Sama-sama, Mahau.”
Sejak hari itu, pitaya menjadi buah kesukaan Mahau. Ia selalu mencari pitaya terlebih dahulu sebelum mencari dedaunan perdu untuk dimakan. Apabila dia tak mendapatkan pitaya jatuh, ia akan mencari dedaunan perdu. Pada bulan-bulan tertentu, Mahau sering tidak kebagian pitaya karena kaktus tidak banyak mengeluarkan pitaya dan burung-burung segera melahapnya sampai tak bersisa. Akan tetapi, di bulan lain seperti bulan Agustus, kaktus mengeluarkan banyak sekali pitaya. Mahau pun bisa makan pitaya sebanyak-banyaknya.
***
Setelah merasa puas, Mahau melanjutkan perjalanannya. Ia berjalan melewati timbunan pasir gurun yang tebal. Ia akan pergi ke daerah yang berbatu-batu untuk berteduh dari sengatan matahari. Dalam perjalanannya, ada seekor serigala gurun yang sedang mengintai Mahau. Serigala itu bernama Wo’i. Wo’i berjalan mengendap-endap, mengincar di belakang Mahau. Perut Wo’i sedang kelaparan. Ia berharap Mahau bisa menjadi santapannya hari itu. Namun, Wo’i menjadi tak sabar karena Mahau berjalan sangat pelan. Dia pun segera menghadang Mahau. Wo’i tampak terkejut melihat mulut Mahau kemerahan seperti warna darah. Wo’i segera menyapa Mahau dengan sopan, tak ingin membuatnya curiga.
“Wahai, Tuan Kura-Kura, kau hendak pergi ke mana?”
“Aku sedang mencari tempat berteduh, Tuan Serigala.”
“Aku Wo’i. Apakah aku boleh berjalan bersamamu? Aku sedang bosan tak ada teman bicara.”
“Ya, silakan saja.”
“Siapa namamu, Tuan Kura-Kura?”
“Namaku Mahau,” jawab Mahau pendek, sambil tetap berjalan.
“Mahau, kulihat mulutmu tampak berwarna merah berlumuran darah. Apa kiranya yang telah kau makan?” tanya Wo’i penasaran.
Firasat Mahau mengatakan ada ancaman datang. Ia merasa Wo’i mempunyai niat kurang baik kepadanya. Meski dia memiliki cangkang yang sangat keras, yang bisa melindunginya, Mahau tetap merasa gentar. Setelah berpikir sejenak, dia memilih untuk menghadapi Wo’i dengan tenang.
“Oh, aku baru saja memakan manusia,”
Mahau menoleh pada Wo’i, “kalau kamu ingin menggangguku, aku juga tak segan untuk memakanmu,” lanjut Mahau garang.
Wo’i menyeringai ngeri, tak menyangka makhluk sekecil Mahau telah memangsa manusia. Dia memilih bersikap baik pada Mahau karena merasa takut akan ancamannya. Wo’i berniat untuk menunggu si kura-kura lengah, sehingga ia mengikuti ke mana Mahau pergi. Dia juga menawarkan diri untuk menjadi teman Mahau. Mahau mengangguk saja, tapi tetap waspada karena merasa ancaman masih mengintainya.
“Sebenarnya aku sedang lapar, Mahau,” ujar Wo’i.
“Mengapa kau tak makan?”
“Aku belum mendapatkan makanan apapun sejak kemarin.”
Wo’i mengelus perutnya yang kempis.
“Apa kau tahu di mana aku bisa mendapatkan makanan?” lanjut Wo’i penuh harap.
Mahau tampak berpikir. Ia mencari siasat agar tak berakhir menjadi santapan sang serigala. Mahau tetap berjalan dengan tenang agar Wo’i tidak curiga.
“Hmm … kalau begitu, ikutlah denganku,” ajak Mahau.
“Ke mana?” sela Wo’i.
“Ke peternakan. Aku memiliki beberapa teman di sana. Mereka sering memberiku makanan. Aku akan membaginya denganmu.”
“Sungguh?” Wo’i bertanya antusias.
“Ya, tentu. Atau siapa tahu mereka mau memberi makanan khusus untukmu.”
Wo’i sangat gembira. Perutnya yang terus bernyanyi akan segera terisi. Ia mulai bersemangat lagi. Sebenarnya, Wo’i adalah serigala gurun yang gagah. Bulunya berwarna coklat abu-abu. Telinganya berbentuk lancip di bagian ujung. Matanya tajam membuat musuh tunggang langgang melihatnya. Ekor Wo’i diselimuti bulu yang panjang dan tebal. Barisan gigi-giginya yang runcing tampak menakutkan. Sayangnya, gerakannya sedikit lemah dan tidak tangkas saat kelaparan. Sedangkan Mahau, meski ia terlihat lemah dan lamban, ia adalah hewan yang istimewa. Kura-kura ini mampu bertahan hidup di gurun yang tandus. Ia kuat menghadapi suhu udara yang sangat panas di siang hari dan suhu udara yang dingin di malam hari.
Mahau memiliki cangkang yang keras di punggung dan perutnya. Cangkang itu menjadi rumah yang paling aman. Saat pemangsa memburu, Mahau bisa bersembunyi dengan tenang di dalam cangkang. Cangkang Mahau berwarna hijau kecoklatan. Musuh sering terkecoh dan sulit menemukan Mahau karena cangkang itu terkadang tampak seperti bebatuan. Mahau dan Wo’i sudah berjalan cukup lama. Mereka melewati timbunan pasir-pasir gurun yang tebal. Sesekali Wo’i menoleh ke belakang dan menyadari jika mereka belum beranjak jauh dari tempat mereka bertemu pertama kali.
“Mahau, apa kau hidup sendirian?” tanya Wo’i, berusaha mengisi kebosanan.
“Tidak. Aku punya banyak teman. Aku hanya ingin jalan-jalan sendiri hari ini.” Mahau berusaha tidak berbohong.
Dulu, dia memang punya banyak teman. Tapi, setelah ia memutuskan berkelana melintasi luasnya Gran Desierto, ia hidup sendiri sekarang.
“Selain makan manusia, apalagi yang kau makan, Mahau?”
“Aku bisa memakan apapun yang aku temui. Apa kau berminat menjadi menu santapanku berikutnya?” goda Mahau, dengan nada menggertak.
“Tidak … tidak!”
Wo’i menjawab, cepat. Mahau tersenyum. Ia kini tahu jika Wo’i punya sifat sedikit penakut. Ia bisa memanfaatkan kelemahan Wo’i untuk melepaskan diri dari serigala itu dengan selamat. Wo’i tampak semakin kesulitan mengimbangi langkah pelan Mahau. Terkadang tanpa sadar, ia sudah mendahului Mahau beberapa meter. Kini, langkahnya terasa makin berat. Perutnya kelaparan. Tenaganya mulai habis. Wo’i berjalan terseok-seok.
“Kapan kita sampai ke peternakan yang kau katakan, Mahau?”
“Sebentar lagi,” jawab Mahau, pendek.
“Kita sudah berjalan lama sekali, tapi belum sampai juga.”
“Sabarlah, sebentar lagi,” ujar Mahau, sambil melirik Wo’i.
“Seberapa jauh lagi kita harus berjalan, Mahau?”
“Tak jauh lagi, Wo’i.”
“Aku sudah sangat lapar dan lelah,” keluh Wo’i.
“Kalau kau terus mengeluh, kita tak akan sampai ke peternakan. Jadi, lebih baik diamlah dan terus berjalan. Atau …”
“Atau apa?” potong serigala itu.
“Atau kau jangan ikut denganku dan cari makananmu sendiri.”
Wo’i yang semula menggerutu langsung terdiam. Dia merasa sisa tenaganya tak banyak lagi. Kalau harus meninggalkan Mahau dan berburu sendiri, Wo’i tak yakin bisa mendapatkan makanan. Dia pun memutuskan untuk terus mengikuti Mahau sampai ke peternakan. Mahau tersenyum penuh kemenangan. Dia sebenarnya kasihan melihat Wo’i yang tampak putus asa. Tetapi, dia tidak boleh lengah agar tidak menjadi santapan Wo’i. Mahau pun tetap menjalankan siasatnya meski dia tidak tahu apakah ada peternakan di daerah itu. Sebenarnya, Mahau juga tidak punya teman di peternakan karena semua perkataannya hanya siasat untuk menghindari Wo’i.
Mahau dan Wo’i meneruskan perjalanan mereka. Matahari sudah mulai condong ke barat, meski sinarnya masih terasa menyengat. Wo’i merasa semakin lapar dan lelah, sedangkan Mahau tetap berjalan pelan, sambil menyuruhnya untuk bersabar.
“Mahau, apakah masih lama?” tanya Wo’i cemas.
Ia sudah tak tahan lagi.
“Sebentar lagi, Wo’i,” jawab Mahau singkat.
“Semua ini salahmu, Mahau!” bentak Wo’i kesal.
“Kenapa aku yang salah? Aku tidak memaksamu ikut denganku,” Mahau menjawab sambil tetap berjalan.
“Kau berjalan terlalu lambat, Mahau! Kalau seperti ini terus, kita tak akan pernah sampai ke peternakan.”
“Tenang saja, kalau terus berjalan, kita pasti akan sampai,” bujuk Mahau.
“Ayolah lebih cepat sedikit! Aku hampir mati kelaparan,” seru Wo’i lagi.
“Dengar temanku, Wo’i. Tuhan menakdirkan aku untuk berjalan lambat. Bila aku berjalan terlalu cepat, kaki-kakiku akan menjadi panas, dan ujung-ujungnya akan mengepulkan asap. Kalau sudah begitu, aku tak bisa berjalan sampai kakiku dingin kembali.” Wo’i mendengus menjengar penjelasan Mahau.
“Kau tak percaya? Apa perlu kita coba? Aku akan berjalan cepat lalu tengoklah ke bawah cangkangku,” tantang Mahau.
“Mengapa tidak?” Wo’i balas menantang.
Mahau terkejut mendengar tantangan Wo’i. Semula, ia mengira Wo’i akan menurut saja dan terus mengekor di belakangnya. Tapi, Mahau tak kehabisan akal. Ia mulai melangkah lebih cepat dari sebelumnya, dengan kaki menyaruk pasir gurun. Wo’i mengikutinya, senang. Tak berapa lama Wo’i memanggil-manggil Mahau. Pandangannya mulai kabur karena udara dipenuhi asap. Apalagi angin bertiup cukup kencang. Mata Wo’i terasa semakin perih.
“Mahau, tunggu. Kau di mana?”
“Aku di sini Wo’i. Tak jauh dari kakimu,” teriak Mahau, “apa kau sudah melongok ke bawah cangkangku? Kau lihat asapnya?”
“Ya … ya ….” balas Wo’i, sambil terbatuk-batuk.
“Tak perlu kutengok lagi. Aku sudah melihatnya. Sekarang, berjalanlah lagi seperti sebelumnya. Asap ini sangat mengganggu dan menyakitkanku, Mahau,” lanjut Wo’i.
Mahau tersenyum, berhasil mengelabui Wo’i untuk ke sekian kalinya. Sesungguhnya, asap yang dilihat Wo’i bukanlah asap yang keluar dari kaki Mahau. Asap itu adalah debu pasir gurun yang beterbangan karena kaki Mahau yang berjalan sambil menyaruk. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan langkah seperti semula. Wo’i masih berjalan mengikuti Mahau. Ia sudah sangat lemas hingga berjalan terbungkuk-bungkuk. Kepalanya menunduk. Hidungnya sudah hampir menyentuh pasir. Ia tampak berusaha untuk tetap berjalan. Tapi, semakin lama Wo’i tak kuat lagi. Akhirnya ia terjerembab ke tanah. Mahau menoleh, lega melihat Wo’i telah jatuh tersungkur. Namun, rasa iba membuatnya melangkah mendekati Wo’i, yang sedang pingsan. Sesaat, Mahau melihat sekelilingnya. Tak jauh dari tempatnya, Mahau melihat kaktus pitaya yang sedang berbuah.
Dia menuju kaktus tersebut dan memungut sebuah pitaya yang jatuh. Mahau menggelindingkan pitaya itu dengan moncongnya, mendorong pitaya itu ke arah Wo’i dengan susah payah. Setelah berhasil, Mahau meninggalkan Wo’i dengan sebuah pitaya bersamanya. Ia kemudian melanjutkan perjalanan supaya jaraknya telah jauh dari Wo’i saat serigala itu siuman, nanti. Mahau berharap Wo’i mau memakan buah pitaya itu saat bangun dari pingsannya. Dengan demikian perut Wo’i akan terisi dan akan mempunyai tenaga untuk mencari makanan yang lain. Mahau terus berjalan, perlahan. Matahari makin condong ke barat. Mahau sedikit bergegas menuju daerah berbatu untuk mendapatkan tempat berlindung. Esok hari, dia akan berjalan-jalan lagi untuk menemukan pengalaman dan petualangan baru lagi.
***
Puspita selesai membaca bukunya.
"Cerita yang bagus banget asal dari Meksiko," kata Puspita.
Puspita menutup bukunya dan menaruh buku di meja.
"Nonton Tv saja!" kata Puspita.
Puspita mengambil remot di meja dan menghidupkan Tv dengan baik. Acara Tv yang di tonton Puspita, ya acara Talkshow......Saatnya Perempuan Bicara. Puspita menaruh remotnya di meja. Dengan santainya Puspita menonton acara Tv yang bagus itu.
No comments:
Post a Comment