CAMPUR ADUK

Saturday, July 31, 2021

TOPEC DAN POHON AJAIB

Risa ingin menjadi penyanyi dangdut yang terkenal, ya populer gitu....banyak penggemar menyukai Risa karena suaranya yang bagus dan paling penting keanggunan dari Risa. Beberapa jam kemudian Risa selesai dengan latihan menyanyi dengan teman-temannya. Risa duduk santai di ruang tamu di rumahnya, ya sambil baca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Risa :

Ketika bumi pertama kali diciptakan, hanya ada satu pohon yang hidup di dalamnya. Pohon itu tumbuh sendiri di tengah-tengah pampas yang sangat luas. Diameter batang pohonnya sangat besar. Perlu berhari-hari untuk dapat mengelilinginya. Pohon itu tumbuh menjulang sangat tinggi. Ranting-rantingnya tumbuh melebar ke samping. Jika dilihat dari kejauhan, pohon itu nampak seperti payung hijau raksasa. Akar pohon itu cukup kuat. Ia besar, merambat ke berbagai arah, dan tumbuh menghunjam masuk ke dalam tanah sangat dalam sekali. Konon, akar pohon itu juga mampu menyimpan air hujan sejak pertama kali hujan turun ke bumi. Orang-orang kemudian menamakan pohon itu dengan nama Pohon Carob.     

Beberapa waktu kemudian, datanglah musim kemarau yang sangat buruk. Cuaca panas mengubah warna hijau rumput-rumput di daerah pampas menjadi cokelat. Batu-batu jalanan menjadi sangat panas. Banyak orang-orang yang mengeluh kakinya melepuh karena panas meskipun mereka berjalan dengan memakai alas kaki. Para penggembala llama di tepi pampas mulai cemas. Jika keadaan seperti ini terus berlangsung, akan terjadi bencana yang berkaitan. Air sungai dan danau yang mengering mengakibatkan rumput-rumput mati kekeringan. Llama lambat laun mati kelaparan serta kehausan. Hal yang sama juga dialami umat manusia. 

Tanpa air, semua akan mati! Manusia kemudian berdoa kepada para dewa. Mereka memohon agar Dewa Bumi (Pachamama) bersuara keras hingga bumi bergerak dan keluar mata air. Mereka juga memohon kepada Dewa Langit tidak mengembuskan napasnya terlalu keras sehingga awan bisa berkumpul, menutup matahari, dan menurunkan hujan. Doa-doa itu rupanya tidak mengubah keadaan. Kekeringan tetap saja berlangsung. Manusia menganggap para dewa telah mengacuhkan mahluk-mahluk bumi. Mereka berhenti berdoa kecuali Topec, seorang anak kecil. Topec berdoa kepada Dewa Langit, Pachamama, Dewa Angin (Pampero), dan Dewi Hujan agar hujan segera turun. Ia tetap percaya bahwa para dewa masih sayang dengan mahluk-mahluk bumi. Topec berdoa sepanjang waktu sampai kemudian sesuatu terlintas di pikirannya.     

“Para dewa pasti mendengar dan mengabulkan permohonan manusia. Mereka mungkin telah menyuruh hujan pergi ke bumi. Jika hujan belum juga turun, mungkin hujan lupa atau salah arah menuju ke bumi!” kata Topec dalam hati.

“Jika itu yang terjadi, aku harus mencari hujan dan membawanya kembali ke bumi,” lanjutnya.

Topec kemudian menceritakan rencananya kepada orang-orang di desanya. 

“Topec, kau urungkan saja niatmu! Panas ini bisa membunuhmu.”

“Topec, suhu di luar panas sekali! Kau bisa mati terpanggang di luar sana!”

“Topec, jangan menyiksa dirimu sendiri! Panasnya batu jalanan mampu membuat kakimu melepuh dan lumpuh.” 

Semua orang mengkhawatirkan keselamatan Topec jika ia tetap pada rencananya. Topec masih anak-anak. Fisiknya tidak akan kuat menahan suhu panas seperti itu. Namun Topec tetap berkeras hati. Ia akan pergi mencari hujan dan membawanya kembali ke bumi. Topec berjalan meninggalkan desa. Ia memilih menghindari jalan berbatu agar kakinya tidak melepuh. Topec membuat jalan baru melewati padang ilalang. Ia tidak kesulitan menerobos rumput-rumput yang tinggi. Rumput-rumput itu langsung menjadi debu saat tangan Topec menyibak mereka. Ketika matahari tepat di atas kepala, Topec sampai di sebuah sungai yang kering kerontang. Ia ingat bahwa dulu sungai itu sangat dalam dan airnya mengalir sangat deras.     

“Selamat siang, Sungai! Apakah engkau mempunyai air untuk kuminum?” tanya Topec.

“Maaf, Adik Kecil! Aku tidak lagi mempunyai air untuk kau minum,” jawab Sungai. 

“Tetapi jika kau mau berusaha, galilah batu-batuan di atasku ini, mungkin masih ada sedikit air di bawahnya,” lanjut Sungai.

Topec menggali batuan-batuan di sungai tersebut. Ia menemukan sedikit air setelah menggali agak dalam. Topec langsung meminum air itu, memuaskan dahaganya. 

“Terima kasih, Sungai! Terima kasih untuk airnya!” kata Topec.

Sungai itu terdiam.

“Apakah kau pernah melihat Hujan di sekitar sini?” tanya Topec lebih lanjut.

“Hujan sudah lama tidak datang kemari, Adik Kecil! Aku sudah tidak lagi memiliki air! Cepat atau lambat, aku akan mati,” jawab Sungai dengan nada sedih.

“Kau tidak perlu bersedih, Sungai! Aku akan mencari Hujan dan membawanya kemari,” kata Topec dengan tersenyum.

Sungai terkejut mendengar perkataan Topec.

“Adik Kecil, janganlah membahayakan dirimu sendiri! Saat ini suhu sangat panas. Jarang ada mahluk hidup yang dapat bertahan dalam suhu seperti ini,” kata Sungai dengan nada khawatir.

“Lihatlah Armadillo itu! Ia memiliki kulit paling keras di antara para binatang. Namun kulitnya tetap tidak mampu menahan panas seperti. Armadillo tetap harus meringkuk dan menggulung badannya untuk bertahan dari panas!” jelas Sungai.

“Terima kasih atas semua kebaikanmu, Sungai! Tetapi tekadku sudah bulat. Aku akan meneruskan perjalananku. Selamat tinggal, Sungai,” lanjut Topec berpamitan.

Belum Topec berjalan, tiba-tiba ia merasa panas yang menggigitnya. Topec tersadar bahwa ia sekarang berhadapan dengan Angin Utara yang panas.

“Angin Utara, apakah kau melihat Hujan?” teriak Topec.

Angin Utara tidak menjawab. Ia hanya mengembuskan napasnya bebeerapa kali dengan keras.

“Angin Utara, apakah kau melihat Hujan?” teriak Topec bertanya sekali lagi.

“Wuuuuus...,” suara embusan Angin Utara.

 Tiba-tiba Topec terpelanting ke udara. Embusan Angin Utara yang kencang membawanya ke angkasa dan masuk ke dalam awan debu yang berputar-putar. Topec terkejut! Ia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya agar tidak terbang terlalu jauh, tetapi usahanya sia-sia. Awan debu membuat mata Topec sakit. Ia memejamkan mata dan tidak tahu ke mana Angin Utara membawanya terbang. Entah berapa lama Topec melayang di udara. Ia kemudian merasakan tubuhnya turun melewati lapisan yang dingin, lembut, dan membuatnya mengantuk. Topec tertidur pulas ketika tubuhnya sampai di atas tanah. Keesokan harinya Topec terbangun dengan badan pegal-pegal. Ia belum sepenuhnya sadar. Topec kemudian berusaha berdiri, berjalan tertatih-tatih ke arah Pohon Carob, dan menyandarkan dirinya di sana. 

“Pohon yang rindang, angin yang bertiup sepoi-sepoi, sungguh sangat menyenangkan berteduh di bawah pohon ini,” kata Topec dalam hati. 

“Tapi bukankah ini musim kemarau yang sangat panas. Tiada pohon yang bisa hidup sebesar ini! Jangan-jangan, ini Pohon Carob! Pohon besar yang sering diceritakan oleh para tetua!” lanjut Topec.

Ia kemudian berdiri, berbalik, dan berjalan mundur untuk melihat pohon itu lebih jelas! 

“Pohon Carob! Apakah ini benar kau, Pohon Carob?” tanya Topec dengan setengah berteriak. 

“Benar, Adik Kecil! Aku adalah Pohon Carob,” jawab Pohon Carob dengan lembut. “Para tetua sukuku sering menceritakan tentang dirimu. Aku kira kau hanyalah dongeng pengantar tidur,” kata Topec. 

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang lembut. 

“Aku sangat nyata, Adik Kecil!” jawab Pohon Carob. 

Topec tersenyum malu mendengar jawaban Pohon Carob. 

“Adik Kecil, apa yang membuatmu pergi jauh dari desamu dan bersusah payah berjalan di bawah terik matahari?” tanya Pohon Carob. 

“Aku mencari Hujan. Ia sudah lama tidak turun ke bumi. Aku khawatir ia lupa arah ke bumi atau tersesat entah ke mana,” jawab Topec. 

“Topec, Hujan tidak salah arah atau lupa jalan menuju bumi,” jawab Pohon Carob.

“Ia bahkan juga bertanya-tanya kenapa tidak diperintahkan berkunjung ke bumi,” lanjutnya. 

“Kenapa para dewa tidak memerintahkan Hujan turun ke bumi? Bukankah kami telah memanjatkan doa? Apakah para dewa sudah tidak memedulikan manusia dan mahluk bumi lainnya?” tanya Topec dengan sengit. 

“Topec, janganlah berburuk sangka dengan para dewa,” kata Pohon Carob dengan lembut. 

“Beberapa bulan terakhir, ada seekor burung raksasa dari Dunia Kegelapan sedang hinggap di salah satu dahanku. Sayapnya besar dan lebar, membentang dari ujung langit hingga ujung langit satunya,” jelas Pohon Carob. 

“Hal itulah yang menyebabkan semua doa mahluk di bumi tidak dapat sampai ke langit. Begitu juga para dewa tidak dapat melihat secara jelas ke bumi,” lanjut Pohon Carob. 

“Para dewa tidak tahu bumi sedang kekeringan. Mereka hanya melihat warna hitam yang menyelimuti bumi dan menganggapnya sebagai awan hujan,” tambah Pohon Carob. 

“Jadi ini semua hanya karena burung raksasa dari Dunia Kegelapan! Sekarang tunjukkan di dahan mana ia bertengger, Pohon Carob! Aku akan membunuhnya!” teriak Topec dengan penuh amarah. 

“Tenanglah, Adik Kecil! Tenanglah!” kata Pohon Carob. 

“Kau tidak dapat membunuh burung raksasa dari Dunia Kegelapan itu! Ia mempunyai derajat seperti dewa, jadi hanya dewa yang bisa membunuhnya, bukan manusia,” jelas Pohon Carob. 

Topec nampak kesal mendengar penjelasan Pohon Carob. Tangannya dikepal-kepalkan dan meninju-ninju udara. 

“Kalau burung raksasa itu tidak bisa mati maka mahluk bumi yang akan mati,” kata Topec dengan geram. 

“Adik Kecil, tenanglah! Kau nampak lelah. Beristirahatlah sejenak di bawah naunganku. Minumlah air yang mengalir dari akar-akarku,” kata Pohon Carob. 

“Bagaimana aku bisa berisitirahat jika manusia dan mahluk bumi lainnya di ambang kematian,” kata Topec. 

“Adik Kecil, aku akan berbagi suatu rahasia denganmu. Rahasia ini menyangkut burung raksasa itu. Hanya saja aku tidak dapat mengatakannya langsung kepadamu karena burung itu juga dapat mendengar pembicaraan kita,” kata Pohon Carob setengah berbisik. 

Topec mengangguk tanda mengerti. 

“Ketika malam datang, aku akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu. Perhatikan baik-baik apa yang aku nyanyikan. Setelah itu kau sampaikan apa yang kau dengar kepada penduduk desamu,” tambah Pohon Carob. 

Malam datang dan Topec mendengarkan baik-baik apa yang dinyanyikan oleh Pohon Carob. 

"Saat cahaya bulan dibagi" 

"Burung besar akan tertidur lagi" 

"Di dahan yang paling tinggi"

"Datanglah sebelum pagi" 

"Untuk mengusirnya pergi" 

Topec bergegas pulang. 

“Aku harus menceritakan syair Pohon Carob ini kepada penduduk desa,” kata Topec dalam hati.

“Aku punya sebuah rencana tetapi tidak dapat kulakukan sendiri. Aku harus meminta bantuan penduduk desa,” lanjutnya.

Topec terus berlari hingga sampai di desanya. Keesokan malamnya, burung raksasa dari Dunia Kegelapan hinggap di salah satu dahan Pohon Carob. Ia meregangkan sayapnya ke atas sampai otot-ototnya terasa lemas. Burung raksasa itu kemudian melipat sayapnya dan tidur dengan nyenyak. Benar-benar sesuai dengan syair dari Pohon Carob. Tepat tengah malam, terlihat titik-titik cahaya yang bergerak teratur menuju pohon Carob. Rupanya itu adalah Topec dan penduduk desanya yang berjalan beriringan dengan membawa obor dan alat musik. Topec memimpin penduduk desanya menuju tempat Pohon Carob. 

Ketika hampir sampai, Topec berkata, “Sekarang waktunya! Pukullah drum kalian sekeras-kerasnya! Tiuplah terompet kalian sekuat-kuatnya! Berteriaklah sekeras-kerasnya! Buatlah kegaduhan hingga bumi ini berguncang.”

“Boom... boom... boom...”

 “Tet... tet… tet... tet ...”

“Auoooo... auooo... auooo...”

Para penggembala llamas memukul genderangnya sekuat tenaga sambil berteriak-teriak. Beberapa orang meniup terompet dengan penuh tenaga. Mereka memutari pohon Carob dengan penuh kegaduhan. Tiba-tiba batang pohon Pohon Carob bergetar hebat. Beberapa daunnya berjatuhan ke tanah. Pohon Carob seakan-akan diserang badai yang sangat hebat. Penduduk desa berhenti berjalan dan terdiam melihat kejadian itu. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan teriakan Topec. 

“Kenapa kalian berhenti? Ayo kembali berjalan! Ayo kembali buat keramaian yang lebih keras. Lebih keras dan lebih keras lagi!” teriak Topec sambil memukul drumnya keras-keras. 

“Apa pun yang terjadi, jangan pernah berhenti membuat kegaduhan sampai burung raksasa yang jahat itu pergi dari Pohon Carob,” lanjutnya. 

Penduduk desa kembali membuat kegaduhan. Kali ini mereka juga dibantu oleh hewan-hewan penghuni pampas. Binatang-binatang mengeluarkan jeritan melengking sambil berlompatan dan berlarian ke sana kemari. Benar-benar memekakan telinga! Terdengar suara desisan dengan napas yang berat dari atas Pohon Carob. 

“Yap...yap...yeow! Yap...yap...yeow!” 

Rupanya burung raksasa dari Dunia Kegelapan itu ketakutan dengan suara-suara yang dibuat oleh penduduk desa Topec dan binatang-binatang lainnya. 

“Au-auk! Au-auk! Au-auk!” teriak burung raksasa dari Dunia Kegelapan ketakutan. Ia kemudian mulai mengepakkan sayapnya dan pergi ke bulan.

Topec, penduduk desa dan para binatang berteriak kegirangan melihat kepergian burung raksasa dari Dunia Kegelapan itu. Setelah keadaan mulai tenang, seorang tetua memimpin Topec dan penduduk lainya berdoa meminta turunnya hujan. 

"Dewa Langit, kasihanilah kami!” 

"Pachamama, kasihanilah kami!" 

"Pampero, dengarkan dan kabulkan doa kami!" 

"Dewi Hujan, dengarkan dan kabulkan doa kami!" 

Tiba-tiba terdengar gemuruh dari langit. Kilat saling sambar menyambar. Awan tebal datang bergulung-gulung, menjadi satu, dan akhirnya ... hujan! Hujan turun sepanjang malam di pampas. Ia mengisi sungai-sungai dan danau-danau yang telah lama kekeringan. Hujan juga mengubah rumput-rumput yang dahulu berwarna cokelat menjadi hijau. Suhu udara juga mulai sejuk dan nyaman. Keesokan paginya, saat matahari terbit dan sinarnya membersihkan awan-awan di langit, Pohon Carob bergetar hebat. Dahan-dahannya menjatuhkan biji-biji kacang yang berwarna merah keemasan. Topec dan para penduduk desa terkejut melihat hal tersebut. 

“Pohon Carob, apa yang terjadi denganmu? Apakah engkau sakit?” tanya Topec cemas. 

“Aku baik-baik saja, Adik Kecil!” jawab Pohon Carob. 

“Lalu mengapa kau jatuhkan biji-biji milikmu ini?” tanya Topec keheranan. 

“Adik Kecil, biji-biji kacang yang berwarna merah keemasan itu adalah hadiah dariku untuk keberanian dan kerja kerasmu,” jawab Pohon Carob. 

“Biji-bijian itu memiliki banyak sekali kegunaan. Kau bisa menggunakan biji-biji kacang itu sebagai pakan ternak llama,” jelas Pohon Carob. 

“Kau juga bisa menggiling biji-biji kacang menjadi tepung dan membuatnya menjadi bubur dan kue,” lanjut Pohon Carob. 

“Kau juga bisa menanamnya di semua tempat sehingga akan ada banyak Pohon Carob yang tumbuh,” tambah Pohon Carob. 

Topec tersenyum mendengar penjelasan Pohon Carob. 

“Terima kasih, Pohon Carob.” 

***
Risa selesai membaca bukunya.

"Cerita bagus asal dari Argentina," kata Risa.

Risa menutup buku dan menaruh buku di meja.

"Nonton Tv ah!" kata Risa.

Risa beranjak dari duduknya di ruang tamu ke ruang tengah. Duduklah dengan baik Risa di ruang tengah, ya mengambil remot di meja dan segera menghidupkan Tv. Acara Tv yang di tonton acara musik dangdut. 

"Musik dangdut bagus," kata Risa.

Risa menaruh remot di meja. Acara Tv yang di tonton Risa berjalan dengan baik.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK