CAMPUR ADUK

Saturday, July 31, 2021

NINFA DAN PANGERAN BERUANG

Bella selesai mengerjakan tugas kuliahnya. Bella keluar dari kamarnya dan duduk di ruang tengah. Ada buku di meja dan segera di ambil Bella dan di baca dengan baik buku tersebut.

Isi buku yang di baca Bella :

Carlos adalah seorang pria penebang kayu yang miskin. Ia hidup bersama tiga orang putrinya di pinggiran desa. Setiap hari, Carlos pergi menebang kayu ke hutan dan  menjualnya kepada penduduk desa yang membutuhkan kayu bakar. Akan tetapi, sekarang beberapa pohon tua di tepi hutan semakin sedikit. Carlos pun harus mulai pergi ke tengah hutan untuk mendapatkan pohon tua. Carlos tak ingin menebang pohon-pohon yang masih tumbuh baik di tepi hutan karena penduduk desa membutuhkannya untuk menahan air hujan.

Suatu hari, Carlos memutuskan untuk pergi ke tengah hutan. Ia mendapatkan pohon tua yang bisa ia tebang. Namun, saat mengayunkan kapaknya, Carlos dikejutkan oleh raungan seekor beruang. Beruang itu menghampiri Carlos dan merampas kapaknya dengan cepat.

“Siapa yang mengizinkanmu menebang pohon ini, Pria Tua? Kau telah mencuri kayuku. Kau harus menebusnya dengan nyawamu!” beruang itu berteriak, marah.

Carlos gemetar karena ketakutan. Sejak awal, ia tahu jika risiko ini bisa terjadi padanya. Ia sudah pernah mendengar cerita penduduk desa tentang beruang yang bisa berbicara ini. Mereka menyebutnya Senor Oso.             

“Ampuni saya, Senor Oso. Saya hanya mengambil kayu sekadarnya untuk dijual. Saya harus menghidupi ketiga putri saya. Tolong, jangan bunuh saya. Putri-putri saya akan terlantar dan kelaparan bila saya tak kembali,” pinta Carlos, mengiba.

Beruang itu merasa kasihan pada Carlos. Ia mengurungkan niatnya untuk memberi hukuman pada Carlos dan segera mengembalikan kapaknya. Carlos bergegas pergi keluar hutan, tetapi Senor Oso mencegahnya.

“Tunggu, Pria Tua! Aku mau mengampunimu, tapi ada syaratnya,” seru beruang itu tiba-tiba.

Langkah Carlos ikut terhenti. 

“Apa syaratnya, Senor?”

“Serahkan salah satu putrimu untuk menikah denganku,” pintanya, tegas.

Carlos terkejut mendengar permintaan Senor Oso. Ia begitu menyayangi putri-putrinya. Ia tak mungkin menyerahkan salah satu putrinya kepada beruang kasar seperti Senor Oso. Tetapi Carlos, si penebang kayu, tak punya pilihan.

“Baik, Senor Oso,” Carlos berkata pasrah.

“Bawalah ia kemari, besok pagi. Kalau kau tidak datang, aku yang akan menjemputnya ke rumahmu,” ancam Senor Oso.

Beruang itu pun membiarkan Carlos pergi. Carlos kembali ke rumah dengan langkah gontai. Sesampai di rumah, ia mengumpulkan ketiga putrinya. Mereka adalah Nina si sulung, Nisia si tengah, dan Ninfa si bungsu. Carlos menceritakan apa yang ia alami di hutan kepada mereka dengan berat hati. Ia meminta kerelaan hati salah satu putrinya untuk menikah dengan Senor Oso.

“Ayah, bagaimana mungkin kau menyerahkan kami pada beruang seram itu?” ujar Nina tak terima.

“Ya, Ayah. Aku setuju dengan Kakak. Masa beruang mau menikah dengan manusia?” Nisia menimpali.

“Ayah tak punya pilihan, Sayang. Kalau ayah tak membawa salah satu dari kalian kepadanya, ia akan datang ke sini menjemput kalian. Ayah juga tak ingin kehilangan seorang pun dari kalian,” Carlos berkata, penuh kesedihan.

“Ayah, tenanglah. Demi ayah dan kakak-kakak tercinta, aku mau menikah dengan Senor Oso,” si bungsu menyahut, pelan. Keputusan si bungsu membuat ayah dan kedua kakaknya terkejut.

Ninfa, si bungsu memang yang termuda dan tercantik di antara mereka. Selain itu, Ninfa berhati baik dan paling perhatian pada Carlos. Carlos merasa sangat berat melepaskan putri kesayangannya untuk Senor Oso.

“Adik, kau yakin? Apa kau tak takut dengan beruang itu?” tanya Nisia, memastikan.

“Aku tidak apa-apa, Kakak. Tapi, aku harap kalian mau merawat ayah dengan baik jika aku tak lagi di sini,” pinta Ninfa.

“Baiklah, Ayah. Sekarang ayah sudah mendapat calon istri untuk Senor Oso,” tukas Nina.

Ia merasa senang karena bukan dirinya yang harus mengorbankan diri. Keesokan harinya, Carlos membawa Ninfa menemui Senor Oso. Senor oso sudah tampak menunggu kedatangan mereka di tengah hutan. Dia juga terlihat senang saat melihat Ninfa yang cantik. 

“Senor Oso, ini putriku, Ninfa. Ia bersedia menikah denganmu, tapi tolong perlakukan ia dengan baik,” pinta Carlos, berat.

“Baiklah. Sekarang tinggalkan Ninfa di sini. Siang nanti, bawalah penghulu untuk menikahkan kami,” kata Senor Oso dengan suara besarnya.

Carlos pun kembali ke desa, menemui penghulu. Siang itu, ia membawa penghulu ke hutan untuk menikahkan Senor Oso dan Ninfa. Nina dan Nisia ikut dengan ayahnya untuk menyaksikan pernikahan adik mereka. Setelah pernikahan itu usai, mereka meninggalkan Ninfa di hutan bersama dengan Senor Oso. Saat hari mulai gelap, Senor Oso membawa Ninfa ke gua, tempat tinggalnya. Ninfa tercengang, tak menyangka jika di gua itu ada perabotan manusia. Ninfa kemudian mendengar Senor Oso menyanyikan sebuah kidung.

“Beruang berbulu, beruang menyeramkan. Berubah menjadi pangeran tampan dan menawan.” 

Senor Oso mengulangi syair itu sampai tiga kali. Tiba-tiba, dia berubah menjadi seorang lelaki tampan. Pakaiannya seperti seorang pangeran. Ninfa benar-benar terkejut. Senor Oso menghampiri Ninfa, “Ninfa, sebenarnya aku adalah seorang pangeran dari Istana Creencia. Namun, penyihir jahat telah mengutukku menjadi beruang. Aku bisa kembali menjadi manusia saat malam datang,” Senor Oso mulai menjelaskan asal usulnya.

“Aku akan melakukan apapun yang kau inginkan agar kau tetap tinggal denganku di sini. Tapi, aku hanya minta supaya kau tak menceritakan rahasiaku ini pada siapa pun,” pinta Senor Oso pada Ninfa.

“Baik, Senor Oso. Aku berjanji.”

Ninfa mengangguk. Ia tak menyesali pernikahannya dengan beruang yang ternyata pangeran itu. Ia mulai menyukai Pangeran Oso. Saat pagi datang dan matahari naik ke langit, Ninfa melihat suaminya turun dari tempat tidur dan menyanyikan kidung lagi. 

“Pangeran tampan, pangeran menawan. Berubah menjadi beruang berbulu yang mengerikan.”

Dalam sekejap, Pangeran Oso berubah lagi menjadi beruang. Selama berbulan-bulan, Ninfa menjalani hari-harinya bersama Senor Oso di hutan. Ia merasa bahagia karena Senor Oso mencukupi segala kebutuhan mereka. Senor Oso juga memberikan pakaian yang mahal dan perhiasan yang indah padanya. Namun, Ninfa merasa rindu pada keluarganya. Ia ingin menjenguk ayahnya. 

“Senor Oso, aku telah melalui hari-hari yang panjang bersamamu. Aku tidak punya teman bicara selain dirimu. Bolehkah aku pergi ke desa menengok ayahku?”

“Apa selama ini kau tidak bahagia bersamaku?” tanya Senor Oso.

“Bukan begitu, Senor Oso. Aku senang bersamamu di sini. Aku hanya rindu pada ayahku. Aku mohon, izinkanlah aku pergi sebentar saja,” rajuk Ninfa. 

“Aku akan berangkat pagi-pagi dan pulang sebelum petang. Aku berjanji tak akan mengungkapkan rahasia Anda pada siapa pun,” lanjut Ninfa, berusaha meyakinkan suaminya.

Senor Oso mengangguk, memberikan izin padanya. Pada hari yang direncanakan, Ninfa kembali ke desa. Ia sangat bahagia bisa berjumpa lagi dengan ayah dan kedua kakaknya. Mereka menyambut Ninfa dengan gembira. Mereka juga heran melihat Ninfa datang dengan pakaian yang indah dan perhiasan yang mewah. 

“Senor Oso tampaknya memperlakukanmu dengan baik, Ninfa,” ujar Nisia dengan nada menyindir.

“Ya, Kakak. Dia memang sangat baik,” balas Ninfa. 

“Ayah senang melihatmu, Sayang. Sepertinya kau bahagia hidup dengan Senor Oso,” Carlos berkata, sembari membelai rambut putrinya.

“Tapi, kau sudah mempermalukan ayah dengan menikahi seekor beruang, Ninfa,” ejek Nina lagi.

Ia benar-benar iri melihat keadaan Ninfa. Ninfa berusaha tak menanggapi sindiran kedua kakaknya. Mereka menceritakan banyak hal untuk melepas rindu. Namun, sindiran dan ejekan kedua kakaknya yang tak henti membuat Ninfa marah. Ia pun mengungkapkan rahasia Senor Oso pada kedua kakaknya. 

“Ninfa, apa kau tak bisa melakukan sesuatu untuk membuat Senor Oso tetap menjadi manusia?” tanya Nisia, penasaran.

Ninfa menggeleng, “Aku tak bisa. Aku tak tahu caranya, Kak.”

“Ehmmm, aku akan memberitahumu caranya. Malam ini buatlah ia mabuk. Saat ia tidur, ikatlah Senor Oso dan sumbat mulutnya. Begitu pagi datang, ia tak akan bisa mengucapkan mantranya dan ia akan berubah menjadi manusia selamanya,” usul Nina.

Ninfa ragu untuk menuruti nasihat kakaknya atau membiarkan pangeran dalam kutukannya. Ninfa tak pernah tahu risiko yang akan ia dapatkan jika menggunakan cara licik untuk membuat Senor Oso tetap menjadi manusia. Tapi Ninfa berpikir, seandainya Senor Oso berubah menjadi manusia seterusnya, ia dan Senor Oso bisa tinggal di desa dan tak perlu mengasingkan diri di hutan lagi. Sepulang dari desa, Ninfa menjalankan rencana yang disarankan oleh kakaknya. Ia mengikat Senor Oso dan menyumpal mulutnya saat suaminya tertidur. Ketika pagi tiba, Senor Oso terbangun dan sangat terkejut. Ia tak dapat mengucapkan kidung mantranya. Setelah matahari mulai meninggi, Ninfa melepas ikatan dan sumpal Senor Oso.             

“Ninfa, apa yang telah kau lakukan? Tindakanmu ini akan menghancurkan kebahagiaan kita,” ucap Senor Oso, marah.

“Maafkan aku, Suamiku. Aku hanya ingin membantumu menjadi manusia seterusnya,” ujar Ninfa ketakutan.

“Tapi caramu salah, Ninfa. Harusnya kau bersabar. Tak lama lagi, setelah satu tahun pernikahan kita, kutukan penyihir jahat padaku akan musnah. Tapi, yang kau lakukan ini justru membuatku kembali ke dalam pengaruh penyihir itu.” Ninfa mendekati suaminya dan memeluk kakinya, meminta pengampunan.

“Terlambat, Ninfa. Sebentar lagi kau tak akan bisa menemukanku lagi kecuali kau bisa sampai ke Istana Creencia.”

Selesai berkata demikian, Senor Oso menghilang. Ninfa menangis dan menyesal. Ia tak mengira jika tindakannya justru membuatnya kehilangan suami yang dicintainya. Ninfa kemudian bertekad pergi ke Istana Creencia, untuk bersatu lagi dengan suaminya. Ninfa membawa beberapa helai pakaian, makanan, dan sebilah pisau untuk menjaga diri. Ia lalu memulai pencariannya dengan masuk lebih dalam ke tengah hutan. Ia pernah mendengar jika di sana tinggal para penyihir. Ia berharap bisa mendapatkan petunjuk di mana Istana Creencia berada. 

“Ninfa, apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang pria yang sedang membelah kayu.

Ninfa mengenali pria itu. Ia adalah Gandalf, seorang penebang kayu. Gandalf bukan penduduk desa, tapi ia sering menemani ayahnya di hutan. Ninfa pernah bertemu sekali dengannya.

“Oh, Gandalf, aku sedang mencari Istana Creencia. Apa kau pernah mendengarnya?”

“Untuk apa kau ke sana? Istana Creencia sedang dikuasai oleh penyihir jahat.”

“Kau tahu tentang penyihir itu?” tanya Ninfa.

Gandalf meletakkan kapaknya. 

“Ya. Aku juga seorang penyihir, Ninfa. Tapi, aku bukan penyihir jahat.”

Ninfa terkejut mendengar penuturan Gandalf, “Jadi, tengah hutan ini memang tempat tinggal para penyihir?” tanya Ninfa.

“Ya. Sayangnya, aku tak tahu di mana Istana Creencia. Coba kau temui ayahku. Mungkin ia tahu. Kau ikuti saja jalan setapak ini. Rumah kayu pertama yang kau temui adalah rumah ayahku,” Gandalf menjelaskan, sambil menunjuk jalan setapak di depannya.

“Apakah dia tidak jahat?” Ninfa bertanya, takut-takut.

Gandalf tersenyum, “Tidak. Dia pria yang ramah.” 

Ninfa ikut tersenyum. Dia pun berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Gandalf. Sebelum Ninfa pergi, Gandalf memberikan sebutir kacang ajaib untuknya, “Ninfa, simpanlah ini. Gunakanlah saat kau dalam kesulitan nanti,” ucap Gandalf. 

Ninfa meneruskan perjalanannya. Tak lama kemudian, ia telah menemukan rumah ayah Gandalf. Ia mengetuk pintu, sopan. Seorang lelaki tua dengan jenggot panjang berwarna putih keemasan menyambutnya dengan senyum. Ninfa segera mengutarakan maksudnya. 

“Maafkan aku, Ninfa. Aku pun tak tahu. Coba kau temui kakakku. Mungkin, ia tahu. Ikutilah jalan setapak yang kau lewati tadi. Rumah kayu pertama yang kau temui adalah rumah kakak tertuaku.”

Ninfa mengucapkan terima kasih. Pria tua itu juga memberi Ninfa sebutir kacang ajaib. Ninfa terus berjalan dan menemukan rumah paman tertua Gandalf. Ia disambut dengan ramah di rumah itu. Tanpa menunggu lama, Ninfa segera menanyakan apa yang dia cari. Namun, penyihir itu juga tidak tahu pasti di mana Istana Creencia. 

“Coba kau datang ke rumah Luna, penyihir bulan. Tapi, kau harus berhati-hati karena ia seorang pemarah. Ambilah kacang ajaib ini dan gunakanlah saat kau berada dalam kesulitan,” ujar paman tertua Gandalf, sambil menunjukkan arah jalan ke rumah Luna.

Ninfa meneruskan perjalanannya. Meski sudah sangat lelah, ia segera bergegas. Ia baru tiba di rumah Luna saat hari sudah malam. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati. Seorang wanita tua bertubuh gemuk membukakan pintu untuknya. Ia adalah pelayan Luna. 

“Putri cantik, siapa kau? Untuk apa datang malam-malam ke sini? Jika Luna menemukanmu, ia bisa memakanmu.” Ninfa terkejut.

Ia tak tahu kalau Luna suka makan manusia. Ninfa pun segera menyampaikan tujuannya menemui Luna. 

“Aku akan membantumu. Kau sembunyi saja di dekat perapian. Begitu Luna datang, aku akan menanyakannya sehingga kau tahu jawabannya,” wanita tua itu mengusulkan.

Ninfa segera berterima kasih padanya. Menjelang fajar, Luna baru tiba di rumah. Ia masuk ke dapur dan mencium bau manusia. 

“Ada manusia di sini. Di mana dia? Serahkan padaku atau kau yang kusantap!” bentak Luna pada pelayannya.

“Anda ini terlalu lelah, Nyonya. Aku hanya sedang memanggang kalkun untuk makan malammu. Kemarilah, saya akan menghidangkannya untuk Anda,” kilah pelayan itu.

Luna duduk dan menyantap makanannya dengan lahap. Pelayan wanita itu mulai bertanya, memancing Luna. 

“Nyoya, tadi seekor burung hantu singgah dan aku bercakap-cakap dengannya. Ia mendengar tentang Istana Creencia. Apa Anda tahu di mana istana itu berada?”

“Hmmm, aku tidak tahu. Tapi, sepertinya de Sol tahu letak istana itu,” jawab Luna di tengah suapannya.

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Luna lalu beranjak tidur. Pelayan Luna segera menyuruh Ninfa pergi. Ia menunjukkan arah tempat tinggal de Sol, penyihir matahari. De Sol bukan penyihir yang ramah, tapi ia bukan pemakan manusia. Ninfa melanjutkan perjalanannya. Dia tak menyangka jika rumah de Sol sangat jauh. Ninfa sudah berjalan dari pagi, namun ia baru tiba di sana menjelang sore. Ninfa segera mengetuk pintu rumah de Sol.

“Astaga! Sedang apa kau di sini gadis cantik? Kalau de Sol menemukanmu dia bisa membakarmu sampai hangus,” ucap wanita tua yang membukakan pintu rumah de Sol.

Sepertinya, ia adalah pelayan de Sol. Pelayan itu menyuruh Ninfa masuk. Ninfa langsung menangis. Ia lelah dan hampir putus asa. Ia menceritakan perjalanan panjangnya hingga sampai ke rumah de Sol. Wanita tua itu iba padanya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba, cahaya memenuhi ruangan itu. Tak berapa lama, de Sol masuk dan menemukan Ninfa di dalam rumahnya. 

“Siapa kau?” tanya de Sol, ketus. 

Ninfa menghapus air matanya. Ia lalu menceritakan siapa dirinya dan maksud kedatangannya menemui de Sol. Hari itu, Ninfa sungguh beruntung karena cuaca yang cerah dan tak berawan membuat hati de Sol senang. 

“Aku tahu di mana Istana Creencia,” kata de Sol. Ninfa tersenyum penuh harap.

“Tapi, letaknya sangat jauh dari sini. Aku tak bisa mengantarkanmu, Ninfa. Aku tak boleh pergi ke mana-mana bila hari sudah gelap. Mintalah bantuan pada El Aire, penyihir angin. Dia adalah sahabatku. Kau katakan saja jika aku yang menyuruhmu menemuinya. Dia bisa mengantarmu ke Istana Creencia,” ucap de Sol, sambil menunjukkan rumah El Aire. Setelah mengucapkan terima kasih, Ninfa segera mencari rumah El Aire, yang terletak tak jauh dari rumah de Sol. Ninfa dapat menemukannya dengan sepat. Ia pun mengetuk rumah El Aire.

“Siapa itu? Masuklah,” seru sebuah suara dari dalam rumah.

Ninfa membuka pintu dan menemukan El Aire sedang duduk minum teh di kursinya. 

“Saya Ninfa, Tuan. Tuan de Sol mengutus saya menemui Anda.”

Ninfa lalu menceritakan semua hal yang dia alami.

“Aku bersedia membantumu, Ninfa. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke sana,” kata El Aire.

Ninfa berbinar senang mendengar perkataan El Aire. El Aire lalu mengajak Ninfa naik ke sebongkah awan. Awan itu melesat cepat di udara, sehingga Ninfa harus berpegangan erat pada jubah El Aire yang berkibar-kibar. Tak berapa lama kemudian mereka sudah berhenti. 

“Kita sudah sampai, Ninfa. Sepertinya, istana sedang mengadakan pesta. Kau harus berhati-hati, Ninfa. Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini,” nasihat El Aire.

Ninfa bergegas turun dari awan dan mengucapkan terima kasih pada El Aire. Dugaan El Aire ternyata benar. Istana sedang mengadakan sebuah pesta besar. Seluruh istana terlihat begitu terang benderang. Suara biola dan gitar mengalun merdu dari dalam. Ninfa mengetuk pintu gerbang istana, dan seorang penjaga keluar menemuinya. 

“Apa yang bisa kubantu, Nona?” tanya penjaga gerbang.

“Saya ingin bertemu Pangeran,” jawab Ninfa.

“Apakah Anda membawa undangan pesta?” tanya penjaga lagi.

 Ninfa menggeleng.

“Kalau begitu maafkan saya. Saya tak bisa mengizinkan Anda masuk. Di dalam sedang ada pesta dansa untuk merayakan pernikahan Pangeran.”

“Aku mohon, Penjaga. Aku hanya ingin melihat pesta dansa Pangeran,” pinta Ninfa.

Penjaga itu tampak berpikir-pikir. 

“Kalau begitu, masuklah, Nona. Tetapi Anda harus berhati-hati, jangan sampai pengantin wanita melihat Anda. Ia akan marah karena Anda bukan tamu yang ia undang,” pesan penjaga gerbang.

Ninfa menyelinap ke dalam istana. Dari kejauhan, ia melihat pangeran yang tak lain adalah Senor Oso, suaminya. Senor Oso sedang duduk di meja makan bersama para tamu. Ninfa memilih bersembunyi di dekat tiang besar, dan berusaha menarik perhatian Senor Oso dari situ. Akan tetapi, Senor Oso tak melihat gadis malang itu dan justru si pengantin wanita yang melihatnya. Pengantin wanita itu menyadari kehadiran Ninfa dan segera menyuruh pengawal istana mengusirnya dari istana. Pengantin wanita itu adalah penyihir yang mengutuk Senor Oso. Kini, ia menyihir Senor Oso untuk mau menikah dengannya. Pengawal istana berusaha membawa Ninfa keluar. Namun, Ninfa meronta-ronta, mencoba untuk meloloskan diri. Suasana pesta menjadi gaduh. Senor Oso yang mendengar kegaduhan itu segera melihat apa yang terjadi. Ia pun bertemu dengan Ninfa dan mengingat semua yang telah terjadi.

“Lepaskan dia!” perintah Senor Oso. 

“Jangan! Bawa pengemis itu keluar!” teriak penyihir wanita.

Pengawal tampak bingung menghadapi dua perintah yang berbeda. Ninfa yang menyadari kelengahan para pengawal, segera memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Dia memecahkan kacang ajaib dari Gandalf. Dalam sekejap, ia berubah menjadi tikus kecil. Ninfa berlari ke sana ke mari, menghindari kejaran para pengawal. Kejadian itu membuat penyihir jahat mengubah dirinya menjadi seekor kucing. Ia mengejar Ninfa yang berlari naik ke meja makan. Keadaan Ninfa semakin terjepit. Ia lalu mengeluarkan kacang ajaib dari ayah Gandalf. Begitu ia memecahkan kacangnya, Ninfa berubah menjadi sebutir nasi. 

Penyihir jahat kebingungan mencari Ninfa di antara butiran nasi yang begitu banyak. Ia kemudian berubah menjadi ayam dan mematuki nasi-nasi di meja. Ninfa kebingungan. Ia tak tahu harus berbuat apa karena kacang ajaibnya tinggal satu. Ia pun memecahkan kacang ajaib itu. Ninfa menjelma menjadi seekor serigala. Ninfa segera meloncat menerkam penyihir jahat itu sebelum dia sempat berubah lagi. Penyihir jahat yang masih berwujud ayam pun terluka dan tewas. Tak berapa lama, Ninfa berubah wujud menjadi manusia. Ia terkulai lemas. 

“Ninfa, apa kau terluka?” tanya Senor Oso.

Ia segera menghampiri Ninfa.

“Senor Oso, maafkan saya. Maukah Anda menerima saya kembali?” pinta Ninfa.

Matanya tampak berkaca-kaca menatap suaminya. Senor Oso tertegun, tak menyangka Ninfa akan sampai ke istananya. Ninfa bahkan telah mengalahkan pernyihir jahat, membebaskannya dari kutukan, dan menyelamatkan dirinya dari pengaruh sihir. Senor Oso berhutang banyak pada Ninfa, istri yang sangat dicintainya. 

“Aku memaafkanmu, Ninfa. Kembalilah ke sisiku. Kita akan memulai kehidupan baru kita di istana ini. Kita juga akan mengajak ayah dan saudara-saudaramu untuk tinggal bersama kita di sini,” ucap Senor Oso.

Ninfa merasa lega dan bahagia mendengar ucapan Senor Oso. Pengorbanan Ninfa tak berakhir sia-sia. Ia sudah menebus kesalahannya pada Senor Oso. Kini, ia bisa berkumpul kembali dengan ayah dan kedua kakaknya dan hidup bahagia bersama mereka dan Senor Oso di Istana Creencia. 

***
Bella selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus asal dari Meksiko," kata Bella.

Bella menutup bukunya dan menaruh buku di meja dengan baik.

"Waktunya memasak," kata Bella.

Bella beranjak dari duduknya di ruang tengah, ya ke dapur untuk memasak makan yang enak untuk dirinya, adiknya dan orang tuanya.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK