PINTU yang berat itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke dalam gedung akuarium. Keduanya berpakaian cara Barat; yang tua dahulu sekali masuk memakai jurk' tobralko putih bersehaja yang berbunga biru kecil-kecil. Rambutnya bersanggul model Sala, berat bergantung pada kuduknya. Yang muda, yang lena mengiring dari belakang, memakai rok pual sutra yang coklat warnanya serta belus pual sutra yang kekuning kuningan. Tangan belus itu yang panjang terbuat dari georgette yang halus' berkerut-kerut, mengembang di pergelangan tangan, sangat manis rupanya. Rambutnya yang lebat dan amat terjaga, teranyam berbelit-belit bergulung merupakan dua sanggul yang permai.
Gadis berdua itu adik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya. Meskipun muka, yang tua, yang tegap perawakannya, agak butat sedikit dan muka yang muda agak kepanjang-panjangan oleh karena ramping dan kecil badannya, garis mulut, hidung dan teristimewa mata keduanya nyata membayangkan mata keduanya nyata membayangkan persamaan yang hanya terdapat pada orang berdua bersaudara.
Tuti yang tertua antara dua saudara itu, telah dua puluh lima tahun usianya, sedang adiknya Maria baru dua puluh tahun. Mereka ialah anak Raden Wiriaatmaja, bekas wedana di daerah Banten, yang pada ketika itu hidup dengan pensiunnya di Jakarta bersama-sama kedua anaknya itu. Maria masih Murid H.B.S. Carpentier Alting Stichting kelas penghabisan dan Tuti menjadi guru pada sekolah H.I.S. Arjuna di Petojo.
Sekarang pada hari Minggu, kedua bersaudara itu pergi melihat-lihat aquarium di Pasar ikan. Pukul tujuh mereka telak bertolak dari rumah dan meskipun sepanjang jalan tadi mereka amat perlahan-lahan memutar sepedanya, merekalah tamu yang mula-mula sekali tiba di akuarium pagi-pagi itu.
"Lekas benar kita sampai ini," kata Maria agak kecewa, "lihatlah belum seorang juga lagi."
"Bukanlah lebih baik serupa itu ?" sahut kakaknya dengan suara yang tidak peduli, dan agak tetap dan tepat sedikit disambungnya, "Sekarang kita dapat melihat segalanya sekehendak hati kita, tak diusik-usik orang."
Maria tidak menyahut lagi, sebab matanya sudah tertarik oleh ikan kecil-kecil, berwarna-warna merah, kuning dan hitam, yang bermain-main di antara karang yang tersusun dalam kaca. Dan meskipun telah beberapa kali ia mengunjungi akuarium itu melihat ikan-ikan yang permain itu, sehingga keluarlah sekonyong-konyong dari mulutnya suara yang gembira, "Aduh, indah benar." Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya,
....
Perbedaan suara kedua gadis itu ketika itu terang menunjukkan perbedaan pekerti antara keduanya. Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu, bahwa ia pandai dan cakap dan banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya.
....
Yusuf adalah putra Demang Munaf di Martapura di Sumantra Selatan. Telah hampir lima tahun ia belajar pada Sekolah Tabib Tinggi.
....
Sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya senantiasa berbalik-balik saja kepada mereka. ....
Sekejab terperanjat ia mendengar suara itu lalu berpalinglah ia ke belakang dan nampak kepadanya Maria. ....
Maria telah menceritakan kepada Tuti, bahwa ia telah berjanji kepada Yusuf akan menjadi istrinya di kemudian hari. Kepada Tuti dan Rukamah nyata benar kelihatan perubahan pekerti Maria dalam waktu yang akhir ini. Percakapannya tentang Yusuf saja. Ingatanya sering tiada tentu. Sebentar-sebentar ia sudah duduk melamun, tiada bergerak-gerak, sedang matanya memandang ke hadapannya. Dalam percakapan waktu berjalan-jalan atau di tengah makan sering tertangkap Maria tiada mendengar becara orang lain.
Rukamah suka benar mengganggu saudara sepupunya itu. Meskipun sering juga Tuti turut tertawa mempermain-mainkan adiknya itu, tetapi biasanya tiadalah banyak katanya. Baginya Maria dalam keadaan mabuk asmara itu menjadi suatu soal yang sangat menarik hatinya dan hendak dipelajarinya. Payah ia memikirkan, betapa mungkin seganjil itu pekerti adiknya itu sejak ia bercinta-cintaan dengan Yusuf. ....
Sejak dari sudah makan pukul delapan tadi Tuti mengetik dalam kamarnya. Sedikit lagi ia harus mengerjakan persiapan laporan kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala yang terserah kepadanya. Di atas meja tulis yang penuh berserakah kertas terlah tinggi tertumpuk kertas bertik yang akan dicetak. ....
Sesungguhnya Tuti sudah sangat letih lahir dan batin. Dalam dua bulan ini, tak lain kerjanya daripada untuk perkumpulan. Mula-mula kongres Putri Sedar yang sangat banyak meminta tenaganya sebagai ketua cabang Jakarta yang harus mengatur kongres itu. Sudah itu kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala pula. Dalam seminggu di Bandung sejak ia pulang dari Sala, boleh dikatakan setiap hari sebagian yang terbesar daripada waktunya dipakianya untuk menyiapkan kongres. ....
Pada petang sabtu, Tuti duduk di sudut wagon kelas tiga kereta api pukul dua deari Bandung menuju ke Cianjur. Tidak banyak orang yang bersama-sama dengan dia ketika itu:
....
Ketika kereta api berangkat, Tuti tiadalah beberapa mengacuhkan orang-orang yang sama-sama duduk dengan dia. Haitinya masih penuh oleh kongres Putri Sedar. ..Selalu, tiap-tiap tahun, kongres tahunan perkumpulannya itu ialah puncak kegirangan hidup Tuti.
.....
Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja.
Baru benar ia tadi berpidato tentang pekerjaan perempuan baru dalam masyarakat. Diakuinya bahwa ada bedanya antara sifat-sifat rohani dan jasmani laki-laki dan perempuan, tetapi di sisi itu terutama sekali ditunjukkannya, bahwa lain daripada perbedaan itu amat banyak persamaan. Hingga sekarang orang terlampau banyak mengingat perbedaan sifat itu dan berdasarkan itu kepada perempuan diberikan orang pekerjaan yang sangat kecil lingkungannya, yaitu pekerjaan menyelenggarakan rumah dan mendidik anak. Dalam lingkungan pekerjaan yang demikian perempuan mesti, tiada boleh tidak menjadi bergantung kepada laki-laki. Kepada jiwanya tiada diberi kesempatan untuk tumbuh dengan sempurna, puncak kecerdasan dan kemajuan yang boleh dicapai oleh perempuan telah dibatasi. Oleh itulah maka berabad-abad perempuan takluk kepada laki-laki, dalam segala hal ia tergantung. Dan kecakapan perempuan yang tiada pernah diasah, tiada pernah diberi kesempatan yang sebaik-baiknya untuk tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada berdaya. Itulah sebabnya maka Putri Sedar berjuang merebut kesempatan yang sebesar-besarnya bagi perempuan untuk mengembangkan segala sifat dan segala kecakapan yang dikaruniakan oleh alam kepadanya, yang sebaik-baiknya untuk tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada berdaya, pekerjaan laki-laki, yang dapat dilakukan oleh perempuan. Dalam dunia pengetahuan, teknik, perdagangan, perempuan harus mengembangkan segala kecakapannya dan kesanggupannya. Kepada perempuan baru harus diberi gelanggang yang lebih lebar dari lingkungan rumah dan kerabatnya saja.
Gadis berdua itu adik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya. Meskipun muka, yang tua, yang tegap perawakannya, agak butat sedikit dan muka yang muda agak kepanjang-panjangan oleh karena ramping dan kecil badannya, garis mulut, hidung dan teristimewa mata keduanya nyata membayangkan mata keduanya nyata membayangkan persamaan yang hanya terdapat pada orang berdua bersaudara.
Tuti yang tertua antara dua saudara itu, telah dua puluh lima tahun usianya, sedang adiknya Maria baru dua puluh tahun. Mereka ialah anak Raden Wiriaatmaja, bekas wedana di daerah Banten, yang pada ketika itu hidup dengan pensiunnya di Jakarta bersama-sama kedua anaknya itu. Maria masih Murid H.B.S. Carpentier Alting Stichting kelas penghabisan dan Tuti menjadi guru pada sekolah H.I.S. Arjuna di Petojo.
Sekarang pada hari Minggu, kedua bersaudara itu pergi melihat-lihat aquarium di Pasar ikan. Pukul tujuh mereka telak bertolak dari rumah dan meskipun sepanjang jalan tadi mereka amat perlahan-lahan memutar sepedanya, merekalah tamu yang mula-mula sekali tiba di akuarium pagi-pagi itu.
"Lekas benar kita sampai ini," kata Maria agak kecewa, "lihatlah belum seorang juga lagi."
"Bukanlah lebih baik serupa itu ?" sahut kakaknya dengan suara yang tidak peduli, dan agak tetap dan tepat sedikit disambungnya, "Sekarang kita dapat melihat segalanya sekehendak hati kita, tak diusik-usik orang."
Maria tidak menyahut lagi, sebab matanya sudah tertarik oleh ikan kecil-kecil, berwarna-warna merah, kuning dan hitam, yang bermain-main di antara karang yang tersusun dalam kaca. Dan meskipun telah beberapa kali ia mengunjungi akuarium itu melihat ikan-ikan yang permain itu, sehingga keluarlah sekonyong-konyong dari mulutnya suara yang gembira, "Aduh, indah benar." Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya,
....
Perbedaan suara kedua gadis itu ketika itu terang menunjukkan perbedaan pekerti antara keduanya. Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu, bahwa ia pandai dan cakap dan banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya.
....
Yusuf adalah putra Demang Munaf di Martapura di Sumantra Selatan. Telah hampir lima tahun ia belajar pada Sekolah Tabib Tinggi.
....
Sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya senantiasa berbalik-balik saja kepada mereka. ....
Sekejab terperanjat ia mendengar suara itu lalu berpalinglah ia ke belakang dan nampak kepadanya Maria. ....
Maria telah menceritakan kepada Tuti, bahwa ia telah berjanji kepada Yusuf akan menjadi istrinya di kemudian hari. Kepada Tuti dan Rukamah nyata benar kelihatan perubahan pekerti Maria dalam waktu yang akhir ini. Percakapannya tentang Yusuf saja. Ingatanya sering tiada tentu. Sebentar-sebentar ia sudah duduk melamun, tiada bergerak-gerak, sedang matanya memandang ke hadapannya. Dalam percakapan waktu berjalan-jalan atau di tengah makan sering tertangkap Maria tiada mendengar becara orang lain.
Rukamah suka benar mengganggu saudara sepupunya itu. Meskipun sering juga Tuti turut tertawa mempermain-mainkan adiknya itu, tetapi biasanya tiadalah banyak katanya. Baginya Maria dalam keadaan mabuk asmara itu menjadi suatu soal yang sangat menarik hatinya dan hendak dipelajarinya. Payah ia memikirkan, betapa mungkin seganjil itu pekerti adiknya itu sejak ia bercinta-cintaan dengan Yusuf. ....
Sejak dari sudah makan pukul delapan tadi Tuti mengetik dalam kamarnya. Sedikit lagi ia harus mengerjakan persiapan laporan kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala yang terserah kepadanya. Di atas meja tulis yang penuh berserakah kertas terlah tinggi tertumpuk kertas bertik yang akan dicetak. ....
Sesungguhnya Tuti sudah sangat letih lahir dan batin. Dalam dua bulan ini, tak lain kerjanya daripada untuk perkumpulan. Mula-mula kongres Putri Sedar yang sangat banyak meminta tenaganya sebagai ketua cabang Jakarta yang harus mengatur kongres itu. Sudah itu kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala pula. Dalam seminggu di Bandung sejak ia pulang dari Sala, boleh dikatakan setiap hari sebagian yang terbesar daripada waktunya dipakianya untuk menyiapkan kongres. ....
Pada petang sabtu, Tuti duduk di sudut wagon kelas tiga kereta api pukul dua deari Bandung menuju ke Cianjur. Tidak banyak orang yang bersama-sama dengan dia ketika itu:
....
Ketika kereta api berangkat, Tuti tiadalah beberapa mengacuhkan orang-orang yang sama-sama duduk dengan dia. Haitinya masih penuh oleh kongres Putri Sedar. ..Selalu, tiap-tiap tahun, kongres tahunan perkumpulannya itu ialah puncak kegirangan hidup Tuti.
.....
Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja.
Baru benar ia tadi berpidato tentang pekerjaan perempuan baru dalam masyarakat. Diakuinya bahwa ada bedanya antara sifat-sifat rohani dan jasmani laki-laki dan perempuan, tetapi di sisi itu terutama sekali ditunjukkannya, bahwa lain daripada perbedaan itu amat banyak persamaan. Hingga sekarang orang terlampau banyak mengingat perbedaan sifat itu dan berdasarkan itu kepada perempuan diberikan orang pekerjaan yang sangat kecil lingkungannya, yaitu pekerjaan menyelenggarakan rumah dan mendidik anak. Dalam lingkungan pekerjaan yang demikian perempuan mesti, tiada boleh tidak menjadi bergantung kepada laki-laki. Kepada jiwanya tiada diberi kesempatan untuk tumbuh dengan sempurna, puncak kecerdasan dan kemajuan yang boleh dicapai oleh perempuan telah dibatasi. Oleh itulah maka berabad-abad perempuan takluk kepada laki-laki, dalam segala hal ia tergantung. Dan kecakapan perempuan yang tiada pernah diasah, tiada pernah diberi kesempatan yang sebaik-baiknya untuk tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada berdaya. Itulah sebabnya maka Putri Sedar berjuang merebut kesempatan yang sebesar-besarnya bagi perempuan untuk mengembangkan segala sifat dan segala kecakapan yang dikaruniakan oleh alam kepadanya, yang sebaik-baiknya untuk tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada berdaya, pekerjaan laki-laki, yang dapat dilakukan oleh perempuan. Dalam dunia pengetahuan, teknik, perdagangan, perempuan harus mengembangkan segala kecakapannya dan kesanggupannya. Kepada perempuan baru harus diberi gelanggang yang lebih lebar dari lingkungan rumah dan kerabatnya saja.
No comments:
Post a Comment