CAMPUR ADUK

Thursday, January 3, 2019

PULANG

Rasanya tidaklah seperti menginjakkan kaki atas tanah sendiri yang telah bertahun-tahun ditinggalkan. Bau tanah yang naik oleh turunnya air hujan sepanjang hari, seperti terasa menjalari seluruh rongga dada, seperti kuasa menggerakkan pembuluh darah sekujur tubuh. Ia pernah merasai hujan di mana-mana, sebagai serdadu pernah bergelut dengan lumpurnya jauh di seberang laut, tetapi ini, di mana dia berdiri di pinggir desanya untuk pertama kali, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tersendiri, yang selama ini mampu menghidupkan mimpi dan kenangan begitu indah.

Bekas roda cikar yang digenangi air hujan, yang tampak berliku-liku oleh kepenatan sapi penariknya dan yang melenyap di seberang jembatan beberapa puluh hasta di hadapannya, seperti itu pula lukisan yang ia kenal setiap hari pada masa kanak-kanaknya. Ia ingat betapa ia berlari-lari di tanah becek di belakang cikarnya, sedangkan di atas ayahnya yang telah tua itu melambai-lambaikan cambuknya di atas kepala sapi penariknya sambil berteriak-teriak untuk mengejar senja. Berapakah lamanya waktu itu telah berlalu? Ia masih kanak-kanak pada waktu itu, tetapi lukisan itu begitu jelas seperti baru kemarin ia tinggalkan.

Tidak! Telah tujuh tahun lamanya sejak ia meninggalkan desanya sampai kini, dengan malam-malamnya yang penuh mimpi dan kerinduan untuk dapat menginjaknya kembali. Bukankah pohon asam itu pula yang berdiri di samping jembatan, yang tetap rindang, tetap megah melawan datangnya angin? Ia melihat bayangan sendiri di masa kecilnya, berlari-lari di pinggir pematang itu menggembala kerbaunya. Alangkah jelasnya bayangan itu. Suara air bertambah keras memanggil-manggil Mersa benar hatinya dapat mendengarkan itu kembali. Ia tak pernah mendengar suara yang lebih indah daripada itu. Ia merasa dan yakin kini, dalam perjalanannya sejauh itu di negeri orang dalam waktu yang sepanjang  itu pula, ia tak pernah menemui sesuatu yang bisa begitu mengguncangkan hatinya. Ada sesuatu yang terasa memenuhi dada, ada sesuatu yang seperti kuasa hendak memecahkannya, tetapi itu tak hendak meledak dan jika itu mampu keluar, maka itu cuma berujud setetes air yang turun pelan dari matanya.

Ia hendak berteriak sekuat-kuatnya, tak tahu mengapa. Tetapi jika berbuat itu, maka suaranya dikembalikan panjang oleh semak-semak di dataran tinggi, di samping kampungnya. Seperti dulu juga ia menyangka ada orang jauh yang menjawab suaranya dengan gema yang panjang. Dijangkaunya segenggam tanah, dikepalnya sekeras batu, lalu dilemparkannya sekuat tenaga untuk mendengar suara jatuhnya  yang menimpa genangan air, dan alangkah indahnya melihat burung-burung bangau yang takut, terbang karenanya, tinggi melawan awan dan hilang jauh di barat dalam keemasan langit yang mengantar turunnya mentari.

Tidak lagi dirasanya berat ransel yang menekan punggung, sepatunya yang penuh lumpur dan pakaiannya yang setengah basah, Bertahun-tahun lamanya ia berdoa untuk kepulangan ini. Dan kini, bila doa itu terkabul datang saja rasa takut yang asing mulai merangsang hati, berebut dengan rasa gita yang memukul-mukul. Matanya jauh melampaui jembatan, melampaui semak-semak hijau sana dan di antara semak-semak itu sendiri sepetak rumah bambu tempat dia dibesarkan, tempat ia menghabiskan kanak-kanaknya.

Pulang. Apakah yang dapat lebih menggelorakan hati daripada mengalami pertemuan dengan keluarga kembali? Ibunya sayang, wajahnya yang bersih dan pandangannya yang menenteramkan, rambutnya yang telah separo putih, yang hitam sejuk itu, apa yang bisa terjadi selama tujuh tahun ini? Betapa pula wajah ayahnya yang telah itu, wajah yang berkerut-kerut dengan alis kelabu tebal, memayungi matanya yang kecil, dan telah bersembunyi ke dalam. Tujuh tahun. Apa gerangan yang bisa diberikan oleh waktu sepanjang itu kepada adiknya, Sumi, satu-satunya yang tercinta di bumi ini? Ia tak dapat membayangkan. Dan itulah yang mengisi setiap napasnya kini, dengan gita harap dan kecemasan.

Langkah demi langkah ia bergerak, dilampauinya jembatan dari kayu nangka, dipandanginya terjunan. Ia membayangkan dirinya duduk di batu besar itu, melemparkan pancingnya jauh ke tengah. Jalanan yang dilampauinya becek, lumpur bertambah banyak lekat ke sepatu dan kaki bertambah berat karenanya. Sekali lagi diusapnya maka dari bekas air hujan yang masih membasah.

Matahari telah menyembunyikan diri seluruhnya di balik Gunung Wilis, tinggal cahayanya yang bertambah lemah menembusi langit dan memberikan ciuman terakhir pada mendung  yang berarak-arak di atas kepala. Turunnya senja kala itu disambut oleh kesepian; burung-burung yang pulang sarang malas berkicau.

Sepanjang jalan, ia tidak bertemu dengan seorang pun dari desanya. Seperti juga dahulu, ia tahu sebabnya. Mereka malas turun pada  petang hari  yang basah seperti ini. Ia tahu, orang-orang  perempuan akan sibuk mengurusi makan untuk malam hari, yang tua duduk di balai-balai menikmati tembakau di samping api, yang muda mengumpulkan sisa rumput yang kering dicampur dengan sampah dari kandang sapi untuk dijadikan perapian yang akan mengeluarkan asap sepanjang malam sebagai pengusir nyamuk. Lalu sesudah itu, kartu dan buku-buku sejarah kuno yang bertuliskan  huruf Jawa dalam bentuk tembang akan jadi pengantar tidur. Itu adalah bagian dari kehidupan desanya yang terlupa dalam pengembaraannya dan yang mendadak saja mendesak ingatan ketika kembali. Ia dapat membayangkan seluruhnya kini, seperti waktu pengembaraannya tak pernah ada. Ia ingat seluruh bagian hidup dalam desanya kini dengan begitu jelas, serasa tujuh tahun adalah kemarin pagi. Kekuatan apa gerangan yang dapat meniadakan pengertian waktu untuk hidup manusia? Ia tidak mengerti, hatinya lebih banyak berkuasa daripada otaknya. Ia telah berdiri di samping pagar halaman rumahnya kini. Dan segala yang ada di hadapannya seperti memaksakan dia untuk yakin bahwa baru kemarin pagi ketika ia meninggalkan rumah dengan diantar oleh tangis dan air mata. Betapa tidak! Pintu depan rumahnya yang berdaun tunggal, masih saja pintu yang dahulu ia kenal dari kayu taun yang berwarna coklat tua. Dinding cetak dari kulit bambu seperti tak pernah dibongkar dan diganti. Pagar yang mengelilingi seluruh tanah adalah pagar bambu yang dahulu jua. Dan pohon-pohon pisang yang menyebar dalam pekarangan, siapa dapat menyatakan bahwa semuanya itu telah berganti? Tidak, tak ada yang berubah, kecuali satu yang mencolok. Pohon jambu yang dahulu setinggi tubuhnya, kini telah melampaui atap rumahnya.

Ia masih berdiri di samping pagar. Alangkah beratnya kaki untuk melangkah masuk, sekalipun ia yakin bahwa itu adalah rumahnya. Lalu tiba-tiba ada suara yang mengurangi kecemasannya, yang mampu mengubah warna mukanya dan bibirnya gemetar karenanya. Suara itu adalah suara batuk-batuk ayahnya. Tujuh tahun lamanya ia tak pernah mendengar suara batuk itu, tetapi telinganya mendengarkan begitu segar kini. Ia tahu benar, itu adalah suara ayahnya. Ayahnya masih hidup. Ia akan dapat menatap wajahnya dengan penuh rindu dan sayang kembali. Lalu dari pintu samping ia dapat melihat perempuan tua berjalan keluar, membongkok mengumpulkan kayu yang berserakan di samping rumah. Sekalipun ia telah membayangkan bahwa akan setua itu ibunya, tetapi peristiwa sekejab itu mengubah derasnya air mata. Ia ingin berteriak, ia ingin memanggil ibunya, namun segala suara terhenti di kerongkongan belaka. Ia tak lagi punya kekuatan untuk itu. Namun, kakinya melangkah jua memasuki halaman, tak ada lagi yang dicemaskan.

Perempuan tua itu terkejut mengangkat muka, melihat dengan mendadak hadirnya seorang anak muda tak jauh darinya dalam keremangan senja. Keningnya yang telah keriputan tertarik ke bawah, matanya yang kecil sejuk memandang penuh tanya. Seperti lama peristiwa itu berjalan, lalu keluarlah pengucapan yang pertama kali.

"Aku, Tamin, Mak!"

Lambat sekali pengertian suara itu sampai kepada hatinya, dan suara itu sendiri seperti berputar-putar di dalam telinga. Kemudian alisnya terangkat tinggi, mulutnya membuka, kedua tangannya yang gemetaran menjulur ke depan, bulat sekali matanya yang telah tua itu menatap orang di hadapannya dan barulah kemudian terlepas teriakan yang menyayat keheningan petang itu. Itu adalah pertama kali perempuan tua itu mampu mengucapkan nama anaknya dengan suara selantang itu, dengan hati yang berdebaran mendadak. Mata yang kering itu lalu basah dan tetesan airnya jatuh menuruni pipinya yang telah cekung. Ia menangis. Apa lagi yang dapat ia lakukan? Air mata itu tak dapat ditahan dan sumbernya bertambah lebar jua.

Lalu perempuan tua itu berteriak, memanggil suaminya yang menyambut dengan batuknya yang tak putus-putus, dan dengan suara panjang ia memanggil Sumi yang tengah sibuk di dapur belakang. Ayahnya keluar menyambut di ambang pintu tanpa kata, kecuali pengucapan nama anaknya berkali-kali dengan tak percaya benar akan peristiwa pertemuan yang begitu mendadak. Sumi datang setengah berlari dari dapur. Gadis itu terhenti dekat pintu, matanya memandangi orang asing yang seperti tak pernah dikenal sebelumnya. Adalah benar ia mengetahui, itulah kakaknya. Tamin, yang begitu banyak menjadi acara percakapan yang tak pernah menjemukan, Namun, tidaklah ia menyangka bahwa Tamin akan sebesar itu. Ia tak pernah membayangkan bahwa tubuh kakaknya akan begitu tegap dan tinggi, dan tangannya yang keluar dari lengan baju yang digulung itu,  begitu bulat dan hitam. Sepetri juga ayahnya, alias itu begitu subur dan hitam melindungi matanya yang hitam berkilau. Alangkah tampannya wajah yang hitam itu dan alangkah lebarnya pundak yang penuh itu. Dan betapa besarnya kekuatan yang tersimpan dalam tubuh yang begitu penuh! Ia percaya bahwa kekuatan itu akan cukup untuk menahan amuknya kerbau yang paling buas dari seluruh tempat di kampungnya. Ya, betapa akan bangganya nanti jika ia bisa berjalan di samping kakaknya memutari kampung. "Lihat, ini kakakku, Tamin, Ia datang jua akhirnya!"



Karya: Toha Mohtar

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK