CAMPUR ADUK

Monday, August 2, 2021

PUTRI ALANA, SI ANGSA PUTIH

Yesi selesai mengerjakan PR-nya. Yesi mengambil buku di rak buku, ya buku yang ingin ia baca adalah buku cerita. Yesi duduk dengan baik, ya segera membaca bukunya dengan baik pula.

Isi buku yang di baca Yesi :

Di tepi sebuah sungai, seekor angsa putih bermahkota, berenang pelan menuju daratan. Tubuhnya terasa penat. Ia telah melalui perjalanan panjang entah berapa lama. Air danau yang mengalir ke sungai telah membawanya ke tempat yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia semakin sedih saat menyadari hidupnya hanya seorang diri.

Ketiga saudaranya hilang tak diketahui rimbanya. Badai dan arus deras telah memisahkan mereka. Sedangkan dia terus mengapung, menanti keajaiban datang. Dia termenung mengingat kejadian yang mereka alami, hingga wujudnya berubah menjadi seperti sekarang ini.

Umbul-umbul di istana dipasang setengah tiang. Hal ini adalah pertanda bahwa kerajaan sedang berkabung. Permaisuri Raja Lir meninggal dunia karena sakit. Kini, jenazah Permaisuri berbaring di dalam peti kayu berukir. Upacara penghormatan untuk jenazah Permaisuri akan segera dimulai. Peti mati itu dibawa ke bibir pantai dengan menggunakan kereta khusus. Prajurit kerajaan yang bertugas membawa peti dengan sigap memasukkan peti itu ke dalam perahu layar, yang telah dipenuhi hiasan-hiasan indah.  Kapal itu lalu dihanyutkan ke lautan. Perlahan, tapi pasti, kapal itu menjauh dari tanah kerajaan Aigea.

Sekelompok pemanah telah bersiap dengan anak panah mereka. Ketika terompet panjang berbunyi, puluhan anak panah yang ujungnya susah diberi nyala api, melesat menuju kapal. Wuush! Segera api berkobar, kapal berisi jasad Permaisuri pun terbakar. Semakin lama, kobaran api semakin besar, menghanguskan kapal beserta isinya.

Keempat putri Raja Lir memerhatikan semua kejadian itu tanpa berkedip. Genangan air mata tampak berkilat di mata Evota, putri bungsu  Raja Lir. Usia Evota baru enam tahun, dia tidak sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Namun, ia merasa ada sesuatu yang tiba-tiba hilang dari dalam hatinya.

Di samping putri Evota, Putri Caley berdiri, diam tanpa ekspresi. Dia juga merasa sangat kehilangan. Namun, sebagai putri kerajaan, ia tidak pantas menangis di depan khalayak ramai. Putri ketiga yang pesolek ini, adalah putri kesayangan permaisuri. Di samping Putri Caley, ada putri kedua Raja Lir, yaitu Putri Darcey yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Usianya yang beranjak remaja membuatnya bisa memahami apa yang sedang terjadi di hadapannya. Ia tahu, kini tidak akan ada lagi Ibunda Permaisuri bersama mereka. Walaupun dia tidak disayang oleh Ibunda Permaisuri seperti Putri Caley, Putri Darcey tak pernah cemburu. Keahliannya dalam berenang dan menyelam, membuat Raja Lir menempatkan seluruh hatinya pada Putri Darcey. Putri Darcey adalah putri kesayangan Raja Lir.

Ada seorang putri lagi yang berdiri di samping Putri Darcey. Putri cantik berambut kuning keemasan itu berdiri mematung. Air mata menetes di pipinya. Putri Alana namanya. Dia sama sekali tidak menyangka, Ibunda Permaisuri  begitu cepat meninggalkan dirinya dan adik-adiknya. Sebagai putri tertua, dia merasa bertanggung jawab menjaga ketiga adiknya.

“Upacara pemakaman telah selesai. Mari, kita kembali ke istana, keponakanku,” kata seorang wanita cantik bermata tajam, Bibi Aoife, adik dari Permaisuri. Keempat orang putri berjalan menuju kereta kerajaan dengan patuh. Empat ekor kuda putih yang gagah, siap menarik kereta kerajaan yang mereka tumpangi. Perjalanan kembali ke istana terasa begitu hampa bagi mereka.

Hari-hari telah berlalu, istana terasa sepi tanpa ibunda permaisuri bagi keempat putri Raja Lir. Pada suatu sore, ayahanda mereka, Raja Lir mengumpulkan keempat putri di ruang pribadinya. Putri Evota, Putri Darcey, Putri Caley, dan Putri Alana sudah hadir di ruangan itu. Mereka berdiri di hadapan Raja Lir. Di samping sang Raja, bibi mereka, Aoife tersenyum penuh makna. Setelah terdiam beberapa saat, Raja Lir mulai berkata.

“Wahai, putri-putriku yang cantik jelita. Ibunda kalian telah tiada, ayah membutuhkan permaisuri baru untuk mendampingi ayah di kerajaan ini. Ayah juga berharap, ia akan membantu ayah mengurus kalian nantinya,” Raja Lir menjelaskan, perlahan.

Putri Alana tercenung. Ayahnya akan menikah lagi, itu berarti ia dan adik-adiknya akan mempunyai ibu tiri. Dia belum sempat bertanya ketika ayahnya menambahkan, “Calon ibunda kalian adalah Bibi kalian sendiri, Aoife.”

Keempat putri Raja Lir tersentak.  Bibi Aoife bukanlah orang yang asing bagi mereka. Tapi, tidak ada seorang pun dari mereka berempat yang menyukai Bibi Aoife, begitupun sebaliknya. Namun, mereka hanya bisa berdiam diri karena keputusan Raja Lir tidak mungkin bisa ditawar lagi.

“Pesta pernikahan kami akan dilaksanakan esok hari, jadi kalian bersiap-siaplah,” kata Bibi Aoife, sambil menatap tajam keempat putri itu. Lalu, dia menjentikkan jarinya ke udara, pertanda bahwa pertemuan telah usai dan keempat putri harus meninggalkan ruangan.

“Ayahanda, bolehkan ananda berbicara berdua saja?” tanya Putri Alana dengan suaranya yang manis.

Bibi Aoife menatap Putri Alana lebih tajam, pancaran matanya membuat Putri Alana jengah. Namun, Putri Alana tidak mau memedulikannya. Dia mengalihkan tatapannya, menatap penuh hormat kepada Ayahandanya.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan. Silakan kalian berempat tinggalkan ruangan ini. Banyak hal yang akan kami berdua bicarakan, keponakanku yang cantik,” ujar Bibi Aoife, pelan dan lembut. Akan tetapi, Putri Alana menangkap sesuatu yang aneh di sana. Raja Lir pun mengangguk. Keempat putri meninggalkan ruangan dengan pikiran masing-masing.

“Kita berkumpul di kamarku,” kata Putri Alana pelan. Tangannya memberi aba-aba agar ketiga saudaranya tidak kembali ke kamar masing-masing. Mereka pun bergerak ke arah kamar Putri Alana.

“Kunci pintunya, wahai adikku Caley,” pinta Putri Alana. Dia tidak ingin percakapan mereka didengar oleh orang lain. Putri Caley segera mengunci pintu rapat-rapat.

“Saya tidak setuju jika Ayahanda menikah dengan Bibi Aoife,” Putri Alana membuka suara.

“Saya juga tidak setuju,” Putri Caley ikut berkata. Ia merasa kecewa dengan sikap ayahandanya. Apalagi ayahandanya sama sekali tidak meminta persetujuan dari mereka.

“Apakah Bibi Aoife benar-benar akan menjadi ibu tiri kita?” tanya Putri Evota polos.

“Benar, Adikku. Bibi Aoife akan menikah dengan Ayah. Itu artinya dia akan menjadi ibu tiri kita,” dengan lembut Putri Alana menjelaskan kepada adik bungsunya.

“Hah … Bagaimana mungkin? Bibi Aoife adalah seorang penyihir yang jahat,” Putri Evota terbelalak, sambil menutup mulutnya yang  menganga dengan spontan. Dia benar-benar tidak menduganya.

“Hush … Jangan keras-keras, Evota. Kalau sampai Bibi Aoife mendengarnya, kita bisa lebih celaka,” Putri Darcey mengingatkan Putri Evota.

“Sebaiknya kita segera kembali ke kamar masing-masing, sebelum ada yang curiga. Kakak akan memikirkan cara agar pernikahan ini tidak terjadi,” Putri Alana akhirnya berkata, berusaha meredam kegelisahan adik-adiknya.

Putri Caley dan Putri Darsey mengangguk, dan segera beranjak ke kamar masing-masing. Mereka keluar kamar satu per satu untuk menghindari kecurigaan. Putri Alana memutuskan untuk mengantar Putri Evota ke kamarnya.

“Evota, kau tidak perlu khawatir, Sayang. Kakak akan menjagamu,” bisik Alana, sambil mencium pipi Evota yang penuh, dan mengusap rambutnya lembut. Dia lalu berbalik meninggalkan kamar Evota. Di pojok ruangan, dayang pengasuh Evota yang baru, menundukkan kepalanya ketika Alana mendapatinya tengah mengawasi mereka berdua.

Setiba di dalam kamarnya yang luas, Putri Alana mulai berpikir keras. Dia berusaha mencari cara agar Bibi Aoife tidak menjadi ibu tiri mereka. Dia sudah tahu jika seluruh gerak-geriknya dan saudara-saudaranya diawasi dengan ketat oleh Bibi Aoife sejak ibunda permaisuri meninggal.

Hingga pagi menjelang, Putri Alana belum juga mendapatkan cara agar pernikahan itu tidak terjadi. Kerajaan sudah hingar bingar oleh suasana pesta. Rakyat berpesta menyambut permaisuri baru mereka. Keempat putri Raja Lir ikut terjebak di dalamnya. Peraturan kerajaan yang semakin ketat, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Rencana mereka untuk membatalkan pernikahan itu pun gagal sudah.

Putri Alana sedih karena tidak bisa menepati janji untuk melindungi adik-adiknya. Namun, dia merasa sedikit lega. Setelah pernikahan itu, perlakuan Bibi Aoife tidak seperti dugaan mereka sebelumnya. Bibi Aoife bersikap manis dan mulai menyayangi mereka. Mereka mulai berpikir jika pilihan ayahandanya, untuk menjadikan Bibi Aoife permaisuri dan ibu tiri mereka, merupakan pilihan yang tepat.

Suatu hari Permaisuri Aoife mengajak keempat putri Raja Lir pergi bersenang-senang. Sekian lama tidak keluar dari istana, membuat keempat putri itu senang bukan kepalang. Mereka memutuskan untuk pergi berenang di sebuah danau yang terletak jauh dari istana Aigea. Raja Lir tidak keberatan dengan rencana para putri, tapi sang Raja tidak dapat ikut serta karena ada tugas kerajaan yang tidak bisa ia tinggalkan.

Akhirnya, mereka berlima sampai di sebuah danau yang sangat luas. Airnya bening, berkilau terkena pantulan cahaya matahari yang bersinar cerah. Sekawanan burung enggang meliuk di angkasa. Putri Darcey terlihat paling gembira. Dia sudah lama meninggalkan kegemarannya berenang dan menyelam. Sekarang, dia mendapat kesempatan untuk melatihnya kembali. Putri Alana dan kedua adiknya mulai asyik bermain air. Sesekali mereka berenang dan bersembunyi dari saudaranya yang lain dengan cara menyelam.

Tiba-tiba, langit berubah gelap. Mentari menghilang. Awan putih berganti menjadi hitam. Sepertinya, hujan lebat akan segera turun. Putri Alana melihat sekeliling, mencari Permaisuri Aoife. Dia tidak melihatnya sedari tadi. Pandangannya mulai menyisir tepian danau. Alana melihat Permaisuri Aoife berdiri di tepi danau, sedang menggerak-gerakkan tangannya. Tiba-tiba, angin berembus kencang. Air danau yang semula tenang menjadi beriak. Putri Alana panik, spontan dia berteriak, “Adik-adikku, ayo, kita segera naik ke darat. Sepertinya akan ada badai, sebentar lagi!”

Permaisuri Aoife berdiri mematung di sisi lain danau. Mulutnya tampak komat-kamit membaca sesuatu. Tangannya bergerak-gerak ke arah danau. Air danau bergolak semakin kuat. Bibirnya terus merapalkan mantra.

“Mé curse tú ceithre eala bán.

Beidh tú ealaí ar feadh naoi gcéad bliain

Is féidir leat a bheith ach duine

Má chloiseann tú bells i an fáinne.”

“Aku kutuk kalian berempat menjadi angsa putih.

Kalian akan menjadi angsa selama sembilan ratus tahun

Kalian hanya bisa menjadi manusia

Jika mendengar lonceng dibunyikan.”

Keempat putri Raja Lir yang tidak sempat menyelamatkan diri, terseret arus air danau, dan hilang … suasana menjadi hening. Air danau yang semula bergejolak, kembali tenang. Awan hitam perlahan menyingkir. Matahari kembali menampakkan sinarnya. Suasana menjadi cerah seperti semula. Di tengah danau, terlihat empat ekor angsa putih berenang, berputar-putar. Mereka seperti kebingungan. Suaranya riuh terdengar.

Sementara di pinggir danau, Permaisuri Aoife tertawa girang. Wajahnya bersinar sumringah. Keinginannya untuk menyingkirkan anak-anak Raja Lir tercapai sudah.

“Ha … ha … ha …, kalian rasakan sekarang. Kalian tidak akan bisa menggangguku lagi. Perhatian Raja Lir tidak akan terbagi lagi untuk kalian, dan kerajaan bisa dengan mudah aku kuasai,” Permaisuri Aiofe berkata puas.

Permaisuri Aoife ternyata memang mempunyai niat yang jahat terhadap putri-putri Raja Lir. Rasa kecewa yang dulu tersimpan rapi, kini terbuka sudah. Ketika Raja Lir menikah, dia berharap bisa terpilih sebagai permaisuri raja. Namun, Raja Lir justru memilih kakaknya sebagai permaisuri. Melihat kehidupan kakaknya yang bahagia dengan Raja Lir dan anak-anaknya, hatinya semakin dipenuhi rasa iri. Ia pun mencari cara untuk dapat menyingkirkan kakak dan anak-anaknya. Ia ingin menguasai kerajaan Aigea. Permaisuri Aoife merasa sudah cukup bersabar selama dua belas tahun, menunggu saat-saat seperti ini. Kini, ketika waktu itu akhirnya tiba, hatinya riang tak terkira.

***

Di tepi sebuah sungai, seorang pemuda gagah sedang duduk beristirahat. Tenaganya begitu terkuras, demi sebuah perjalanan menuju istana Raja Lir. Rasa haus dan lelah mengantarkan pemuda itu ke tepi sungai. Setelah puas minum, dia pun duduk di sebuah akar pohon yang besar. Baru beberapa saat beristirahat, dia mendengar suara kecipak air dan suara seekor angsa. Dia bangkit dan mulai mencarinya. Rasa lapar membuatnya semakin bersemangat. Apabila dia bisa menemukan seekor angsa, maka dia akan memiliki bekal selama di perjalanan, terlebih perutnya juga tidak akan kelaparan.

“Kaaook….” Suara itu semakin jelas terdengar. Pandangan pemuda itu segera tertuju pada seekor angsa putih yang berenang di tepian sungai. Tanpa berpikir panjang, pemuda itu berenang mendekati angsa putih dan menangkapnya.  Pemuda itu berenang kembali ke tepian dengan sigap. Dia sudah tidak sabar untuk segera mengolah angsa itu menjadi makanan lezat. Namun, ketika hendak menyembelih angsa tersebut, dia terkejut mendapati sebuah mahkota di atas kepala si angsa putih. Hatinya menjadi bimbang. Benarkah ini angsa sungguhan atau angsa jadi-jadian?

“Bán eala, siapa kau sebenarnya?” Pemuda itu bersimpuh sambil memandangi mata si Angsa Putih. “Apakah kau seorang putri raja yang dikutuk menjadi seekor angsa?” tanyanya lagi.

“Kwaaaokk…” angsa putih berusaha menjawab pertanyaan sang Pemuda. Mendengar suara angsa yang terdengar pilu, pemuda itu tidak jadi memotong si Angsa.

“Baiklah, aku tidak akan menjadikanmu sebagai santapanku,” kata pemuda tersebut, sembari tersenyum dan mulai berkemas-kemas. Dia harus melanjutkan perjalanan.

“Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Kau bisa menjadi teman perjalananku,” ajak sang Pemuda. Selang beberapa lama, sampailah mereka di sebuah desa. Pemuda itu segera mencari tempat untuk mengisi perutnya. Angsa putih itu ditinggalkannya di bawah sebuah pohon. Kaki si Angsa Putih itu dia ikat kuat-kuat agar tidak lari. Pemuda itu lalu masuk ke desa. Tak lama kemudian, lonceng gereja berdentang samar di kejauhan. Si Angsa menggeliat, dan sesuatu terjadi pada tubuhnya.

Beberapa saat berlalu, sang Pemuda kembali ke bawah pohon, tempat si Angsa ditinggal pergi. Tapi, dia tidak mendapati angsa putihnya di sana. Ia justru menemukan seorang gadis cantik berambut keemasan.

“Heh … Siapa kamu? Kemana angsa yang tadi kuikat di sini?” tanya Pemuda itu.

“Aku adalah angsa yang kau cari,” jawab Gadis itu.

Pemuda itu memicingkan matanya, tidak percaya, “Tidak mungkin. Di mana kau sembunyikan angsaku?” tanya Pemuda itu lagi.

Tanpa menjawab pertanyaan sang Pemuda, si Gadis justru balik bertanya, “Ingatkah kau, kalau kau pernah bertanya apakah aku seorang putri yang disihir manjadi angsa?”

Pemuda itu tercenung, lama. Tidak mungkin dugaanya itu benar, pikirnya.

Sebelum pemuda itu sempat menjawab, gadis itu berkata lagi, “Ya, kamu benar. Aku adalah seorang putri yang disihir menjadi seekor angsa. Namaku Putri Alana, aku adalah putri sulung Raja Lir. Itulah mengapa ada mahkota di kepalaku.”

Sang Pemuda segera berlutut. Dia tidak berani memandang sang Putri.

“Ampunkan kelancangan hamba, Tuan Putri.”

Sang Putri segera menyuruh sang Pemuda berdiri. “Justru aku yang berterima kasih padamu, karena telah membawaku ke tempat ini. Di tempat ini aku mendengar bunyi lonceng gereja yang membebaskanku dari kutukan Permaisuri Aoife.” Purti Alana kemudian menceritakan peristiwa di danau kepada pemuda itu. Suara Putri Alana mulai bergetar, dia teringat ketiga adiknya.

“Aku tidak tahu bagaimana nasib ketiga saudaraku yang lain. Aku harus bisa menemukan mereka. Maukah kau menolongku, wahai Pemuda?” pintanya.

“Hamba siap membantu, Tuan Putri.” Sang Pemuda masih saja tertunduk.

“Kau tidak perlu bersikap seperti itu kepadaku. Sekarang, aku adalah rakyat biasa sepertimu. Siapa namamu?”

“Saya Neal, Tuan Putri.”

“Neal, kau bisa memanggilku Alana. Aku tidak ingin orang lain tahu kalau aku, Putri Alana. Itu akan membahayakan kita berdua. Bersikaplah seperti biasa!”

Neal menyetujui usulan Putri Alana. Dia juga menceritakan maksud perjalanannya menuju kerajaan Aigea. Ia ingin melamar menjadi prajurit kerajaan. Dari cerita Neal, Putri Alana mengetahui bahwa kerajaan Aigea dikuasai oleh Permaisuri Aoife, sedangkan Raja Lir diasingkan ke penjara bawah laut. Diam-diam, Putri Alana dan Neal merencanakan sesuatu. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke kerajaan Aigea untuk menjalankan rencana tersebut.

Malam telah tiba ketika mereka sampai di kerajaan Aigea. Putri Alana dan Neal mengendap-endap untuk dapat masuk ke istana. Neal yang bertubuh besar berhasil melumpuhkan dua orang prajurit yang berjaga di pintu gerbang. Mereka segera berganti pakaian dengan seragam prajurit tadi. Sehingga mereka dapat masuk ke penjara bawah laut dengan leluasa. Penjara itu terletak di bawah tanah, lembab, dan berair. Neal kembali melumpuhkan prajurit yang berjaga di sana. Putri Alana segera mencari ayahandanya. Di sudut ruangan yang gelap, pengap, dan berair Raja Lir terduduk lemas. Kedua tangannya di ikat dengan rantai besar yang kuat.

“Ayahanda…” pekik Putri Alana. Dia merasa sedih melihat kondisi ayahnya yang sangat memprihatinkan. Ia memeluk ayahandanya dengan penuh rindu. Perlahan, air matanya mengalir di pipi. Beragam perasaan bercampur di hati Alana saat mendapati Raja Lir sudah tak sadarkan diri.

“Alana, cepat kita bebaskan Baginda Raja. Waktu kita tidak banyak,” Neal berkata, mengingatkan. Neal melepaskan ikatan Raja dengan susah payah. Setelah ikatan itu lepas, Neal menggotong tubuh Raja Lir yang lemah. Putri Alana menuntunnya, menunjukkan jalan ke ruang rahasia. Dulu, ayahandanya yang memberitahu tempat itu, dan dia masih mengingatnya dengan baik. Di tempat itu mereka bersembunyi sampai kondisi raja membaik. Sesekali Neal keluar dari tempat rahasia dengan menyamar menjadi prajurit untuk mendapatkan makanan.

Setelah keadaan Raja sehat kembali, mereka bertiga menyusun strategi untuk merebut kerajaan Aigea kembali. Mereka juga mengumpulkan pengawal kerajaan yang masih setia kepada Raja Lir. Malam itu suasana senyap. Sang Raja berjalan mantap ke kamar Permaisuri Aoife. Permaisuri Aoife tampak sedang asyik menyisir rambutnya. Selama beberapa saat Permaisuri Aoife tidak menyadari jika ada orang di dalam kamarnya, hingga Raja Lir menyapa, “Apa kabar, Aoife?” Suara Raja Lir yang berwibawa membuat Aoife terkejut. Dia menoleh dan sama sekali tidak menyangka jika Raja Lir berdiri di dalam kamarnya.

Dengan sigap Raja Lir langsung memegang rambut Aoife dan memotongnya. Raja Lir tahu, kekuatan sihir Aoife ada pada rambutnya yang panjang. “Srek!” rambut itu terpotong hingga di atas bahu. Aoife meradang. Dia tak punya kekuatan sihir lagi. Dia menyerang Raja Lir dengan membabi buta. Tapi, Raja Lir telah bersiap melumpuhkannya. Dengan sekali pukulan, Permaisuri Aoife terkapar tak berdaya.

Sementara di luar kamar, pasukan yang dipimpin oleh Neal dan Putri Alana berhasil menaklukan prajurit setia Permaisuri Aoife. Malam itu kerajaan Aigea kembali ke tangan Raja Lir. Keesokan harinya, Raja Lir mengumumkan bahwa kerajaan Aigea kembali dipimpin olehnya. Ia juga membuat sayembara, barang siapa menemukan 3 ekor angsa putih bermahkota akan diberi hadiah oleh kerajaan.

Hari berlalu, bulan berganti. Banyak yang membawa angsa putih, tapi bukan angsa yang bermahkota. Hingga, Putri Alana teringat kejadian di bawah pohon di pinggir desa.

“Ayahanda, kita harus membunyikan lonceng agar Caley, Darcey, dan Evota terbebas dari kutukan, karena itulah yang terjadi padaku, Ayahanda,” Putri Alana berkata, penuh semangat.

Raja Lir kemudian memerintahkan prajurit untuk membunyikan lonceng kerajaan. Suaranya membahana hingga sampai ke telinga ketiga angsa putih  bermahkota di tempat yang berbeda. Dalam sekejap, tubuh mereka berubah menjadi manusia kembali. Mereka pun meminta tolong kepada orang-orang yang mereka jumpai untuk mengantarkan mereka ke kerajaan Aigea, dengan imbalan yang telah disiapkan oleh Raja Lir. Akhirnya, keluarga Raja Lir dapat berkumpul kembali dan hidup bahagia. Neal yang telah berjasa terhadap kerajaan diangkat menjadi panglima kerajaan Aigea. 

***

Yesi selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus dari asal cerita Irlandia," kata Yesi.

Yesi menutup bukunya dengan baik dan buku di taruh di meja. Yesi mengambil buku gambarnya dan segera menggambar apa yang ia suka.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK