Berita tentang keindahan alunan harpa Dagda telah terdengar luas. Bahkan sudah sampai ke kerajaan Maumera. Orang-orang kerajaan pun penasaran. Mereka ingin mengundang Dagda untuk memainkan harpanya. Suatu hari, seorang utusan kerajaan datang ke rumah Dagda untuk menyampaikan surat yang ditulis sang Raja. Dagda membuka perlahan gulungan kertas berwarna coklat. Dia melihat stempel kerajaan berwarna merah darah di bagian bawah surat itu. Dagda tertegun. Ini adalah surat resmi kerajaan, pikirnya. Dagda membaca tulisan tangan sang Raja Maumera.
Untuk Tuan Dagda, Pemain Harpa
Kami mendengar bahwa Anda adalah seorang pemain harpa yang andal. Alunan yang tercipta dari harpa Anda mampu membius siapapun yang mendengarkannya. Untuk itu, saya, Raja Maumera mengundang Anda untuk datang ke kerajaaan Maumera. Kami akan mengadakan sebuah pesta perayaan pernikahan putri kami satu pekan lagi. Sekiranya Anda berkenan untuk memenuhi undangan kami.
Hati Dagda berbunga-bunga. Sepanjang hidupnya, dia belum pernah mendapat kehormatan untuk memainkan harpanya di kerajaan. Apalagi, sang Raja sendiri yang memintanya datang. Dagda merasa mendapat kehormatan yang luar biasa. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil selembar kertas terbaiknya dan mulai menulis jawaban untuk sang Raja. Tanpa ragu, dia juga menggunakan tinta terbaik yang dia miliki. Sebuah tinta hitam yang selama ini dia pergunakan untuk menulis cord-cord musiknya, yang mampu membuat orang terpesona.
Setelah kepergian prajurit utusan kerajaan, Dagda segera mempersiapkan diri. Pesta itu akan diadakan satu minggu lagi. Semua harus terlihat sempurna, batinnya. Banyak hal yang menyita perhatiannya, namun harpa kesayangannya tetap mendapat perhatian utama. Harpa itu dia bersihkan, sehingga suara yang dihasilkan terdengar jernih. Dagda juga menyiapkan lagu-lagu yang akan dia nyanyikan. Sudah lama Dagda membayangkan hal ini. Dia sudah menciptakan lagu-lagu khusus dari jauh-jauh hari, seandainya dia diundang oleh sang Raja. Ketika hari yang ia tunggu tiba, maka lagu-lagu indah ciptaannya itu yang akan dia persembahkan kepada keluarga kerajaan. Kali ini sang Raja benar-benar memanggilnya untuk bermain harpa di depan seluruh rakyat kerajaan Maumera. Hal itu merupakan suatu kehormatan yang luar biasa bagi Dagda, sehingga dia tidak ingin mengecewakan semua orang, apalagi sang Raja Maumera.
Keesokan harinya, Dagda sudah bersiap pergi ke kerajaan Maumera. Selain karena perjalanan ke sana cukup jauh, Dagda juga memerlukan waktu untuk beristirahat, sebelum mulai bermain harpa. Semua peralatan dan perlengkapan untuk bermain harpa sudah dia siapkan, lagu-lagu baru untuk sang Raja sudah dia hafal dengan baik, dan latihan untuk menyempurnakan penampilannya pun sudah dia lakukan. Dagda ingin semuanya berjalan dengan lancar. Maka, dia siap melakukan perjalanan, menembus hutan dengan kereta kuda yang dia kendarai sendiri, menuju kerajaan Maumera.
Dagda sangat menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang hijau, bunga-bunga hutan yang tumbuh indah, menyegarkan hati dan pikirannya. Kicauan burung dan bias cahaya matahari yang menembus dedaunan, memberikan inspirasi bagi Dagda untuk membuat lagu-lagu baru. Dagda tersenyum lalu bersenandung kecil. Dagda berharap bisa menciptakan sebuah lagu yang indah tentang alam, ketika dia sampai di kerajaan. Dia juga berharap orang-orang yang mendengarkan lagunya nanti akan merasakan ketenangan seperti yang dia rasakan.
Tiba-tiba kereta kudanya terguncang. Dagda berpikir kereta kudanya terantuk batuan. Namun, sesaat kemudian kuda yang dikendalikannya meringkik keras. Kedua kakinya diangkat ke udara, mencakar-cakar angin. Dagda berusaha menenangkan kudanya.
“Ada apa, Dante?” Dagda menepuk-nepuk kuda putih berbulu tebal itu, pelan. Kuda putih bernama Dante itu meringkik lagi. Rasa penasaran Dagda belum terjawab ketika di hadapan mereka muncul orang-orang berpakaian aneh, mengadang perjalanan. Dagda terkejut, namun dia berusaha tetap tenang.
“Benarkah kau Dagda, si Pemain Harpa?” tanya seorang yang berpakaian serat pohon yang dikeringkan.
“Ya, aku Dagda, pemain harpa,” kata Dagda penuh percaya diri, “mengapa kalian menghalagi perjalananku?”
“Kami ingin kau ikut bersama kami,” jawab orang tersebut.
Dagda memandang mereka, jumlah mereka sekitar dua belas. “Untuk apa aku ikut dengan kalian?”
“Ajari kami bermain harpa. Setelah itu kau boleh pergi ke mana kau suka.”
Dagda terdiam sesaat. Dia tidak mungkin ikut dengan orang-orang ini. Waktu yang dia miliki terbatas. Dia harus mempersiapkan semuanya agar pertunjukan itu berjalan sempurna. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Dagda berkata, “Baiklah, aku akan mengajari kalian bermain harpa, tapi setelah aku pulang dari kerjaan Maumera.”
“Apa? Kerajaan Maumera? Untuk apa kau ke sana?” Lelaki bermata bulat itu terlihat berang. Dia langsung memukulkan tongkat panjang seperti tombak ke tanah.
“Sang Raja memintaku bermain harpa pada pesta pernikahan putrinya,” jawab Dagda, menjelaskan.
Lelaki bermata bulat itu memanggil temannya untuk mendekat. Mereka membentuk lingkaran kecil dan berbicara dengan bahasa yang Dagda tidak mengerti. Lalu, dia mendekati Dagda dengan dada terbusung.
“Tidak bisa, kau tidak bisa ke sana. Kau harus menghadap kepala suku kami, sekarang,” perintah orang itu, tegas.
Hah... Kepala suku. Dagda sontak terkejut. Tapi, dari pakaian mereka, Dagda tahu jika orang-orang yang mengadangnya adalah orang pedalaman. Sepertinya, mereka tinggal jauh di dalam hutan. Tapi, mengapa mereka tertarik bermain harpa? Banyak pertanyaan yang ada di kepalanya, namun Dagda teringat akan tugasnya yang harus diselesaikan, serta janjinya pada sang Raja untuk bermain harpa di pesta pernikahan sang Putri. Dagda harus menepati janjinya, tapi orang-orang yang mengadangnya sulit berkompromi.
“Bagaimana jika kau dengarkan dulu alunan harpaku. Apabila itu indah menurutmu, kau boleh membawaku mengadap kepala sukumu.” Dagda tetap mencari cara agar bisa lepas dari sekelompok orang pedalaman ini.
“Tidak! Kami harus membawamu sekarang.”
Tanpa bisa diprotes, gerombolan orang berpakaian aneh itu membawa Dagda beserta kereta kuda dan Dante masuk ke dalam hutan. Dagda berusaha memberontak. Namun, apalah arti tenaga Dagda, yang tak pandai bela diri. Lagi pula dia hanya seorang diri. Dagda mencoba memikirkan cara, selain kekerasan, agar bisa lepas dari orang-orang ini.
Mereka terus berjalan, menembus hutan, melewati semak belukar. Pohon-pohon besar semakin banyak. Dagda memerhatikan setiap tempat dengan saksama. Apabila dia berhasil meloloskan diri, jalanan ini yang akan mengantarnya kembali ke tempat tadi. Dia harus mengingat semuanya dengan baik. Tanaman sulur yang merambat hingga menutupi pohon, tempatnya tinggal. Pohon kecil berbatang lurus, yang mempunyai daun seperti tangan mengelilingi batangnya. Tanaman berdaun merah. Suatu pemandangan yang belum pernah Dagda temui sebelumnya. Dia akan sangat menikmati semua ini jika keadaannya tidak seperti sekarang. Kini, dia adalah tawanan.
Dagda duduk terguncang-guncang di atas kereta kudanya. Kendali Dante sudah diambil alih oleh laki-laki bermata lebar itu. Dagda memeluk harpanya. Perlahan, dia memetik salah satu senar harpanya. Dia tersenyum pada salah seorang yang duduk di hadapannya, yang bertugas untuk menjaga dirinya. Laki-laki berwajah tirus itu menatap Dagda dengan pandangan hampa. Wajahnya datar. Senyum Dagda sama sekali tidak merubah mimik wajahnya. Dagda kembali memetik senar harpanya, berharap orang di hadapannya itu dapat memperlihatkan apa yang sedang ada dalam hatinya. Namun, Dagda tetap tidak melihat perubahan apa-apa.
Dagda memainkan harpanya perlahan. Namun, pengendali kuda itu tiba-tiba bersuara, “ Diam, suara benda itu hanya membuat kupingku panas!” bentaknya pada Dagda. Dagda tersentak kaget. Dia tidak menyangka akan mendapat bentakan seperti itu.
Dagda menghentikan permainannya. Dia menarik napas pelan. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin irama yang dimainkannya membuat telinga orang itu panas? Lalu mengapa mereka mau belajar bermain harpa, jika mendengarkan suaranya saja sudah membuat telinganya panas? Pertanyaan itu mengusik Dagda, tapi dia pun tak memiliki jawaban apa-apa. Mungkin jawaban itu bisa kutemukan di tempat tujuan, pikir Dagda. Meski dia pun tak tahu, tempat seperti apa yang akan dia tuju.
Perjalanan cukup panjang itu berakhir di sebuah perkampungan. Mereka sudah tiba di perkampungan orang pedalaman itu. Rumah-rumah mereka berbentuk setengah lingkaran. Hampir seluruhnya tertutup daun rumbia berwarna coklat. Sebuah rumah besar berdiri di tengah-tengahnya. Bentuknya tidak jauh berbeda dari rumah-rumah di sebelahnya, tapi rumah itu memiliki banyak tulang belulang yang dipasang sebagai pagar.
Nyali Dagda mulai menciut. Tulang apakah yang di pajang di sana? Jika mereka adalah bangsa kanibal atau bangsa yang memakan sesama manusia, maka habislah riwayatnya. Tanpa sadar, Dagda memeluk harpanya erat-erat. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki tinggi dan besar dari rumah berpagar tulang. Lelaki itu memakai hiasan kalung dan gelang yang terbuat dari tulang. Ketakutan Dagda semakin menjadi. Lelaki bertubuh besar itu berjalan ke arahnya dengan langkah pasti. Dia menjabat tangan Dagda dengan kuat. Dagda meringis, merasakan tangannya yang nyaris remuk.
“Dagda, pemain harpa. Musik Anda sungguh mengguncang dunia.” Teriak lelaki besar itu. “Aku adalah kepala suku Cnamh, panggil aku Hieftain.” Suaranya yang keras membahana, membuat telinga Dagda sakit.
“Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Hieftain,” balas Dagda, sopan. Hieftain tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning. Orang ini pasti tidak pernah menggosok giginya, pikir Dagda, sambil bergidik.
“Sebenarnya, saya sedang mempunyai sebuah urusan yang tidak dapat ditunda-tunda, Tuan. Kiranya Tuan sudi memberikan waktu pada saya untuk menyelesaikan urusan saya terlebih dahulu.” Dagda menyampaikan keinginannya. Namun, tiba-tiba wajah Hieftain memerah, matanya melotot seperti mau keluar, dan suaranya terdengar menggelegar.
“Aku yang berkuasa di sini. Aku yang memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dan kamu, aku undang datang kemari untuk menyerahkan harpamu kepadaku, Hieftain, sang Kepala Suku.”
“Menyerahkan harpa saya, Tuan? Tapi, prajurit Tuan berkata bahwa Tuan mengundang saya untuk mengajari bermain harpa, dan setelah itu saya boleh pergi,” Dagda berkata tak mengerti.
“Ya, tentu saja. Kau harus mengajari kami terlebih dahulu. Meski sebenarnya itu tidak penting. Kami sebenarnya mempunyai alat musik yang lebih bagus dari harpamu itu. Tapi, karena ada yang mau membeli harpamu dengan harga yang mahal, maka aku menginginkan alat musik kesayanganmu itu, Dagda.”
Oh, ternyata ini hanya akal-akalan mereka saja, untuk membawaku ke tempat ini. Mereka sama sekali tidak ingin mendengarkan suara harpaku, Dagda membatin. Baiklah, lakukanlah apa yang kalian suka dan aku juga akan melakukan yang aku suka, pikir Dagda. Dagda tersenyum, kemudian berkata, “Baiklah, Tuan Hieftain. Saya akan menyerahkan harpa kesayangan saya ini kepada Anda. Tapi saya mohon, izinkanlah saya memainkannya sebentar saja, sebagai tanda perpisahan saya pada harpa ini, Tuan.”
Kepala suku Hieftain tidak keberatan. Dia mundur beberapa langkah, memberikan ruang pada Dagda untuk memainkan alat musiknya. Dia juga memanggil semua warganya untuk duduk menyaksikan pertunjukan Dagda. Dagda mulai berkonsentrasi, dia harus bisa memengaruhi orang-orang ini dengan suara alat musiknya. Setelah diam sejenak, dia mulai memetik senar harpanya. Nada-nada riang mengalun. Orang-orang yang mengelilingi Dagda tersenyum, sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Dagda terus berkonsentrasi. Apabila dia sudah bisa membuat mereka gembira, akan lebih mudah baginya menguasai mereka. Itulah rencananya. Dia terus bermain. Kali ini dengan irama sedih. Wajah orang-orang yang mendengarkan petikan harpa itu menjadi memelas. Seolah mereka ikut merasakan kesedihan, melalui musik yang dihasilkan harpa Dagda. Setelah selesai memainkan irama sedih, Dagda merubahnya lagi menjadi mendayu-dayu. Orang-orang itu hanyut dalam alunan lembutnya. Satu per satu dari mereka mulai menguap. Dagda terus memainkan harpanya dengan penuh penghayatan. Dia ingin menyihir orang-orang itu dengan musiknya. Apabila dia berhasil membuat seluruh penghuni desa tertidur pulas, dia bisa melarikan diri dengan Dante, kuda putihnya, dan harpanya akan selamat dari tangan orang-orang itu.
Dagda belum berhenti memetik harpanya sampai semua orang tertidur lelap, termasuk Hieftain. Beberapa saat berlalu, Dagda melihat orang-orang sudah tertidur pulas. Hieftain juga tampak lelap, meski suara yang keluar dari mulutnya terdengar seperti kereta api yang meraung-raung. Dagda mulai bertindak. Dia berjalan mengendap-endap, mendatangi kereta kudanya. Dia menepuk Dante perlahan, berharap Dante tidak membuat suara, yang bisa membuat mereka terbangun. Seakan mengerti situasi yang terjadi, Dante berjalan pelan, meninggalkan suku Cnamh.
Dagda masih mengingat dengan baik jalan yang tadi dia lalui. Namun, karena hari sudah gelap, dia harus berusaha keras kembali ke tempat semula dengan penerangan seadanya. Tidak seperti Dagda yang sedikit kesulitan mengenali jalan yang dia lalui dalam kegelapan, Dante masih mengenali jalan yang tadi dilaluinya. Akhirnya, mereka dapat melalui sebuah pohon yang berdaun merah, sebuah pohon kecil berbatang lurus dengan daun seperti tangan yang ada di sekeliling batangnya, dan pohon sulur yang merambat hingga menutupi pohon inangnya. Setelah berjuang keras, mereka sampai di tempat semula dengan selamat.
Dagda dan Dante melanjutkan perjalanan mereka dengan hati-hati. Akan tetapi, mereka belum berjalan terlalu jauh ketika serombongan orang mengadang jalan, di depan mereka. Jantung Dagda berdetak lebih cepat. Dia takut apabila orang-orang suku Cnamh tahu kalau dia telah melarikan diri dan mereka telah diperdaya olehnya. Mereka pasti tidak akan memaafkanku kali ini, batin Dagda. Tangan Dagda yang memegang kendali kuda gemetar. Tubuhnya bergetar hebat ketika rombongan itu semakin mendekatinya.
“Apakah Anda, Tuan Dagda?” Sebuah suara terdengar dari arah rombongan itu. Suara itu tidak sama dengan suara yang tadi didengarnya. Dagda masih terus berdoa, agar mereka bukanlah orang dari suku Cnamh yang akan membawanya kembali ke desa mereka. Rombongan itu semakin mendekat ke arah Dagda. Lampu-lampu yang mereka bawa cukup memberikan penerangan di jalan yang mulai gelap. Dagda menarik napas lega ketika melihat pakaian yang dikenakan orang-orang di hadapannya berwarna merah menyala. Pakaian itu adalah pakaian prajurit kerajaan Maumera, bukan pakaian orang suku Cnamh.
“Benar, Tuan. Saya Dagda, pemain harpa,” Dagda berseru, lantang. Dia sangat senang bertemu dengan orang-orang ini. Dia tidak perlu merasa khawatir lagi, karena prajurit itu pasti mengawalnya sampai ke kerajaan.
“Kami diutus untuk menjemput Anda, Tuan Dagda. Ternyata kita bertemu di sini,” kata salah seorang prajurit yang membawa bendera kerajaan.
“Ya, saya senang bertemu dengan Anda di sini, karena saya juga baru saja mengalami kejadian yang tidak mengenakkan.” Dagda tersenyum senang. Sepanjang jalan, dia menceritakan pengalamannya bertemu orang Cnamh dan mereka membahas kejadian itu dengan seru. Matahari naik sepenggalah ketika mereka mulai melihat kubah kerajaan Maumera. Dagda semakin bersemangat karena perjalanan ke istana tinggal beberapa saat lagi.
Sesampai di istana, Dagda langsung beristirahat. Perjalanan panjang yang tidak mengenakkan itu membuat tubuh Dagda penat. Abdi istana telah menyiapkan tempat yang nyaman untuknya. Dante juga mendapat tempat yang layak bersama kuda-kuda istana lainnya. Dagda memandang ruangan yang disediakan untuknya dengan puas. Dia lalu meletakkan harpa kesayangannya di sudut ruangan. Dia ingin beristirahat sejenak, sebelum berlatih sesaat. Dia ingin menghibur semua orang dengan pertunjukannya malam ini.
Setelah cukup beristirahat dan merasa lebih segar, Dagda merasa siap menghibur rakyat Maumera. Malam itu, pesta pernikahan Putri Raja Maumera akan diselenggarakan. Dagda sudah mengenakan pakaian terbaiknya. Harpanya sudah terlihat mengkilat dengan warnanya yang keemasan dan bau wanginya yang semerbak. Dagda merasa sangat siap untuk memulai pertunjukannya.
Selain Dagda yang sangat antusias dengan pesta itu, hampir semua orang di istana Maumera juga tampak sibuk dan bersemangat melakukan kegiatannya masing-masing. Para pelayan tampak menyiapkan makanan, minuman, dan perlengkapan untuk pesta. Petugas keamanan sudah bersiaga, menjaga agar pesta berjalan lancar.
Sang Putri sudah terlihat cantik dengan gaun putihnya yang indah ketika Raja Maumera berdiri gagah, memberikan pidato singkat. Gemuruh tepuk tangan pertanda dimulainya acara ramah tamah terdengar membahana. Seluruh rakyat Maumera menyambut dengan suka cita. Mereka bebas menikmati hidangan yang disediakan koki istana. Acara semakin meriah dengan pesta dansa yang diiringi alunan musik dari harpa milik Dagda. Simfoni-simfoni indah mengalun, memeriahkan malam yang terang benderang oleh cahaya bulan purnama. Malam itu adalah malam sukacita bagi seluruh rakyat Maumera, dan untuk Dagda, yang telah berusaha memberikan yang terbaik. Malam itu, sukacita dan kebahagiaan membuat Dagda lupa dengan Hieftain dan orang-orang suku Cnamh.
***
Astuti selesai baca bukunya.
"Bagus cerita yang asalnya dari Irlandia," kata Astuti/
Astuti menutup bukunya dan menaruh di meja. Ibu memanggil Astuti. Ya Astuti segera menjawab panggilan ibunya dan segera menghampiri ibunya yang sedang memasak di dapur. Astuti segera membantu ibunya memasak di dapur.
No comments:
Post a Comment