Ratih termenung memikirkan tugas keterampilan yang dibebankan oleh Pak Guru tiga hari yang lalu. Tugas kali ini istimewa. Pak Gun memberi kebebasan membuat benda apa saja. Di samping itu, nilai prakarya kali ini akan dijadikan nilai ujian akhir. Apa yang sebaiknya di buat agar meraih nilai tinggi? Ratih menarik napas panjang. Ia bingung sekali.
"Ada kesulitan, tih?" tanya ibunya.
"Ratih harus membuat prakarya untuk nilai akhir. Ratih bingung."
"Begitu saja bingung. Bikin syal saja."
"Syal? Merenda? Ratih kan tidak dapat merenda, Bu. Atau Ibu yang akan membuatkan prakarya?"
"Kalau Ibu yang buat, nanti nilainya jadi milik Ibu. Tentu Ratih harus membuatnya sendiri."
"Lalu kenapa Ibu menyuruh membuat syal yang tidak mungkin Ratih kerjakan?"
"Pertama, syal mudah dibuat. Ibu yakin setelah diajari Ratih akan dapat membuatnya. Kedua, syal tersebut nantinya dapat Ratih gunakan. Jadi, prakarya tersebut tidak terbuang sia-sia. Ketiga, bahannya sudah ada. Terakhir, Ibu berani bertaruh, deh, hanya Ratih yang membuat syal untuk tugas itu, Ibu berharap nilai Ratih tinggi karena kekhasan prakarya yang kaubuat. Bagaimana?" Ratih langsung menyetujui usul ibunya. Matanya yang hitam berbinar-binar.
Sudah tiga hari Ratih belajar merenda. Hasilnya sudah mulai rapi, hati-hati sekali dia merenda. Semangatnya luar biasa. Meski tangannya mulai lelah, dia tetap merenda. Ratih ingin segera dapat merenda seperti ibunya. Setelah itu, dia dapat mengerjakan syal untuk dikumpulkan.
Tepat pada hari pengumpulan prakarya, syal Ratih sudah jadi. Dia gembira sekali. Berkali-kali diamatinya syal motif bunga melati itu tampak indah. Seminggu kemudian Pak Gun mengumumkan nilai keterampilan. Seperti yang dibayangkan. Ratih memperoleh nilai tinggi. Dia gembira sekali. Segera dimasukkannya syal ke dalam tas, dan kemudian dia bergabung dengan teman-temannya di perpustakan.
"Tin, Ibu ingin berbicara sebentar," kata Bu Yuni, guru bahasa Indonesia. Ratih mengangguk.
"Ibu tadi melihat syalmu. Indah sekali, Ibu ingin memilikinya. Jangan kuatir! Ibu akan ganti harga benangnya. Bukankah Ratih dapat membuatnya kembali?" Ratih terdiam, dia juga amat menyukai syal itu. Tapi dia merasa tidak enak jika menolak permintaan Bu Yuni. Diam-diam dia juga takut kalau-kalau nilai bahasa Indonesianya yanga tidak pernah lebih dari enam setengah itu dikurangi gara-gara dia tidak memberikan syalnya........dan siapa tahu dengan memberikan syal, Bu Yuni mau menaikkan nilainya menjadi tujuh. Ah, siapa tahu.
"Bagaimana, Tih?"
"Silakan, Bu. Benangnya tidak usah diganti."
"Terima kasih sekali."
Hari pembagian rapor pun tiba. Ratih tiba di sekolah pagi sekali. Dia ingin segera tahu berapa nilainya. Terutama nilai bahasa Indonesia. Dia amat berharap nilai bahasa Indonesianya akan naik.
Ketika rapor sudah di tangan, Ratih segera membukanya, mata Ratih terbelalak ketika melihat nilai bahasa Indonesianya malah turun menjadi enam.
"Berapa nilai bahasa Indonesia mu.Tih? " tanya Dwi.
"Enam."
"Sama. Hasil tes ku jelek sih." Ratih tertegun mendengar penuturan Dwi. Ia teringat bahwa hasil tesnya juga jelek. Waktu tes dulu dia tidak belajar dengan baik. Ratih terlalu yakin Bu Yuni pasti akan memberi nilai bagus padanya karena dia telah memberikan syal hijau. Sekarang. Ratih menyesal. Namun, semua telah terjadi. Penyesalan tidak ada gunanya lagi.
No comments:
Post a Comment