"Nathan"
"Iblis? Buset dahh, saya tanya nama buka wujud lo."
"Nathan woi, Nathan"
"Oh, Santan, lo blasteran, ya?"
"Iya, Ayah saya dari Inggris, Ibu Saya dari Madura, takye"
"Pantesan muka lo mirip Mr Bean gitu"
"Lucu, ya?"
"Idiot banget,"
"Jangan mengobrol di jam pelajaran saya." Seketika itu saya pun terdiam, tertunduk malu, membisu. Terdengar kikikan kecil menahan tawa. " kikikikik" tawa kecil yang seakan sedang mengamatiku, menunggu saya lengah dan menerkam.
"Eh Santan, nama saya......Nico. Salam kenal, ya."
Saya masih terdiam, tak mau menatap. Saya seakan lagi bermain pura-pura mati yang sedang berhadapan dengan seekor harimau buas yang sedang lapar. Saya harus fokus dan mendalami karakter saya sebagai....orang mati. Agar Saya tak dimangsa olehnya, tak percuma Saya pernah main film layar lebar. Walau cuma jadi maling ketangkep. Saya angkat tangan Saya menandakan oke ke Nico. Tak ingin saya abaikan senyuman manis di bibirnya.
Belum genap satu jam Saya berada di ruangan ini. Saya sudah memahami dua nasib yang berbeda. Saya tak menyangka akan berhadapan langsung dengan guru terkiller dalam sejarah sekolah ini. Sekolah negeri acak adul. Takdir memaksa Saya untuk selama 3 tahun ke depan harus mendiami sekolah busuk ini, busuk? kenapa busuk? Saya gak tahu, mungkin karena Saya sudah muak dengan namanya sekolah dan rutinitas yang mengkungkung Saya dalam kebosanan sebagai seorang pelajar. Tapi hari ini berbeda, hari ini begitu cerah, begitu sejuk. Senyuman ketusnya yang membuatku merasa sekolah busuk ini seakan taman penuh bunga yang harum mewangi. Takdirlah yang memaksa orangtua Saya untuk menetap di sini. Takdirlah yang membuat Sya berada disini, takdirlah yang menuntun Saya agar masuk ke sekolah ini, dan oh takdir kenapa kau buat perut gue seperti ini disaat yang tidak tepat, saat senyumannya hadir menyapa. Oh iya, nasi goreng tadi pagi, nasi goreng tak biasa dari Bu Yanti, tempat sarapan biasa gue, beliau sedang uju coba resep dari chep Guna dan Saya yang pada awalnya merasa bangga menjadi pelanggan pertama mencicipinya harus menanggung akibatnya sekarang, perut Sya membludak bak Krakatau yang tak kuat menahan gejolak magma di dalamnya. Ini tak bisa dibiarkan, ras tak tahan ini perlahan menjajah gue, dan ini harus segera dihentikan, sebelum keceplosan.
"Bu Saya mau izin keluar, darurat"
"Emang kamu mau ngapain?"
"Please Bu, jangankepo, in darurat" entah apa yang telah Saya lakukan, Saya seketika menjadi alay. Apakah ini dampak kalo kita sedang dalam kondisi kritis? Saya tak bisa mengontrol apa yang Saya katakan. Kata-kata itu terlintas begitu saja.
"Oh begitu, ya sudah, kamu gak Saya izinkan,"
"Waduh Bu tapi,"
"Gak ada tapi, kamu gak boleh ke luar sebelum jam pelajaran selesai,"
Tamat. Hidup Saya tamat. Sampai kapan Sya bisa menahan panggilan ini? konyol, ini konyol sekali di hari pertma sekolah Saya harus melakukan perbuatan mengerikan seperti ini.
"Hei, Santan, emang lo mau ngapain? kebelet ya? Hihi."
Saya mencoba menjawab sebisa Saya, mengaturnya agar tak terjadi tindakan kriminal yang membuat hidup Saya gawat. Saya cuma bisa mengangguk. Saya cuma bisa mengharapkan mukjizat datang sehingga Ibu guru yang tak berprike-belet-an di depan ini bisa pergi menjauh dari hadapan Saya.
"Anak-anak buka buku halaman 171, dan kerjakan tugasnya, ibu mau ke ruang kepala sekolah," apa ini? Miracle macam apa ini? Sejenak setelah Saya memikirkannya kenapa kejadian itu terjadi? kesempatan ini tak boleh Saya lewatkan. Secepat kilat setelah dia pergi. Saya pun langsung ngacir keluar kelas. Layaknya seorang tentara yang sedang di beri mandat untuk menyelesaikan misi, misi penting bagi Saya. Namun sayangnya tentara tak seharusnya pergi tanpa peta. Saya baru di sekolah ini, dan Saya tak pandai dalam membaca tempat, sekolah ini cukup luas buat Saya untuk tersesat dan lupa jalan pulang.
"Kalo wc ada di bawah sana" tanpa basa-basi lagi Saya langsung menuju tempat yang ditunjukkan olehnya. Saya bahkan tak menoleh saat dia memberi petunjuk tadi, sungguh tak sopan perbuatan Saya.
"Gimana? lega, ya?."
"Lega! Nico? ngapain lo di sini? lo ngintipin Saya ya?."
"Enak aja, Saya juga punya selera kali, lo harusnya terima kasih" oh iya, Saya memang tak menoleh tadi, tapi suara lembut itu Saya ingat.
"Oh iya, thanks ya, gak masuk?."
"Sudahlah, kita ke kantin yuk, lo kan gak baru di sini jadi biar Saya kasih tau tempat makan yang asik."
"Lah, tapi guru tadi?...." tak selesai Saya berbicara Saya langsung diseret olehnya, sungguh perempuan yang energic. Saya pun terpaksa mengikutinya.
"Nih, lo harus coba nasi goreng di sini. Tjakep dah pokoknya."
"Nasi goreng? Oh no, Saya troma, ntar kebelet lagi."
"Haha beda lah, ini lebih super lagi."
Dari kejauhan Saya merasakan there's something special yang lewat, dan dia pun menghampiri Saya, Saya gugup, siapakah sebenarnya dia? tak pernah Saya lihat parasnya. Namun, hati ini langsung berdetak ya, itu karena Saya masih hidup, tapi detakkannya begitu berirama bukan dangdut bukan pula seringai, inikah nada cinta?
"Hei, lagi ngapain."
"Lagi boker!" jawab Nico ketus ke cewek itu, mereka saling kenal? sepertinya iya, siapa yang tak kenal Nico, cewek tomboy di sekolah ini, kebanyakan pria takut dengan dia. Bukan karena dia kuat, tapi lebih karena pesonanya, mungkin begitu, dan Saya harap begitu.
"Ih, jorok deh, hei, kenalin Saya sarah, lo anak baru itu ya? lo temannya Nico?." tanpa babibu cewek itu langsung menodong Saya dengan sederet pertanyaan itu, Saya terdesak, Saya cuma bisa mengangguk pelan. Seketika itu Saya salah tingkah, sial, kenapa kebiasaan ini tak bisa hilang. Yang Saya lakukan sekarang hanya melahap makanan yang terabaikan tadi. Saya merasa saat itu sekolah tak semenyeramkan yang selalu Saya bayangkan. Dua peri cantik sedang berada di hadapan Saya. Mimpi apa Saya semalam.
"Lo nanya mulu, kayak pembantu baru aja, Nathan kenalin ini, Sarah, Sarah ini Nathan."
"Nic, lo ingat kan boneka suju yang kemaren, itu lucu banget, Saya pengen beli...." tak lama kemudian, pembicaraan beralih dari nasi goreng menjadi gosip tentang Siwon dan konco-konconya. Agak risih sih Saya dengarnya, soalnya Saya gak terlalu suka suju.
"Suju itu keren, ya, soalnya kalo mereka konser pasti panggung rame, kayak lagi demo hehe" kata Saya garing, "oh" respon mereka berdua hampir bersamaan, Saya merasa nasi goreng di depan Saya sedang mentertawakan Saya. Langsung saja mereka, Saya makan, atau mungkin Saya doyan.
"Oh iya, kita gak masuk nih?," tanya Saya ke Nico, karena Saya baru sadar kalo Saya udah setengah jam meninggalkan kelas, bisa-bisa mati Saya diremuk ama guru killer itu, kalo ketahuan Saya lagi nongkrong di sini.
"Ah tenang aja, gak usah takut, ibu itu lagi sama pacarnya, biasanya sih lama, tuh liat," kata Nico sambil menunjuk ruang guru terlihat ibu itu sedang bersama seorang lelaki paruh baya dengan setelah jas rapi, lengkap dengan dasi khas seorang eksekutif muda, tak lupa rambut yang di atur bela pinggir style andika kangen band, sungguh gaul.
"Kok lo bisa tahu," tanya Saya bingung.
"Ya iya lah, yang nyuruh cowok itu datang kan Saya, dia itu sepupu jauh Saya, Saya sering nyuruh dia ke sini kalo Saya lagi bete di kelas."
"Lo ngelakuin ini buat Saya?."
"Jangan ge er an deh, kan dan gue bilang kalo Saya bete."
"Waduh thanks berat yah, Saya traktir deh hari ini."
"Beneran? Bu, bungkus dua ya?." Sarah langsung mengambil kesempatan.
Pembicaraan ini pun berakhir seiring bunyi bel masuk berbunyi. Setelah beberapa hari di sekolah ini, Saya mulai membiasakan diri dengan lingkungan, dengan tingkah Nico yang sering keluyuran pas jam pelajaran, dengan obsesi si centil Sarah sam suju yang buat kepala gue pusing, sampai amukkan beringas dari si guru killer, Saya udah mulai terbiasa sekarang.
"Nico, udah belajar belum buat ujian besok?," tanya Saya ke Nico.
"Emang ada ujian apa?," sungguh polos tampangnya di saat akan ujian dari guru terkiller, dia bahkan tidak tahu itu ada.
"Yaelah, pulang nanti kita belajar dulu lah."
"Oke, tapi lo harus ikut Saya ya."
"Kemana?."
"Want to knowww, aja hihi." kalo udah ngeliat Nico seperti itu Saya hanya bisa nurut apa keinginannya.
Tak mau Saya kacaukan kebahagiaannya. Sepulang sekolah, anak-anak sudah pulang, tapi tidak untuk saya dan Nico yang masih sibuk dengan soal-soal materi ujian dari si Ibu killer.
"Ah bete nih, Saya ajak Sarah yah."
"Bawa makanan."
"Makan aja pikiran lo." Nico memang tak terlalu pandai dalam bidang akademik, makanya Saya harus menolongnya, tapi di sisi lain dia cukup jahil untuk melakukan perbuatan aneh yang menarik. Dan Saya tak terbayangkan saat Nico berimajinasi mau mencuri soal-soal ujian si Ibu killer. Ah, what kind a joke is it.
"Gimana mau gak? kita pinjam sebentar doang, ambil soalnya, foto kopi, belajar di rumah, terus besok balikin, gampangkan? Ibunya juga gak tahu, kalo dia marah....kan. Saya bisa pangil Om Saya buat ngademinnya hehe, gimana?" liar sekali pikiran perempuan ini, tak sanggup belajar dia ajak Saya untuk mencuri. Dan Saya pun tak tahu kenapa menyetujui rencana itu, karena Saya lihat itu cukup menarik Saya ingin melakukan sesuatu yang belum pernah Saya lakuin sebelumnya. Tapi Saya gak menyangka kejadiannya bakalan menjadi serumit itu.
"Sekarang kita harus mengambil soalnya tanpa harus ketahuan oleh penjaganya," jelas Nico layaknya eorang komandan perang yang sedang menyusun rencana penyusupan.
"Lo pernah ngelakuin ini, Nico?," tanya Sarah khawatir, wajahnya pucat.
"Belum," jawabnya polos.
"Muke gile, lo mau nyari mati, kita masih amatir nih, ntar kalo ketangkep gimana?" Saya mulai merasa pesimis, " Saya kasih tau ya, kalo mau dapat sesuatu yang belum pernah lo dapatkan, lo juga harus ngelakuin yang belum pernah lo lakuin" kata Nico sembari membaca tulisan yang tertera di dinding kelas, Saya sampai lupa slogan itu memang terpampang di sana sejak Saya masuk di sini. Benar juga apa dikatakannya. Akhirnya Saya pun hanya bisa pasrah dan mencoba optimis rencana ini akan berhasil. Sarah yang tadi pucat tiba-tiba menjadi bersemangat, tak Saya sangka kata-kata Nico bisa membangkitkan semangat kami, Nico pasti punya gen Mario Teguh.
"Lo pada tau kan apa yang harus lo lakuin? Nathan lo jaga pintu, kalo ada yang mendekat sebisa mungkin lo halangin, bagaimanapun caranya."
"Walau harus mati?."
"Iya."
"Siap kapten," Saya sudah seperti seorang pasukan berani mati yang siap bertempur.
"Sarah, lo awasin Nathan ntar dia kebelet lagi, hihi dan Saya yang akan mencari dan mengambil soalnya, oke?."
"Oke kapten." Saya gak tahu kenapa Sarah bersemangat mengawasi Saya.
Lima belas menit saat itu merupakan lima belas menit terlama sepanjang hidup Saya, kalo Nico ketahuan, Saya mat. Penuh keringat Saya demi tugas yang sepele ini. berhasil, tapi kok amplopnya ada dua?.
"Kok dua?."
"Saya gak tahu yang mana, Saya ambil aja dua-duanya yang ada di meja beliau, ya udah simpan nih dua-duan, kita tinggal balikkin dua-duanya kan?" Nico mengatakan itu seolah semuanya segampang itu, tapi untuk saat ini, Saya pikir tugas ini memang gampang. Setelah itu, kami bertiga niat merayakan keberhasilan ini dengan makan siang bersama di kafe dekat sekolah, tempatnya nyaman, murah dan dan pastinya, wi-fi gratis. Setelah asik mengobrol, makan dan wi-fi gratisan di kafe tersebut kami pun pulang untuk mengerjakannya di rumah.
Namun, kebodohan Saya membawa malapetaka, Saya menghilangkan amplop berisi soal-soal tersebut.
"Apa!!?," teriak mereka hampir bersamaan, dan Saya yakin ini bukan saatnya untuk cengengesan gak jelas, "sorri, Saya lupa naronya dimana, kayaknya ketinggalan di kafe tadi deh, tenang-tenang, kalo hilang, lo bisa minta Om lo buat ngobrol sama Ibu killer itu kan, Nic?," tanya Saya mencoba menenangkan mereka.
"Masalahnya, Om Saya lagi di luar kota, gak lagi di sini."
"Waduh gimana nih? Ini semua salah elo, kenapa lo bisa seteledor itu sih, kita kan jadi dalam bahaya gini." Sarah pun semakin panik.
"Sori sori, Saya gak sengaja, kalo maslah ini selesai Saya beliin lo boneka suju deh." bujuk Saya agar Sarah berhenti khawatir.
"Ini bukan masalah boneka suju Nathan."
"Plus nasi goreng?."
"Lo gak salah kok," muka Sarah pun langsung berubah senag.
"Ya udah sekarang gimana caranya tuh amplop balik lagi, kita cari di cafe itu dulu," Saya pun mencoba menebus dosa Saya dengan berusaha mencari amplop penuh masalah itu.
"Mbak, lihat dua amplop warna cokelat gak tadi?," tanya Saya ke pelayan di cafe tersebut.
"Oh amplop cokelat, yang ini Mas?," dari kedua amplop yang dibawa Nico satunya berisi soal, tapi yang satu lagi Gue gak tahu karena kami gak pengen bukanya, tapi amplop yang itu bukanlah yang kami cari, sepertinya tertukar. Disana tertulis nama seseorang, Jack, dan tiket kereta api keberangkatannya.
"Ini plan b kita karena kita telah gagal menjaga amplop itu, plannya kita harus ambil kembali amplop itu, kita sudah punya nama orang terebut dan tujuan dia sekarang," kata Saya meniru kata-kata di film-film laga, bukan laga Indosiar.
"Dimana?," tanya Nico.
"Di sini tertulis, kampung rambutan, bali."
"Haaah? Kita akan mengejar dia sampai ke Bali?," Sarah yang tadi keliatan panik malah tambah panik, Saya sekarang tahu gimana ekspresi orang panik yang lagi panik, sungguh aneh.
"Oh, sori, itu tempat dia lahir lo ada peta gak?," tanya Saya serius ke Nico.
"Ada nih, untung Saya bawa," Saya juga enggak tahu kenapa Saya bawa peta.
"Kayaknya dia bakalan pergi ke sini deh," kata Saya sambil menunjuk satu kota yang namanya sama seperti tiket yang tertera di dalam amplop itu. Untungnya keberangkatannya jam 8 malam, jadi kami masih memiliki waktu untuk menjemputnya dan menukarnya.
"Oke jam 7 kita sudah kumpul di sini, terus kita ke stasiun kereta api ini, terus temui orang itu,"
"Terus cara kita mengenali orangnya?,"
"Gampang, tulis aja di karton nama orang itu, terus lo jalan-jalan nyari orangnya, kayak orang bego, siapa yang mau peran itu?," tanya Saya. Mereka berdua tersenyum.
"Siapa lagi, yang punya tampang idiotic," kata Nico ngeledek Saya.
"Okelah, Saya yang nyari nya, puas lo," kami pun tertawa, lalu Saya tertegun.
"Apa lagi, yang lo pikirkan?," tanya Nico yang sudah gak sabaran.
"Plan ini namanya apa ya?," kata Saya bego.
"Yaelah, gak penting juga kali, dasar idiotic," kami bertiga pun cengengesan kembali.
Setelah rencana tersusun rapi, kami pun berangkat ke stasiun yang di tuju, Saya sudah siap terlihat bego untuk malam ini, yah semua itu demi Saya gak di remuk sama si ibu killer itu. Setelah setengah jam muter-muter gak jelas, Saya masih saja belum menemui orang tersebut, lalu Saya melihat pacarnya si Ibu killer, dengan nama tag masih tergantung di leher layaknya mahasiswa baru di optik, Saya menghampiri dia.
"Lah, kenapa ada nama saya di sana?,"
"Lah, ini nama bapak? Beneran ini nama bapak? Bapak tadi makan di cafe dekat sekolah acak adul?," Saya langsung membombardir Bapak itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan bernapas pun dia tak Saya beri kesempatan. Karena takut beliau sesak nafas akhirnya Saya diam, memberi ruang dia berbicara.
"Iya, itu saya, emangnya kenapa?,"
"Haduh, syukur pak, saya sudah mencari bapak dari tadi ini, ini amplop saya ketukar sama amplop punya bapak," lalu Saya menukar dua amplop itu dengan punya Bapak itu, dan anehnya Bapak itu pun tak menyadari bahwa amplopnya ketukar. Tak lama berselang, saran dan Nico datang.
"Sori, Nath, gue telat. eh, om J," kata Nico.
"Lah, Nico, lo kok gak kenal sama Om lo sendiri," tanya Saya kesal.
"Kan udah Saya bilang Om J ini saudara jauh Saya, mana Saya tahu nama lengkapnya Jackurudin," dan akhirnya kami pun dapat membawa amplop itu ke rumah dan belajar untuk ujian besok.
Keesokan harinya Saya dapat kabar kalo si Ibu killer gak masuk hari, dia lagi cuti ada urusan mendadak ke luar kota. Dan ujian pun dibatalkan.
"Ah sial, udah capek-capek kita ngambil soalnya eh malah dibatalin," kata Nico bete.
"Ahah yah inilah akibatnya kalo mau berbuat curang," kami pun cengengesan.
"Eh iya, amplop yang satu lagi itu isinya apa sih? Udah pada lo liat belum sih?," tanya Sarah.
"Nah iya, Saya juga belum liat tuh," kata Saya dan Nico hampir berbarengan.
"Kok barengan gitu? Ciyee," muka Saya pun memerah.
"Sudahlah kita liat aja, Nath, mana aplopnya?," Nico pun mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iye sabar, Saya ambil dulu," Saya pun mencari-cari amplopnya di tas Saya.
"Iye sabar, Saya ambil dulu," Saya pun mencari-cari amplopnya di tas Saya.
"Eh, mana yah, kok gak ada?."
"Apaaa."
Gue cuma bisa cengengesan gak jelas.
No comments:
Post a Comment