Hari Senin pukul 08.00. Anak-anak kelas 6 sedang ulangan bahasa Indonesia. Keadaan kelas tenang sekali. Semua perhatian amak tercurah pada ulangan itu. Ibu guru mengawasi mereka sambil membawa buku.
"Tok...tok...tok..." Tiba-tiba terdengar ketukan pintu perlahan.
"Bu, ada tamu dari Kanwil," kata seorang petugas dari tata usaha sekolah.
"Dapat tunggu? Ibu sedang mengawasi ulangan."
"Diminta sekarang. Katanya penting."
Ibu guru itu akhirnya meninggalkan kelas. Dia berpesan agar anak-anak bekerja sendiri-sendiri dan tidak ribut.
"Wah, susah. Masa ulangan pakai mengarang?" kata Otong tiba-tiba.
"Ssst......jangan berisik," kata teman sebangkunya.
"Biar saja. Pinjam karanganmu!"
"Belum sampai," jawab temannya.
Akhirnya, Otong meminjam kertas ulangan Made yang duduk di depannya. Temannya itu tidak memberi. Otong memaksa mengambil. Terjadilah tarik-menarik. Kertas ulangan sobek. Terjadilah keributan.
Keributan kelas itu berhenti setelah Ibu Guru kembali. Otong akhirnya di hukum. Namun, Otong tidak pernah jera. Hari-hari berikutnya, dia tetap suka ribut. Dia suka menggangu teman-temannya.
"Kita harus mencari akal untuk menghentikan kenakalan Otong," kata Anggi pada suatu hari.
"Ya, dia itu sudah keterlaluan. Masa waktu ulangan bahasa itu, dia mau nyontek, maksa," kata Monang.
"Iya. Sampai kertas ulangan Made sobek," tambah Halimah.
Sekelompok anak kelas 6 itu akhirnya sepakat untuk mengajar Otong. Ketika sedang istirahat ada yang mengajak Otong ke kantin. Otong dengan senang hati ikut. Apalagi, dia akan ditraktir.
"Terima kasih, Yudi!" kata Otong kepada Yudi.
"Yah," jawab Yudi.
Keduanya berjalan beriring meninggalkan kantin. Otong tampak gembira. Dia gembira karena dibelikan minuman kesukaannya. Es apokat.
"Tong, main dulu yok! Belum bel," kata Yudi.
"Sebentar. Aku ambil permen dulu di tas," jawab Otong.
Yudi turun ke halaman. Otong masuk ke kelas. Ruang kelas kosong. Anak-anak beristirahat di luar semua. Otong berjalan mendekati mejanya. Tiba-tiba jantung Otong berdetak lebih cepat. Kemarahannya meledak.
"Kurang ajar! Siapa yang melakuan harus ku balas!" teriak Otong.
Bagaimana kemarahan Otong tidak meledak. Dia melihat tas dan isinya berantakan. Buku-buku dan alat tulisnya berserakan di meja, di kursi, dan di lantai. Bahkan, penggaris dan pensilnya patah-patah.
Otong berlari ke luar. Dia akan mencari dan menghajar teman yang dia curigai. Pada saat itu bel berbunyi. Waktu istirahat habis. Teman-teman Otong berlari-lari masuk kelas. Otong mencegat mereka di pintu. Otong menanyai siapa yang mengacak-acak tasnya. Temannya tak ada yang mengaku.
Keributan di pintu itu hampir terjadi. Otong sudah bersiap memukul Monang. Tiba-tiba Ibu Guru datang. Ibu Guru melerai mereka. Anak-anak di minta masuk kelas.
Setelah anak-anak duduk tenang, Ibu Guru minta penjelasan. Mengapa mereka akan berkelahi. Setelah mendengar penjelasan Otong dan teman-temannya, Ibu Guru itu tersenyum. Dia mengerti mengapa tas Otong berantakan oleh ulah teman-temannya.
"Kalian tak boleh main hakim sendiri. Yang berhak menghukum Otong adalah Ibu."
"Ya, Bu," jawab anak-anak serentak. Mereka tampak merasa bersalah. Mereka duduk tenang. Ke dua tangan bertumpu di atas bangku. Kepala menunduk.
"Otong, bagaimana perasaanmu? Kamu marah ketika melihat tasmu di acak-acak temanmu?"
"Ya, Bu. Saya ingin memukul mereka!"
"Kamu marah sekali?"
"Ya, Bu. Marah sekali!"
"Nah, seperti itulah perasaan temanmu ketika kamu ganggu."
Otong kaget mengapa ibu gurunya berkata begitu. Kepala Otong menunduk. Dia berpikir. Dia kurang mengerti kata-kata gurunya itu. menunduk. Dia berpikir. Dia kurang mengerti kata-kata gurunya itu.
"Kalau kamu tidak mau di ganggu temanmu, jangan kamu ganggu temanmu! Kamu mengerti, Otong?"
"Yaa, Bu."
Otong mulai mengerti apa yang dimaksudkan gurunya. Kepalanya masih menunduk. Dia belum berani memandang wajah guru dan wajah teman-temannya. Dia malu.
No comments:
Post a Comment