Danau Toba senja hari. Air danau terlihat biru dan tenang, tanpa ombak. Di atas air danau beberapa elang terbang rendah, bersiap memangsa ikan mujair yang lengah. Di tengah danau, beberapa nelayan tengah menurunkan jala penangkap ikan ke dalam danau untuk diambil esok harinya. Sementara di tepian danau, para wanita dan anak-anak terlihat sedang mencuci dan mandi. Beberapa bersiap pulang, dengan ember berisi air di kepala. Penduduk Desa Buhit ini memang masih menggunakan air Danau Toba untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Di atas sebuah perahu kecil, yang oleh masyarakat setempat disebut solu, Todo terbahak riang. Membuat solu sedikit oleng ke kiri dan ke kanan.
Umpannya dimakan ikan lagi. Sambil menarik benang pancing, Todo berharap mudah-mudahan bukan ikan mujair lagi. Soalnya, ikan tangkapannya semua ikan mujair. Padahal, opungnya bilang, di danau ini juga ada ikan mas, gabus, dan lele walau jumlahnya memang tak sebanyak ikan mujair.
Ikan di mata kail menggelepar-gelepar. Todo menarik napas kecewa. Warna kulitnya abu-abu kehitam-hitaman. Berarti ikan mujair lagi. Malas Todo menarik pancingnya. Tapi, mata Todo memicing ketika melihat sisi sebelah ikan itu berwarna hitam gelap seperti sudah dibakar. Todo meneliti ikan di tangannya. Aneh! Sebelah ikan bakar, sementara sebelah lagi masih mentah.
Mungkin ada orang yang membakar ikan di tepian danau. Tapi karena sudah kenyang, lalu mencampakkannya ke dalam danau.
Tetapi... karena masih hidup? Benak Todo sibuk berpikir. Dicengkeramnya ikan itu kuat-kuat, karena terlihat seperti meronta minta dilepas.
Setelah mendapat ikan ajaib, akhirnya Todo memutuskan menyudahi acara memancingnya sore ini. Tak sabar ingin segera menunjukkan ikan aneh itu pada adiknya, Kania.
***
Terburu-buru Opung mengambil sebuah baskom berukuran senang. Lalu, ia memasukkan ikan ajaib itu ke dalam baskom, setelah terlebih dahulu diisi air. Tadinya ikan itu sudah setengah pingsan karena tanpa air. begitu berada dalam air, dia mengapung sebentar, megap-megap, dan akhirnya bergerak lincah.
Opung menarik napas lega.
"Ikan ini harus kau pulangkan ke danau."
"Kenapa, Opung?"
"Pokoknya kembalikan saja sekarang juga."
"Jangan, Opung! Aku bawa pulang saja ke Medan. Jarang-jarang kan ikan yang sudah terbakar sebelah masih bisa hidup," seru Kania, bermaksud memegang ikan itu lagi. Tapi, tangan Opung lebih cepat mencegah.
"Jangan! Ini bukan ikan sembarangan."
"Maksud Opung?"
"Ikan ini kepunyaan penunggu danau itu."
Todo terbahak. Tapi, segera bungkam melihat Opung menatapnya tajam. Ah, ada-ada saja! Zaman secanggih ini, ternyata Opung masih percaya pada hal-hal semacam ini.
"Pulangkanlah sekarang juga. Sebelum keburu malam."
"Aku malas, Opung."
"Todo!" bentak Opung.
"Pulangkanlah saja, Bung!" pinta Kania ketakutan.
"Opung jangan terlampau percaya sama takhayul," seru Todo seraya bangkit karena tak tega melihat tampang Opung yang ketakutan.
Ditemani Opung, Todo menenteng baskom berisi ikan ajaib itu kembali ke danau. Berdiri di tepian danau, Todo bermaksud melemparkan ikan itu ke dalam danau, tapi Opung mencegah.
"Kita pulangkan ke tempat kau menangkapnya tadi,"
"Tak mungkin, Opung."
"Kenapa tak mungkin?"
"Aku menangkapnya dari tengah danau."
"Kita antar ke sana."
Opung segera menarik sebuah solu yang entah milik siapa ke dalam air.
"Cepat naik!"
Todo naik di sebuah ujung. Menghadap ke arah Opung yang mendayung dengan gesit.
"Dari mana kau ambil tadi?"
"Mungkin agak ke tengah."
"Kau memancing sampai sejauh ini?"
"Ya."
"Di sekitar sini, Opung."
"Lepaskan ikan itu."
Setelah masuk ke dalam air, ikan itu langsung bergerak ke bawah. Dengan sangat hati-hati Opung meletakkan beberapa lembar sirih ke atas air.
"Maafkan atas kelancangan cucuku ini. Dia tak tahu apa yang dia perbuat."
Memicing mata Todo.
"Mulai besok kau tak boleh memancing lagi!" vonis Opung, begitu mereka kembali ke rumah.
Tado tercekat. "Kenapa, Opung?"
"Itu tadi sebagai pertanda."
"Pertanda apa?"
"Pertanda kalau kau tak diizinkan mengambil ikan di tempat itu."
Todo kecewa.Buat apa dia mau liburan ke Pulau Samosir kalau tak diizinkan memancing ikan di Danau Toba?"
***
Bibir Todo tampak cemberut. Lebih setengah jam, belum satu ikan pun yang berhasil termakan umpannya. Mungkin kurang ke tengah, pikirnya sambil mengayuh solu. Sepuluh menit. Ah, sama saja! Barangkali ikan-ikan di danau ini lagi berkumpul di tengah, pikir Todo lagi. Dikayuhnya lagi dayung di tangannya sampai beberapa kayuhan.
Beredar mata Todo. Sedikit bergidik begitu menyadari kalau ternyata ia sudah jauh dari daratan, bahkan ia tak lagi meleihat solu nelayan yang menjala di sekitarnya.
Ketika bermaksud kembali ke daratan, Todo berpikir tak ada yang harus dia takutkan. Air danau tenang, tanpa ombak. Dia pun jago renang, jadi tak akan mati tenggelam jika solunya oleng atau terbalik. Lagi pula jika dekat dari daratan, bisa-bisa ketahuan Opung yang telah melarangnya untuk memancing.
Todo merasakan ada tarikan pada pancingnya. Pasti ikan segar, karena tarikannya begitu kuat. Akibat menarik benang pancing terlalu kencang, solu sedikit oleng. Ketika berusaha menyeimbangkan berat badan agar tak terbalik, tiba-tiba angin bertiup kencang.
Todo tercekat, terlebih dari depannya ombak besar bergulung- gulung mendekati solunya. Langit yang tadi tampak biru, hitam seketika. Petir menyambar.
Di tengah kepanikan, ombak menerjang. Todo tersentak lalu terlempar ke dalam air. Dia masih berusaha berenang, tapi seperti ada yang menarik kakinya ke bawah.
***
Todo duduk di sebuah batu besar yang menjorok ke danau.. Sejauh mata memandang, hamparan air biru lembut melenakan seperti tanpa akhir. Dan di kaki danmembingkai danau.
Keindahan nyaris tanpa cacat. Kalaupun ada yang kurang sempurna, barangkali karena kesunyian yang mengembang kaku. Hanya seekor burung elang yang terbang di atas air danau.
Dari belakang, Patar menepuk pundaknya. Todo menoleh sekilas. Pria berkulit hitam itu mengambil tempat di sampingnya.
"Tempat ini begitu sunyi, seperti tak ada kehidupan."
"Karena tak ada orang yang mau tinggal di sini."
"Padahal di sini jauh lebih daripada di kampungku."
"Tapi, keindahan tak menjamin kebahagian, bukan?"
"Mengapa kau tak pindah saja dari sini?"
"Dia sinilah duniaku."
Pandangan Todo lurus ke depan. Walau jauh tak ada terlihat daratan.
"Di sebelah mana kampungmh?"
"Tak terlihat dari sini. Karena tempat ini begitu jauh." ucap Patar dingin. "Tapi, aku akan membantumu pulang." lanjutnya melihat keresahan Todo.
Patar. Pria sebayanya itu yang menolong Todo saa dia hampir tenggelam di danau tadi.
"Kapan aku bisa pulang?"
Patar menggeleng. "Kita lihat kondisi air danau."
"Aku ingin pulang secepatnya. Aku takut Opung mencariku."
Patar tersenyum sendu. "Jangan terlalu sering melawan Opungmu itu, Dia itu pria baik. Karena sayang padamu, makanya dia suka melarangmu memancing di tengah danau."
"Kamu kenal Opung?"
"Dulu sekali."
Tiba-tiba air danau yang tadi tenang berubah ganas. Ombak bergulung-gulung. Angin putar bertiup kencang, bergerak mendekati mereka duduk.
Todo terperanjat. Keadaan ini sama seperti dia saat terhanyut. Bedanya, kali ini tak ada petir menyambar. Dan langit tetap putih.
"Sudah saatnya kau pulang."
"Apa?"
"Pulanglah, atau kau akan terjebak di sini untuk selamanya."
"Tapi, bagaimana caranya?" seru Todo.
"Masuklah ke pusaraan air yang berputar itu."
Todo menggeleng keras. Mukanya tiba-tiba pucat. Mengikuti anjuran pria itu sama dengan bunuh diri.
"Cepat, waktumu tidak lama! Jangan sampai pusaran itu menghilang!"
"Tidak!"
Patar bangkit. Menatap Todo dengan geram. Cepat ditariknya tangan Todo hingga tempat di pinggir batu tempat mereka berada.
"Melompatlah!" perintahnya tegas.
"Ti...tidak!" Todo berusaha mundur. Tapi, Patar bergerak lebih cepat. Didorongnya tubuh Todo hingga terlempar ke pusaran air. Sebelum mendorong tadi, masih sempat disematkannya ke leher Todo sebuah kalung terbuat dari perak, yang selama ini selalu dikenakannya.
"Bilang pada Opungmu, aku baik-baik saja di sini," masih sempat Todo mendengar teriakan Patar itu, sebelum seperti ada yang mendorong tubuhnya. Todo berusaha berteriak meminta tolong. Tapi, suaranya tertahan karena air masuk ke dalam mulutnya. Todo merasa tubuhnya tertarik. Tak lama, kepala Todo menyembul ke permukaan danau.
***
Bus Sampri terseok-seok menapaki jalan yang mendaki. Bus itu yang akan membawa Todo kembali pulang ke Medan. Di bawah bukit, hamparan Danau Toba terlihat biru dikelilingi hijaunya bukit.
Todo menatap lekat. Di birunya air itu, entah di kedalaman yang mana, ada seseorang yang teramat dekat dengannya.
Kalung pemberian Patar, menjelaskan semua. Ternyata, Patar merupakan anak tertua Opung. Itu berarti dia harus memanggilnya Bapa Tua karena merupakan abang kandung ayahnya.
Akhirnya, Opung menceritakan kisah sedih beberapa puluh tahun lalu yang beliau coba lupakan. Patar sering menjala ikan. Satu hari dia mendapat ikan ajaib. Sebelah sisinya seperti hitam terbakar, sementara sebelah sisi lagi mentah dan hidup. Ikan itu dibawanya pulang.
Patar mengabaikan perintah Opung untuk mengembalikan ke danau. Karena ikan itu milik penunggu danau itu.
Besoknya saat menjala ikan ke danau, Patar tak pernah kembali ke daratan. Hilang tanpa jejak. Sesepuh desa bilang, Patar diambil penunggu danau karena telah lancang mengambil ikan miliknya.
Mata Todo masih tertancap pada birunya air danau. Sementara di sampingnya Kania sudah tertidur semenjak tadi. Dia yakin yang terjadi padanya, bukan suatu kecelakaan. Bapa Tua Patar hanya ingin meminjamnya, menjadikannya perantara, untuk mengabarkan kepada Opung, bahwa dia baik-baik saja. Walau kini ia berada pada alam yang berbeda dan tak terjamah, alam yang tak kasat mata dan tak berputar.
Sewaktu berada di sana, Todo hanya merasa satu senja. Tapi, ternyata lebih seminggu dia dinyatakan hilang di danau. Pantas saja wajah Bapa Tua Patar masih tetap muda.
Buat Kak Bunga di RSU Herna Medan dan Kak Vera di SMPN Binjai: "Kampung Kita Tak Seindah Dulu"
Karya: T. Sandi Situmorang
Di atas sebuah perahu kecil, yang oleh masyarakat setempat disebut solu, Todo terbahak riang. Membuat solu sedikit oleng ke kiri dan ke kanan.
Umpannya dimakan ikan lagi. Sambil menarik benang pancing, Todo berharap mudah-mudahan bukan ikan mujair lagi. Soalnya, ikan tangkapannya semua ikan mujair. Padahal, opungnya bilang, di danau ini juga ada ikan mas, gabus, dan lele walau jumlahnya memang tak sebanyak ikan mujair.
Ikan di mata kail menggelepar-gelepar. Todo menarik napas kecewa. Warna kulitnya abu-abu kehitam-hitaman. Berarti ikan mujair lagi. Malas Todo menarik pancingnya. Tapi, mata Todo memicing ketika melihat sisi sebelah ikan itu berwarna hitam gelap seperti sudah dibakar. Todo meneliti ikan di tangannya. Aneh! Sebelah ikan bakar, sementara sebelah lagi masih mentah.
Mungkin ada orang yang membakar ikan di tepian danau. Tapi karena sudah kenyang, lalu mencampakkannya ke dalam danau.
Tetapi... karena masih hidup? Benak Todo sibuk berpikir. Dicengkeramnya ikan itu kuat-kuat, karena terlihat seperti meronta minta dilepas.
Setelah mendapat ikan ajaib, akhirnya Todo memutuskan menyudahi acara memancingnya sore ini. Tak sabar ingin segera menunjukkan ikan aneh itu pada adiknya, Kania.
***
Terburu-buru Opung mengambil sebuah baskom berukuran senang. Lalu, ia memasukkan ikan ajaib itu ke dalam baskom, setelah terlebih dahulu diisi air. Tadinya ikan itu sudah setengah pingsan karena tanpa air. begitu berada dalam air, dia mengapung sebentar, megap-megap, dan akhirnya bergerak lincah.
Opung menarik napas lega.
"Ikan ini harus kau pulangkan ke danau."
"Kenapa, Opung?"
"Pokoknya kembalikan saja sekarang juga."
"Jangan, Opung! Aku bawa pulang saja ke Medan. Jarang-jarang kan ikan yang sudah terbakar sebelah masih bisa hidup," seru Kania, bermaksud memegang ikan itu lagi. Tapi, tangan Opung lebih cepat mencegah.
"Jangan! Ini bukan ikan sembarangan."
"Maksud Opung?"
"Ikan ini kepunyaan penunggu danau itu."
Todo terbahak. Tapi, segera bungkam melihat Opung menatapnya tajam. Ah, ada-ada saja! Zaman secanggih ini, ternyata Opung masih percaya pada hal-hal semacam ini.
"Pulangkanlah sekarang juga. Sebelum keburu malam."
"Aku malas, Opung."
"Todo!" bentak Opung.
"Pulangkanlah saja, Bung!" pinta Kania ketakutan.
"Opung jangan terlampau percaya sama takhayul," seru Todo seraya bangkit karena tak tega melihat tampang Opung yang ketakutan.
Ditemani Opung, Todo menenteng baskom berisi ikan ajaib itu kembali ke danau. Berdiri di tepian danau, Todo bermaksud melemparkan ikan itu ke dalam danau, tapi Opung mencegah.
"Kita pulangkan ke tempat kau menangkapnya tadi,"
"Tak mungkin, Opung."
"Kenapa tak mungkin?"
"Aku menangkapnya dari tengah danau."
"Kita antar ke sana."
Opung segera menarik sebuah solu yang entah milik siapa ke dalam air.
"Cepat naik!"
Todo naik di sebuah ujung. Menghadap ke arah Opung yang mendayung dengan gesit.
"Dari mana kau ambil tadi?"
"Mungkin agak ke tengah."
"Kau memancing sampai sejauh ini?"
"Ya."
"Di sekitar sini, Opung."
"Lepaskan ikan itu."
Setelah masuk ke dalam air, ikan itu langsung bergerak ke bawah. Dengan sangat hati-hati Opung meletakkan beberapa lembar sirih ke atas air.
"Maafkan atas kelancangan cucuku ini. Dia tak tahu apa yang dia perbuat."
Memicing mata Todo.
"Mulai besok kau tak boleh memancing lagi!" vonis Opung, begitu mereka kembali ke rumah.
Tado tercekat. "Kenapa, Opung?"
"Itu tadi sebagai pertanda."
"Pertanda apa?"
"Pertanda kalau kau tak diizinkan mengambil ikan di tempat itu."
Todo kecewa.Buat apa dia mau liburan ke Pulau Samosir kalau tak diizinkan memancing ikan di Danau Toba?"
***
Bibir Todo tampak cemberut. Lebih setengah jam, belum satu ikan pun yang berhasil termakan umpannya. Mungkin kurang ke tengah, pikirnya sambil mengayuh solu. Sepuluh menit. Ah, sama saja! Barangkali ikan-ikan di danau ini lagi berkumpul di tengah, pikir Todo lagi. Dikayuhnya lagi dayung di tangannya sampai beberapa kayuhan.
Beredar mata Todo. Sedikit bergidik begitu menyadari kalau ternyata ia sudah jauh dari daratan, bahkan ia tak lagi meleihat solu nelayan yang menjala di sekitarnya.
Ketika bermaksud kembali ke daratan, Todo berpikir tak ada yang harus dia takutkan. Air danau tenang, tanpa ombak. Dia pun jago renang, jadi tak akan mati tenggelam jika solunya oleng atau terbalik. Lagi pula jika dekat dari daratan, bisa-bisa ketahuan Opung yang telah melarangnya untuk memancing.
Todo merasakan ada tarikan pada pancingnya. Pasti ikan segar, karena tarikannya begitu kuat. Akibat menarik benang pancing terlalu kencang, solu sedikit oleng. Ketika berusaha menyeimbangkan berat badan agar tak terbalik, tiba-tiba angin bertiup kencang.
Todo tercekat, terlebih dari depannya ombak besar bergulung- gulung mendekati solunya. Langit yang tadi tampak biru, hitam seketika. Petir menyambar.
Di tengah kepanikan, ombak menerjang. Todo tersentak lalu terlempar ke dalam air. Dia masih berusaha berenang, tapi seperti ada yang menarik kakinya ke bawah.
***
Todo duduk di sebuah batu besar yang menjorok ke danau.. Sejauh mata memandang, hamparan air biru lembut melenakan seperti tanpa akhir. Dan di kaki danmembingkai danau.
Keindahan nyaris tanpa cacat. Kalaupun ada yang kurang sempurna, barangkali karena kesunyian yang mengembang kaku. Hanya seekor burung elang yang terbang di atas air danau.
Dari belakang, Patar menepuk pundaknya. Todo menoleh sekilas. Pria berkulit hitam itu mengambil tempat di sampingnya.
"Tempat ini begitu sunyi, seperti tak ada kehidupan."
"Karena tak ada orang yang mau tinggal di sini."
"Padahal di sini jauh lebih daripada di kampungku."
"Tapi, keindahan tak menjamin kebahagian, bukan?"
"Mengapa kau tak pindah saja dari sini?"
"Dia sinilah duniaku."
Pandangan Todo lurus ke depan. Walau jauh tak ada terlihat daratan.
"Di sebelah mana kampungmh?"
"Tak terlihat dari sini. Karena tempat ini begitu jauh." ucap Patar dingin. "Tapi, aku akan membantumu pulang." lanjutnya melihat keresahan Todo.
Patar. Pria sebayanya itu yang menolong Todo saa dia hampir tenggelam di danau tadi.
"Kapan aku bisa pulang?"
Patar menggeleng. "Kita lihat kondisi air danau."
"Aku ingin pulang secepatnya. Aku takut Opung mencariku."
Patar tersenyum sendu. "Jangan terlalu sering melawan Opungmu itu, Dia itu pria baik. Karena sayang padamu, makanya dia suka melarangmu memancing di tengah danau."
"Kamu kenal Opung?"
"Dulu sekali."
Tiba-tiba air danau yang tadi tenang berubah ganas. Ombak bergulung-gulung. Angin putar bertiup kencang, bergerak mendekati mereka duduk.
Todo terperanjat. Keadaan ini sama seperti dia saat terhanyut. Bedanya, kali ini tak ada petir menyambar. Dan langit tetap putih.
"Sudah saatnya kau pulang."
"Apa?"
"Pulanglah, atau kau akan terjebak di sini untuk selamanya."
"Tapi, bagaimana caranya?" seru Todo.
"Masuklah ke pusaraan air yang berputar itu."
Todo menggeleng keras. Mukanya tiba-tiba pucat. Mengikuti anjuran pria itu sama dengan bunuh diri.
"Cepat, waktumu tidak lama! Jangan sampai pusaran itu menghilang!"
"Tidak!"
Patar bangkit. Menatap Todo dengan geram. Cepat ditariknya tangan Todo hingga tempat di pinggir batu tempat mereka berada.
"Melompatlah!" perintahnya tegas.
"Ti...tidak!" Todo berusaha mundur. Tapi, Patar bergerak lebih cepat. Didorongnya tubuh Todo hingga terlempar ke pusaran air. Sebelum mendorong tadi, masih sempat disematkannya ke leher Todo sebuah kalung terbuat dari perak, yang selama ini selalu dikenakannya.
"Bilang pada Opungmu, aku baik-baik saja di sini," masih sempat Todo mendengar teriakan Patar itu, sebelum seperti ada yang mendorong tubuhnya. Todo berusaha berteriak meminta tolong. Tapi, suaranya tertahan karena air masuk ke dalam mulutnya. Todo merasa tubuhnya tertarik. Tak lama, kepala Todo menyembul ke permukaan danau.
***
Bus Sampri terseok-seok menapaki jalan yang mendaki. Bus itu yang akan membawa Todo kembali pulang ke Medan. Di bawah bukit, hamparan Danau Toba terlihat biru dikelilingi hijaunya bukit.
Todo menatap lekat. Di birunya air itu, entah di kedalaman yang mana, ada seseorang yang teramat dekat dengannya.
Kalung pemberian Patar, menjelaskan semua. Ternyata, Patar merupakan anak tertua Opung. Itu berarti dia harus memanggilnya Bapa Tua karena merupakan abang kandung ayahnya.
Akhirnya, Opung menceritakan kisah sedih beberapa puluh tahun lalu yang beliau coba lupakan. Patar sering menjala ikan. Satu hari dia mendapat ikan ajaib. Sebelah sisinya seperti hitam terbakar, sementara sebelah sisi lagi mentah dan hidup. Ikan itu dibawanya pulang.
Patar mengabaikan perintah Opung untuk mengembalikan ke danau. Karena ikan itu milik penunggu danau itu.
Besoknya saat menjala ikan ke danau, Patar tak pernah kembali ke daratan. Hilang tanpa jejak. Sesepuh desa bilang, Patar diambil penunggu danau karena telah lancang mengambil ikan miliknya.
Mata Todo masih tertancap pada birunya air danau. Sementara di sampingnya Kania sudah tertidur semenjak tadi. Dia yakin yang terjadi padanya, bukan suatu kecelakaan. Bapa Tua Patar hanya ingin meminjamnya, menjadikannya perantara, untuk mengabarkan kepada Opung, bahwa dia baik-baik saja. Walau kini ia berada pada alam yang berbeda dan tak terjamah, alam yang tak kasat mata dan tak berputar.
Sewaktu berada di sana, Todo hanya merasa satu senja. Tapi, ternyata lebih seminggu dia dinyatakan hilang di danau. Pantas saja wajah Bapa Tua Patar masih tetap muda.
Buat Kak Bunga di RSU Herna Medan dan Kak Vera di SMPN Binjai: "Kampung Kita Tak Seindah Dulu"
Karya: T. Sandi Situmorang
No comments:
Post a Comment