CAMPUR ADUK

Tuesday, January 8, 2019

AKU MALU DENGAN HIJABKU

Sepoi angin november menyibakkan hijab gadis yang  tengah duduk dibawah pohon kanopi. Hawa sejuk dipinggir pantai membuatnya nyaman untuk tetap disana. Meski pun kini awan mulai menampakan warna gelapnya. Tapi ia tetap tak peduli.

Mata indahnya menyapu latar pantai. Terlihat beberapa anak berlarian ditepi pantai dan akan berteriak histeris saat ombak menyentuh kaki-kaki mungilnya. Gadis itu tersenyum. Perlahan masa kecilnya menyeruak menimbulkan nyeri. Ia teringat 11 tahun silam. Tepatnya saat gadis remaja itu berumur 9 tahun.

“Zahra .. mulai besok harus pakai jilbab ya ..”

Zahra mendongak memandang neneknya yang sedari tadi mengelus rambutnya. Alis tebalnya mengerut hampir bertabrakan.

“Memangnya kenapa nek? Pakai jilbab kan panas” protes zahra.

“Menutup aurat itu wajib nak hukumnya, dan rambut itu termasuk aurat anak perempuan. Kalau tidak memakai hijab, nanti allah marah sama zahra. Karena allah sudah memerintahkan umatnya untuk berhijab, keculai anak laki-laki lho.. bejilbab juga dapat mempercantik diri” kata nenek penuh dengan kasih sayang. Zahra hanya manggut-manggut, mulai mencerna perkataan neneknya.

“Tapi nek .. kenapa ibu tidak berhijab?”

Pertanyaan zahra seakan menghentikan waktu neneknya. Hening.

“Mungkin ibumu belum terbuka pintu hatinya” jawab nenek sekenanya.

Zahra menaikkan kedua pundaknya tak mengerti. Ia terlalu kecil untuk dapat memahami situsai seperti ini. Nenek menghembuskan nafas keras. Seolah ada sesuatu yang berdesakan memenuhi ruang hatinya.

Sejak zahra lahir dan menjadi gadis menggemaskan ia selalu bersama neneknya. Tanpa ada timangan dari seorang ayah. Dan hanya ada seorang ibu yang lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah. Meskipun begitu kecintaan dengan ibunya tidaklah surut. Ia tau ibu bekerja untuk kelangsungan hidup mereka. Karenanya ia dapat menerima itu, walaupun terkadang iri melihat beberapa temannya yang terus didampingi ibunya di sekolah.

Tibalah saat dimana air mata terus terurai. Tubuh mungilnya memeluk erat nenek yang telah terkulai lemah diatas pembaringan. Matanya sembab, ia tak mampu berucap lagi. Apa yang akan terjadi setelah ini? lantas dengan siapa ia harus tinggal? Ia menggoyah-ngoyahkan jenazah nenek, dengan harapan tuhan memberi keajaiban dan kesempatan kedua untuk hidup bersama neneknya lagi. Dan ternyata tidak ada yang berubah. Semua tetap sama.

Langit benar-benar roboh menjatuhinya dan dunia tak lagi berputar. Tidak ada yang bisa diharapkan dari ibu yang dulu pernah mengandungnya. Setelah kematian nenek, zahra dibawanya dipanti asuhan. Hingga dewasa dan mengerti apa itu penghianatan. Berikutnya ibu yang dianggapnya sebagai pahlawan itu menghilang.

Sepoi angin yang hampir menjadi badai mengundang hujan. Gadis berhijab tersadar dari lamunannya. Ia segera bergegas meninggalkan pantai.

“Rara .. cepat berteduh! “ teriak seseorang dari kejauhan melihat rara berjalan begitu lamban.

“Ini juga udah lari” dengus rara yang sudah sampai di tempat teriakan itu berasal.

“Persis keong” ledek teman rara yang kemudian disusul tawa renyah. Rara menyeringai. Temanya yang satu ini memang hampir membuatnya naik darah setiap hari. Tapi dibalik kejailanya tersimpan kenyamanan yang membuat rara betah berteman dengannya. Namanya nela. Nela aja nggak lebih. Entah darimana ia berasal, saat itu bu panti menemukan bayinya dikebun belakang. Kejam sekali membuang bayi secantik nela. Meski warna kulitnya kontras dengan warna kulit zahra yang kuning langsat.  Tapi ia memiliki kelebihan hidung mancung dengan mata sipit hampir tak terlihat jika tertawa. Manis sekali. Entah dari mana ia mendapatkan  keturunan seperti itu. Yang pasti nela adalah sosok teman yang baik. Dan  orang yang paling dicintai zahra setelah neneknya. Mereka sudah saling berjanji satu sama lain. Bawasanya tidak akan pernah  meninggalkan dalam keadaan apapun. “karena kita ibarat sepasang sandal jepit. Yang tidak akan menjadi sempurna jika tidak berdua” ujar nela suatu ketika.

“Ila ukhtina zahra zakiatunnisa, ja’aki adduyuf” speaker panti berbunyi keras memenuhi ruangan. Rara yang merasa mananya disebut kaget. Selama 11 tahun ini tidak ada yang menjenguknya di panti. Lalu siapa yang mengunjunginya?

“Ra.. denger nggak sih? Apa teilngaku yang salah? Kayaknya tadi ada panggilan kamu dapet tamu deh “ 

“Kayaknya bu panti salah sebut nama deh nel” rara memastikan.

Detik kemudian seseorang hadir dari balik tirai. Membuat empat pasang mata terbelalak hampir copot. Posturnya tinggi semampai , dengan pakaian minim yang serba terbuka dibagian sana sini. Rambutnya tidak bisa ditebak warnanya. Entah orange ataupun coklat. Senyumnya merekah. Cantik. Tapi lebih terkesan menjijikan dimata rara dan nela.

Rara mundur beberapa langkah sebelum wanita itu sempurna berhambur memeluk rara. Pasrah. Air mata rara mulai berjatuhan begitu juga wanita misterius itu.

“Maafkan aku  ..” rintih wanita yang lebih tepatnya ibu rara.

Sebenci apapun rara dengan seseorang yang telah meninggalkannya, tapi disebagian hatinya masih terdapat ruang kosong yang selalu mengharapkan kehadirannya. Kehadiran seorang ibu yang dulu pernah mengandung rara.

Nela tertegun setengah tak percaya. Rara tak pernah bercerita tentang ibunya yang berpenampilan lebih mirip dengan kupu-kupu malam. Tak ada jawaban dari mulut rara. Dadanya penuh dengan luka. Selama ini ibunya tak pernah menggapnya ada. Lalu dengan mudahnya datang dan meminta maaf.

“Ibu tau kamu marah, ibu hanya ingin meminta maaf dan mengajak zahra pulang. Ibu sudah carikan ayah untuk zahra. Dan ibu janji akan merawat zahra” ujar ibu rara penuh kesedihan.

Sontak tangan rara melepaskan pelukan ibunya dengan kasar. Matanya memerah menahan air mata berikutnya yang akan jatuh.

“Pergi!aku tidak membutuhkan ibu ataupun seorang ayah !” suara rara bergetar. Senada dengan badanya.

“Aku bilang pergi !!!!!!!!!  aku tak mengenalimu! “

Umpatan rara mengundang banyak penonton. Ruangan itu hampir dipenuhi anak-anak panti yang terlihat serius menonton kejadian panas ala sinetron. Mulut mereka mengganga bersamaan seperti sudah direncanakan sebelumnya.

“Kumohon tinggallah bersama ibu” kini ibu rara bersimpuh dihadapan rara.

Tangis rara pecah. Sejurus kemudian ia berlari menuju pantai.

“Maafkan aku ya allah” ujarnya berkali-kali. Rara terpuruk dihamparan pasir. Sampai hampir  tertidur.  Rasa nyaman hadir mengisi kesunyian. Seseorang datang dengan tangan halus yang kini mengelus jilbabnya.

“Nenek .. “ suara rara parau.

“Pulanglah nak” pemilik tangan halus berkata dengan suara berat. Rara segera beranjak dan menoleh.

“Siapa kamu? Jangan pernah sentuh aku!” rara memberi jarak yang begitu jauh.

“Ayahmu” tutur pria berkumis lebat dan berperut buncit.

Rara menggeleng dan melemparinya dengan berbagai umpatan.

“hei!!! Cukup! Ibumu yang merusak rumah tanggaku. Sehingga mengharuskan aku menikahinya. Dia hanya seorang pelacur. Jika bukan karena istriku. Tak sudi aku menikahinya!” 

Rara hancur tersobek kenyataan mendengar penjelasan lelaki berkepala empat itu. Seketika badanya melemas. Nela dengan sigap menopang tubuh rara.

“Tolong pak.. tinggalkan tempat ini!” nela berkata tegas.

Tanpa sepatah kata yang tertinggal lelaki tua itu pergi dan membawa ibu rara secara paksa.

“Sabar ya rara .. alhamdulillah kamu masih diberi kesempatan bertemu ibumu. Meski dengan keadaan seperti ini. semua harus disyukuri ra..” nela memeluk sahabatnya yang penuh luka.

“Aku tidak pantas mengenakan ini nel!” jerit rara seraya melepas jilbab yang sudah mapan menjaga mahkotannya. Rambut panjangnya berkibaran tersapu angin pantai.

“Astagfirulloh rara!!” nela berusaha menutupi rambut rara. Menangis. Karena kedatangannya tidak juga meredamkan kemarahan sahabatnya.

“Apa yang akan terjadi jika nenekmu mengetahui ini? bukankah kamu sudah berjanji akan mengenakan jilbab ra?”

“Aku malu memakai hijab. Sedangkan ibuku seorang pelacur. Tidak ada gunanya nel!” tutur rara disela-sela tangisnya. Rara menggeleng keras.

“Kamu salah ra. Justru dengan memakai hijab yang dapat menjadikan pembeda antara kamu dan ibumu. Dengan hijabmu juga yang kelak akan menolong ibumu. Semoga hidayah cepat mengetuk pintu hatinya”

Rara menangis sejadi-jadinya dipelukan nela. Diam- diam Ia membenarkan perkataan sahabatnya. Lagipula ia sudah bertekad sepenuh hati. Akan selalu berhijab. Selain memenuhi janji nenek, berhijab adalah wajib hukumnya. 

“Sttt.. udah dong jangan nangis lagi. Bukanya kamu pernah bilang ya kalo anak manis nggak nboleh nangis? “ kata nela sembari menghapus air mata rara.

“Kamu juga nagis kok” balas rara.

“Bukannya kamu juga pernah bilang? Akan jadi anak kuat yang anti dengan air mata”.

Dengan cepat nela menghapus sisa kristal bening yang sebenarnya membuat dadanya sesak.

“Janji ya nggak akan lepas hijab lagi..” nela mengenakan hijab pada rara.

Rara mengangguk dengan senyum simpul. Meski  sakit hatinya belum memulih.

“Lalu bagaimana dengan ibu? Aku sudah kasar padanya. Bagaimanapun dia tetap ibuku nel. Dengan susah payah mengandungku” wajah rara tersentuh kemurungan.

“Nggak papa .. besok aku antar menemui ibumu dan meminta maaflah. Selanjutnya keputusan ada ditanganmu, mau berjalan berdampingan dengan ibumu atau akan tetap berada di panti” kata nela menahan keegoannya. Sebenarnya ia sangat berharap rara akan tetap di panti bersamaannya. Tapi nela tak ingin menjadi penghalang ataupun batu sandungan yang menghambat kebahagiaan rara. Karena hanya bersama keluarga hidup terasa berarti.

Rara tersenyum begitu juga nela. Di hati mereka tersemat do’a munajab, ditengah hamparan pasir putih, deburan ombak, birunya langit dan nyiur angin.

“Nela, semoga bersamaan dengan air mata ini kesedihan ku dan kesedihanmu dapat luruh bersamanya”

“Aminnn” ujar mereka bersamaan.


Karya: Farah Dinna

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK