“Aira.. bangun Aira, ini sudah subuh, yuk kita shalat berjamaah.” Sayup-sayup suara asing itu berbisik di telinga kananku. Sekali lagi. “Aira.. maaf kalau aku mengganggu tidurmu, tapi sesungguhnya shalat subuh berjamaah di awal waktu itu pahalanya besar Aira.. Yuk shalat.”
“Mmmm… Aku masih ngantuk… shalat duluan aja, aku nanti belakangan.” Aku membalikkan tubuhku kearah kanan dan membelakanginya.
Ku dengar perlahan langkah kakinya menjauhiku. Ku lanjutkan lagi tidurku yang sempat terganggu. Aku berusaha untuk menyelami kepulasan tapi gagal. Namun aku masih memejamkan mataku seolah tertidur lelap. Beberapa saat kemudian, ku balikkan tubuh ku menghadap ke sebelah kiri. Sesosok orang asing dengan tubuh tinggi yang memakai baju koko warna putih dengan bawahan celana hitam dan kepalanya ditutupi peci hitam tengah khusuk menjalankan shalat subuh.
Ya, dia Hafiz. Seorang dokter yang bekerja di RS di Kota Mataram. Orang asing yang baru aku kenal beberapa hari lalu, dan kini aku sudah menyandang status sebagai istrinya. Status yang aku anggap sebagai mimpi terburuk yang menghancurkan masa depanku.
Kulirik ke arahnya yang sedang zikir. Dia menoleh ke arahku. Aku terkejut dan langsung kembali memejamkan mataku. “Sudah bangun Aira? Shalat dulu yuk, gak baik tidur terus.” Dengan lembut dia kembali membangunkanku.
“Mmm… Iya aku tahu. Ini juga mau bangun shalat.” Aku bangun dari tidurku yng pura-pura. Aku menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Dinginnya air serasa menusuk tulangku. Dan juga hatiku tentunya. Lalu aku kembali ke kamar dan menjalankan kewajibanku sebagai ummat islam.
Waktu menunjukkan pukul 07.30. “ Aira, aku berangkat ke kantor ya.” Dia bangun dari meja makan dan izin kepadaku yang tengah membereskan meja makan.
“Mmm…” Hanya itu jawabanku.
Dia mengambil tasnya yang ada di kursi. “Assalamualaikum.” Dia mengulurkan tangannya ke arahku. Tapi aku tak menanggapinya, aku hanya melanjutkan pekerjaanku seolah tak melihatnya. “Ya udah, aku berangkat.” Dia berlalu dari ruang makan.
Aku termenung,merenungi betapa buruknya nasibku. Mengapa aku bias menikah dengan orang-orang yang aku tidak kenal sama sekali. “Ya, ini semua salah orang tuaku, mereka menjodohkan aku dengan orang itu. Orang yang namanyapun aku tidak ingin ucapkan.” Gerutuku dalam hati.
Air mataku berlinang mengingat hari dimana aku merasakan langit seolah tuntuh di atas kepalaku. Ya itu hari dimana aku tahu bahwa aku akan menikan dengannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak mungkin menentang orang tuaku. “Aira, ini sudah waktunya kamu menikah. Ibu dan bapak sudah mendapatkan seseorang yang cocok untukmu. Dia baik, soleh, dan tampan. Dia juga sidah mapan. Dia bisa menjadi imam yang baik buat kamu.” Kata-kata ibu itu terus terngiang di telingaku hingga saat ini. Membuat hatiku semakin hancur jika mengingat kata-kata itu.
“Ya Allah, mengapa ini harus terjadi kepadaku. Mengaka Kau takdirkan aku menjadi istri orang yang aku tidak cintai, aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Mengapa Ya Allah, apa salahku.” Aku menangis tersedu menyesali nasib sialku ini.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak mungkin pergi darinya. Aku tidak mungkin melakukan hal yang membuatku menjadi istri yang murka. Aku adalah seorang muslimah dan seorang istri.
***
Aku mengajar di sebuah lembaga kursus di Kota Mataram. Dan aku sedang menyiapkan perlengkapanku untuk pergi mengajar. “Aira, kamu mau kemana?” Tanya Hafiz.
“Ya ngajarlah. Gak liat aku sedang beresin buku-buku.” Jawabku ketus.
“Apa permintaanku yang kemarin tidak bias kamu penuhi Aira?” Kata Hafiz dengan lembut.
“Permintaan apa?”
“Apa tidak sebaiknya kamu berhenti bekerja? Biarkan aku saja yang mencari nafkah. Kamu cukup di rumah saja Aira.”
Aku menghentikan mengemas buku-bukuku dan berbalik ke arahnya yang berada di Airaat pintu. “Jangan kamu fikir dengan aku jadi istri kamu, kamu bias mengatur aku seenaknya. aku menang istrimu, tapi ingat kamu tidak bias memiliki aku bahkan hatiku. Kamu tidak bias memaksakan kehendakmu padaku.” Tatarku dengan nada meninggi.
“Bukannya aku memaksa tapi hanya meminta Aira.”
Apa bedanya. Sama saja.”
“Ya sudah kalau itu mau kamu Aira. Maaf kalau aku membuatku kesal.”
Aku diam. Dan kembali mengemas buku, dan mengambil tasku, lalu keluar dari kamar.
“Aku antar ya Aira?” Tawarnya.
“Gak perlu. Aku bias jalan sendiri.” Tolakku tanpa melihat ke arahnya.
“Aira, aku ini suamimu, aku punya kewajiban menjagamu dan menemanimu.” Dia meraih tangan kiriku.
Seketika aku melepaskan genggamannya. Aku dia sejenak lalu mengangguk.
***
Ini bulan kedua aku menjadi istri dr. Hafiz. Dan keadaan sama sekali tudak berubah semenjak hari pertama pernikahan kami. Masih saja aku dingin terhadapnya. Bahkan sejak malam pertama pernikahan itu hingga sekarang aku tidak pernah ingin tidur seranjang dengannya. Dia tidur di sebuah sofa yang ada di pojok kamar dan aku tidur di ranjang. Tapi dia tidak pernah mengeluh sedikitpun dengan apa yang aku lakukan. Aku belum siap melakukan hal yang tidak aku kehendaki, meskipun itu sebuah kewajibanku sebagai seorang istri.
Suatu hari, kami berkunjung ke rumah mertuaku karena di sana ada syukuran atas kelahiran putra pertama kakak iparku. Tak ku sangka, aku diperlakukan sebagai seorang putri oleh mertuaku. “Ini menantu saya, istrinya Hafiz, namanya Khumaira.” Ibu mertuaku memperkenalkan aku yang sedang duduk de sebelahnya kepada beberapa ibu-ibu pengajian yang menghadiri syukuran itu. Aku hanya bisa menunduk dan tersenyum.
“Wah, cantik ya, anggun lagi. Nak Hafiz pasti beruntung memiliki istri seperti bidadari.” Puji salah seorang rekan ibu mertuaku.
“Iya, Hafiz selalu bercerita tentang istrinya. Dia sangat beruntung bisa menikah dengan Khumaira, ya meskipun mereka dijodohkan.” Jelas mertuaku yang membuat aku begitu terkejut. Air mukaku berubah seketika.
“Apa? Hafiz bercerita seperti itu pada ibunya? Kenapa? Kenapa dia berbohong pada ibunya? Kenapa dia menutupi perlakuan burukku kepadanya selama ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benakku.
“Selain cantik, dia juga istri yang soleha.” Sambung mertuaku.
“Aku memang wanita berjilbab. Tetapi aku bukan istri seperti apa yang dikatakan mertuaku.” Gerutuku dalam hati.
“Terima kasih.” Jawabku dengan nada lembut.
“Kapan nih Bu Aisyah dapat cucu dari hafiz dan Khumaira?” celetuk seorang ibu kepadaku.
Aku hanya terdiam, masih tenggelam dalam rentetan pertanyaan di benakku. “Mungkin belum di kasi sama Allah. Insya Allah sebentar lagi.” Ibu mertuaku menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadaku.
“Semoga saja cepat ya.” Ibu yang tadi menyambung.
“Iya. Aamiin.” Jawabku singkat sambil tersenyum. “Permisi, saya ke belakang dulu, masih ada kerjaan.” Sambungku lagi.
“Iya nak, silahan.” Kata mertuaku.
Aku meranjak dari dudukku meninggalkan mertuaku dan teman-temannya yang marih menjadikanku sebagai topic perbincangan mereka. Aku berjalan melewati beberapa orang yang tengah duduk berbincang sembari sesekali melemparkan senyum kepada para tamu yang melihat ke arahku. Aku menuju dapur, dan duduk di sebuah kursi. Disana sepi karena orang-orang sedang sibuk. Aku menenggelamkan mukaku ke dalak kedua tanganku yang bertumpu di atas meja. Aku menghela nafas panjang. “Ya Allah, begitu jahatnya aku. Dia laki-laki yang baik tapi aku sama sekali tidak menghargainya. Maafkan aku Ya Allah.” Renungku dalam hati.
“Aira, sedang apa di sini?” Suara Hafiz menyadarkanku dari lamunanku.
Aku mengangkat kepalaku dan menatap ke arahnya. “Aku tidak apa-apa.”
“Kamu capek Aira? Mari aku antar beristirahat di kamar.” Tawarnya sambil mengulourkan tangan kanannya.
“Enggak, aku gak apa-apa kok.” Jawabku singkat.
Dia menarik kursi dan duduk menghadapku. Aku kembali menunduk. “Sedah makan Aira? Aku
“Makasi, tapi aku belum lapar.” Jawabku.
Dia bingung melihar raut mukaku. “Ada apa? Cerita aja Aira. Gak apa-apa kok.”
“Enggak kok.” Aku tersenyum dengan agak tertahan.
“Ya udah, nanti kalau aAira mau apa-apa, bilang saja ya.”
“Iya.”
Dia beranjar dari kursi.“Bisa kita pulang sekarang?” Pintaku saat dia hendak berlalu.
Dia membalikkan badannya dan menghadap ke arahku. “Kamu mau pulang Aira?” tanyanya.
“Iya. Aku agak gak enak badan. Aku mau pulang.” Terangku.
“Ya udah, aku bilang sama ibu dan bapak dulu ya.”
“Iya.”
Dia berlalu.
Kami pamit sama ibu dan bapak mertuaku.
“Kalian hati-hati ya.” Kata bapak mertuaku.
“Iya pak.” Jawab Hafiz.
Kami bersalaman. “Assalamualaikum.” Kami bersamaan mengucap salam.
“Waalaikumsalam.” Jawab mereka.
Di perjalanan pulang, tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Begitupun dengan Hafiz. Saat ini aka hanya ingin menenangkan diriku dari pikiran-pikiran yang masih melekat di otakku. Sepanjang perjalanan, kata-kata ibu mertuaku terus terbayang. Begitu baiknya aku dimatanya. Dia tidak tahu bahwa apa yang dikatakan anaknya itu adalah kebohongan. Memang didepan keluarga hafiz, kami bersikap seolah tidak ada masalah dalam rumah tangga kami. Hafiz begitu pintarmenutupi hal itu. Di hadapan orang tuanya, dia berlagak seolah aku ini istri yang sempurna untuknya, jauh dari apa yang sebenarnya terjadi antara kami.
***
Karya: Desy Dwi Aryani Suandi
No comments:
Post a Comment