Diyang Bahenda Balau menekan luapan marahnya, meskipun ia geram sekali pagi itu. Daun pohon tengkawang berjatuhan silih berganti. Ranting-ranting meranggas. Kemarau mulai merayapi semak belukar, meranti, ulin, masupang, dan pohon hutan tropis lain tampak akan mengalami nasib yang sama, seperti penantian menuju wilayah kematiaanya.
Kebakaran hutan akan memanggang nasib manusia, seperti halnya kenyataan yang harus dialami penduduk di dusun yang miskin, penghuni pedalaman hutan rimba Kalimantan. Kebakaran hutan kina terasa tambah mengharubiru ketika banyak pohon mengalami kepunahan oleh penebangan membabi buta para pemegang HPH. Manusia telah menyerakahi manusia lain dengan cara merampok sumber penghidupannya, sebagaimana deru mesin pemotong pohon yang kini kian mendekat ke permukiman Dusun Kuala Petak Danum, daerah aliran Sungai Barito.
Diyang Bahenda Balau merasakan dadanya amat sesak menahan kepedihan. Kepedihan yang terus bersembunyi di balik hamparan kabut terus bersembunyi di balik hamparan kabut asap yang menggulung di ladang-ladang persemaian (para peneliti) menyebut perilaku peladang perdamaian ini sebagai peladang berpindah, perambah hutan, suku terasing).
Memang tak ada yang dapat disesalkan atas diri Diyang Balau sebagai kepala adat. Akan tetapi, tanggung jawabnya untuk menjaga tanah, air, menjaga hutan, menjaga adat istiadat, menjaga kebudayaan, menjaga anak-anak, mempertahankan goa-goa itulah yang membuatnya galau, pilu, dan meradang.
"Mengapa semuanya menjadi begini?"
Apakah semua itu terjadi karena larangan bertuah tidak dihiraukan? Mengapa dusun menjadi porak-poranda dan hutan dilanda malapetaka? Ataukah aturan adat telah dipinggirkan dan dihinakan? Itulah sejumlah pertanyaan yang selalu menyelimuti para tetua dalam situs etnik Dayak di Kuala Petak Danum.
Diyang Bahenda Balau merasa ada beban berat karena lingkaran kehidupan suku-suku yang harus dilindunginya, terbuai oleh materi yang disuguhkan karyawan HPH yang entah mengapa kebanyakan bukan putra daerah untuk kemudian dipertukarkan dengan sumber daya hutan, damar, karet, rotan, dan sarang walet. Dari manakah muasal kebudayaan, sebuah televisi 14 inci bisa dipertukarkan dengan 5 kilogram sarang walet?
Tiba-tiba, ada rasa ketidak pastian dalam memandang hutan dan menjelajah kawasan Gunung Bondang, disebabkan deru mesin pemotong pohon pembabat hutan yang terbakar, yang kian hari merusak begitu mahaluas keanekaragaman hayati. Sudah setengah tahun ini, air yang mengalir pada anak sungai di kawasan puncak Bondang membawa cammpuran air raksa dari para penambang emas. Siapakah yang memberi pelajaran penambangan emas dengan cara air raksa? Padahal, suku-suku Dayak hanya belajar dengan cara memungut dan memetik, bukan menghancurkan.
"Andau tuh itah ela tulak kan liwa, lebu tuh in jaga," Diyang Bahenda Balau menyampaikan pesan kepada Attak Marem, sepupunya, yang bersiap mau mendaki Gunung Bondang. Hari itu, Attak Marem mau memetik sarang burung walet yang siap panen di salah satu Bukit Loh Ba Puti, masih dalam kawasan Bondang.
Diyang Bahenda Balau merasakan dadanya seperti tertusuk ratusan duri landak tatkala kenangan pahitnya kepada para pemegang HPH muncul kembali. Hal yang sama terjadi minggu lalu, sekembalinya dari upacara Mampas Lewu, sesudah pertemuan dengan anak-anak suku di hulu daerah aliran Sungai Barito. Ribuan meter kubik lanting kayu gelondongan, berjejer dihanyutkan menuju muara sungai untuk kemudian masuk ke pabrik-pabrik pengolahan kayu dan menghasilkan miliaran uang. Betapa Diyang Bahenda Balau tidak meradang, sebab lanting kayu gelondongan itu tak bisa dikendalikan dan menghantam tanpa ampun rumah panggung milik Ni Datuh Bahandang Balau, seorang tokoh dan kepala adat yang baru saja mangkat.
"Urusan dengan Camat tidak mungkin kita tunda lagi hari ini. Demikian juga halnya dengan kepala bagian tanah di kabupaten, tidak dapat diulur-ulur lagi waktunya," Diyang Bahenda Balau berkata kepada Attak Marem, "Tepat sesudah upacara selesai diadakan, aku mau pergi ke kecamatan."
"Tetapi, sayang burung harus segera dipanen, Ni," Attak Marem memberanikan diri memandang ke arah Diyang Bahenda Balau. "Bagaimana kita nanti, kalau sarang burung itu dipanen oleh para rampok yang sekarang berkeliaran di gunung-gunung itu?"
"Kalau dan aku harus benar-benar siap dengan situasi seperti ini. Bukankah tanah adat kita juga jauh lebih penting untuk diselamatkan, dan urusan tanah adat ini sudah menggantung puluhan tahu. Apakah kau ragu untuk pergi ke kabupaten, sehingga memutuskan pergi ke Bondang?"
"Ini masalah besar, soal para perampok, Ni," Attak Marem tersentak.
Agak lama, Diyang Bahenda Balau terdiam. Pandangannya menerawang ke langit-langit atap sirap ulin Rumah Betang, dan sesekali dimainkannya manik-manik merah hanya boleh dipakai oleh orang yang mempunyai keturunan langsung suku Dayak - terlihat wajahnya yang merautkan ketegaran. ketegaran Diyang Bahenda Balau semakin membuatnya penuh wibawa.
Attak Marem juga tertegun sambil menggerak-gerakkan mantau yang lepas dari kumpangnya, dibelit aksesori anyaman rotan, serta juntaian aksesori dari taring babi hutan, sambil meraut bilahan bambu sehingga membentuk busur anak panah tajam. Mandau yang keluar dari kumpang itu menimbulkan bunyi gemerincing bila dibalut menjadi ikat pinggang.
Cuaca di luar balai Rumah Betang semakin menyengat, sekali gemercik suara lidah api yang berjilatan di ranting pohon, merambat naik melewati daun rotan kering sehingga lidah api menelan daun-daunnya. Sementara, bunyi gaduh mesin pembabat hutan terus menderu dari kejauhan. Deru mesin itu, kini semakin dekat.
"Akan tetapi, kita harus segera menyelesaikan perkara ini, menyelesaikan semua utang adat kita yang kian menumpuk. Yang penting adalah bagaimana agar semua penjahat dan orang-orang kota itu mengetahui bahwa kita sudah mulai kehilangan kesabaran, bahwa hati nurani kita tidak dapat dijualbelikan seperti ini. Aku tidak rela kalau suatu ketika waktuku sudah tiba, dusun kita akan mereka lenyapkan pula."
"Kita dan seluruh penduduk dusun harus siap menghadapi segalanya, atas segala kemungkinan paling buruk, paling menyakitkan, dan mungkin yang paling ditunggu-tunggu untuk tiba waktunya melakukannya perlawanan, Hari ini, harus ada kepastian. Jika kepastian semakin menjauh,siapakah yang harus kita percaya? Dan jika kita sudah kehilangan kepercayaan, kepada siapa kita mengadukan nasib? Apabila semua orang sudah tak lagi memerdulikan, bukan salah kita untuk bergerak melakukan perlawanan. Kita akan melawan," Diyang Bahenda Balau terus memberikan alasan mengapa pertemuan dengan pihak kecamatan harus segera dilakukan. "Perlawanan adalah takdir yang harus kita jalani," gumam Diyang Bahenda Balau.
Attak Marem merasakan betapa Diyang Bahenda Balau ingin memuntahkan bergulung-gulung perasaan marahnya yang selama ini terpendam. "Sudah lama aku menahan kesabaran, Apakah aku harus mengorbankan empat-lima ratus jiwa? Aku sudah semuanya terluka," kata Diyang Bahenda Balau. Ia berdiri untuk kemudian menjemput butah dari kulit kayu yang bersandar di dinding papan kayu ramin balai. "Yang benar dan adil harus segera ditegaskan. Yang jahat dan perampas harus disingkirkan."
Udara seperti semakin tidak bersahabat, angin tak lagi bertiup, sementara di lantai bambu balai-balai Rumah Betang, terlihat beberapa ekor anjing memperebutkan seekor burung gagak hitam yang kemarin jatuh terkapar di bawah tangga betang.
"Diam berarti setuju, Tak. Adakah yang lebih berharga daripada sekadar diam yang emas dan memasrahkan diri kepada para pemegang HPH yang selalu berkata penuh janji bahwa mereka akan segera membebaskan dusun ini dari kemiskinan? Para pemegang HPH itu selalu mengatakan kalau dusun ini segera dibangun, anak-anak tidak perlu bayar sekolah, gedung sekolah segera dibangun, jalan-jalan akan segera menghubungkan penduduk dusun dengan penduduk dusun lain, pusat kesehatan segera berdiri, dan listrik juga segera menyala."
"Kita hanya diam ketika semuanya kini tinggal kenangan. Yang ada hanya kata-kata, padahal hutan di tanah adat itu mulai mereka terbang dengan alasan bahwa pohon-pohon dengan sistem tebang pilih itu ada dalam peta resmi yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan. Seandainya hutan itu punya hak bicara, sudah lama mereka mengadukan nasibnya, Attak Marem."
"Memang begitu, Ni."
"Begitulah akal orang-orang kota yang memberi hadiah persembahan dengan janji."
"Dalam pertemuan kabupaten, tanah adat itu, menurut wakil Dinas Kehutanan, tidak tertera dalam peta," kata Attak Marem mengingat-ingat kejadian setahun lalu.
Bahkan, menurut pengukuran Dinas Badan Pertanahan Nasional, dusun kita ini pun masuk dalam areal HPH yang disetujui oleh pemerintah pusat, oleh Presiden."
"Janji, kau juga telah silau oleh janji para pemegang HPH?"
"Segala yang patut, segalanya akan kembali kepada kesadaran, Ni."
"Kesadaran apa maksudmu?"
"Kesadaran bahwa kita mulai merasa tertipu."
Mesin kelotok Kubota 75 pk meluncur meninggalkan Kuala Petak Danum, menempuh jarak sebelas jam perjalanan untuk sampai ke kantor kecamatan. Gemerincing deru mesin yang memekakkan gendang telinga menyibak anak sungai. Tumbuhan jingah, rambai, dan kumpai seperti berkejaran melambai-lambai, seakan mengucapkan selamat jalan kepada siapa saja yang melewati anak sungai yang sunyi. Sementara, burung enggang, elang bulu emas, beberapa ekor bekantan (Nasalis larpatus) bertenggeran di dahan-dahan yang menjuntai di bibir sungai. Burung-burung itu menanti mangsa ikan rawa-rawa. Komunitas dusun mukim berajuhan. Setiap tiga jam perjalan, barulah kita menemukan sebuah dusun yang dihuni oleh kira-kira empat atau lima kepala keluarga. Dusun-dusun itu berdiri berjejer memanjang di sungai dengan model rumah panggung. Setiap rumah memiliki jukung yang ditambatkan di bawah rumah panggung sebagai satu-satunya alat transportasi penduduk.
"Pak Camat, maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk menyampaikan masalah di Dusun Kuala Petak Danum. Apakah Pak Camat sudah tahu bahwa HPH di sebelah selatan Dusun Tiwah sudah dekat posisinya dan sekarang sudah masuk wilayah tanah adat? Batas tanah adat itu berada di kuburan keramat, dengan ciri patoknya ada pada lima jejer pohon tengkawang. Batas sebelas kanan arah Gunung Bondang ada di patung jetta, dan sebelah kiri menghadap matahari terbit berbatasan dengan Sungai Alas Gusung,"
Diyang Bahenda Balau mengungkapkan maksudnya mengapa ia harus segera menemui pimpinan kecamatan itu, "Pak Camat, saya minta Bapak segera bertindak sebelum alat-alat perusahaan HPH itu menerjang kuburan keramat para moyang kami," pintanya.
"Kalau sampai kuburan keramat itu terbongkar, sudah pasti kami akan melawan," Attak Marem ikut menyambung pembicaan.
Pertemuan dalam suasana kaku menjadikan rumah dinas camat malam itu benar-benar menegangkan. Meskipun begitu, Cornelis Dehek, alumni Akedemi Pendidikan Dalam Negeri tahun 1978, yang sudah sepuluh tahun jadi pimpinan wilayah kecamatan itu, berusaha tenang. Ia sudah tahu kalau perangai Attak Marem, yang juga keluarga dari pihak ibunya itu, terkenal keras kepala dan berani.
"Sebaiknya, masalah ini kita atur dengan pihak kabupaten, sebab sebagai kepala wilayah, aku tidak berhak untuk memutuskan segala perkara, termasuk soal garis batas patok tanah adat di Dusun Hulu Petak Danum itu," kata Camat saat mendapat kesempatan bicara.
"Aku minta, sertifikat tanah adat itu dibawa kalau menghadap Pak Bupati. Minggu depan, kita akan menghadap Bupati agar semuanya jelas."
Pak Camat benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan bicaranya sehingga membuat Diyang Bahenda Balau dan Attak Marem kemudian tertegun, membayangkan di mana surat sertifikat tanah adat itu tersimpan, dan tentu akan dibawa menghadap Bupati kelak.
Malam semakin pekat, udara dingin seakan menambah suasana kebekuan, tidak ada kesepakatan dan kata akhir dari pertemuan malam itu. Harapan semua menjadi sirna. Di luar rumah dinas Pak Camat, cuaca dingin menyergap, sementara suara karariang-fauna sejenis capung besar dengan sayap jernih bermata bundar sebesar biji jagung-bernyanyi bersahut-sahutan menambah suasana magis kawasan itu.
Malam itu, Diyang Bahenda Balau, gadis Dayak yang setelah meraih gelar Sarjana Kehutanan kemudian dilantik sebagai Kepala Adat Kuala Petak Danum, pulang dengan memendam pertanyaan yang berkecamuk, pulang dengan segumpal perih di dadanya. Begitu juga dengan Attak Marem. Mandau di pinggangnya seakan-akan ingin terbang lepas dari kumpangnya, menerabas saja kepala para pemegang HPH serakah itu. Jelas sekali kalau darah Attak Marem mendesir dan mulutnya seakan mau berteriak mengucapkan "Lahap" (ucapan heroik dalam upacara ngayao). Tetapi, hal itu diurungkannya, sebab Pak Camat telah membuka jalan bagi Diyang Bahenda Balau dan penduduk dusun agar segera menyertakan surat sertifikasi yang akan diperlihatkan di hadapan Pak Bupati untuk penyelesaian sengketa tanah adat.
Mandau Attak Marem menari berkilatan, sementara Diyang Bahenda Balau dalam pakaian Kepala Adat- manik-manik, kalung, laung pembabat kepala, gelang giring-giring yang melingkar di tangan dan kakinya, bergemerincingan mengikuti tabuh dan suara kenong. Mereka berputar-putar pada semacam sumbu dan ancak di balai Rumah Betang, diikuti oleh penduduk dusun dalam upacara sakral mengantar arwah Ni Datuh Bahandang Balau pulang ke negeri asalnya. Menjelang tengah malam, upacara ritual menjadi semakin magis. Roh yang menyusup Attak Marem menyiratkan kehendaknya untuk mengalirkan darah perlawanan. Perlawanan suku-suku yang hendak terusir dari rumah hutannya.
Karya: Akhmad Setia Budhy.
Kebakaran hutan akan memanggang nasib manusia, seperti halnya kenyataan yang harus dialami penduduk di dusun yang miskin, penghuni pedalaman hutan rimba Kalimantan. Kebakaran hutan kina terasa tambah mengharubiru ketika banyak pohon mengalami kepunahan oleh penebangan membabi buta para pemegang HPH. Manusia telah menyerakahi manusia lain dengan cara merampok sumber penghidupannya, sebagaimana deru mesin pemotong pohon yang kini kian mendekat ke permukiman Dusun Kuala Petak Danum, daerah aliran Sungai Barito.
Diyang Bahenda Balau merasakan dadanya amat sesak menahan kepedihan. Kepedihan yang terus bersembunyi di balik hamparan kabut terus bersembunyi di balik hamparan kabut asap yang menggulung di ladang-ladang persemaian (para peneliti) menyebut perilaku peladang perdamaian ini sebagai peladang berpindah, perambah hutan, suku terasing).
Memang tak ada yang dapat disesalkan atas diri Diyang Balau sebagai kepala adat. Akan tetapi, tanggung jawabnya untuk menjaga tanah, air, menjaga hutan, menjaga adat istiadat, menjaga kebudayaan, menjaga anak-anak, mempertahankan goa-goa itulah yang membuatnya galau, pilu, dan meradang.
"Mengapa semuanya menjadi begini?"
Apakah semua itu terjadi karena larangan bertuah tidak dihiraukan? Mengapa dusun menjadi porak-poranda dan hutan dilanda malapetaka? Ataukah aturan adat telah dipinggirkan dan dihinakan? Itulah sejumlah pertanyaan yang selalu menyelimuti para tetua dalam situs etnik Dayak di Kuala Petak Danum.
Diyang Bahenda Balau merasa ada beban berat karena lingkaran kehidupan suku-suku yang harus dilindunginya, terbuai oleh materi yang disuguhkan karyawan HPH yang entah mengapa kebanyakan bukan putra daerah untuk kemudian dipertukarkan dengan sumber daya hutan, damar, karet, rotan, dan sarang walet. Dari manakah muasal kebudayaan, sebuah televisi 14 inci bisa dipertukarkan dengan 5 kilogram sarang walet?
Tiba-tiba, ada rasa ketidak pastian dalam memandang hutan dan menjelajah kawasan Gunung Bondang, disebabkan deru mesin pemotong pohon pembabat hutan yang terbakar, yang kian hari merusak begitu mahaluas keanekaragaman hayati. Sudah setengah tahun ini, air yang mengalir pada anak sungai di kawasan puncak Bondang membawa cammpuran air raksa dari para penambang emas. Siapakah yang memberi pelajaran penambangan emas dengan cara air raksa? Padahal, suku-suku Dayak hanya belajar dengan cara memungut dan memetik, bukan menghancurkan.
"Andau tuh itah ela tulak kan liwa, lebu tuh in jaga," Diyang Bahenda Balau menyampaikan pesan kepada Attak Marem, sepupunya, yang bersiap mau mendaki Gunung Bondang. Hari itu, Attak Marem mau memetik sarang burung walet yang siap panen di salah satu Bukit Loh Ba Puti, masih dalam kawasan Bondang.
Diyang Bahenda Balau merasakan dadanya seperti tertusuk ratusan duri landak tatkala kenangan pahitnya kepada para pemegang HPH muncul kembali. Hal yang sama terjadi minggu lalu, sekembalinya dari upacara Mampas Lewu, sesudah pertemuan dengan anak-anak suku di hulu daerah aliran Sungai Barito. Ribuan meter kubik lanting kayu gelondongan, berjejer dihanyutkan menuju muara sungai untuk kemudian masuk ke pabrik-pabrik pengolahan kayu dan menghasilkan miliaran uang. Betapa Diyang Bahenda Balau tidak meradang, sebab lanting kayu gelondongan itu tak bisa dikendalikan dan menghantam tanpa ampun rumah panggung milik Ni Datuh Bahandang Balau, seorang tokoh dan kepala adat yang baru saja mangkat.
"Urusan dengan Camat tidak mungkin kita tunda lagi hari ini. Demikian juga halnya dengan kepala bagian tanah di kabupaten, tidak dapat diulur-ulur lagi waktunya," Diyang Bahenda Balau berkata kepada Attak Marem, "Tepat sesudah upacara selesai diadakan, aku mau pergi ke kecamatan."
"Tetapi, sayang burung harus segera dipanen, Ni," Attak Marem memberanikan diri memandang ke arah Diyang Bahenda Balau. "Bagaimana kita nanti, kalau sarang burung itu dipanen oleh para rampok yang sekarang berkeliaran di gunung-gunung itu?"
"Kalau dan aku harus benar-benar siap dengan situasi seperti ini. Bukankah tanah adat kita juga jauh lebih penting untuk diselamatkan, dan urusan tanah adat ini sudah menggantung puluhan tahu. Apakah kau ragu untuk pergi ke kabupaten, sehingga memutuskan pergi ke Bondang?"
"Ini masalah besar, soal para perampok, Ni," Attak Marem tersentak.
Agak lama, Diyang Bahenda Balau terdiam. Pandangannya menerawang ke langit-langit atap sirap ulin Rumah Betang, dan sesekali dimainkannya manik-manik merah hanya boleh dipakai oleh orang yang mempunyai keturunan langsung suku Dayak - terlihat wajahnya yang merautkan ketegaran. ketegaran Diyang Bahenda Balau semakin membuatnya penuh wibawa.
Attak Marem juga tertegun sambil menggerak-gerakkan mantau yang lepas dari kumpangnya, dibelit aksesori anyaman rotan, serta juntaian aksesori dari taring babi hutan, sambil meraut bilahan bambu sehingga membentuk busur anak panah tajam. Mandau yang keluar dari kumpang itu menimbulkan bunyi gemerincing bila dibalut menjadi ikat pinggang.
Cuaca di luar balai Rumah Betang semakin menyengat, sekali gemercik suara lidah api yang berjilatan di ranting pohon, merambat naik melewati daun rotan kering sehingga lidah api menelan daun-daunnya. Sementara, bunyi gaduh mesin pembabat hutan terus menderu dari kejauhan. Deru mesin itu, kini semakin dekat.
"Akan tetapi, kita harus segera menyelesaikan perkara ini, menyelesaikan semua utang adat kita yang kian menumpuk. Yang penting adalah bagaimana agar semua penjahat dan orang-orang kota itu mengetahui bahwa kita sudah mulai kehilangan kesabaran, bahwa hati nurani kita tidak dapat dijualbelikan seperti ini. Aku tidak rela kalau suatu ketika waktuku sudah tiba, dusun kita akan mereka lenyapkan pula."
"Kita dan seluruh penduduk dusun harus siap menghadapi segalanya, atas segala kemungkinan paling buruk, paling menyakitkan, dan mungkin yang paling ditunggu-tunggu untuk tiba waktunya melakukannya perlawanan, Hari ini, harus ada kepastian. Jika kepastian semakin menjauh,siapakah yang harus kita percaya? Dan jika kita sudah kehilangan kepercayaan, kepada siapa kita mengadukan nasib? Apabila semua orang sudah tak lagi memerdulikan, bukan salah kita untuk bergerak melakukan perlawanan. Kita akan melawan," Diyang Bahenda Balau terus memberikan alasan mengapa pertemuan dengan pihak kecamatan harus segera dilakukan. "Perlawanan adalah takdir yang harus kita jalani," gumam Diyang Bahenda Balau.
Attak Marem merasakan betapa Diyang Bahenda Balau ingin memuntahkan bergulung-gulung perasaan marahnya yang selama ini terpendam. "Sudah lama aku menahan kesabaran, Apakah aku harus mengorbankan empat-lima ratus jiwa? Aku sudah semuanya terluka," kata Diyang Bahenda Balau. Ia berdiri untuk kemudian menjemput butah dari kulit kayu yang bersandar di dinding papan kayu ramin balai. "Yang benar dan adil harus segera ditegaskan. Yang jahat dan perampas harus disingkirkan."
Udara seperti semakin tidak bersahabat, angin tak lagi bertiup, sementara di lantai bambu balai-balai Rumah Betang, terlihat beberapa ekor anjing memperebutkan seekor burung gagak hitam yang kemarin jatuh terkapar di bawah tangga betang.
"Diam berarti setuju, Tak. Adakah yang lebih berharga daripada sekadar diam yang emas dan memasrahkan diri kepada para pemegang HPH yang selalu berkata penuh janji bahwa mereka akan segera membebaskan dusun ini dari kemiskinan? Para pemegang HPH itu selalu mengatakan kalau dusun ini segera dibangun, anak-anak tidak perlu bayar sekolah, gedung sekolah segera dibangun, jalan-jalan akan segera menghubungkan penduduk dusun dengan penduduk dusun lain, pusat kesehatan segera berdiri, dan listrik juga segera menyala."
"Kita hanya diam ketika semuanya kini tinggal kenangan. Yang ada hanya kata-kata, padahal hutan di tanah adat itu mulai mereka terbang dengan alasan bahwa pohon-pohon dengan sistem tebang pilih itu ada dalam peta resmi yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan. Seandainya hutan itu punya hak bicara, sudah lama mereka mengadukan nasibnya, Attak Marem."
"Memang begitu, Ni."
"Begitulah akal orang-orang kota yang memberi hadiah persembahan dengan janji."
"Dalam pertemuan kabupaten, tanah adat itu, menurut wakil Dinas Kehutanan, tidak tertera dalam peta," kata Attak Marem mengingat-ingat kejadian setahun lalu.
Bahkan, menurut pengukuran Dinas Badan Pertanahan Nasional, dusun kita ini pun masuk dalam areal HPH yang disetujui oleh pemerintah pusat, oleh Presiden."
"Janji, kau juga telah silau oleh janji para pemegang HPH?"
"Segala yang patut, segalanya akan kembali kepada kesadaran, Ni."
"Kesadaran apa maksudmu?"
"Kesadaran bahwa kita mulai merasa tertipu."
Mesin kelotok Kubota 75 pk meluncur meninggalkan Kuala Petak Danum, menempuh jarak sebelas jam perjalanan untuk sampai ke kantor kecamatan. Gemerincing deru mesin yang memekakkan gendang telinga menyibak anak sungai. Tumbuhan jingah, rambai, dan kumpai seperti berkejaran melambai-lambai, seakan mengucapkan selamat jalan kepada siapa saja yang melewati anak sungai yang sunyi. Sementara, burung enggang, elang bulu emas, beberapa ekor bekantan (Nasalis larpatus) bertenggeran di dahan-dahan yang menjuntai di bibir sungai. Burung-burung itu menanti mangsa ikan rawa-rawa. Komunitas dusun mukim berajuhan. Setiap tiga jam perjalan, barulah kita menemukan sebuah dusun yang dihuni oleh kira-kira empat atau lima kepala keluarga. Dusun-dusun itu berdiri berjejer memanjang di sungai dengan model rumah panggung. Setiap rumah memiliki jukung yang ditambatkan di bawah rumah panggung sebagai satu-satunya alat transportasi penduduk.
"Pak Camat, maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk menyampaikan masalah di Dusun Kuala Petak Danum. Apakah Pak Camat sudah tahu bahwa HPH di sebelah selatan Dusun Tiwah sudah dekat posisinya dan sekarang sudah masuk wilayah tanah adat? Batas tanah adat itu berada di kuburan keramat, dengan ciri patoknya ada pada lima jejer pohon tengkawang. Batas sebelas kanan arah Gunung Bondang ada di patung jetta, dan sebelah kiri menghadap matahari terbit berbatasan dengan Sungai Alas Gusung,"
Diyang Bahenda Balau mengungkapkan maksudnya mengapa ia harus segera menemui pimpinan kecamatan itu, "Pak Camat, saya minta Bapak segera bertindak sebelum alat-alat perusahaan HPH itu menerjang kuburan keramat para moyang kami," pintanya.
"Kalau sampai kuburan keramat itu terbongkar, sudah pasti kami akan melawan," Attak Marem ikut menyambung pembicaan.
Pertemuan dalam suasana kaku menjadikan rumah dinas camat malam itu benar-benar menegangkan. Meskipun begitu, Cornelis Dehek, alumni Akedemi Pendidikan Dalam Negeri tahun 1978, yang sudah sepuluh tahun jadi pimpinan wilayah kecamatan itu, berusaha tenang. Ia sudah tahu kalau perangai Attak Marem, yang juga keluarga dari pihak ibunya itu, terkenal keras kepala dan berani.
"Sebaiknya, masalah ini kita atur dengan pihak kabupaten, sebab sebagai kepala wilayah, aku tidak berhak untuk memutuskan segala perkara, termasuk soal garis batas patok tanah adat di Dusun Hulu Petak Danum itu," kata Camat saat mendapat kesempatan bicara.
"Aku minta, sertifikat tanah adat itu dibawa kalau menghadap Pak Bupati. Minggu depan, kita akan menghadap Bupati agar semuanya jelas."
Pak Camat benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan bicaranya sehingga membuat Diyang Bahenda Balau dan Attak Marem kemudian tertegun, membayangkan di mana surat sertifikat tanah adat itu tersimpan, dan tentu akan dibawa menghadap Bupati kelak.
Malam semakin pekat, udara dingin seakan menambah suasana kebekuan, tidak ada kesepakatan dan kata akhir dari pertemuan malam itu. Harapan semua menjadi sirna. Di luar rumah dinas Pak Camat, cuaca dingin menyergap, sementara suara karariang-fauna sejenis capung besar dengan sayap jernih bermata bundar sebesar biji jagung-bernyanyi bersahut-sahutan menambah suasana magis kawasan itu.
Malam itu, Diyang Bahenda Balau, gadis Dayak yang setelah meraih gelar Sarjana Kehutanan kemudian dilantik sebagai Kepala Adat Kuala Petak Danum, pulang dengan memendam pertanyaan yang berkecamuk, pulang dengan segumpal perih di dadanya. Begitu juga dengan Attak Marem. Mandau di pinggangnya seakan-akan ingin terbang lepas dari kumpangnya, menerabas saja kepala para pemegang HPH serakah itu. Jelas sekali kalau darah Attak Marem mendesir dan mulutnya seakan mau berteriak mengucapkan "Lahap" (ucapan heroik dalam upacara ngayao). Tetapi, hal itu diurungkannya, sebab Pak Camat telah membuka jalan bagi Diyang Bahenda Balau dan penduduk dusun agar segera menyertakan surat sertifikasi yang akan diperlihatkan di hadapan Pak Bupati untuk penyelesaian sengketa tanah adat.
Mandau Attak Marem menari berkilatan, sementara Diyang Bahenda Balau dalam pakaian Kepala Adat- manik-manik, kalung, laung pembabat kepala, gelang giring-giring yang melingkar di tangan dan kakinya, bergemerincingan mengikuti tabuh dan suara kenong. Mereka berputar-putar pada semacam sumbu dan ancak di balai Rumah Betang, diikuti oleh penduduk dusun dalam upacara sakral mengantar arwah Ni Datuh Bahandang Balau pulang ke negeri asalnya. Menjelang tengah malam, upacara ritual menjadi semakin magis. Roh yang menyusup Attak Marem menyiratkan kehendaknya untuk mengalirkan darah perlawanan. Perlawanan suku-suku yang hendak terusir dari rumah hutannya.
Karya: Akhmad Setia Budhy.
No comments:
Post a Comment