Kau harus pulang, Yati. Kau sudah cukup meremukkan hati Ibu. Sekali ini kau harus benar-benar mengerti bahwa kau sudah besar, sudah tak patut lagi untuk tiap kali membatahkan kata orang yang lebih tua darimu. Kalau dulu kau selalu ingin menang saja, kini tahanlah keinginan itu. Kau sudah cukup tahu bagaimana hati Ibu karena kelakuanmu dan dia terus mendesakku dengan kata-kata yang dianggapnya menasehati aku.
Aku hanya diam. Diam saja sambil memandang keluar pintu. Dalam hati aku tersenyum. Senyum besar menyenyumi segala bicara orang yang ada di mukaku ini. Dia lahir jauh sebelum aku. Lahir dari satu kandungan dengan aku. Dan orang sebut dia saudaraku. Mungkin. Sebab aku tak tahu atau tak lihat sendiri bahwa dia lahir sebelum aku dari satu kandungan pula dengan aku. Dia Saudaraku. Ya, kakakku menurut kata orang.
Satu dari lima orang kakakku.
"Jangan kau abaikan kata-kataku ini karena semua yang kukatakan hanya untuk kebaikanmu sendiri. Kau harus mengerti, Yati. Ibu sudah tua. Tinggal kau lagi yang dipikirkannya.Tapi kau malahan tak berusaha untuk menyenangkan hatinya."
Sebetulnya aku sudah tak tahan mendengarkan kata-katanya. Aku memang bisa diam saja jika bicara dengan orang macam dia. Aku selalu ingin mendebat atau membantahnya. Karena mana ada seorang ibu hanya pikiran seorang anaknya saja padahal dia punya enam orang anak. Dan ibuku hanya tinggal pikirkan aku lagi? Hatiku ketawa geli mendengarkan ini. Tidak Tak mungkin Ibu cuma pikiri aku. Kakakku lima orang. Tapi, biarkan saja dia berbicara semau hatinya.
"Tapi kali aku katakan padamu dalam surat, bahwa kau disuruh pulang oleh Ibu. Tidak hanya Ibu, tapi seluruh keluarga memikirkan kau, dan mengharapkan benar supaya kau pulang ke rumah. Tak pantas lagi kau bekerja terus dengan tenagamu yang serba lemah. Kau harus pula ingat kata Nenek. Harus kau ingat apa kata segenap anggota keluarga, dia mulai keras bicaranya. Hatinya kesal barangkali.
"Apa kata mereka?" tanyaku acuh tak acuh.
"Kau anak yang tak tahu budi. Kau tak tahu membalas jasa orang tua. Kau anak yang melangkahkan kaki" dari adat. Ya, macam-macam lagi kata mereka. Ingat benar, Yati. Kau anak perempuan dalam kelaurga kita. Kau mesti menurut segala aturan-aturan keluarga."
Hatiku serasa ditarik mendengar katanya yang akhir ini. Tapi bukan darah yang mengalir. Cuma terasa sentakan sedikit. Dan kutahan benar supaya aku tetap tenang. Aku diam dan tak menyahuti kata-katanya. Melihat aku diam, dia mengharapkan suatu kesenagan.
"Kau perempuan, Yati. Tak patut terus bersendiri macam ini." "Bersendiriku bukan mengganggu kepentingan orang lain, "aku mulai mematahkan harapannya yang tergambar pada mukanya.
Dia agak terkejut mendengar jawabanku yang tiba-tiba ini. Dan aku tambahkan, "Hidupku bukan lagi kini kepunyaan Ibu atau keluarga, Bukan pula kepunyaanku. Tapi hidup dan ad aku kini kepunyaan negara, kepunyaanku, bangsa, kepunyaan tanah air ini. Segala yang kulakukan bukan untuk kepuasanku semata. Aku ingin bekerja. Dan bekerjaku ini juga harus berisi dengan bakti."
....
Karya: NH. Dini
Aku hanya diam. Diam saja sambil memandang keluar pintu. Dalam hati aku tersenyum. Senyum besar menyenyumi segala bicara orang yang ada di mukaku ini. Dia lahir jauh sebelum aku. Lahir dari satu kandungan dengan aku. Dan orang sebut dia saudaraku. Mungkin. Sebab aku tak tahu atau tak lihat sendiri bahwa dia lahir sebelum aku dari satu kandungan pula dengan aku. Dia Saudaraku. Ya, kakakku menurut kata orang.
Satu dari lima orang kakakku.
"Jangan kau abaikan kata-kataku ini karena semua yang kukatakan hanya untuk kebaikanmu sendiri. Kau harus mengerti, Yati. Ibu sudah tua. Tinggal kau lagi yang dipikirkannya.Tapi kau malahan tak berusaha untuk menyenangkan hatinya."
Sebetulnya aku sudah tak tahan mendengarkan kata-katanya. Aku memang bisa diam saja jika bicara dengan orang macam dia. Aku selalu ingin mendebat atau membantahnya. Karena mana ada seorang ibu hanya pikiran seorang anaknya saja padahal dia punya enam orang anak. Dan ibuku hanya tinggal pikirkan aku lagi? Hatiku ketawa geli mendengarkan ini. Tidak Tak mungkin Ibu cuma pikiri aku. Kakakku lima orang. Tapi, biarkan saja dia berbicara semau hatinya.
"Tapi kali aku katakan padamu dalam surat, bahwa kau disuruh pulang oleh Ibu. Tidak hanya Ibu, tapi seluruh keluarga memikirkan kau, dan mengharapkan benar supaya kau pulang ke rumah. Tak pantas lagi kau bekerja terus dengan tenagamu yang serba lemah. Kau harus pula ingat kata Nenek. Harus kau ingat apa kata segenap anggota keluarga, dia mulai keras bicaranya. Hatinya kesal barangkali.
"Apa kata mereka?" tanyaku acuh tak acuh.
"Kau anak yang tak tahu budi. Kau tak tahu membalas jasa orang tua. Kau anak yang melangkahkan kaki" dari adat. Ya, macam-macam lagi kata mereka. Ingat benar, Yati. Kau anak perempuan dalam kelaurga kita. Kau mesti menurut segala aturan-aturan keluarga."
Hatiku serasa ditarik mendengar katanya yang akhir ini. Tapi bukan darah yang mengalir. Cuma terasa sentakan sedikit. Dan kutahan benar supaya aku tetap tenang. Aku diam dan tak menyahuti kata-katanya. Melihat aku diam, dia mengharapkan suatu kesenagan.
"Kau perempuan, Yati. Tak patut terus bersendiri macam ini." "Bersendiriku bukan mengganggu kepentingan orang lain, "aku mulai mematahkan harapannya yang tergambar pada mukanya.
Dia agak terkejut mendengar jawabanku yang tiba-tiba ini. Dan aku tambahkan, "Hidupku bukan lagi kini kepunyaan Ibu atau keluarga, Bukan pula kepunyaanku. Tapi hidup dan ad aku kini kepunyaan negara, kepunyaanku, bangsa, kepunyaan tanah air ini. Segala yang kulakukan bukan untuk kepuasanku semata. Aku ingin bekerja. Dan bekerjaku ini juga harus berisi dengan bakti."
....
Karya: NH. Dini
No comments:
Post a Comment