Matanya membengkak!
Air matanya mengalir deras!
Tubuhnya gemetar!
......
Itulah yang terlihat tatkala Romli melihat rekaman video 27 korban insiden pembagian zakat di Kota Bumi, Lampung Utara yang ditayangkan oleh Datuk Hasanuddin lewat sebuah proyektor. Romli yang terkenal dengan kenakalannya di Sekolah itupun, tak kuasa melihat kejadian mengenaskan itu.
Kesedihan yang akut semakin jadi mengobrak-abrik jiwa Romli. Kesedihan yang seblumnya belum pernah dialami Romli sebelum mengikuti kegiatan Rohani Islam di Pesantren Langit Bumi.
"Semestinya semua itu tidak terjadi," kata hati Romli yang semakin tersayat, ketika menyaksikan sekelompok ibu-ibu dan nenek-nenek yang kehabisan nafas di antara ribuan orang yang mengantri pemmbagian zakat dari seorang saudagar kaya, H. Kashardinata. Perasaan Romli semakin tak menentu, nuraninya ingin sekali memarahi saudagar kaya itu. Saudagar kaya yang menurut Romli sombong, sepertinya berzakat adalah cara untuk menunjukkan kekayaannya pada orang lain, sebab jika ia mempercayakan zakatnya pastilah tidak akan ada nyawa yang melayang.
"Sungguh tidak manusiawi, 27 nyawa melayang demi beras 2 kg. Apakah Tuhan akan menerima amal zakat seperti ini?" tanya hati Romli.
"Rom, kenapa kau tampak begitu sedih?" tanya Adin Ahmad, Kakak angkatnya, yang duduk disampingnya, Romli pun tersentak kaget dari lamunannya.
"Karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang paling kita sayangi, kehilangan yang disebabkan oleh sikap sombong orang yang sok dermawan, kehilangan dari peristiwa yang seharusnya tidak sampai merenggut nyawa" jawab Romli terbatas-bata sambil mengusap air mata yang terus membasahi wajahnya.
Adin Ahmad terdiam. Adin Ahmad tidak punya keberanian untuk memberikan pertanyaan kepada adiknya Romli. Adin Ahmad merasakan kesediahan dan penderitaan yang tengah berkecamuk di dada adik angkatnya tersebut, penderitaan dan kesedihan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang tengah mengalaminya. Adin Ahmad tahu pasti apa yang ada dalam benak adik angkatnya itu Romli pada teringat ibunya yang telah meninggalkannya saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia membiarkan adiknya menangis, menumpahkan semua kesedian dengan air mata.
Tidak lama setelah pemutaran insiden pembagian zakat yang mengenaskan tersebut. Datuk Hasanuddin memberikan uraian tentang makna dan prosedur pembagian zakat yang disukai Allah. Penjelasan Datuk Hasanuddin sangat menarik, sehingga para peserta seperti terhipnotis, Datuk Hasanuddin sungguh untadz yang luar biasa.
Tapi, di antara para peserta yang konsentrasi menyimak penjelasan Datuk Hasanudin, Romli adalah peserta yang sudah kehilangan keseimbangan, seolah-olah ia sedang hidup di masa lalu, masa yang telah dilalui dengan berat karena ia telah kehilangan ibunya.
Romli tersentak kaget ketika ceramah Datuk Hasanuddin selesai dan acara dilanjutkan dengan tanya jawab.
"Astaghfirullah," Romli bergumam, insyaf atas kelalaiannya membiarkan pikirannya diseret ke masa lalu, sampai lupa tujuan hakikatnya ia mendengarkan ceramah dari Datuk Hasanuddin.
Selama sesi tanya jawab berlangsung para peserta antusias mengajukan berbagai pertanyaan seputar zakat. Sampai tidak terasa adzan ashar berkumandang, tanda acara ceramah dari Datuk Hasanuddin ini berakhir. Para peserta pun meninggalkan ruang pertemuan. Mereka mengambil air wudhu dan bergabung dengan para jamaah lain untuk shalat.
Selamat berada di tengah para santri pondok pesantren Langit Bumi, Romli dan teman-temannya merasakan kebersamaan yang begitu akrab, sekalipun di antara mereka baru saling mengenal. Sungguh indah Islam itu, kebersamaan terasa keindahan hakikinya bila diikat oleh keimanan. Inilah bukti bahwa persaudaraan bila hakiki manusia adalah persaudaraan yang dilandasi pada agama Islam.
Dalam khusuknya shalat, tiba-tiba Romli kembali menitikkan airmata. Ia kembali teringat pada ibunya yang telah bertahun-tahun lamanya meninggalkannya. Di setiap gerak shalat, Romli seakan melihat bayangan ibunya berjalan di hadapannya; ibunya berjalan tenang dengan dihiasi cahaya yang sangat indah. Romli tersentak kaget ketika bayangan ibunya seakan-akan menyebut-nyebut namanya, "Romli anakku tercinta."
Namun demikian, Romli berusaha tetap terjaga shalatnya untuk tetap khusyu', meskipun sesungguhnya hatinya benar-benar ingin menangkap bayangan ibunya. Betapa Romli menginginkan ibunya kembali untuk membimbing dan memberi kasih sayang. Romli ingin ibunya menunjukkan jalan yang bisa mengantarkannya pada kebenaraan di dunia yang fana ini.
"Ya, Allah, maafkanlah aku bila shalatku kali ini tidak benar-benar khusyu. Aku benar-benar sangat merindukan ibuku. Aku kirimkan doa dan Al-fatiha untuknya, semoga Engkau selalu melindungi ibuku," doa Romli saat shalatnya selesai.
Malam harinya pukul 23.00 WIB, setelah selesai melakukan rangkaian ibadah di pesantren, para peserta dipersilahkan untuk beristirahat di kamar masing-masing. Segera Romlidan Adin Ahmad masuk kamar berukuran 4 x 3 meter yang sederhana namun rapi. Di dindingnya terdapat kaligrafi lafadz bismillah dan ayat kursi, serta buku yang dipenuhi dengan kitab-kitab.
Mendapati bantal dan kasur lantai Adin Ahmad langsung tertidur pulas, sedangkan Romli tidak bisa memejamkan mata. Romli masih dihantui oleh bayangan ibunya. Terlintas dibenaknya saat ia sering di ajak melihat lumba-lumba dengan menaiki sebuah jukung, melihat indahnya pemandangan batu-batuan besar yang menjulang dan melepaskan bayi-bayi penyu di Teluk Kiluan serta memancing bersama ibunya disana. Sebuah tempat indah layaknya surga untuknya walau tak banyak yang tahu akan keindahan tempat tersebut, termasuk orang Lampung itu sendiri.
Romli sangat merindukan ibunya. Ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dan memberikan kasih sayang yang luar biasa. Tapi yang selalu menyesakkan hati Romli adalah kenapa ibunya harus meninggal dari sebuah peristiwa yang sederhana, peristiwa yang seharusnya tidak membuat ibunya meninggalkannya untuk selama-lamanya. Di tengah kegalauan hati yang mendera. Romli akhirnya memutuskan untuk pergi ke malam ibunya yang tak jauh dari Pondok Pesantren.
Di makam ibunya, butiran- butiran air mata Romli terus mengalir membasahi wajahnya yang bersandar pada makam ibunya. "Bu, aku rindu Ibu...." gumam Romli dengan lirih. Romli berdo'a untuk ibunya "Ya Allah ampunilah segala dosa ibu hamba, tempatkanlah ia di tempat yang paling mulia disisi-Mu".
Malam semakin larut, cahaya bulan semakin memudar dan dinginnya angin malam seolah menusuk tubuh Romli yang sudah kelelahan, dengan kaki mulai terasa berat Romli kembali ke Pondok Pesantren untuk beristirahat.
Karena kondisi yang terlalu capek, Romli pun akhirnya terlelap tidur. Dalam tidru yang perlu kegelisahan itu, Romli bermimpi ibunya datang mememuinya sambil menahan isak-tangis. Ibu Romli membisikkan nasihat pada sembari membelai buah hatinya.
"Anakku Romli, Lamen niku ngigham jama ibu, bacalah Sughat Al-fatiha guwai ibu. Ingekke tanggeh ibu sa: Dang ulah ibu makkou logei niku jadi sanak nakal. Ibu wat dihatimu untuk ngejagomu. Jadilah sanak sai taat jama agama."
Romli tersentak kaget dan bangun dari tidurnya yang hanya sesaat itu. Dua sudut mata Romli pun mengalir air bening, Romli merasakan benar kehadiran ibunya yang seakan sedang memeluknya dari belakang, Romli bahkan masih terngiang apa yang telah dibisikkan ibunya. Jarum jam menunjukkan pukul tiga malam, Romli segera bangun dan keluar dari kamarnya. Romli berjalan pelan menuju masjid untuk shalat tahajud. Saat berada di halaman masjid yang begitu luas, Romli menghentikan langkahnya dan diam mematung, dipandanginya setiap penjuru halaman depan masjid yang begitu luas. Romli tersentak kaget ketika ia seperti merasakan kejadian tragis yang pernah dialaminya. Romli yang masih anak-anak melihat ibunya terjatuh dan terinjak-injak saat mengantri dalam pembagian zakat di desanya, di halaman masjid seperti inilah Romli terakhir melihat wajah ibunya.
Romli pun menangis sejadi-jadinya, tubuhnya bergetar merasakan penderitaan yang sangat berat. Tapi, tiba-tiba Romli merasa seperti tubuhnya ada yang memeluknya. Romli tersentak kaget karena kehangatan pelukan yang sedang dirasakannya sama seperti pelukkan ibunya di masa lalu.
"Bu..." Romli memanggil lirih dengan diiringi butiran-butiran airmatanya yang berguguran dan kelopak matanya. Romli sekarang mendapatkan kenyataan yang tidak pernah dipahami bahwa ternyata ia tidak pernah kehilangan ibunya, sekalipun ibunya telah tiada. Romli yakin bahwa Ibunya slalu berada di hatinya untuk menjaganya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Romli pun teringat dengan hidupnya yang telah banyak menyia-nyiakan waktu hanya untuk memikirkan kemalangannya dan membuatnya menjadi anak nakal. Saat ini Romli telah menyadari kenakalannya yang terdahulu, di mana waktu dulu ia tidak dapat menghargai waktu. Waktunya selalu diisi hanya untuk mengembangkan kenakalan yang membuatnya tidak berharga. Sekarang Romli sadar jika ia tidak bisa menghargai waktu, maka waktu juga dapat membuat manusia menjadi tidak berharga.
"Alhamdulillah ya Allah.....Engkau memberikan kesempatan untuk memanfaatkan waktuku di pesantren ini." Romli kembali melangkah menuju masjid dengan terus merasakan kehangatan pelukkan dan kasih sayang ibunya yang telah tiada.
***
Karya: Rama Ridho
Air matanya mengalir deras!
Tubuhnya gemetar!
......
Itulah yang terlihat tatkala Romli melihat rekaman video 27 korban insiden pembagian zakat di Kota Bumi, Lampung Utara yang ditayangkan oleh Datuk Hasanuddin lewat sebuah proyektor. Romli yang terkenal dengan kenakalannya di Sekolah itupun, tak kuasa melihat kejadian mengenaskan itu.
Kesedihan yang akut semakin jadi mengobrak-abrik jiwa Romli. Kesedihan yang seblumnya belum pernah dialami Romli sebelum mengikuti kegiatan Rohani Islam di Pesantren Langit Bumi.
"Semestinya semua itu tidak terjadi," kata hati Romli yang semakin tersayat, ketika menyaksikan sekelompok ibu-ibu dan nenek-nenek yang kehabisan nafas di antara ribuan orang yang mengantri pemmbagian zakat dari seorang saudagar kaya, H. Kashardinata. Perasaan Romli semakin tak menentu, nuraninya ingin sekali memarahi saudagar kaya itu. Saudagar kaya yang menurut Romli sombong, sepertinya berzakat adalah cara untuk menunjukkan kekayaannya pada orang lain, sebab jika ia mempercayakan zakatnya pastilah tidak akan ada nyawa yang melayang.
"Sungguh tidak manusiawi, 27 nyawa melayang demi beras 2 kg. Apakah Tuhan akan menerima amal zakat seperti ini?" tanya hati Romli.
"Rom, kenapa kau tampak begitu sedih?" tanya Adin Ahmad, Kakak angkatnya, yang duduk disampingnya, Romli pun tersentak kaget dari lamunannya.
"Karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang paling kita sayangi, kehilangan yang disebabkan oleh sikap sombong orang yang sok dermawan, kehilangan dari peristiwa yang seharusnya tidak sampai merenggut nyawa" jawab Romli terbatas-bata sambil mengusap air mata yang terus membasahi wajahnya.
Adin Ahmad terdiam. Adin Ahmad tidak punya keberanian untuk memberikan pertanyaan kepada adiknya Romli. Adin Ahmad merasakan kesediahan dan penderitaan yang tengah berkecamuk di dada adik angkatnya tersebut, penderitaan dan kesedihan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang tengah mengalaminya. Adin Ahmad tahu pasti apa yang ada dalam benak adik angkatnya itu Romli pada teringat ibunya yang telah meninggalkannya saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia membiarkan adiknya menangis, menumpahkan semua kesedian dengan air mata.
Tidak lama setelah pemutaran insiden pembagian zakat yang mengenaskan tersebut. Datuk Hasanuddin memberikan uraian tentang makna dan prosedur pembagian zakat yang disukai Allah. Penjelasan Datuk Hasanuddin sangat menarik, sehingga para peserta seperti terhipnotis, Datuk Hasanuddin sungguh untadz yang luar biasa.
Tapi, di antara para peserta yang konsentrasi menyimak penjelasan Datuk Hasanudin, Romli adalah peserta yang sudah kehilangan keseimbangan, seolah-olah ia sedang hidup di masa lalu, masa yang telah dilalui dengan berat karena ia telah kehilangan ibunya.
Romli tersentak kaget ketika ceramah Datuk Hasanuddin selesai dan acara dilanjutkan dengan tanya jawab.
"Astaghfirullah," Romli bergumam, insyaf atas kelalaiannya membiarkan pikirannya diseret ke masa lalu, sampai lupa tujuan hakikatnya ia mendengarkan ceramah dari Datuk Hasanuddin.
Selama sesi tanya jawab berlangsung para peserta antusias mengajukan berbagai pertanyaan seputar zakat. Sampai tidak terasa adzan ashar berkumandang, tanda acara ceramah dari Datuk Hasanuddin ini berakhir. Para peserta pun meninggalkan ruang pertemuan. Mereka mengambil air wudhu dan bergabung dengan para jamaah lain untuk shalat.
Selamat berada di tengah para santri pondok pesantren Langit Bumi, Romli dan teman-temannya merasakan kebersamaan yang begitu akrab, sekalipun di antara mereka baru saling mengenal. Sungguh indah Islam itu, kebersamaan terasa keindahan hakikinya bila diikat oleh keimanan. Inilah bukti bahwa persaudaraan bila hakiki manusia adalah persaudaraan yang dilandasi pada agama Islam.
Dalam khusuknya shalat, tiba-tiba Romli kembali menitikkan airmata. Ia kembali teringat pada ibunya yang telah bertahun-tahun lamanya meninggalkannya. Di setiap gerak shalat, Romli seakan melihat bayangan ibunya berjalan di hadapannya; ibunya berjalan tenang dengan dihiasi cahaya yang sangat indah. Romli tersentak kaget ketika bayangan ibunya seakan-akan menyebut-nyebut namanya, "Romli anakku tercinta."
Namun demikian, Romli berusaha tetap terjaga shalatnya untuk tetap khusyu', meskipun sesungguhnya hatinya benar-benar ingin menangkap bayangan ibunya. Betapa Romli menginginkan ibunya kembali untuk membimbing dan memberi kasih sayang. Romli ingin ibunya menunjukkan jalan yang bisa mengantarkannya pada kebenaraan di dunia yang fana ini.
"Ya, Allah, maafkanlah aku bila shalatku kali ini tidak benar-benar khusyu. Aku benar-benar sangat merindukan ibuku. Aku kirimkan doa dan Al-fatiha untuknya, semoga Engkau selalu melindungi ibuku," doa Romli saat shalatnya selesai.
Malam harinya pukul 23.00 WIB, setelah selesai melakukan rangkaian ibadah di pesantren, para peserta dipersilahkan untuk beristirahat di kamar masing-masing. Segera Romlidan Adin Ahmad masuk kamar berukuran 4 x 3 meter yang sederhana namun rapi. Di dindingnya terdapat kaligrafi lafadz bismillah dan ayat kursi, serta buku yang dipenuhi dengan kitab-kitab.
Mendapati bantal dan kasur lantai Adin Ahmad langsung tertidur pulas, sedangkan Romli tidak bisa memejamkan mata. Romli masih dihantui oleh bayangan ibunya. Terlintas dibenaknya saat ia sering di ajak melihat lumba-lumba dengan menaiki sebuah jukung, melihat indahnya pemandangan batu-batuan besar yang menjulang dan melepaskan bayi-bayi penyu di Teluk Kiluan serta memancing bersama ibunya disana. Sebuah tempat indah layaknya surga untuknya walau tak banyak yang tahu akan keindahan tempat tersebut, termasuk orang Lampung itu sendiri.
Romli sangat merindukan ibunya. Ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dan memberikan kasih sayang yang luar biasa. Tapi yang selalu menyesakkan hati Romli adalah kenapa ibunya harus meninggal dari sebuah peristiwa yang sederhana, peristiwa yang seharusnya tidak membuat ibunya meninggalkannya untuk selama-lamanya. Di tengah kegalauan hati yang mendera. Romli akhirnya memutuskan untuk pergi ke malam ibunya yang tak jauh dari Pondok Pesantren.
Di makam ibunya, butiran- butiran air mata Romli terus mengalir membasahi wajahnya yang bersandar pada makam ibunya. "Bu, aku rindu Ibu...." gumam Romli dengan lirih. Romli berdo'a untuk ibunya "Ya Allah ampunilah segala dosa ibu hamba, tempatkanlah ia di tempat yang paling mulia disisi-Mu".
Malam semakin larut, cahaya bulan semakin memudar dan dinginnya angin malam seolah menusuk tubuh Romli yang sudah kelelahan, dengan kaki mulai terasa berat Romli kembali ke Pondok Pesantren untuk beristirahat.
Karena kondisi yang terlalu capek, Romli pun akhirnya terlelap tidur. Dalam tidru yang perlu kegelisahan itu, Romli bermimpi ibunya datang mememuinya sambil menahan isak-tangis. Ibu Romli membisikkan nasihat pada sembari membelai buah hatinya.
"Anakku Romli, Lamen niku ngigham jama ibu, bacalah Sughat Al-fatiha guwai ibu. Ingekke tanggeh ibu sa: Dang ulah ibu makkou logei niku jadi sanak nakal. Ibu wat dihatimu untuk ngejagomu. Jadilah sanak sai taat jama agama."
Romli tersentak kaget dan bangun dari tidurnya yang hanya sesaat itu. Dua sudut mata Romli pun mengalir air bening, Romli merasakan benar kehadiran ibunya yang seakan sedang memeluknya dari belakang, Romli bahkan masih terngiang apa yang telah dibisikkan ibunya. Jarum jam menunjukkan pukul tiga malam, Romli segera bangun dan keluar dari kamarnya. Romli berjalan pelan menuju masjid untuk shalat tahajud. Saat berada di halaman masjid yang begitu luas, Romli menghentikan langkahnya dan diam mematung, dipandanginya setiap penjuru halaman depan masjid yang begitu luas. Romli tersentak kaget ketika ia seperti merasakan kejadian tragis yang pernah dialaminya. Romli yang masih anak-anak melihat ibunya terjatuh dan terinjak-injak saat mengantri dalam pembagian zakat di desanya, di halaman masjid seperti inilah Romli terakhir melihat wajah ibunya.
Romli pun menangis sejadi-jadinya, tubuhnya bergetar merasakan penderitaan yang sangat berat. Tapi, tiba-tiba Romli merasa seperti tubuhnya ada yang memeluknya. Romli tersentak kaget karena kehangatan pelukan yang sedang dirasakannya sama seperti pelukkan ibunya di masa lalu.
"Bu..." Romli memanggil lirih dengan diiringi butiran-butiran airmatanya yang berguguran dan kelopak matanya. Romli sekarang mendapatkan kenyataan yang tidak pernah dipahami bahwa ternyata ia tidak pernah kehilangan ibunya, sekalipun ibunya telah tiada. Romli yakin bahwa Ibunya slalu berada di hatinya untuk menjaganya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Romli pun teringat dengan hidupnya yang telah banyak menyia-nyiakan waktu hanya untuk memikirkan kemalangannya dan membuatnya menjadi anak nakal. Saat ini Romli telah menyadari kenakalannya yang terdahulu, di mana waktu dulu ia tidak dapat menghargai waktu. Waktunya selalu diisi hanya untuk mengembangkan kenakalan yang membuatnya tidak berharga. Sekarang Romli sadar jika ia tidak bisa menghargai waktu, maka waktu juga dapat membuat manusia menjadi tidak berharga.
"Alhamdulillah ya Allah.....Engkau memberikan kesempatan untuk memanfaatkan waktuku di pesantren ini." Romli kembali melangkah menuju masjid dengan terus merasakan kehangatan pelukkan dan kasih sayang ibunya yang telah tiada.
***
Karya: Rama Ridho
No comments:
Post a Comment