Orang tua itu, tak selalu yang melahirkan kita. Ya, itulah yang terjadi padaku, tinggal bersama orang tua angkat sejak berusia 1 tahun. Di sebuah desa TRANSAD, Lampung Tengah. Sebenarnya, mereka adalah pakde dan budeku, kakak kandung dari ayahku yang tinggal di Batam. Sejak kecil, aku terbiasa hidup dengan mereka sehingga kupanggil layaknya orang tua kandung, emak dan bapak. Sangat kontras, Ayahnya justru kupanggil Om. Ya, wajar saja aku belum mengetahui apapun saat itu. Terkadang aku tersinggung ketika banyak orang membincangkan tentang diriku yang bukan anak kandung mereka.
Menurut cerita yang kudengar, aku dititipkan kepada mereka karena dahulu ayah masih tinggal dengan kondisi serba kekurangan bersama ibu di Batam dan kala itu keadaan disana belumlah stabil. Seiring detik waktu yang terlewat, Alhamdulillah ayah berhasil mengembangkan usaha besi tua miliknya. Hal itu membuat beberapa perusahaan besar menaruh kepercayaan pada usaha ayah di beberapa tender mereka. Sejak itu, biaya hidupku ditanggung penuh oleh ayah. Namun entah mengapa, ayah membiarkanku tetap bersama pakde dan bude.
Di keluarga kecil yang sederhana ini, aku belajar mengenai kehidupan dan mereka mendidikku menjadi muslim yang soleh, menjagaku dari kelam lingkungan, tak kenal waktu untuk menjagaku dalam tangis dan tidurku. Aku seolah utuh menjadi bagian dari keluarga kecil mereka.
Beranjak remaja, aku mulai mengerti semua. Walau berat, kucoba memahami dan menerimanya. Emak dan bapak memang benar bukanlah orang tua kandungku. Dan aku mulai mengerti bahwa orang yang selama ini kupanggil om itu adalah ayahku, sejak itu juga aku ingat bahwa emak pernah bercerita mengenai perceraian Om Teguhku itu. Dan itu benar. Orang tuaku bercerai ketika aku kelas 4 SD. Aku menjadi hak asuh ayah, lalu adik kandung yang belum pernah kulihat rupanya itu menjadi hak asuh ibu. Tak ku tahu mengapa mereka bercerai, aku menganggap sebagai hal yang tak penting kala itu.
Belajar menerima semua, aku hanya bertingkah tak peduli. Aku tidak menempatkan kenyataan ini sebagai beban pahit. Aku hanya mencoba berlaku normal. Namun, aku hanya selalu menunduk iri ketika ada anak-anak lain yang ku jumpai larut bahagia bersama keluarga kandungnya yang utuh.
SD kelas 6, ketika libur kelulusan untuk pertama kalinya aku datang ke Batam. Tempat kedua orangtuaku tinggal. Disana aku menemui kehidupan ayah yang seorang diri di pesanggrahannya yang besar.
Satu pukulan besar lagi bagiku, ayahku tak seperti emak dan bapak. Dia bukan muslim yang taat, bukan ayah baik yang memberi contoh teladan anaknya. Walaupun, ia rajin memberi santunan. Tapi tak pernah ada malam yang terlewatkan di bar dan cafe. Setiap pukul 9 dia selalu beranjak pergi ketempat hiburan malam dengan mobil kesayangannya itu. Berangkat malam, pulang pagi, dilakukannya saban hari. Memang, disana apapun yang kumau dipenuhi olehnya. Aku ditenggelamkan dalam kemewahan oleh ayah, tapi tetap tak cukup membuatku bahagia. Sebelum akhirnya, pada suatu malam emak bertanya, "kamu mau ketemu Ibu Rum nggak? Kalo mau nanti malem dianter kesana," aku mengangguk bahagia, Ibu Rum adalah ibu kandungku yang terakhir kutemui ketika aku masih kecil sekali. Ketika itu aku belum sadar dia ibuku, tapi aku masih ingat benar kenangan kecilku itu, walau tak jelas lagi bagaimana rupanya.
Ayah tak ikut, hanya aku dan emak diantar supir hingga pelantaran Panbil Mall, tempat kami berjanji bertemu. Malam itu aku bahagia, dipeluk erat bersama raut senyum dari wajah ibu kandungku. Hari itu kami bermain, belanja dan makan. Merasakan kebahagian pembayar rindu bertahun tak bertemu, seorang ibu dengan anak pertamanya. Asing sekali rasanya. Tapi setelah menjalaninya, semua itu tetap memberi kebahagiaan pada hatiku.
Ada keheranan ketika pria yang disebut Ibu Rum supir taxi, sejak tadi mengikuti kemanapun kami pergi. "Tampaknya dia pengganti ayah", ucapku kecil dalam hati. Hingga larut, akhirnya aku dan emak diantar pulang oleh ibu dan supir taxi itu. Walaupun tidak sampai di rumah Ayah. Bertahun tak bertemu, dibalas hanya sehari itu saja. Rasa bahagia itu kuakui ada, tapi juga tak begitu berkesan untukku. Mungkin hatiku sudah terlalu beku untuk diluluhkan dengan kehadiran ibu atau mungkin sosok ibu sudah terlalu asing untukku.
***
Tahun itu, aku mendengar kabar baik tak terduga dari ayah yang sudah menikah lagi dengan seorang gadis muda yang dicintainya, Lusi. Tak kenal siapa dia. Tapi kuharap dia bisa jadi ibu yang baik, setidaknya untuk ayah.
Sejak dulu ketika ayah mulai berada, beliau selalu pulang ke Lampung untuk ibunya tercinta pada hari lebaran. Nenekku yang tal lagi lancar berjalan, seperti sedang di gelimangi bahagia ketika itu. Aku saban hari menjumpainya dalam kebahagiaan, tapi tak sebahagia ini terlihatnya. Karena ayah pulang membawa pendamping hidup baru yang selalu diharapkan menjadi seorang ibu yang baik. Memang perbedaan usia ayah dengan istrinya kini cukup jauh. Tapi kulihat dia sungguh-sungguh ingin menjadi ibu yang baik untuk kami.
seperti tahun lalu, aku kembali diminta ayah pulang ke Batam. Senang sekali. Namun kali ini ada yang berbeda ayah tak lagi sendiri di rumah besarnya. Wanita muda itu terlihat baik. Disana, dia selalu perhatian padaku dan menempatkan diri sebagai seorang ibu yang baik. Selalu bertanya segala tentang apa yang aku dan ayah suka dan tidak suka. Tapi sayang, kehadirannya tak akan bisa ubah ayahku. Dia tetaplah seorang Teguh Irawan yang selalu menghabiskan waktunya di luar rumah. Dia hanya kembali pada waktu dini hari, makan siang, mandi sore, dan kembali pergi pada malam harinya. Sama seperti dulu. Ingin sekali ku lihat dia menjadi baik, seperti sosok emak dan bapak, tapi terlalu kecil aku untuk mengungkapkannya.
Dan ternyata tak hanya ayah, Ibu Rum yang kutemui di sela liburan juga kudapati tak lagi sendiri. Pria itu tak kulupa wajahnya, dia adalah supir taxi yang mengantar kami dulu. Ibu dan ayah memperkenalkan pasangannya padaku perlahan bersama retorika tentang semua itu. Usai dikenalkan, malam itu aku mengungkapkan ingin menginap bersama Ibu Rum. Kulihat raut bahagia menyelimuti wajah ibu yang kurindu. Tak dapat kuduga, kembali aku harus mengelus dada dengan kenyataan bahwa aku hanya menemui kamar kos berukuran kecil sebagai tempat tinggal ibuku dengan suami barunya. Dinaungi tangis dalam hatiku ketika menatap itu semua. Andai keluargaku masih tetap utuh, mungkin hanya bahagia saja yang kutemui di Batam tempat kelahiranku.
Kenyataan pahit datang kembali, bersama kebagiaan dalam liburanku ini. Aku tetap menikmatinya. Menjadikan masalah ini teman yang tak seharusnya ku musuhi.
Aku kembali ke Lampung Tengah. Kembali tinggal dengan keluarga sederhana dengan sejuta kebahagiaan. Aku sangat mencintai mereka, merekalah penguatku. Bersama mereka, aku mengerti bahwa orang tua itu tak terikat darah tapi kasih sayang. Mereka memperhatikan aku sebagai muslim yang baik. Walau nyatanya aku tak begitu baik di belakang mereka.
Beranjak remaja, hatiku makin hitam. Aku telah mengenal apa itu nakal, bagaimana itu bebas. Walau mungkin aku tak terlalu tenggelam, tetap kurasa diriku jauh berubah. Teman-teman mengubahku, tapi mereka adalah pengibur sehari-hariku di balik beban keluarga menyakitkan ini. Mulai dari jiwa-jiwa baik hati yang selalu ramah, hingga orang-orang yang selalu ingin belajar segalanya. Mereka mengajariku hidup ceria, orang tua mengajariku kehidupan yang di cintai Allah. Tersadar, ternyata hidupku sangat lengkap.
Tahun itu, kabar bahagia datang, ibu tiriku melahirkan seorang anak laki-laki bauah pernikahannya dengan ayah yang diberi nama Hariadi Akbar. Memang ketika hiburan sebelumnya, kulihat perut ibu tiriku seperti terisi bayi, membesar. Akhirnya, aku punya seorang adik yang bisa kutemui. Sedang adik kandungku sendiri, belum pernahku tahu raut dan rupanya, karena Ibu Rum menitipkannya tinggal bersama nenek di Pulau Bintan. Nasibnya tak jauh beda dengan abangnya.
Sepertinya memang sudah menjadi tradisiku untuk pulang menemui ayah diwaktu liburan kenaikan kelas. Kali ini, aku meihat adikku Akbar adalah perwarna bagi keluarga baru ayah. Keluarga yang sebelumnya kulihat sangat kaku. Kini mereka bahagia. Walau aku tak begitu nampak menjadi bagiannya, tapi aku senang.
Dadaku masih terasa sesak, ketika kutemui ayah masih dalam kehidupannya, berfoya saban hari saban malam walau tak sesering dahulu. Ingin sekali aku berbicara dengannya. Niatku kuurungkan, karena aku jarang berbicang dengannya dan kurasa diriku takkan didengar. Aku selalu memendam kesal pada ayahku sendiri di setiap hariku dan semakin memuncak saat berlibur ke Batam.
***
Bersama warna hatiku yang semakin hitam, tingkah laku ini tak juga semakin baik. Hari-hari berlalu, hingga akhirnya diriku dinyatakan lulus UN. Kebahagiaan menerpaku, namun saat itu juga aku tersabar aku akan berpisah dengan teman-teman, yang saban hari menutup mataku pada kesedihan, melarutkan untuk lupa pada beban beratku. Mungkin takkan ku temui teman seperti mereka lagi, tapi ku rasa Allah tahu yang terbaik. Kesedihan akan perpisahan tak bertahan lama di dadaku, aku tersadar masih memiliki keluarga kecilku, dan agama.
Aku melanjutkan sekolah ke Bandar Lampung. Merantau sendirian. Tak apa, bukanlah aku memang selalu sepi, bahkan dalam ramai sekalipun, pikirku.
Lagi, Allah benar-benar tahu bagaimana memuncakkan bahagiaku. Setelah dia beri aku kelulusan dan keberhasilan diterima di sekolah lanjutan yang ku inginkan, kali ini Allah mengabulkan satu lagi doa yang tak pernah henti ku pinta, sejak dulu, Bertemu adik kandungku. Aku bahagia, adikku ternyata sudah cukup besar, kelas 3 SD ucapnya. Kami dipertemukan saat aku berlibur ke tempat Ibu Rum. Ini salah satu mimpi terindahku, dan untuk kesekian kalinya, Allah selalu menerduagabulkannya.
Ku lihat tangis haru Ibu kandungku, kembali menetes saat dia memeluk kami berdua. Seolah tak ingin lepas. Erat sekali dia memeluk kami. Usai tenggelam dama keharuan, kami menghabiskan hari itu bersama-sama. Menikmati indahnya Batam dengan segala kebahagiaan ini.
Sampai hari itu hampir berakhir, aku berkata pada ibu "Bu, aku nak bawa Okta menginap rumah ayah, bolehkah?"
Ibu terdiam berfikir.
Adikku Okta memecah hening, "Tak apalah ma, aku nak jalan dengan abang ke tempat om gendut."
Aku senang adik mau ikut, dan dengan sedikit berat hati ibu setuju. Tapi dari ucapan adikku tadi, aku tersadar ternyata dia juga memanggil ayah dengan sebutan om. Sama seperti aku kecil dulu. Aku menggandeng adikku masuk ke rumah ayah. Disambut senyum ibu tiriku dari depan televisi. Dan emak juga langsung bertanya "Mana Ibu Rum?"
"Langsung pulang" jawabku.
"Nak salaman dulu lah dengan ibu, dengan bude dan adek Akbar!" seruku pada Okta yang sudah ku kenal dekat walau baru pertama berjumpa.
Sejak itu ibu tiriku sudah langsung mengambil perhatian adik dengan terus belajar apa yang disukainya. Memang begitulah ibu, dia selalu berusaha untuk menjadi sosok ibu yang baik untuk semua anaknya, baik itu Akbar, aku bahkan Okta.
Keberadaan Okta menginap dirumah ayah untuk beberapa hari itu tak kami siakan. Raut bahagia menjadi teman setia kami tiap hari. Bahkan dengan lucunya adikku setiap hari bertanya "nak pegi kemana kita hari ini bu?" karna terlalu siringnya kami menghabiskan waktu di luar.
Namun itu tetaplah liburan, aku hanya punya waktu beberapa hari saja disana. Aku pulang meninggalkan kebahagiaan itu, kebahagiaan seorang kakak yang untuk pertama kalinya menemui adik kandungnya sendiri.
Di Lampung Tengah, aku sudah memasuki sisi lain diriku yang lebih bahagia. Aku sibuk mempersiapkan diri memasuki sekolah baru, penuh doa dari keluarga besarku.
"Kapan kamu pulang kesininya le?" tanya nenek ketika aku hendak pamit.
"Ya, satu bulan dulu lah mbah. Belajar betah disana" jawabku.
"Kok ya lama mbanget to le? Dua minggu lagi aja lah pulangnya ya?" ucap Nenek dengan penuh harap. Aku dipeluknya erat, dan diciumnya kedua pipiku sebelum aku berangkat pergi.
Hari pertama masuk sekolah tiba. Aku memulai hari baruku di tempat yang baru ini. Asrama Perwira 5 tempat dan SMA Al-Kautsar Bandar Lampung, awalku ingin merubah semua kalamku. Bersama senyum pertamaku, kumulai hari itu dengan penuh harapan. Label sekolah islami adalah acuanku untuk memilihnya, ku harap disini aku benar-benar bisa berubah.
Aku bahkan belum berbaur sepenuhnya dengan lingkungan. Tapi, tepat dua minggu awalku disana, aku dijumpai oleh sebuah berita duka. Ketika itu sedang belajar di ruang kelas, paman tiba-tiba datang ke sekolah menemuiku. Kami berbincang sejenak di ruang BK. "Nenek meninggal!" kira-kira itulah inti perkataan panjangnya pagi itu.
Aku diizinkan dan diantarkanya pulang ke Lampung Tengah tempat tinggal nenekku yang juga sangat dekat dengan tempat tinggalku. Sejenak aku kembali kekelas mengambil tas dan semua barangku. "nikeu haga dipa mal?". Tanya banyak teman kelasku hari itu. Tak menjawab, aku hanya melangkah dengan wajah tertunduk. Aku hanya berfikir mengenai permintaan terkahirnya agar aku pulang setelah 2 minggu.
Sampai di kediaman nenek, kujumpai banyak pasang mata bersama raut kehilangan terukir diwajah mereka. Mengucap salam, aku masuk dan menatap jenazah nenek ditemani tetes-tetes air mataku. Aku duduk diam disamping jenazah, meratap dan mendoakanya beberapa saat sebelum akhirnya jenazah segera di berangkatkan ke pamakaman.
Aku mengiringi, dari awal hingga akhir sesi pemakaman dan kembali menuju kediaman nenek bersama keluarga besar dan beberapa tetangga. Tak lama, ayah tiba dari Batam setelah perjalan beberapa jam. Kala itu pertama kalinya ku temui sosok seacuh ayahku bisa menangis, kulihat duka tergambar jelas dari mimiknya.
Kami tak mau berlarut-larut. Esoknya ayah kembali ke Batam, dan aku juga kembali ke Bandar Lampung. Sejenak yang terfikir olehku adalah, "Ayah tidak akan pulan lagi ke Lampung pada hari lebaran. Aku hanya akan menemuinya setahun sekali, ketika libur kenaikan kelas karena aku berkunjung ke Batam."
Benar dugaanku, lebaran itu ayah tak pulang dan aku hanya melewati hari raya dengan sepinya. Di Bandar Lampung aku tak juga temui apa yang kuharap-harapkan setelah cukup lama aku di sini. Terlalu banyak jiwa yang tak menyukai bujang kampung sepertiku. Aku terasing hingga akhirnya aku bertemu teman-teman yang satu pikirkan denganku. Walau kami tak dipadang baik di sekolah kami, tapi kisah-kisah kami adalah warna besar dalam kehidupanku kala itu. Belakang gedung perpustakaan UNILA, adalah tempat kami biasa menghabiskan waktu sepulang sekolah. Setiap harinya, selalu ada kisah yang membuat kami tak bosan disana meskipun tak jarang diusir satpam.
Melewati puluhan hari disini, aku tak juga mendapatkan pelecehan yang sejak awal ku harapkan. Disini, aku seperti pencerahan yang sejak awal ku harapkan. Di sini, aku seperti melihat sesuatu yang asing. Menurutku, semuanya terlalu bebas. Apakah ini kehidupan kota?.
***
Saat kenaikan kelas. Hari itu, pengumunan pembagian rapor, kami semua masuk jurusan IPS. Dengan menyisipkan kenangan itu, seperti biasa aku berlibur ke kampung halaman di Batam.
Masih seperti yang lalu, liburanku kuhabiskan untuk melepas rindu, membayar rasa ingin bertemu pada orang-orang tercinta yang memang seharusnya ada didekatku. Ayah, Ibu, adik-adiku dan semua kerinduanku tentang kota kelahiranku selalu kubayar setahun sekali. Dan masih seperti yang lalu juga, aku tak lihat ayah berubah. Sikap acuhnya pada keadaan dan kebiasaannya untuk selalu ingin bebas masih lekat dan tubuh besarnya itu. Aku masih terdiam memendam hasrat untuk memberi nasihat.
Apapun itu, liburanku selalu ku tutup dengan senyum kepuasaan. Aku kembali ke Lampung Tengah untuk beberapa hari di sana, mempersiapkan diri untuk tahun ajaran baru.
Awalnya aku tak begitu ceria ketika pembagian kelas. Dari rombonganku itu, hanya aku yang masuk kelas IPS 1 dan buruknya aku tak banyak mengenal daftar nama-nama yang menjadi bagian kelas IPS 1. "Aku akan menjadi asing lagi pasti" bisik kecilku dalam hati kala itu.
Terbukti, aku nampak terkucil di kelasku sendiri. Bujang kampung sepertiku ini memang lumayan sulit berbaur dengan urban community seperti mereka, walau dengan segala retorika itu. Waktu istirahat, kuhabiskan untuk sholat dhuha atau bermain ke kelas lain karna aku masih merasa tak nyaman dengan keadaan kelas. Terkadang aku juga meluangkan waktu mengurus pekerjaan OSIS guna memenuhi tanggung jawabku sebagai waka OSIS di sekolah.
***
Aku tak tahu mengapa, dada ini terasa sesak saat mendengarnya. Ayah dan ibu tiriku bercerai. Serasa baru kemarin kami bahagia bersama. "apa gawoh, nikeu harus sabagh" bisik kawan-kawahku menghibur.
Kadang permasalahan orang dewasa itu rumit, tidak tiap-tiap permasalahan yang abstrak itu bisa ku uraikan apalagi dengan adanya jarak dan menghancurkan kohesi keluargaku. Terkadang aku tak mengerti pikiran mereka orang dewasa. Bukankah tak ada satupun rezeki yang kita terima tanpa perantara orang lain, sehingga kita harus menjaga hubungan kita dengan seseorang dengan baik?
Aku menulis ini dengan digelayuti beban di kepalaku, aku makin ingin bicara dengan ayah. Hanya beberapa hari lagi, liburan kenaikan kelas tiba dan aku akan pulan ke Batam. Niatku sudah bulat, aku tak ingin hanya melepas rindu disana, tapi aku juga akan lepas beban geramku pada ayah. Aku sudah lelah, melihat iri kebahagiaan keluarga lain setiap hari, membiasakan diri terasing dari ayahku, membandingkan diriku dengan yang lain. Terlalu lelah aku hidup di dua sisi ini.
Terlintas fikir, bahwa biasanya ayah meluangkan waktu sedikit untuk meneguk kopi di pelataran rumah pada waktu malam kira-kira ba'da isya. Mengingat itu, kini aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa akan kuungkap pilu ini pada ayah dalam liburanku beberapa waktu nanti, mungkin bada isya tepatnya.
Bersama cerita ini, kutuliskan kutipan kecil kehidupanku. Ini bukan pengungkapan aibku, aku hanya ingin mengungkapkan bagaimana Allah menciptakan kehidupan indah untuk makluknya. Mulai dari orang tua angkat yang sangat baik, teman yang selalu membawaku untuk lupa pada beban, hingga momen indah seperti ketika pertama aku bertemu adik kandungku. Semua disusun indah oleh Allah, Untuk itu aku meyakinkan diri, bahwa keindahan relevan itu akan menjadi semakin baik pada bada isya, Juni 2012. Begitulah harapanku.
Karya: Jamal Ginanjar Falah
Menurut cerita yang kudengar, aku dititipkan kepada mereka karena dahulu ayah masih tinggal dengan kondisi serba kekurangan bersama ibu di Batam dan kala itu keadaan disana belumlah stabil. Seiring detik waktu yang terlewat, Alhamdulillah ayah berhasil mengembangkan usaha besi tua miliknya. Hal itu membuat beberapa perusahaan besar menaruh kepercayaan pada usaha ayah di beberapa tender mereka. Sejak itu, biaya hidupku ditanggung penuh oleh ayah. Namun entah mengapa, ayah membiarkanku tetap bersama pakde dan bude.
Di keluarga kecil yang sederhana ini, aku belajar mengenai kehidupan dan mereka mendidikku menjadi muslim yang soleh, menjagaku dari kelam lingkungan, tak kenal waktu untuk menjagaku dalam tangis dan tidurku. Aku seolah utuh menjadi bagian dari keluarga kecil mereka.
Beranjak remaja, aku mulai mengerti semua. Walau berat, kucoba memahami dan menerimanya. Emak dan bapak memang benar bukanlah orang tua kandungku. Dan aku mulai mengerti bahwa orang yang selama ini kupanggil om itu adalah ayahku, sejak itu juga aku ingat bahwa emak pernah bercerita mengenai perceraian Om Teguhku itu. Dan itu benar. Orang tuaku bercerai ketika aku kelas 4 SD. Aku menjadi hak asuh ayah, lalu adik kandung yang belum pernah kulihat rupanya itu menjadi hak asuh ibu. Tak ku tahu mengapa mereka bercerai, aku menganggap sebagai hal yang tak penting kala itu.
Belajar menerima semua, aku hanya bertingkah tak peduli. Aku tidak menempatkan kenyataan ini sebagai beban pahit. Aku hanya mencoba berlaku normal. Namun, aku hanya selalu menunduk iri ketika ada anak-anak lain yang ku jumpai larut bahagia bersama keluarga kandungnya yang utuh.
SD kelas 6, ketika libur kelulusan untuk pertama kalinya aku datang ke Batam. Tempat kedua orangtuaku tinggal. Disana aku menemui kehidupan ayah yang seorang diri di pesanggrahannya yang besar.
Satu pukulan besar lagi bagiku, ayahku tak seperti emak dan bapak. Dia bukan muslim yang taat, bukan ayah baik yang memberi contoh teladan anaknya. Walaupun, ia rajin memberi santunan. Tapi tak pernah ada malam yang terlewatkan di bar dan cafe. Setiap pukul 9 dia selalu beranjak pergi ketempat hiburan malam dengan mobil kesayangannya itu. Berangkat malam, pulang pagi, dilakukannya saban hari. Memang, disana apapun yang kumau dipenuhi olehnya. Aku ditenggelamkan dalam kemewahan oleh ayah, tapi tetap tak cukup membuatku bahagia. Sebelum akhirnya, pada suatu malam emak bertanya, "kamu mau ketemu Ibu Rum nggak? Kalo mau nanti malem dianter kesana," aku mengangguk bahagia, Ibu Rum adalah ibu kandungku yang terakhir kutemui ketika aku masih kecil sekali. Ketika itu aku belum sadar dia ibuku, tapi aku masih ingat benar kenangan kecilku itu, walau tak jelas lagi bagaimana rupanya.
Ayah tak ikut, hanya aku dan emak diantar supir hingga pelantaran Panbil Mall, tempat kami berjanji bertemu. Malam itu aku bahagia, dipeluk erat bersama raut senyum dari wajah ibu kandungku. Hari itu kami bermain, belanja dan makan. Merasakan kebahagian pembayar rindu bertahun tak bertemu, seorang ibu dengan anak pertamanya. Asing sekali rasanya. Tapi setelah menjalaninya, semua itu tetap memberi kebahagiaan pada hatiku.
Ada keheranan ketika pria yang disebut Ibu Rum supir taxi, sejak tadi mengikuti kemanapun kami pergi. "Tampaknya dia pengganti ayah", ucapku kecil dalam hati. Hingga larut, akhirnya aku dan emak diantar pulang oleh ibu dan supir taxi itu. Walaupun tidak sampai di rumah Ayah. Bertahun tak bertemu, dibalas hanya sehari itu saja. Rasa bahagia itu kuakui ada, tapi juga tak begitu berkesan untukku. Mungkin hatiku sudah terlalu beku untuk diluluhkan dengan kehadiran ibu atau mungkin sosok ibu sudah terlalu asing untukku.
***
Tahun itu, aku mendengar kabar baik tak terduga dari ayah yang sudah menikah lagi dengan seorang gadis muda yang dicintainya, Lusi. Tak kenal siapa dia. Tapi kuharap dia bisa jadi ibu yang baik, setidaknya untuk ayah.
Sejak dulu ketika ayah mulai berada, beliau selalu pulang ke Lampung untuk ibunya tercinta pada hari lebaran. Nenekku yang tal lagi lancar berjalan, seperti sedang di gelimangi bahagia ketika itu. Aku saban hari menjumpainya dalam kebahagiaan, tapi tak sebahagia ini terlihatnya. Karena ayah pulang membawa pendamping hidup baru yang selalu diharapkan menjadi seorang ibu yang baik. Memang perbedaan usia ayah dengan istrinya kini cukup jauh. Tapi kulihat dia sungguh-sungguh ingin menjadi ibu yang baik untuk kami.
seperti tahun lalu, aku kembali diminta ayah pulang ke Batam. Senang sekali. Namun kali ini ada yang berbeda ayah tak lagi sendiri di rumah besarnya. Wanita muda itu terlihat baik. Disana, dia selalu perhatian padaku dan menempatkan diri sebagai seorang ibu yang baik. Selalu bertanya segala tentang apa yang aku dan ayah suka dan tidak suka. Tapi sayang, kehadirannya tak akan bisa ubah ayahku. Dia tetaplah seorang Teguh Irawan yang selalu menghabiskan waktunya di luar rumah. Dia hanya kembali pada waktu dini hari, makan siang, mandi sore, dan kembali pergi pada malam harinya. Sama seperti dulu. Ingin sekali ku lihat dia menjadi baik, seperti sosok emak dan bapak, tapi terlalu kecil aku untuk mengungkapkannya.
Dan ternyata tak hanya ayah, Ibu Rum yang kutemui di sela liburan juga kudapati tak lagi sendiri. Pria itu tak kulupa wajahnya, dia adalah supir taxi yang mengantar kami dulu. Ibu dan ayah memperkenalkan pasangannya padaku perlahan bersama retorika tentang semua itu. Usai dikenalkan, malam itu aku mengungkapkan ingin menginap bersama Ibu Rum. Kulihat raut bahagia menyelimuti wajah ibu yang kurindu. Tak dapat kuduga, kembali aku harus mengelus dada dengan kenyataan bahwa aku hanya menemui kamar kos berukuran kecil sebagai tempat tinggal ibuku dengan suami barunya. Dinaungi tangis dalam hatiku ketika menatap itu semua. Andai keluargaku masih tetap utuh, mungkin hanya bahagia saja yang kutemui di Batam tempat kelahiranku.
Kenyataan pahit datang kembali, bersama kebagiaan dalam liburanku ini. Aku tetap menikmatinya. Menjadikan masalah ini teman yang tak seharusnya ku musuhi.
Aku kembali ke Lampung Tengah. Kembali tinggal dengan keluarga sederhana dengan sejuta kebahagiaan. Aku sangat mencintai mereka, merekalah penguatku. Bersama mereka, aku mengerti bahwa orang tua itu tak terikat darah tapi kasih sayang. Mereka memperhatikan aku sebagai muslim yang baik. Walau nyatanya aku tak begitu baik di belakang mereka.
Beranjak remaja, hatiku makin hitam. Aku telah mengenal apa itu nakal, bagaimana itu bebas. Walau mungkin aku tak terlalu tenggelam, tetap kurasa diriku jauh berubah. Teman-teman mengubahku, tapi mereka adalah pengibur sehari-hariku di balik beban keluarga menyakitkan ini. Mulai dari jiwa-jiwa baik hati yang selalu ramah, hingga orang-orang yang selalu ingin belajar segalanya. Mereka mengajariku hidup ceria, orang tua mengajariku kehidupan yang di cintai Allah. Tersadar, ternyata hidupku sangat lengkap.
Tahun itu, kabar bahagia datang, ibu tiriku melahirkan seorang anak laki-laki bauah pernikahannya dengan ayah yang diberi nama Hariadi Akbar. Memang ketika hiburan sebelumnya, kulihat perut ibu tiriku seperti terisi bayi, membesar. Akhirnya, aku punya seorang adik yang bisa kutemui. Sedang adik kandungku sendiri, belum pernahku tahu raut dan rupanya, karena Ibu Rum menitipkannya tinggal bersama nenek di Pulau Bintan. Nasibnya tak jauh beda dengan abangnya.
Sepertinya memang sudah menjadi tradisiku untuk pulang menemui ayah diwaktu liburan kenaikan kelas. Kali ini, aku meihat adikku Akbar adalah perwarna bagi keluarga baru ayah. Keluarga yang sebelumnya kulihat sangat kaku. Kini mereka bahagia. Walau aku tak begitu nampak menjadi bagiannya, tapi aku senang.
Dadaku masih terasa sesak, ketika kutemui ayah masih dalam kehidupannya, berfoya saban hari saban malam walau tak sesering dahulu. Ingin sekali aku berbicara dengannya. Niatku kuurungkan, karena aku jarang berbicang dengannya dan kurasa diriku takkan didengar. Aku selalu memendam kesal pada ayahku sendiri di setiap hariku dan semakin memuncak saat berlibur ke Batam.
***
Bersama warna hatiku yang semakin hitam, tingkah laku ini tak juga semakin baik. Hari-hari berlalu, hingga akhirnya diriku dinyatakan lulus UN. Kebahagiaan menerpaku, namun saat itu juga aku tersabar aku akan berpisah dengan teman-teman, yang saban hari menutup mataku pada kesedihan, melarutkan untuk lupa pada beban beratku. Mungkin takkan ku temui teman seperti mereka lagi, tapi ku rasa Allah tahu yang terbaik. Kesedihan akan perpisahan tak bertahan lama di dadaku, aku tersadar masih memiliki keluarga kecilku, dan agama.
Aku melanjutkan sekolah ke Bandar Lampung. Merantau sendirian. Tak apa, bukanlah aku memang selalu sepi, bahkan dalam ramai sekalipun, pikirku.
Lagi, Allah benar-benar tahu bagaimana memuncakkan bahagiaku. Setelah dia beri aku kelulusan dan keberhasilan diterima di sekolah lanjutan yang ku inginkan, kali ini Allah mengabulkan satu lagi doa yang tak pernah henti ku pinta, sejak dulu, Bertemu adik kandungku. Aku bahagia, adikku ternyata sudah cukup besar, kelas 3 SD ucapnya. Kami dipertemukan saat aku berlibur ke tempat Ibu Rum. Ini salah satu mimpi terindahku, dan untuk kesekian kalinya, Allah selalu menerduagabulkannya.
Ku lihat tangis haru Ibu kandungku, kembali menetes saat dia memeluk kami berdua. Seolah tak ingin lepas. Erat sekali dia memeluk kami. Usai tenggelam dama keharuan, kami menghabiskan hari itu bersama-sama. Menikmati indahnya Batam dengan segala kebahagiaan ini.
Sampai hari itu hampir berakhir, aku berkata pada ibu "Bu, aku nak bawa Okta menginap rumah ayah, bolehkah?"
Ibu terdiam berfikir.
Adikku Okta memecah hening, "Tak apalah ma, aku nak jalan dengan abang ke tempat om gendut."
Aku senang adik mau ikut, dan dengan sedikit berat hati ibu setuju. Tapi dari ucapan adikku tadi, aku tersadar ternyata dia juga memanggil ayah dengan sebutan om. Sama seperti aku kecil dulu. Aku menggandeng adikku masuk ke rumah ayah. Disambut senyum ibu tiriku dari depan televisi. Dan emak juga langsung bertanya "Mana Ibu Rum?"
"Langsung pulang" jawabku.
"Nak salaman dulu lah dengan ibu, dengan bude dan adek Akbar!" seruku pada Okta yang sudah ku kenal dekat walau baru pertama berjumpa.
Sejak itu ibu tiriku sudah langsung mengambil perhatian adik dengan terus belajar apa yang disukainya. Memang begitulah ibu, dia selalu berusaha untuk menjadi sosok ibu yang baik untuk semua anaknya, baik itu Akbar, aku bahkan Okta.
Keberadaan Okta menginap dirumah ayah untuk beberapa hari itu tak kami siakan. Raut bahagia menjadi teman setia kami tiap hari. Bahkan dengan lucunya adikku setiap hari bertanya "nak pegi kemana kita hari ini bu?" karna terlalu siringnya kami menghabiskan waktu di luar.
Namun itu tetaplah liburan, aku hanya punya waktu beberapa hari saja disana. Aku pulang meninggalkan kebahagiaan itu, kebahagiaan seorang kakak yang untuk pertama kalinya menemui adik kandungnya sendiri.
Di Lampung Tengah, aku sudah memasuki sisi lain diriku yang lebih bahagia. Aku sibuk mempersiapkan diri memasuki sekolah baru, penuh doa dari keluarga besarku.
"Kapan kamu pulang kesininya le?" tanya nenek ketika aku hendak pamit.
"Ya, satu bulan dulu lah mbah. Belajar betah disana" jawabku.
"Kok ya lama mbanget to le? Dua minggu lagi aja lah pulangnya ya?" ucap Nenek dengan penuh harap. Aku dipeluknya erat, dan diciumnya kedua pipiku sebelum aku berangkat pergi.
Hari pertama masuk sekolah tiba. Aku memulai hari baruku di tempat yang baru ini. Asrama Perwira 5 tempat dan SMA Al-Kautsar Bandar Lampung, awalku ingin merubah semua kalamku. Bersama senyum pertamaku, kumulai hari itu dengan penuh harapan. Label sekolah islami adalah acuanku untuk memilihnya, ku harap disini aku benar-benar bisa berubah.
Aku bahkan belum berbaur sepenuhnya dengan lingkungan. Tapi, tepat dua minggu awalku disana, aku dijumpai oleh sebuah berita duka. Ketika itu sedang belajar di ruang kelas, paman tiba-tiba datang ke sekolah menemuiku. Kami berbincang sejenak di ruang BK. "Nenek meninggal!" kira-kira itulah inti perkataan panjangnya pagi itu.
Aku diizinkan dan diantarkanya pulang ke Lampung Tengah tempat tinggal nenekku yang juga sangat dekat dengan tempat tinggalku. Sejenak aku kembali kekelas mengambil tas dan semua barangku. "nikeu haga dipa mal?". Tanya banyak teman kelasku hari itu. Tak menjawab, aku hanya melangkah dengan wajah tertunduk. Aku hanya berfikir mengenai permintaan terkahirnya agar aku pulang setelah 2 minggu.
Sampai di kediaman nenek, kujumpai banyak pasang mata bersama raut kehilangan terukir diwajah mereka. Mengucap salam, aku masuk dan menatap jenazah nenek ditemani tetes-tetes air mataku. Aku duduk diam disamping jenazah, meratap dan mendoakanya beberapa saat sebelum akhirnya jenazah segera di berangkatkan ke pamakaman.
Aku mengiringi, dari awal hingga akhir sesi pemakaman dan kembali menuju kediaman nenek bersama keluarga besar dan beberapa tetangga. Tak lama, ayah tiba dari Batam setelah perjalan beberapa jam. Kala itu pertama kalinya ku temui sosok seacuh ayahku bisa menangis, kulihat duka tergambar jelas dari mimiknya.
Kami tak mau berlarut-larut. Esoknya ayah kembali ke Batam, dan aku juga kembali ke Bandar Lampung. Sejenak yang terfikir olehku adalah, "Ayah tidak akan pulan lagi ke Lampung pada hari lebaran. Aku hanya akan menemuinya setahun sekali, ketika libur kenaikan kelas karena aku berkunjung ke Batam."
Benar dugaanku, lebaran itu ayah tak pulang dan aku hanya melewati hari raya dengan sepinya. Di Bandar Lampung aku tak juga temui apa yang kuharap-harapkan setelah cukup lama aku di sini. Terlalu banyak jiwa yang tak menyukai bujang kampung sepertiku. Aku terasing hingga akhirnya aku bertemu teman-teman yang satu pikirkan denganku. Walau kami tak dipadang baik di sekolah kami, tapi kisah-kisah kami adalah warna besar dalam kehidupanku kala itu. Belakang gedung perpustakaan UNILA, adalah tempat kami biasa menghabiskan waktu sepulang sekolah. Setiap harinya, selalu ada kisah yang membuat kami tak bosan disana meskipun tak jarang diusir satpam.
Melewati puluhan hari disini, aku tak juga mendapatkan pelecehan yang sejak awal ku harapkan. Disini, aku seperti pencerahan yang sejak awal ku harapkan. Di sini, aku seperti melihat sesuatu yang asing. Menurutku, semuanya terlalu bebas. Apakah ini kehidupan kota?.
***
Saat kenaikan kelas. Hari itu, pengumunan pembagian rapor, kami semua masuk jurusan IPS. Dengan menyisipkan kenangan itu, seperti biasa aku berlibur ke kampung halaman di Batam.
Masih seperti yang lalu, liburanku kuhabiskan untuk melepas rindu, membayar rasa ingin bertemu pada orang-orang tercinta yang memang seharusnya ada didekatku. Ayah, Ibu, adik-adiku dan semua kerinduanku tentang kota kelahiranku selalu kubayar setahun sekali. Dan masih seperti yang lalu juga, aku tak lihat ayah berubah. Sikap acuhnya pada keadaan dan kebiasaannya untuk selalu ingin bebas masih lekat dan tubuh besarnya itu. Aku masih terdiam memendam hasrat untuk memberi nasihat.
Apapun itu, liburanku selalu ku tutup dengan senyum kepuasaan. Aku kembali ke Lampung Tengah untuk beberapa hari di sana, mempersiapkan diri untuk tahun ajaran baru.
Awalnya aku tak begitu ceria ketika pembagian kelas. Dari rombonganku itu, hanya aku yang masuk kelas IPS 1 dan buruknya aku tak banyak mengenal daftar nama-nama yang menjadi bagian kelas IPS 1. "Aku akan menjadi asing lagi pasti" bisik kecilku dalam hati kala itu.
Terbukti, aku nampak terkucil di kelasku sendiri. Bujang kampung sepertiku ini memang lumayan sulit berbaur dengan urban community seperti mereka, walau dengan segala retorika itu. Waktu istirahat, kuhabiskan untuk sholat dhuha atau bermain ke kelas lain karna aku masih merasa tak nyaman dengan keadaan kelas. Terkadang aku juga meluangkan waktu mengurus pekerjaan OSIS guna memenuhi tanggung jawabku sebagai waka OSIS di sekolah.
***
Aku tak tahu mengapa, dada ini terasa sesak saat mendengarnya. Ayah dan ibu tiriku bercerai. Serasa baru kemarin kami bahagia bersama. "apa gawoh, nikeu harus sabagh" bisik kawan-kawahku menghibur.
Kadang permasalahan orang dewasa itu rumit, tidak tiap-tiap permasalahan yang abstrak itu bisa ku uraikan apalagi dengan adanya jarak dan menghancurkan kohesi keluargaku. Terkadang aku tak mengerti pikiran mereka orang dewasa. Bukankah tak ada satupun rezeki yang kita terima tanpa perantara orang lain, sehingga kita harus menjaga hubungan kita dengan seseorang dengan baik?
Aku menulis ini dengan digelayuti beban di kepalaku, aku makin ingin bicara dengan ayah. Hanya beberapa hari lagi, liburan kenaikan kelas tiba dan aku akan pulan ke Batam. Niatku sudah bulat, aku tak ingin hanya melepas rindu disana, tapi aku juga akan lepas beban geramku pada ayah. Aku sudah lelah, melihat iri kebahagiaan keluarga lain setiap hari, membiasakan diri terasing dari ayahku, membandingkan diriku dengan yang lain. Terlalu lelah aku hidup di dua sisi ini.
Terlintas fikir, bahwa biasanya ayah meluangkan waktu sedikit untuk meneguk kopi di pelataran rumah pada waktu malam kira-kira ba'da isya. Mengingat itu, kini aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa akan kuungkap pilu ini pada ayah dalam liburanku beberapa waktu nanti, mungkin bada isya tepatnya.
Bersama cerita ini, kutuliskan kutipan kecil kehidupanku. Ini bukan pengungkapan aibku, aku hanya ingin mengungkapkan bagaimana Allah menciptakan kehidupan indah untuk makluknya. Mulai dari orang tua angkat yang sangat baik, teman yang selalu membawaku untuk lupa pada beban, hingga momen indah seperti ketika pertama aku bertemu adik kandungku. Semua disusun indah oleh Allah, Untuk itu aku meyakinkan diri, bahwa keindahan relevan itu akan menjadi semakin baik pada bada isya, Juni 2012. Begitulah harapanku.
Karya: Jamal Ginanjar Falah
No comments:
Post a Comment