Aku duduk terdiam dihadapan dua orang temanku. Cukup lama aku menatap mereka, namun mereka hanya menganggap tatapanku kosong. Tanpa makna. Tak tau lagi aku, entah apa yang mereka maksud sebenarnya. Kemarin mereka datang dengan seorang laki-laki bertubuh besar tinggi dengan puntung rokok yang tak bisa lepas dari tangannya. Ia mengaku sebagai pengusaha tekstil asal kota sebelah. “berapa mahar yang kau minta. Pasti aku berikan” itu yang laki-laki itu ucapkan di depanku. Dengan bangganya teman-temanku membisik-bisikkan kalimat yang isinya tak lain adalah bujukan agar aku mau menerimanya. “Dia kaya. Gak bakal kamu nyesal sama dia?” Bisik Nela. Aku paham kebaikan mereka, mencarikan aku pendamping hidup karena di usiaku yang sudah lebih dari 25 tahun ini belum juga ada yang mau meminangku.
“Maaf, saya masih belum berniat untuk menikah. Sebaiknya anda mencari wanita lain daripada harus berlama-lama menunggu saya yang tak punya kepastian apa-apa dalam waktu dekat ini.” Jawaban itu yang ku keluarkan dihadapan orang tua dan teman-temanku.
Orang tuaku hanya tersenyum. mereka memberikan kebebebasan untukku. Sementara dua orang temanku, mereka memasang wajah kesal karena itu bukan pertama kalinya mereka sibuk mencarikanku laki-laki. Beberapa minggu lalu mereka membawa laki-laki berdasi dengan wajah yang bisa dibilang tampan, dan dengan usia yang tak jauh denganku, laki-laki itu bisa dibilang cukup mapan, sudah punya mobil, rumah dan bisnis yang dirintisnya sudah berhasil. Tapi aku hanya menggelengkan kepala. Atau mungkin dua bulan lalu, mereka datang membawa pemilik perkebunan sawit dan karet ke hadapanku, tapi aku tak juga tersanjung.
Sekarang mereka berdua duduk dihadapanku, dengan memangku anak mereka yang usianya masih balita, mereka menyidangku.
“aku gak tau lagi gimana caranya dapetin yang kamu mau Fan.” Ucap Risti sambil mengelus anak perempuannya yang sudah terkantuk-kantuk di pangkuannya. “kayaknya teman-teman suamiku yang belum nikah udah habis aku kenalin sama kamu” lanjutnya
“Aku juga Fan, gak tau lagi aku” Nela menghela Nafas sambil memegangi anaknya yang dari tadi meronta-ronta.
“hmmmm…. Emang belum waktunya ketemu jodoh mungkin. Kalian gak usah khawatir, kan yang belum nikah tu aku. Dan sejauh ini aku baik-baik aja kok.” Tanggapku
“Iya sih, tapi kan kami prihatin juga, kamu tu cantik, pendidikan S1 & S2 udah semua kamu tempuh. Apa kamu gak pingin berkeluarga kayak kami? Lihat mamakmu Fan, udah pingin cucu dari kamu” Nela mulai menasehatiku
Ku lirik Ibuku yang tersenyum di sudut ruangan, sambil menjahit celana ayah yang sudah robek, raut wajah tua nya begitu jelas menunjukkan bahwa ia menyetujui apa yang diucapkan Nela.
“Aku gak tau Nel” ucapku sambil tertunduk
“Kita ni perempuan Fan, usia ideal kita tu sebelum 30 tahun, setelah itu udah beresiko untuk melahirkan.” Celetuk Risti
“haha, jadi maksud kalian, aku perawan tua gitu?” sentilku. “emang iya sih” lanjutku kemudian. Ah kenapa harus ada istilah “perawan tua?” padahal kan jodoh itu tak terpaut oleh usia, kalau memang belum waktunya ya tak akan bertemu.
“Ya dah lah, kami mau pulang dulu. Besok lagi kita pikirin ya, nanti kalo ada lagi temen suami aku yang lain, aku kenalin lagi ya” Nela terus nerocos sambil berdiri dan menggendong anaknya. Aku mengantar mereka keluar rumah lalu mereka pergi.
Aku kembali kedalam rumah. Ku bereskan gelas gelas minum teman-temanku tadi. Ku lirik ibuku yang masih tekun dengan pekerjaannya. Ku cuci gelas-gelas minum mereka. Pikiranku berkecamuk. Bagaimana mungkin aku bisa tenang? Saat ini rasanya semua orang memperhatikan dan terus berkomentar tentang hidupku. Sebentar-bentar ibuku menyinggung-nyinggung masalah pernikahan. Sebentar-bentar Nela dan Risti datang membawa laki-laki yang aku tak tau entah dari mana asal usul mereka. Hebatnya mereka semua menyandang gelar sebagin dosen muda, pengusaha muda, pebisnis muda, atau pemilik perkebunan yang seluruhnya sudah pasti mampu jika hanya untuk menafkahi dan memenuhi kemauan orang seperti aku. Tapi “maaf sesombong-sombongnya Anda, untuk urusan harga diri, saya lebih sombong dari Anda” akhirnya tak ada satupun dari mereka yang ku lirik. “Aku tak memasang standar yang tinggi.” Ucapku pada ibuku tiap kali ia bertanya kenapa aku menolak mereka, padahal mungkin ibuku siap menerima mereka sebagai menantu.
Kadang kadang ayahku juga bertanya laki-laki seperti apa yang ku mau. Dan aku hanya menggeleng. Entahlah dari dulu aku selalu acuh untuk masalah ini. Itu sebabnya di usiaku yang sudah lewat 25 ini aku belum juga sadar bahwa setangguh dan sehebat apapun aku, aku tetap butuh pendamping untuk menyempurnakan agamaku, dan untuk melengkapi hidupku.
“Kamu masih berharap sama si Mitra?” Tanya Nela kadang-kadang
“haha, gak lah, itu kan cerita 5 tahun lalu waktu aku masih kuliah S1. “ Aku memaksa tertawaku
“jadi siapa yang kamu harapin sekarang sampai-sampai gak ada satupun laki-laki yang berhasil memikat hatimu?haha”
“Tuhan… aku menunggu orang yang memang di persiapkan Allah untukku” ucapku sambil melirik Nela
“tanpa usaha?” sekak nya
Aku hanya tersenyum. Aku mengerti apa yang mereka khawatirkan, aku paham mereka peduli. Jika aku boleh jujur aku juga tak ingin bertahan lebih lama dengan status gadis ku ini padahal usiaku sudah kian mendekati angka kepala tiga. Ketakutanku juga sama dengan ketakutan wanita lainnya. Keinginanku juga sama dengan keinginan wanita lainnya. Berkeluarga? Menimang anak dari hasil pernikahanku? Apa lagi kalau bukan itu, setinggi apapun cita-cita perempuan, toh jadi ibu dan istri yang baik, tetap jadi cita-cita yang tak tertulis disamping cita-cita menjadi Guru, dosen, wanita Karir, atau yang lainnya.
Mitra? Ah memangnya seberapa penting laki-laki itu dulu? Laki laki yang di usia pubernya sudah mengumbar janji di depanku, dan hebatnya lagi saat itu aku terbuai dan percaya begitu saja. Dan setelah cukup lama kami saling percaya, dia pergi. “terima kasih” itu kalimat ajaib yang ingin ku ucapkan padanya sebelum ia menghilang. Hingga saat ini, sekeras apapun aku mengatakan “bukan karena Mitra” di hadapan orang lain, tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa mungkin saja benar karena dia. Aku takut laki-laki. Aku muak dengan janji laki-laki. Dan aku sulit percaya dengan laki-laki.
“Fan, aku boleh numpang ngeprint disini, dari tadi hujan gak reda-reda” Ucap Risti saat ia bertamu di rumahku hari ini. Aku hanya mengangguk sambil mengambil laptop di kamarku.
“susah kali kok colok Flashdisknya? Laptop baru ya?”
“iya. Kenapa?” aku mengangguk
“pantes aja susah”
“emang apa hubungannya?” aku mengernyitkan dahi
“ Masih perawan laptopnya, kayak yang punya” ucapnya sambil terkekeh menahan tawa.
Aku tertawa, ah dasar Risti, gaya bahasanya dari dulu tak pernah berubah. Ku raih anak perempuan Risti dari gendongannya agar ia mudah mengcopy file yang akan di print-nya. “Rina udah makan belum heeeumm? Mau makan kue ini?” ucapku reflek sambil menyodorkan kue-kue yang cukup lunak dikunyah anak-anak untuk anak Risti yang duduk di pangkuanku. “Hangat” gumamku, ini bukan anakku, tapi aku senang menimangnya di pangkuanku. Bagaimana indahnya perasaan ini jika anakku yang dipangkuanku saat ini?
“ Dah cocok kamu jadi ibu Fan” celetuk Risti tiba-tiba sambil tersenyum. Aku hanya diam mencoba mengabaikannya. Setelah ia selesai memeriksa dokumennya, ku antar dia keruang kerjaku. Lebih tepatnya ruang tempat aku biasa menghabiskan waktu luangku untuk menulis dan mencetak modul-modul sebagai bahan ajar tambahan untuk anak SMA. Tak ada yang istimewa dari ruang kecil yang kusebut sebagai ruang kerja. Hanya ada satu unit printer tua, seperangkat meja dan kursi, serta buku-buku dan kertas-kertas yang berserakan di setiap sudut ruangan.
“eh Printer kamu kenapa Fan?” Risti agak syok mendapati Printerku berlepotan tinta berwarna merah.
“Bocor tintanya Ris, tapi bisa dipake kok” jawabku
“Owh….kirain kenapa printer berdarah-darah, aku pikir tadi kok canggih kali Printer pun menstruasi” Celetuknya sambil meledakkan tawa.
“Hahaha… aku tau kamu guru Biologi, tapi gak segitunya juga lah. Tadi laptop kamu bilang perawan, sekarang printer kamu bilang menstruasi”
Rasanya sudah lama sekali kami tidak meledakka tawa kami bersama-sama. Ku lihat Tak ada yang berubah dari Risti, walaupun ia sudah lama jadi guru, menikah, dan punya anak, tapi tak ada yang berubah dari gaya bahasanya. Aku hanya berdiri mengamati Risti menanti kertas-kertas yang keluar dari mesin printer tuaku. Di gendonganku sudah ada Rina, anaknya yang dari tadi menggeliat-geliat mencari-cari ibunya. “apa bedanya aku dengan ibunya?” pikirku.
“Fan. Kamu bilang sekarang sama aku…. kamu pingin suami yang gimana?” Risti mulai mengungkit-ungkit masalah perjodohan lagi.
“heummm…. Aku gak tau Ris” ucapku.
“harus yang berapa kaya, tampan, dan mapan lagi baru kamu terima? Atau kamu bilang sama aku berapa mahar yang kamu minta, biar aku carikan yang sesuai.” Wajah Risti kali ini serius. Tak pernah ku lihat wajahnya seserius ini.
Aku menggeleng. “aku gak butuh standar yang tinggi Ris,” jawabku
“jadi kok bisa gak ada satupun laki-laki yang kami kenalin ke kamu, kamu terima?”
“belum ada yang cocok aja. Agak rumit jelasin ini.”
“jelasin” Risti menatap mataku dalam dalam. Ia tak mengucapkan kalimat apapun sebelum aku menjawab. Agak lama aku diam sebelum akhirnya ku putuskan bicara.
“aku gak tau Ris, dari dulu urusan jodoh selalu jadi bagian rumit bagiku. Aku gak tau. Aku gak tau kenapa aku gak tertarik sama laki laki kaya ataupun tampan yang selama ini banyak diimpikan wanita. Laki-laki seperti itu bisa dengan mudah mendapatkan apa yang mereka mau, termasuk perempuan.”
“maksudnya?” Risti memasang wajah bingung
“ jaman sekarang, laki-laki seperti itu jumlahnya banyak sekali. mereka sudah punya segalanya, pertanyaannya…. seberapa berarti perempuan bagi mereka?”
“aku paham, ooohhh tau aku yang cocok buat kamu”
“heuuumm,,, kamu lihat, berapa banyak artis, pejabat atau orang yang menikah dengan uang dan asset besar sebagai maharnya? Sama kayak yang mereka tawarkan untuk aku…. Tapi siapa yang bisa menjamin rumah tangga mereka berhasil? Lima atau sepuluh tahun kemudian saat salah satunya menua, asal kantong mereka masih tebal, mereka berpaling.” Ucapku sambil mengelus-elus Rina. Ku lihat Risti mengangguk-angguk sambil menata dokumen-dokumennya yang telah habis di cetak. “kenyataannya besarnya mahar tidak bisa menjamin kuat lemahnya rumah tangga yang terbentuk. Malah akhir-akhir ini kita lihat besarnya mahar justru berbanding terbalik dengan kualitas rumah tangga orang”Lanjutku
“iya Fani….. ngerti aku sekarang. Kamu mau ikuti salah satu hadis Rasullullah kan? Yang isinya kurang lebih begini……….. hemmm… rumah tangga yang baik adalah yang maharnya paling mudah” Ucap Risti sambil mengingat-ingat sesuatu.
Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum. Setelah selesai mencetak semua dokumen, kami kembali kedepan. Menanti hujan reda, lalu ku saksikan Risti dan anaknya pulang. Ah rasanya baru kali ini pembicaraan soal pernikahan jadi serius. Aku bahkan tak sadar apakah yang kuucapkan tadi memang benar?. Tapi akhirnya aku lega setelah membaginya dengan Risti. Entah mengerti atau tidak, tapi ku harap Risti paham dan tak lagi sibuk mencari-cari laki-laki untukku. Agak malu sebenarnya. Aku merasa seakan-akan diriku ini adalah barang yang sedang di promosikan karena sudah lama tak laku. Ah beruntung Risti dan Nela tak memajang papan pengumuman di jalan-jalan.
****
Matahari pagi ini cukup cerah, dengan suara gemericik air yang megalun merdu bersama dengan kicauan burung-burung, rasanya lengkap sudah minggu pagi ini. Kulihat, ayahku sudah pergi membawa seember makanan ikan. Dengan wajah riangnya ia meninggalkan rumah untuk bercengkrama dengan ikan-ikan di tambak kecil milik keluarga kami. Sementara ibu kulihat sudah sibuk menata kayu bakar dan menjemurnya di depan rumah. Rutinitas ini hanya sederhana, tapi aku damai melihat pemandangan sederhana ini. damai yang tak ku dapatkan dalam perkuliahanku dulu. Sudah lama aku tak memangkas bunga-bunga dan rumput di depan rumahku. Entah apa yang kerjakan selama ini hingga aku lalai merawat halaman rumah ini.
Tak terasa matahari sudah tinggi, kumandang azan dzuhur sudah terdengar. Kami menghentikan semua pekerjaan kami. Ayah sudah dari tadi pulang dan duduk bersama ibu di teras rumah kami sambil meneguk segelas teh dingin. Usai itu semua menghilang. Rumah sepi seyap. Orang tuaku yang sudah berusia lanjut butuh istirahat siang untuk tetap menjaga kesehatannya. Sementara aku sibuk melakukan rutinitasku, mengacak-acak buku dan kertas-kertas di ruang kerja kecilku hingga sore menjelang.
“Fan,,,, Risti sama Nela datang” sayup sayup ku dengar suara ibu dari luar ruangan.
ku raih jilbab yang sudah agak berdebu karena seharian tak ku pakai. Ku langkahkan kakiku keluar ruangan. “pasti ne anak-anak bawa orang lagi. Aduh-aduh udah tenang-tenang selama ini gak di ungkit-ungkit” pikiranku mulai berkelana. Aku berjalan menuju ruang tamu… dengan celana taraining hitam dan kaos yang sudah koyak di bagian lengannya, ku temui mereka. Ayah dan ibuku sudah duduk dan bercengkrama bersama mereka. Benar saja dugaanku ada dua orang laki-laki, satu berusia sekiar 60an tahun, dan satunya kurang dari 30an tahun, dia antara mereka duduk seorang perempuan berusia sekitar 50an tahun. Dugaanku mereka adalah satu keluarga. Tak berani aku memandang satu persatu dari mereka secara detail, aku langsung bergabung bersama mereka. Benar saja dugaanku. Apa lagi kalau bukan ulah Risti dan Nela mempromosikan aku.
Tapi kali ini, tampaknya ada yang berbeda. Sekali aku coba memberanikan diri melihat laki-laki yang mereka maksudkan untuk aku. “dug” jantungku. Bukan, bukan karena dia juga melihatku. Dia menjaga pandangannya, dari awal hingga akhir, ia tak memandangku dengan cara berlebihan. Ia malah lebih sering melihat dan berbicara dengan ayah dan ibuku. Sementara aku juga sibuk menanggapi pertanyaan dari orang tuannya. Bahasa mereka santun bukan main, sikap mereka juga sopan bukan main, gaya mereka bersahaja. “ya Allah apa benar ini?” gumamku dalam hati. Ku rasakan tanganku gemetaran, baru sebentar saja aku duduk bersama mereka, tanganku sudah lembab dengan keringat. Aku pun sibuk menutupi lengan bajuku yang agak koyak. “malu” pikirku. Tak pernah aku se-malu ini di hadapan laki-laki, padahal di sekelilingku ada Risti, Nela, dan orang tuaku.
“…………….. jika tidak keberatan, Beri kami waktu beberapa hari untuk berfikir dan mempertimbangkan.” Ucapku di akhir kebersamaan kami setelah ku sadari bahwa orang tuaku tak pernah sehangat ini menyambut tamu yang datang. Lebih dari itu, tampaknya ada yang berhasil mencairkan es di hatiku.
Karya: Arif Seswi Anugraini
No comments:
Post a Comment