Biarkan aku mencari islam dan merobek enigma cakrawala
Biarkan jalan suci ini membasuh tubuhku
Yang telah ternoda noktah kekafiran dan kekufuran
Ya Allah....biarkan aku berislam.
***
Seisi kelas menatap bujang berkacamata itu.
"Namaku Johanes David, kalian bisa memanggilku David," aku tertegun melihat bujang itu memperkenalkan diri di depan kelas. Aku agak geli mendengar namanya yang mirip dengan namaku, hanya saja nama kami berbeda versi bahasa dan ejaaan.
Penampilan bujang itu seperti Bill Gates, berpakaian rapi, berkaca mata tinggi, berkulit pucat dan rambut lurus tersisir rapi. Perbedaan antara dia dengan Bill Gates hanya lah aksen wajah bujang itu yang beraksen China. Aura wajahnya tak ubahnya seperti seorang remaja yang suka sekali mengurung dalam kamar dan menghabiskan waktu di depan komputer atau buku-buku tebal.
Bujang itu kembali berbicara, ia menjelaskan tempat asalnya, di mana rumahnya sekarang, dan lainnya. "Baik, David. Kamu boleh duduk di sana, di kursi kosong itu," ujar Pak Sigit, guru Agama Islam kami, setelah bujang kutu buku itu memperkenalkan diri dan Pak Sigit menunjuk kursi kosong yang ada di sebelahku.
Bujang itu duduk sebangku denganku, aku menatapnya sambil tersenyum padanya. "Ahmad Daud, panggil saja Daud seperti teman-teman yang lain memanggilku," ujarku memperkenalkan namaku sambil mengulurkan tanganku. Mula-mula ia ragu, mungkin ia heran karena nama kami sama tetapi beda bahasa, tapi kemudian ia menjabat tanganku.
"Baik, sekarang kita mulai pelajaran kita, Mohon maaf, David kamu nonislam?" kata Pak Sigit hati-hati, "Iya, saya nonislam," jawabnya.
"Kamu boleh menunggu di perpustakaan kiranya kamu tidak ingin mengikuti pelajaran ini, barang kali," kata Pak Sigit sopan.
"Tidak apa-apa, pak. Saya ikut saja," jawabnya sopan. Pak Sigit membiarkannya lalu langsung menyampaikan materi.
***
Bel sekolah tanda waktu pulang berbunyi.
"Rumahmu di Perumahan Tanjung Raya Permai, kan?" tanyaku teringat saat perkenalannya tadi pagi, ia mengangguk, "mau pulang bareng? Rumah kita searah,"
"Boleh," jawabnya senang.
Sepanjang perjalanan di angkot, kami saling mengobrol. Dari obrolan itu aku tahu, ternyata dia orangnya ramah dan supel.
"Jadi aku di Bandar Lampung tinggal dengan mamanku, 'maman' itu sebutan untuk paman dalam bahasa Lampung," kataku di tengah obrolan kami.
"Orang taumu?" tanya David.
"Aku lahir di desa Way Layap, desa kecil yang ada di kabupaten Pesawaran. Aku ikut dengan mamanku, maman Syiafrudin, yang ada di Bandar Lampung untuk bersekolah," jelasku.
"Aku dari Padang, jadi aku tidak terlalu paham dengan Lampung. Memang kualitas pendidikan di kampung halamanmu lebih jelek ketimbang di Bandar Lampung?" tanya David.
"Mungkin sama saja, tapi di dekat kampung halamanku tidak ada universitas, jadi untuk membiasakan diri jauh orang tua, aku mulai merantau sedari kelas satu SMA," jelasku.
"Kamu hebat," ujarnya kagum.
"Itu belum apa-apa karena aku masih terlihat di rumah maman, ada lima orang teman sekelas kita yang tinggal di kos," kataku. "Tinggal di kos kan lebih berisiko," lanjutku.
Kami semakin asik mengobrol, "kalau di sini, orang berkomunikasi dengan bahasa daerah Lampung pasti kelihatan aneh, tidak seperti di desaku. Sebagian besar malah menggunakan bahasa Lampung dalam berkomunikasi sehari-hari," paparku.
"Jadi kamu pintar bebahasa Lampung?" tanya David, aku mengangguk. "Aku ingin belajar bahasa Lampung loh." ujar David bersemangat, "coba kamu praktikan memperkenalkan diri dengan bahasa Lampung," pintanya.
"Sikam Ahmad Daud, sikam lahegh mil pekon Way Lahap. Ganta, sikam sekula mit SMA Cendikia Sentosa Bandar Lampung," aku asik berceloteh dengan bahasa Lampung, David menyaksikanku dengan mata berbinar. Aku sangat menguasai bahasa Lampung karena bahasa yang kugunakan di kampung halaman memang bahasa Lampung, begitu juga bila aku berkomunikasi dengan mamanku di sini.
Angkot yang kami tumpangi telah sampai di gerbang Perumahan Tanjung Raya Permai. David berpamitan deganku lalu turun.
***
Aku sedang berjalan memasuki gerbang sekolah, aku melihat David keluar dari sebuah mobil Toyota Yaris merah di area parkir sekolah. Rupanya hari ini dia mengendarai mobil. Ia melihatku dan menyapaku, kami berjalan bersama memasuki kelas. "Daud," sebuah suara wanita memanggilku, aku menoleh. Dia Annisa, wakil ketua Rohis di sekolahku, "afwan, kira-kira setelah pulang sekolah kita jadi rapat?" tanya akhwat itu sambil menundukkan pandangannya, "iya, insya Alloh jadi. Diingatkan juga untuk anggota yang lain, kalau kiranya tidak bisa hadir harap izin ke saya dulu," kataku sambil menundukkan pandanganku juga. Ia mengangguk mengerti, "syukron, insya Alloh saya sampaikan. Assalamu'alaikum," katanya memohon diri, aku menjawab salamnya sesaat ia mulai berlalu.
Aku dan David saling diam.
"Siapa dia?" tanya David.
"Annisa, siswi kelas XI IPA," jawabku.
"Memang rapat apa yang kalian bicarakan tadi?" dia kembali bertanya.
"Rapat Rohis, aku dan dia yang bertanggung jawab atas acara itu," jelasku.
"Jabatan kalian di Rohis tinggi ya?" tanyanya lagi, aku mengangkat bahu,
"Aku dipercaya untuk menjadi ketua Rohis dan Annisa menjadi wakil ketua Rohis,"
Obrolan kami berlanjut sampai di bangku kelas, "jadi, kamu ketua Rohis?" tanya David sumringah, aku mengangguk. "Kalau begitu kamu pasti tahu banyak soal agama Islam. Aku ingin sekali belajar agama Islam," ujarnya semangat dan penuh harap. Aku mengernyitkan dahi, kenapa? Kenapa kamu begitu tertarik?" tanyaku. Wajahnya berubah bimbang, "kalau aku jelaskan, kamu jangan marahnya," pintanya, aku mengangguk, "Ayahku pernah bilang kepadaku juga keempat saudaraku, beliau membebaskan kami untuk memilih agama sekehendak hari kami. Tapi kami tidak diperbolehkan memeluk agama islam. Kata ayahku, agama Islam itu tidak baik. Jika ada di antara kami yang memeluk agama Islam, maka dia akan diusir dari rumah," David menjelaskan.
"Ayahku bilang, orang Islam itu suka mencuri. Di masjid-masjid banyak sekali sandal yang hilang, siapa lagi yang mencuri kalau bukan orang islam. Ayahku juga bilang banyak pejabat negara yang korupsi itu beragama islam," David menghentikan ceritanya, "itu ayahnya yang bilang bukan aku. Kamu jangan marah padaku ya," pinta David. Aku tersenyum tipis, "tidak," jawabku singkat.
Sebetulnya aku tidak marah baik pada David maupun ayahnya, tapi aku merasa malu dan sedih karena yang dikatakan ayahnya David itu benar adanya.
David kembali melanjutkan, "begitu lah, ayahku selalu menjelek-jelekkan Islam. Tapi tanpa sepengathuan ayah dan semua keluargaku, kakak perempuanku yang ke dua, kak Patricia, memeluk agama Islam,"
Mendengar nama Patricia membuatku tersenyum geli karena itu adalah nama ibungku dan mengingat pula bahwa istri maman Syaifrudin ini juga keturunan China dan juga seorang mu'alaf. Aku dan ibungku ini berselisih umur hanya sepuluh tahun. Aku sempat terpikir apakah kakak perempuan David adalah ibungku?, mustahil!,jawab batinku.
"Saat itu ia lupa mengunci pintu kamar saat ia sedang solat, dan ibuku membuka pintu kamarnya kontan terkejut. Saat itu juga, ia langsung diseret ke ruang keluarga. Ayah marah besar dan ia diusir dari rumah. Saat itu umurku masih delapan tahun, aku hanya termangu menyaksikan kakakku yang baik hati itu dicaci, dihina, dan ditampar ayahku, ibuku, dan kakakku yang pertama," kenangnya.
"Hari itu juga kak Patricia pergi meninggalkan rumah untuk selamanya. Aku masih tidak mengerti, aku berkata pada ayahku betapa tidak adilnya semua ini. Ibuku dan adikku boleh beragama Budha, kakak pertamaku boleh beragama Hindu, ayahku dan kakakku boleh beragama Kristen, bahkan ayah sendiri atheis. Mengapa kak Patricia tidak boleh beragama Islam? Tapi saat aku betanya begitu, aku malah di marahi dan ditampar. Ayah bilang aku hanya anak kecil, tidak pantas untuk tahu. Sesaat itu pula aku langsung diam,"
"Aku terus bertanya-tanya apakah Islam itu sejelek penjelasan ayahku. Sudah sebelas tahun sejak kepergian kak Paticia, aku terus mempelajari agama Islam baik bertanya pada teman-temanku, maupun kubaca dari buku-buku. Itu lah alasan aku tetap mengikuti pelajaran Agama Islam tempo hari. Tapi aku hanya menemukan kenyataan bahwa ayahku salah besar. Islam tidak pernah mengajarkan mencuri, sebaliknya malah menantang keras tindakan mencuri itu.
Islam juga agama yang beradab. Segala bentuk norma kesopanan yang berlaku baik di masyarakat tradisional maupun modern, semuanya ada di ajaran Islam bahkan lebih luas dan universal,"
"Melihat segala kenyataan itu, aku jadi semakin bimbang," papar David.
"Mengapa kamu perlu bimbang?" tanyaku yang sedari tadi hanya diam mendengarkannya bercerita. "Aku pikir hal itu sudah memuaskan rasa penasaranmu," ujarku.
"Tidak, bukan hanya itu. semakin dalam aku mempelajari islam semakin aku ragu akan agamaku sendiri. Aku pernah membaca sebuah novel kisah nyata tentang seorang gadis Cordova yang masuk Islam, padahal dia adalah putri seorang kepala gereja dan sejak lahir ia sudah dikelilingi ajaran-ajaran Kristen. Di novel itu juga dipaparkan kejanggalan yang ada dalam ajaran Kristen, aku jadi semakin ragu dengan agamaku,"
"Sekarang aku sudah memiliki keputusan, aku mau menganut agama Islam. Bisa kamu membantu?" katanya, perkataan David sungguh mengejutkanku. Aku diam karena terkejut, "kumohon, biarkan aku berislam," batinku luluh lantak mendengar permohonannya itu.Tidak kusangka aku akan menemukan manusia yang begitu harus akan jalan yang lurus. Aku menjawab, "iya,tentu," jawabku semangat.
***
Pukul empat pagi itu, untuk pertama kalinya aku mengingatkan David untuk bangun karena sebentar lagi waktu shalat subuh. Ya, David, sahabatku, telah menjadi saudara seimanku.
Setelah David bercerita mengenai pendapat ayahnya tentang Islam, ia langsung minta dimasukkan ke dalam Islam, Siang itu aku langsung memanggil Pak Sigit, guru Agama Islamku yang juga adalah pembina Rohis di sekolahku. Setelah itu, David membaca dua kalimat syahadat disaksikan aku, Pak Sigit, dan semua anggota Rohis yang memang pada siang itu akan melaksanakan rapat. Hari itu menjadi hari terpenting untuk David dan aku karena persahabatan kami akan menjadi ikatan yang insya Alloh akan kekal, ukhuwah. Awalnya kami takut bagaimana David menghadapi ayahnya nanti, tapi saat itu David menjawab dengan tenang, "kalian tidak usah khawatir, untuk beberapa hari ini aku akan diam-diam beragama Islam tapi untuk beberapa hari berikutnya aku akan memberitahukan pada kalian apa yang harus dilakukan. Kita lihat keadaan dulu,"
Pagi ini, aku dan David akan pergi ke Museum Lampung. Dia bilang, dia ingin mempelajari sejarah, seni, dan budaya Lampung. Tiba-tiba David datang ke rumahku sendirian bahkan tanpa mobilnya. Ia hanya mengenakan kaus oblong hijau, celana dasar panjang hitam, dan menggendong tas raselnya yang tampak berat.
"Assalamu'alaikum," sapanya, "wa'alaikumsalam," jawabku senang. "Tasmu berat banget. Apa isinya? Kita cuma mau ke Museum kan?" tanyaku, ia diam untuk beberapa saat sampai akhirnya berkata, "aku pergi dari rumah."
"Apa? Memang apa yang terjadi?" tanyaku dengan sangat terkejut.
"Tadi pagi, aku bicara langsung pada ayahku kalau aku masuk Islam. Aku juga bilang padanya kalau ini sudah menjadi pilihanku dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Aku rela jika harus pergi dari rumah untuk selamanya. Dan....jadi lah begini, aku pergi dari rumah," jelasnya santai.
Aku kagum padanya. Dia memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap segala hal, dan rasa ingin tahunya itulah yang mengantarkan padanya pada hidayah dan keimanan yang luar bisa kokoh, tidak ada satu pun yang dapat mengoyaknya secuil pun. Sahabatku ini telah mengajari aku tentang keindahan Islam yang tanpa sadar telah lama aku lupakan. Dia juga membangkitkan kembali semangat mencari jalan Illahi yang telah lama kukubur sedemikian dalam.
"Tapi, kamu akan tinggal dimana?" tanyaku.
"Itu dia. Aku ingin minta bantuan padamu," katanya. "AKu sudah cerita pada mamanku dan ibungku semua tentang kamu. Katanya, beliau siap jika kamu mau tinggal di sini," kataku langsung. David terlihat senang.
"Daud, kenapa temannya enggak disuruh masuk?" terdengar suara wanita berjiblab keluar dari rumah. Dia ibungku, ibung Patricia. "Oh iya......Ayo masuk," ajakku, tapi David malah terpaku menatap ibang. Ia tampak terkejut seperti melihat hantu, "kak Patricia..." ujarnya. Ibung menjadi bingung, aku pun begitu. "Kak Patricia, ini aku, David," katanya dengan suara bergetar, ia mendekat, ibungku mengernyitkan dahi. "Aku Johanes David, kak," katanya lagi.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Hal-hal yang terjadi dengan masa lalu ibungku memang sedikit memiliki kesamaan dengan yang dialami kakak perempuan David. Mungkin kah ibungku ini memang kakaknya David seperti yang kukira sebelumnya?
Mata ibung tiba-tiba berkaca-kaca, ia berkata, "David.......jadi kamu David, adikku? Kamu temannya Daud yang baru masuk Islam itu? Dan kamu juga adikku?" tanya ibung sambil terisak. David mengangguk dan mulai terisak. Mereka saling mendekat dan berpelukan.
Hatiku berdesir melihat peristiwa ini. Aku senang melihat pertemuan mengharukan ini. Allah telah membiarkan David berislam, Allah telah memudahkan David menemukan jalan yang lurus, persaudaraan yang kekal dan manis, dan seorang kakak perempuan tersayang.
***
Biarkan jasad ini merasakan pedih yang amat sangat
Biarkan tubuh ini lemah karena lapar menyerang
Biarkan wajah ini hina dina di mata mereka
Asalkan aku bisa merasakan aura lembut dalam kidung tauhid
Ya Allah....istiqomahkan kami di jalan ini
Biarkan kami berislam hingga waktu membawa kami
Di hadapan-Mu nanti
***
Karya: Melisa Agustina.
Biarkan jalan suci ini membasuh tubuhku
Yang telah ternoda noktah kekafiran dan kekufuran
Ya Allah....biarkan aku berislam.
***
Seisi kelas menatap bujang berkacamata itu.
"Namaku Johanes David, kalian bisa memanggilku David," aku tertegun melihat bujang itu memperkenalkan diri di depan kelas. Aku agak geli mendengar namanya yang mirip dengan namaku, hanya saja nama kami berbeda versi bahasa dan ejaaan.
Penampilan bujang itu seperti Bill Gates, berpakaian rapi, berkaca mata tinggi, berkulit pucat dan rambut lurus tersisir rapi. Perbedaan antara dia dengan Bill Gates hanya lah aksen wajah bujang itu yang beraksen China. Aura wajahnya tak ubahnya seperti seorang remaja yang suka sekali mengurung dalam kamar dan menghabiskan waktu di depan komputer atau buku-buku tebal.
Bujang itu kembali berbicara, ia menjelaskan tempat asalnya, di mana rumahnya sekarang, dan lainnya. "Baik, David. Kamu boleh duduk di sana, di kursi kosong itu," ujar Pak Sigit, guru Agama Islam kami, setelah bujang kutu buku itu memperkenalkan diri dan Pak Sigit menunjuk kursi kosong yang ada di sebelahku.
Bujang itu duduk sebangku denganku, aku menatapnya sambil tersenyum padanya. "Ahmad Daud, panggil saja Daud seperti teman-teman yang lain memanggilku," ujarku memperkenalkan namaku sambil mengulurkan tanganku. Mula-mula ia ragu, mungkin ia heran karena nama kami sama tetapi beda bahasa, tapi kemudian ia menjabat tanganku.
"Baik, sekarang kita mulai pelajaran kita, Mohon maaf, David kamu nonislam?" kata Pak Sigit hati-hati, "Iya, saya nonislam," jawabnya.
"Kamu boleh menunggu di perpustakaan kiranya kamu tidak ingin mengikuti pelajaran ini, barang kali," kata Pak Sigit sopan.
"Tidak apa-apa, pak. Saya ikut saja," jawabnya sopan. Pak Sigit membiarkannya lalu langsung menyampaikan materi.
***
Bel sekolah tanda waktu pulang berbunyi.
"Rumahmu di Perumahan Tanjung Raya Permai, kan?" tanyaku teringat saat perkenalannya tadi pagi, ia mengangguk, "mau pulang bareng? Rumah kita searah,"
"Boleh," jawabnya senang.
Sepanjang perjalanan di angkot, kami saling mengobrol. Dari obrolan itu aku tahu, ternyata dia orangnya ramah dan supel.
"Jadi aku di Bandar Lampung tinggal dengan mamanku, 'maman' itu sebutan untuk paman dalam bahasa Lampung," kataku di tengah obrolan kami.
"Orang taumu?" tanya David.
"Aku lahir di desa Way Layap, desa kecil yang ada di kabupaten Pesawaran. Aku ikut dengan mamanku, maman Syiafrudin, yang ada di Bandar Lampung untuk bersekolah," jelasku.
"Aku dari Padang, jadi aku tidak terlalu paham dengan Lampung. Memang kualitas pendidikan di kampung halamanmu lebih jelek ketimbang di Bandar Lampung?" tanya David.
"Mungkin sama saja, tapi di dekat kampung halamanku tidak ada universitas, jadi untuk membiasakan diri jauh orang tua, aku mulai merantau sedari kelas satu SMA," jelasku.
"Kamu hebat," ujarnya kagum.
"Itu belum apa-apa karena aku masih terlihat di rumah maman, ada lima orang teman sekelas kita yang tinggal di kos," kataku. "Tinggal di kos kan lebih berisiko," lanjutku.
Kami semakin asik mengobrol, "kalau di sini, orang berkomunikasi dengan bahasa daerah Lampung pasti kelihatan aneh, tidak seperti di desaku. Sebagian besar malah menggunakan bahasa Lampung dalam berkomunikasi sehari-hari," paparku.
"Jadi kamu pintar bebahasa Lampung?" tanya David, aku mengangguk. "Aku ingin belajar bahasa Lampung loh." ujar David bersemangat, "coba kamu praktikan memperkenalkan diri dengan bahasa Lampung," pintanya.
"Sikam Ahmad Daud, sikam lahegh mil pekon Way Lahap. Ganta, sikam sekula mit SMA Cendikia Sentosa Bandar Lampung," aku asik berceloteh dengan bahasa Lampung, David menyaksikanku dengan mata berbinar. Aku sangat menguasai bahasa Lampung karena bahasa yang kugunakan di kampung halaman memang bahasa Lampung, begitu juga bila aku berkomunikasi dengan mamanku di sini.
Angkot yang kami tumpangi telah sampai di gerbang Perumahan Tanjung Raya Permai. David berpamitan deganku lalu turun.
***
Aku sedang berjalan memasuki gerbang sekolah, aku melihat David keluar dari sebuah mobil Toyota Yaris merah di area parkir sekolah. Rupanya hari ini dia mengendarai mobil. Ia melihatku dan menyapaku, kami berjalan bersama memasuki kelas. "Daud," sebuah suara wanita memanggilku, aku menoleh. Dia Annisa, wakil ketua Rohis di sekolahku, "afwan, kira-kira setelah pulang sekolah kita jadi rapat?" tanya akhwat itu sambil menundukkan pandangannya, "iya, insya Alloh jadi. Diingatkan juga untuk anggota yang lain, kalau kiranya tidak bisa hadir harap izin ke saya dulu," kataku sambil menundukkan pandanganku juga. Ia mengangguk mengerti, "syukron, insya Alloh saya sampaikan. Assalamu'alaikum," katanya memohon diri, aku menjawab salamnya sesaat ia mulai berlalu.
Aku dan David saling diam.
"Siapa dia?" tanya David.
"Annisa, siswi kelas XI IPA," jawabku.
"Memang rapat apa yang kalian bicarakan tadi?" dia kembali bertanya.
"Rapat Rohis, aku dan dia yang bertanggung jawab atas acara itu," jelasku.
"Jabatan kalian di Rohis tinggi ya?" tanyanya lagi, aku mengangkat bahu,
"Aku dipercaya untuk menjadi ketua Rohis dan Annisa menjadi wakil ketua Rohis,"
Obrolan kami berlanjut sampai di bangku kelas, "jadi, kamu ketua Rohis?" tanya David sumringah, aku mengangguk. "Kalau begitu kamu pasti tahu banyak soal agama Islam. Aku ingin sekali belajar agama Islam," ujarnya semangat dan penuh harap. Aku mengernyitkan dahi, kenapa? Kenapa kamu begitu tertarik?" tanyaku. Wajahnya berubah bimbang, "kalau aku jelaskan, kamu jangan marahnya," pintanya, aku mengangguk, "Ayahku pernah bilang kepadaku juga keempat saudaraku, beliau membebaskan kami untuk memilih agama sekehendak hari kami. Tapi kami tidak diperbolehkan memeluk agama islam. Kata ayahku, agama Islam itu tidak baik. Jika ada di antara kami yang memeluk agama Islam, maka dia akan diusir dari rumah," David menjelaskan.
"Ayahku bilang, orang Islam itu suka mencuri. Di masjid-masjid banyak sekali sandal yang hilang, siapa lagi yang mencuri kalau bukan orang islam. Ayahku juga bilang banyak pejabat negara yang korupsi itu beragama islam," David menghentikan ceritanya, "itu ayahnya yang bilang bukan aku. Kamu jangan marah padaku ya," pinta David. Aku tersenyum tipis, "tidak," jawabku singkat.
Sebetulnya aku tidak marah baik pada David maupun ayahnya, tapi aku merasa malu dan sedih karena yang dikatakan ayahnya David itu benar adanya.
David kembali melanjutkan, "begitu lah, ayahku selalu menjelek-jelekkan Islam. Tapi tanpa sepengathuan ayah dan semua keluargaku, kakak perempuanku yang ke dua, kak Patricia, memeluk agama Islam,"
Mendengar nama Patricia membuatku tersenyum geli karena itu adalah nama ibungku dan mengingat pula bahwa istri maman Syaifrudin ini juga keturunan China dan juga seorang mu'alaf. Aku dan ibungku ini berselisih umur hanya sepuluh tahun. Aku sempat terpikir apakah kakak perempuan David adalah ibungku?, mustahil!,jawab batinku.
"Saat itu ia lupa mengunci pintu kamar saat ia sedang solat, dan ibuku membuka pintu kamarnya kontan terkejut. Saat itu juga, ia langsung diseret ke ruang keluarga. Ayah marah besar dan ia diusir dari rumah. Saat itu umurku masih delapan tahun, aku hanya termangu menyaksikan kakakku yang baik hati itu dicaci, dihina, dan ditampar ayahku, ibuku, dan kakakku yang pertama," kenangnya.
"Hari itu juga kak Patricia pergi meninggalkan rumah untuk selamanya. Aku masih tidak mengerti, aku berkata pada ayahku betapa tidak adilnya semua ini. Ibuku dan adikku boleh beragama Budha, kakak pertamaku boleh beragama Hindu, ayahku dan kakakku boleh beragama Kristen, bahkan ayah sendiri atheis. Mengapa kak Patricia tidak boleh beragama Islam? Tapi saat aku betanya begitu, aku malah di marahi dan ditampar. Ayah bilang aku hanya anak kecil, tidak pantas untuk tahu. Sesaat itu pula aku langsung diam,"
"Aku terus bertanya-tanya apakah Islam itu sejelek penjelasan ayahku. Sudah sebelas tahun sejak kepergian kak Paticia, aku terus mempelajari agama Islam baik bertanya pada teman-temanku, maupun kubaca dari buku-buku. Itu lah alasan aku tetap mengikuti pelajaran Agama Islam tempo hari. Tapi aku hanya menemukan kenyataan bahwa ayahku salah besar. Islam tidak pernah mengajarkan mencuri, sebaliknya malah menantang keras tindakan mencuri itu.
Islam juga agama yang beradab. Segala bentuk norma kesopanan yang berlaku baik di masyarakat tradisional maupun modern, semuanya ada di ajaran Islam bahkan lebih luas dan universal,"
"Melihat segala kenyataan itu, aku jadi semakin bimbang," papar David.
"Mengapa kamu perlu bimbang?" tanyaku yang sedari tadi hanya diam mendengarkannya bercerita. "Aku pikir hal itu sudah memuaskan rasa penasaranmu," ujarku.
"Tidak, bukan hanya itu. semakin dalam aku mempelajari islam semakin aku ragu akan agamaku sendiri. Aku pernah membaca sebuah novel kisah nyata tentang seorang gadis Cordova yang masuk Islam, padahal dia adalah putri seorang kepala gereja dan sejak lahir ia sudah dikelilingi ajaran-ajaran Kristen. Di novel itu juga dipaparkan kejanggalan yang ada dalam ajaran Kristen, aku jadi semakin ragu dengan agamaku,"
"Sekarang aku sudah memiliki keputusan, aku mau menganut agama Islam. Bisa kamu membantu?" katanya, perkataan David sungguh mengejutkanku. Aku diam karena terkejut, "kumohon, biarkan aku berislam," batinku luluh lantak mendengar permohonannya itu.Tidak kusangka aku akan menemukan manusia yang begitu harus akan jalan yang lurus. Aku menjawab, "iya,tentu," jawabku semangat.
***
Pukul empat pagi itu, untuk pertama kalinya aku mengingatkan David untuk bangun karena sebentar lagi waktu shalat subuh. Ya, David, sahabatku, telah menjadi saudara seimanku.
Setelah David bercerita mengenai pendapat ayahnya tentang Islam, ia langsung minta dimasukkan ke dalam Islam, Siang itu aku langsung memanggil Pak Sigit, guru Agama Islamku yang juga adalah pembina Rohis di sekolahku. Setelah itu, David membaca dua kalimat syahadat disaksikan aku, Pak Sigit, dan semua anggota Rohis yang memang pada siang itu akan melaksanakan rapat. Hari itu menjadi hari terpenting untuk David dan aku karena persahabatan kami akan menjadi ikatan yang insya Alloh akan kekal, ukhuwah. Awalnya kami takut bagaimana David menghadapi ayahnya nanti, tapi saat itu David menjawab dengan tenang, "kalian tidak usah khawatir, untuk beberapa hari ini aku akan diam-diam beragama Islam tapi untuk beberapa hari berikutnya aku akan memberitahukan pada kalian apa yang harus dilakukan. Kita lihat keadaan dulu,"
Pagi ini, aku dan David akan pergi ke Museum Lampung. Dia bilang, dia ingin mempelajari sejarah, seni, dan budaya Lampung. Tiba-tiba David datang ke rumahku sendirian bahkan tanpa mobilnya. Ia hanya mengenakan kaus oblong hijau, celana dasar panjang hitam, dan menggendong tas raselnya yang tampak berat.
"Assalamu'alaikum," sapanya, "wa'alaikumsalam," jawabku senang. "Tasmu berat banget. Apa isinya? Kita cuma mau ke Museum kan?" tanyaku, ia diam untuk beberapa saat sampai akhirnya berkata, "aku pergi dari rumah."
"Apa? Memang apa yang terjadi?" tanyaku dengan sangat terkejut.
"Tadi pagi, aku bicara langsung pada ayahku kalau aku masuk Islam. Aku juga bilang padanya kalau ini sudah menjadi pilihanku dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Aku rela jika harus pergi dari rumah untuk selamanya. Dan....jadi lah begini, aku pergi dari rumah," jelasnya santai.
Aku kagum padanya. Dia memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap segala hal, dan rasa ingin tahunya itulah yang mengantarkan padanya pada hidayah dan keimanan yang luar bisa kokoh, tidak ada satu pun yang dapat mengoyaknya secuil pun. Sahabatku ini telah mengajari aku tentang keindahan Islam yang tanpa sadar telah lama aku lupakan. Dia juga membangkitkan kembali semangat mencari jalan Illahi yang telah lama kukubur sedemikian dalam.
"Tapi, kamu akan tinggal dimana?" tanyaku.
"Itu dia. Aku ingin minta bantuan padamu," katanya. "AKu sudah cerita pada mamanku dan ibungku semua tentang kamu. Katanya, beliau siap jika kamu mau tinggal di sini," kataku langsung. David terlihat senang.
"Daud, kenapa temannya enggak disuruh masuk?" terdengar suara wanita berjiblab keluar dari rumah. Dia ibungku, ibung Patricia. "Oh iya......Ayo masuk," ajakku, tapi David malah terpaku menatap ibang. Ia tampak terkejut seperti melihat hantu, "kak Patricia..." ujarnya. Ibung menjadi bingung, aku pun begitu. "Kak Patricia, ini aku, David," katanya dengan suara bergetar, ia mendekat, ibungku mengernyitkan dahi. "Aku Johanes David, kak," katanya lagi.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Hal-hal yang terjadi dengan masa lalu ibungku memang sedikit memiliki kesamaan dengan yang dialami kakak perempuan David. Mungkin kah ibungku ini memang kakaknya David seperti yang kukira sebelumnya?
Mata ibung tiba-tiba berkaca-kaca, ia berkata, "David.......jadi kamu David, adikku? Kamu temannya Daud yang baru masuk Islam itu? Dan kamu juga adikku?" tanya ibung sambil terisak. David mengangguk dan mulai terisak. Mereka saling mendekat dan berpelukan.
Hatiku berdesir melihat peristiwa ini. Aku senang melihat pertemuan mengharukan ini. Allah telah membiarkan David berislam, Allah telah memudahkan David menemukan jalan yang lurus, persaudaraan yang kekal dan manis, dan seorang kakak perempuan tersayang.
***
Biarkan jasad ini merasakan pedih yang amat sangat
Biarkan tubuh ini lemah karena lapar menyerang
Biarkan wajah ini hina dina di mata mereka
Asalkan aku bisa merasakan aura lembut dalam kidung tauhid
Ya Allah....istiqomahkan kami di jalan ini
Biarkan kami berislam hingga waktu membawa kami
Di hadapan-Mu nanti
***
Karya: Melisa Agustina.
No comments:
Post a Comment