CAMPUR ADUK

Tuesday, January 8, 2019

GADIS KECIL PENJUAL KOREK API

"Korek api...Korek apinya Pak! Satu Pak, seribu!" teriakan itu terdengar berulang kali dari bibir pucat seorang gadis kecil. Pakaiannya nyaris tak berbentuk, sepotong kaus dan celana pendek, kumal. Rambutnya kemerahan tak pernah tersentuh sisir, kusut.

"Koreknya Bu! Untuk persediaan, jaga-jaga!" tangannya yang mungil menggenggam beberapa bungkus korek-api. Tapi tak ada seorang pun memperdulikan teriakan letih seorang gadis yang berdiri di depan pasar, menawarkan dagangannya. Semua hanya lewat begitu saja, ibarat melewati seonggok sampah. Semua orang bergegas, berburu waktu, seiring awan gelap berarak, menandai hujan akan tertumpah kembali.

"Bu koreknya untuk di rumah!" Suara lirih itu makin mengiba. Tak diperdulikan tetes-tetes air hujan mulai membasahi tubuhnya kurus kering. Di benak gadis kecil itu hanya ada keinginan korek apinya terjual ditukar beberapa lembar uang ribuan untuk sebungkus nasi pengganjal perut. Sudah beberapa hari dia tidak makan. Sisa-sisa makanan ia kias dari sampah dekat Restoran Pandang untuk penawar lapar.

Waktu terus merayap. Jalan depan pasar kini lengang. Hanya ada satu, dua orang bergegas lewat di tengah guyuran hujan lebat. Cepat-cepat pulang, bertemu keluarga. Rumah hangat, dan makanan mengenyangkan gadis kecil itu hanya memperhatika. Iri merambat di hati, betapa ingin ia punya orang tua, saudara, dalam rumah hangat, bukan hanya menjadi anak tanpa nama, orang tua, apalagi kasih sayang.

Malam larut, terpaan angin menusuk tulang. Lapar dan dingin menyerbu, matanya tak bisa terpejam, terkalahkan rasa lapar. Tempatnya berlindung emperan toko tak lagi cukup menahan dinginnya hujan. Dia ingin kehangatan. Mustahil. Ia lapar, ingin nasi dan lauk. Hanya angan.

Bau selokan dan sungai kehitam-hitaman menyengat, tak terkalahkan oleh hujan. Anyir sampah di pasar menjadi teman akrabnya, pemandangan keseharian kota anggun kota metropolitan di tempat ini gadis kecil tinggal.
....

Gadis kecil itu memandang penuh harap pada kerlip lampu di kejauhan. Membayangkan kehangatan dan perut kenyang pemilik rumah. Harga beras yang semakin membubung tak berarti apapun bagi mereka, penghuni apartemen dan perumahan yang mewah. Pandangannya kemudian jatuh pada kotak korek-api di genggamannya. Mungkinkah korek api ini mampu memberinya kehangatan yang ia dambakan? Namun ia takut. Barang itu bukan miliknya. Ia hanya membantu menjual, sedikit keuntungan diupahkan  untuknya.

Badannya makin menggigil. Rasa mengalahkan ketakutannya. Digoreskannya sebatang korek api. Ditemukannya gerbang menuju dunia dongeng di balik cahaya lemah itu. Ketika hendak masuk, cahaya itu padam dan gerbang itu pun perlahan turut menghilang. Cepat-cepat dinyalahkannya lagi sebatang korek api, dan bersamaan nyala api, ia memasuki negeri dongeng.

Di negeri dongeng, impiannya terkabul. Semua orang menyayangi dirinya. Tak ditemukannya pandangan tak peduli, sinis, bahkan jijik, seperti yang biasa didapatkannya. Lalu tiba-tiba ia terhempas di gelapannya dan dingin yang membekukan. Hampir tanpa berpikir, gadis kecil itu menyalahkan sebatang korek-api lagi, lagi, dan lagi. Ia ingin terus berada di negeri dongeng itu, Di peluk dari orang-orang peduli dan menyayanginya. Memiliki rumah hangat dan bagus. Tak hanya terdiri dari papan-papan dan seng di bawah jembatan atau di pinggir sungai. Kini ia bisa makan sepuasnya, tak lagi kelaparan. Pakaiannya pun tak lagi lusuh dan kumal.

Ia tak mau kembali. Tak diperdulikannya korek api bekas bertebaran di sekitarnya. Hujan tetap mengguyur, tak juga reda bahkan semakin lebat. Air sungai perlahan merambat naik dan menggenangi lantai di sekitarnya. Air naik makin lama makin tinggi. Malam pun terusik dengan jeritan panik para penghuni rumah. Tak hanya rumah di pinggir sungai, namun makin meluas. Mulanya selutut, makin naik, dan tak menunjukkan tanda-tanda akan kian surut.

Gadis kecil itu sama sekali tak peduli. Kini ia terbang menuju negeri dongeng untuk selamanya. Sakit perutnya akibat makan-makanan basi selama beberapa hari lenyap sudah. Ia menikmati kebahagian yang selama ini tak pernah dinikmati. Damai, indah, penuh kasih sayang.

Ditengoknya untuk terakhir kali apa yang ditinggalkannya, Banjir melanda. Orang-orang kehilangan apa yang dimiliki, rumah, harta benda, bahkan sanak saudara. Kehidupan yang dibangun dengan susah payah, musnah. Ia sedih, perih. Mengapa ketika ia pergi semakin bermunculan gadis-gadis penjual korek api yang lain.
....


Karya: Fannie Astria.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK