CAMPUR ADUK

Tuesday, January 8, 2019

PASAR MALAM

Matahari telah turun menjelang tirai peraduan di balik bumi, meninggalkan cahaya yang merah kuning laksana emas baru disepuh di pinggir langit di pihak barat. Burung-burung beterbangan pulang ke sarangnya. Dengan tergesa-gesa sambil berkotek memanggil anak,  masukkan ayam ke dalam kandang karena hari telah samar muka. Cengkerik mulai berbunyi bersahut-sahutan, menyatakan bahwa hari sudah senjakala. Ketika itu sunyi senyap, seorang pun tak ada kelihatan orang di jalan. Di jembatan pada sebuah kampung, kelihatan tiga  orang duduk berjuntai. Mereka duduk seakan-akan ada suatu rahasia yang dimufakatkannya, yang tidak boleh sedikit juga didengar orang lain. Sambil melihat ke sana-kemari, kalau-kalau ada seorang lalu lintas, mereka itu mulai bercakap-cakap.

"Sebulan lagi ada pacuan kuda dan pasar malam di Bukittinggi," kata seorang di antara mereka itu yang tidak lain dari Kacak memulai percakapannya. "Saat itulah yang sebaik-baiknya bagi kita akan membalaskan dendamku selama ini kepada Midun. Tak dapat tidak, tentu Midun pergi pula melihat keramaian itu. Orang kampung telah tahu semua, bahwa saya bermusuh dengan dia. Jadi kalau dia saya binasakan di sini, malu awak kepada orang. Tentu orang kampung syakwasangka kepada saya saja, kalau ada apa-apa kejadian atas diri Midun. Lagi pula ia tak pernah keluar, hingga sukar akan mengenalnya. Oleh sebab itu, telah bulat pikiran saya, bahwa hanya Bukittinggilah saya dapat membinasakannya. Bagaimana pikiran Lenggang? Sukakah Lenggang menolong saya dalam hal ini? Budi dan jerih Lenggang itu, saya berjanji akan memberi sesuatu yang menyenangkan hati Lenggang."

"Cita-cita Engkau Muda itu mudah-mudahan sampai," jawab Lenggang, sambil melihat keliling, takut kalau-kalau ada orang mendengar. "Kami berdua berjanji menolong Engkau Muda sedapat-dapatnya. Jika tak sampai yang dimaksud, tidaklah kami kembali pulang. Tidak lalu dendang di darat kami layarkan, tak dapat dengan lahir, dengan batin kami perdayakan. Sebab itu, apa yang kami kerjakan di Bukittinggi, sekali-kali jangan Engku Muda campuri, supaya Engku jangan terbawa-bawa. Biarkanlah kami berdua, dan dengar saja oleh Engku Muda bagaimana kejadiannya. Ada dua jalan yang harus kami kerjakan. Tetapi...maklumlah Engku Muda, tentu dengan biaya. Lain daripada itu, ingatlah Engku Muda, rahasia ini hanya kita bertiga saja hendaknya yang tahu. Pandai-pandai Engku Muda menyimpan, sebab hal ini tidak dapat dipermudah, karena perkara jiwa."

"Seharusnya saya yang akan berkata begitu," ujar Kacak sambil mengeluarkan uang kertas Rp25 dari koceknya, lalu diberikannya kepada Lenggang. "Bukankah tuan-tuan membela saya, masakan saya bukankah rahasia ini. Biar apa pun akan terjadi atas diri Lenggang kedua, jangan sekali-kali nama saya disebut-sebut. Saya ucapkan, moga-moga yang dimaksud sampai, karena bukan main sakit hatiku kepada Midun, anak si peladang jahanam itu! Jika dia sudah luput dari dunia ini, barulah senang hati saya. Sekarang baik kita bercerai-cerai dulu, karena kalau terlalu lama bercakap-cakap, jangan-jangan dilihat orang."

Setelah ketiganya berteguh-teguhan janji bahwa rahasia itu akan dibawa mati, maka mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Lenggang dengan temannya sangat bersuka hati mendapat uang itu. Gelak mereka terbahak-bahak, lenggangnya makin jadi, tak ubah sebagai namanya pula. Bahaya apa yang akan menimpa mereka kelak, sedikitpun tak diperdulikan Lenggang. Memang Lenggang sudah biasa menerima upah semacam itu. Pekerjaan itu sudah biasa dilakukannya. Sudah banyak ia menganiaya orang, satu pun tak ada orang yang tahu. Pandai benar ia menyimpan rahasia dan melakukan penganiayaan itu. Jika ada yang menaruh dendam kepada seseorang, dengan uang seringgit atau lima rupiah saja, telah dapat Lenggang disuruh akan membinasakan orang itu. Pekerjaan itu dipandangnya mudah saja, karena sudah biasa. Akan membinasakan Midun itu, tidak usah ia berpikir panjang, karena hal itu gampang saja pikirannya. Hanya yang dipikirkan Lenggang, tentu ia mendapat upah amat banyak dari Kacak, jika yang dimaksudkannya sampai. Kacak seorang kaya, sedangkan bagi permintaan yang pertama diberinya Rp25, padahal belum apa-apa lagi. Akan mengambil jiwa Midun, seorang yang boleh dikatakan masih kanak-kanak, tak usah dihiraukannya....

Demikianlah pekerjaan mereka itu dua hari lamanya, Pada hari yang kelima pagi-pagi, Midun dan Maun pergi ke pasar. Mereka berbelanja membeli ini dan itu karena hendak terus pulang setelah melihat pacuan kuda lusanya. Tengah hari kembalilah mereka kelepau. Segala barang-badang yang dibeli, dipertaruhkannya kepada orang lepau itu. Setelah itu Midun duduk hendak makan, tetapi Maun masih di luar membeli rokok. Baru saja Midun duduk, Maun berseru dari luar, katanya, "Midun! Midun! Lihatlah, apa ini?"

Midun melompat ke luar hendak melihat apa yang diserukan kawannya itu. Di jalan kelihatan beberapa engkau-engkau dan tuan-tuan diarak dengan musik militer. Tiba-tiba Midun terkejut karena di dalam orang banyak itu kelihatan olehnya Kacak. Dengan segera ditariknya tangan Maun, lalu dibawanya masuk ke dalam lepau.

Dengan perlahan-lahan Midun berkata, "Maun! Adakah engkau melihat Kacak di antara orang banyak itu?"

"Tidak," jawab Maun dengan cemasnya. "Adakah engkau melihat dia?"

"Ada, rupanya dia ada pula datang kemari. Ketika saya melihatnya tadi, ia memandang ke sana kemari, seakan-akan ada yang dicarinya dengan matanya itu, tidaklah saya ketahui. Saya amat heran karena ketika saya menampakkan tadi, darah saya berdebar. Yang biasa tidaklah demikian benar hal saya bilamana melihat Kacak. Boleh jadi kita di sini diintip orang, Maun! Siapa tahu dengan tidak disangka-sangka kita dapat bahaya kelak. Sebab itu, haruslah kita ingat-ingat selama di sini.

Sesudah makan mereka pun berjalan-jalan ke pasar, melihat perarakan anak-anak sekolah dan lain-lain. Malam hari Midun tidak keluar melainkan tinggal di lepau nasi saja.Lain benar perasaannya sejak melihat Kacak hari itu. Besoknya ketika pacuan kuda dimulai, mereka itu tidak pergi melihat, melainkan tinggal di lepau saja. Hanya pada hari yang kedua saja mereka hendak pergi sebentar. Sudah itu maksudnya hendak terus pulang kampung.


Karya: Sutan Nan Sati

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK