Matahari sudah agak jauh condong ke barat. Akan tetapi, udara tetap terasa amat panas. Barangkali karena gumpalan-gumpalan awan yang memenuhi kaki langit ikut menjerang bumi dengan memantulkan ke bawah sinar matahari yang diterimanya; panas dan lembab.
Ketika itu, sebuah bus antarkota sedang melaju ke arah timur. Penumpangnya penuh. Hampir semua penumpang merasa gerah karena kendaraan yang besar itu tidak dilengkapi penyeduk udara (Air Conditioning (AC). Banyak penumpang yang menggunakan koran sebagai kipas. Banyak pula penumpang yang mengantuk dengan keringat membasahi wajah. Akan tetapi, ada seorang di antara mereka yang kelihatan masih segar. Dia seorang laki-laki yang sejak lama asyik dengan teka-teki silang. Demikian asyiknya sehingga dia tidak menyadari situasi di sekelilingnya. Bahkan, mungkin dia tidak sadar di manakah bus yang ditumpanginya itu sedang berada.
Lelaki itu tetap asyik. Tanpa mengangkat muka, dia mengambil rokok dari sakunya. Lalu, korek api dinyalakan dan anak korek api yang masih menyala itu dilempar keluar jendela. Tetapi, lelaki itu terperanjat ketika ada suara membentak dengan kasarnya. "Kamu mau mampus? Kamu tak punya mata? Kamu tak mengerti di sini pompa bensin?" dengus pelayan pompa bensin.
Kebakaran memang tidak terjadi. Akan tetapi, karena sadar akan kelengahannya, lelaki itu diam seribu bahasa. Wajahnya pucat. Sementara itu, pelayan pompa bensin terus memberondongnya dengan kata-kata pedas, bahkan bernada menghina. Para penumpang lain serta awak bus ikut terpengaruh oleh suasana yang panas. Mereka pun berganti-ganti mencurahkan kekesalan mereka kepada lelaki yang lengah itu.
"Kamu tahu, kita semua bisa menjadi arang bila bus ini terbakar?"
"Kamu mau menanggung anak-istri kami andalkan kami mati terbakar di sini?"
"Ini bus, Bung! Bukan gerobak. Jalannya pakai minyak yang mudah terbakar! Bung orang kampung, ya?"
Barangkali dalam upaya menghentikan kata-kata pedas yang terus mengalir, lelaki yang merasa bersalah itu bangun. Wajahnya masih pucat. Dengan bibir gemetar dia membuka suara.
"Bapak, Ibu, Saudara sekalian, saya minta maaf. Saya memang bersalah dan sekarang tak bisa lain kecuali minta maaf kepada Bapak, Ibu, dan Saudara sekalian."
Boleh jadi lelaki itu ingin menambah kata-katanya. Akan tetapi, sebuah suara yang keras menghentikan lidahnya.
"Enak saja kamu minta maaf! Apakah kalau benar-benar terjadi kebakaran kamu juga akan minta maaf kepada kami yang mungkin sudah menjadi mayat?"
Cacian lain masih datang beruntun. Lelaki itu memandang sekeliling dan dilihatnya wajah-wajah yang tidak bersahabat. Kemudian, dengan tenang dia mengemasi barang-barangnya. Dia turun di pompa bensin itu juga, boleh jadi karena tidak tahan mendengar ocehan yang menyakitkan dan terus berkepanjangan. Di pintu bus dia masih sempat menoleh ke dalam untuk sekali lagi minta maaf kepada para penumpang yang lain.
No comments:
Post a Comment