CAMPUR ADUK

Tuesday, November 12, 2019

PRESIDEN SOEHARTO

MAAFKAN tapi JANGAN LUPAKAN 


"Manusia menjalankan garis hidupnya, sesuai ketentuan Sang Maha Pencipta Skenario hidup telah ditulis, seperti sebuah rel panjang yang harus diikuti."

UNTUK ITU setiap manusia menjalani takdirinya. Berbuat salah atau berprilaku bajik adalah bagian dari takdir itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu perbutan itu berhubungan dengan hajat hidup orang banyak atau tidak. Misalnya Fulan yang terjual tempe itu-karena harga keledai menjadi mahal- beralih profesi menjadi maling. Dan dia, mencuri jemuran tangganya. Maka dia hanya merugikan satu orang saja.

Tapi bayangkan bila si Fulan itu adalah pejabat publik. Katakanlah dia menjadi seorang presiden. Ketika dia berprilaku maling, maka yang dirugikan bukan hanya satu dua orang, tapi jutaan orang yang kena imbasnya. Inilah yang diributkan masyarakat Indonesia, akhir-akhir ini saat Pak Harto (Presiden Soeharto) sakit keras, hingga dilarikan ke RSPP Pertamina.

Pak Harto adalah pejabat publik, bukan si Fulan yang penjual tempe itu. Selama 32 tahun memerintah Indonesia. Tak seluruh kebijakannya benar ataupun seluruh kebijakannya salah. Wajar. Tak ada gading yang tak retak, begitu kata pepatah yang bijak di negeri ini. Pak Harto menyadari benar, pepatah itu. Ketika dia lengser keprabon dari jabatannya pada 1997, di depan para menteri dan tokoh-tokoh nasional, dia meminta maaf dengan apa yang telah dilakukannya. 

Maaf. Untuk konteks sebuah keputusan yang melibatkan begitu banyak orang, kata itu sebenarnya tak cukup. Tapi, apakah ada sesuatu kata yang lebih mulia dari maaf, untuk mewakili suatu kesalahan. Islam mengenal taubatan nasukha, permintaan maaf kepada Alloh agar tak mengulangi suatu kekejian terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain. Apakah orang yang bersalah, lalu meminta maaf atau taubat, telah bisa lepas tanggung jawab? Bahwa dosanya diampuni atau permintaan maafnya diterima Alloh, itu memang benar. Tapi dia tak lepas dari kewajibannya untuk mengembalikan sesuatu dalam keadaan normal, seperti sediakala.

Inilah rumitnya. Pak Harto telah meminta maaf, dan rakyat Indonesia harus mau tak mau merima kata itu. Meski pada akhirnya apa proses hukum yang akan membuktikan-sampai saat ini pemeritah belum biasa membuktikan korupsi Pak Harto. Masalahnya hukum manusia sangat berbeda dengan hukum Tuhan. Hukum manusia membutuhkan pembuktian, sedangkan Alloh Maha Tahu, pembuktian menjadi sangat tidak perlu.

Alhasil, ketika proses hukum berjalan dan segala bukti tidak kuat, puas tidak puas manusia harus mengakuinya sebagai suatu kebenaran. Hanya saja, manusia tidak bisa lari dari hukum Alloh.

Menjadi orang nomor satu di sebuah negeri adalah pengorbanan. Dia menjadi pelayan rakyat, makmur, bukan seorang raja yang titahnya adalah hukum. Dengan demikian segala perbuatan dan amar keputusannya selalu diamati, ditunggu, disoroti semua orang. Kadangkala keputusannya mengorbankan banyak orang, untuk meraih tujuan negara yang diidealkannya - yang dia harapkan mampu mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus mellanggengkan kekuasannya. Tapi itulah semi menjadi menjaga proses menjadi ideal itu tak terganggu, karena dialah yang punya visi sesuatu yang ideal itu.

Maka demikianlah orang-orang besar. Selalu dipuja juga dihujat. Mengenai Pak Harto, kita tahu jasa-jasanya sebagai pemimpin. Kita juga tahu dia pernah  berbuat salah, sebagai manusia juga pemimpin. Namun pada akhirnya, di usia yang senja dengan berbagai penyakit yang menyiksa tubuh, hukuman (itupun kalau terbukti Pak Harto salah) menjadi sesuatu yang mubazir. Di usia itu, hukuman tak pernah membuat efek jera atau mengembalikan sesuatu menjadi normal.

Maka memaafkan adalah yang paling tepat, tapi jangan melupakan. Pak Harto orang besar, sebagaimana mereka yang pernah memerintah negari ini. Pak Harto dan orang-orang besar itu adalah bagian dari sejarah, yang membentuk negeri ini. Suatu  proses selalu melibatkan salah dan benar, mengorbankan atau dikorbankan.

Bila semua orang ingin meghukum, artinya Indonesia akan menjadi negara yang terus menghukum pemimpinnya usai pemerintahannya berakhir. Lantaran presiden juga manusia, pernah berprilaku salah dengan konsekuensi menyengsarakan yang lain. Inilah resiko menjadi pemimpin. Nah untuk ibu, proses pengadilan  memang tetap harus berjalan untuk memutuskan benar atau salah, setelah itu maafkan. Jasa Pak Harto juga luar biasa terhadap rakyat Indonesia. Toh hukuman bagi Pak Harto tak pernah mengembalikan Indonesia seperti dulu lagi.

Karya: Rully Kuswahyudi, S.Sos

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK