Pada suatu malam yang dingin, ketika aku baru saja membaringkan badanku di tempat tidur, aku mendengar dering telepon. Dengan malas aku bankit dan mengambil telepon.
"Di sini Rofi," kataku.
"Bung Rofi?" tanya suara dalam telepon itu.
"Ya, saya sendiri," balasku.
"Syukur, kalau begitu."
"Ada apa?" tanyaku.
"Oh, tidak apa-apa. Sekedar omong-omong."
"Sekedar omong-omong? Di tengah malam begini?"
"Ya. Saudara keberatan?"
"Keberatan sih, tidak. Tapi, saya pikir Saudara terlalu sibuk barangkali, waktu untuk ngomong-ngomong saja terpaksa malam begini,"
"Bukan itu soalnya," balas suara itu.
"Saya kebetulan sedang piket di kantor dan teman-teman sudah pada tidur. Saya merasa sepi, lalu saya ingin ngomong-ngomong. Pokoknya ngomong, itulah. Dengan siapa, saya tidak perduli,"
"O," jawabku.
"Tapi, mengapa saya yang Saudara telepon?"
"Hanya kebetulan karena saya mengambil sembarangan nomor. Kalau tadi saya kebetulan mengambil kantor yang tidak ada penghuninya, mungkin saja saya tidak jadi ngomong-ngomong begini. Atau, mungkin saja saya ambil nomor yang lain, yang mungkin penghuninya orang asing," kata sambil tertawa.
Mendengar ini tahu-tahu saya juga ikut tertawa.
Begitulah, omong-omong yang di luar rencana itu akhirnya berlangsung selama dua jam, dengan pokok persoalan yang dibicarakan oleh masing-masing kami bermacam-macam pula. Tapi, anehnya, ketika kami menghentikan pembicaraan, kami tak pernah saling bertanya apakah pekerjaan kami sehari-hari. Aku salah, tidak menanyakan usianya, apakah ia seorang anak muda atau suami yang sudah banyak anak ataukah hanya seorang penjaga malam.
Seminggu kemudian kami saling bertelepon lagi dan berbicara tentang berbagai soal. Tapi, satu hal yang membuatku tertarik pada pembicaraan kami malam itu ialah pertanyaannya yang kuanggap cukup aneh, "Apakah betul suatu dosa, kalau kita menyelamatkan orang yang jelas-jelas telah melakukan dosa kepada manusia dan Tuhan?"
Pertanyaan itu tidak segera kujawab, tapi malah sebaliknya aku bertanya dosa bagaimanakah yang dimaksudkannya itu. Dia lalu menceritakan sebuah cerita yang menarik tentang seorang temannya. Seorang teman akrabnya telah melakukan pembunuhan karena suatu perselisihan yang sebenarnya masih dapat diselesaikan secara damai.
Temannya itu tidak lain daripada Mathias, seorang bandit yang cukup terkenal di kota kami, akhirnya menjadi buronan buat beberapa lama. Mathias minta pelindungan teman saya bertelepon itu dan menyembunyikan dirinya di sana buat beberapa lama. Segalanya berjalan dengan baik sampai akhirnya Mathias dapat lari ke daerah lain. Begitulah, akhirnya Mathias dapat bebas selama bertahun-tahun, tapi celakanya kejahatan-kejahatan lain terus-menerus diperbuatnya.
Timbulnya suatu peristiwa yang baru dilakukan Mathias menyebabkan temanku bertelepon itu merasa menerima suatu pukulan yang cukup mengganggu ketenteraman jiwanya. Seorang anak laki-laki yang tidak bersalah telah dibunuh pula oleh Mathias karena iseng. Karena iseng-suatu kalimat yang dituliskan Mathias dalam suratnya-yang membuat kawanku itu mendapat gangguan jiwa untuk beberapa lama.
Begitulah, akhirnya Mathias melakukan hal yang sama, yaitu pembunuhan-pembunuhan baru dengan tangan dingin dan tak pernah tertangkap. Tapi anehnya, setiap kali ia melakukan pembunuhan ia tetap memberitahukannya pada temanku bertelepon ini, seakan-akan hal itu merupakan suatu laporan kepada seorang atasan.
Hal itulah yang akhirnya mengganggu ketenteraman jiwanya, jiwa kawanku itu, yang akhirnya mencapai puncaknya ketika surat Mathias yang terakhir dia terima menyatakan bahwa korban yang selanjutnya adalah diri kawanku sendiri karena ia terlalu banyak tahu tentang dosa-dosa Mathias. Setiap malam kawanku itu menanti kedatangan Mathias karena ia tahu bahwa Mathias selalu pada malam hari bila melakukan pembunuhan.
Sampailah akhirnya peristiwa itu. Mathias datang pada suatu malam, ketika hujan rintik-rintik dan temanku itu menantinya dengan penuh ketabahan. Suatu hal yang tak diduga Mathias ialah ketika temanku itu menyerahkan dirnya bulat-bulat untuk dia bunuh. Suatu hal yang mustahil, begitu katamu, bukan? Tetapi begitulah kenyataannya. Saat menerima hal yang tidak terduga ini, Mathias terkejut, gugup, malu, dan kehilangan harga diri. Mathias lalu bersujud di kaki temanku itu. Menangis dan meminta-minta ampun dan rela untuk diperbuat yang bagaimanapun juga oleh temanku bertelepon itu.
Tapi temanku itu anehnya masih juga memberinya maaf. Dan mengizinkannya pergi tanpa memberitahukannya kepada siapa pun, termasuk kepada anak-istrinya sendiri. Begitulah akhirnya Mathias pergi entah kemana dan tidak ada kabar-kabarnya lagi.
"Salahkah saya karena telah memaafkan Mathias?" tanyanya lagi di telepon.
Mendengar itu aku terdiam dan baru kemudian aku tanyakan "Apakah surat-surat Mathias pernah datang lagi?"
"Tidak."
"Nah, kemungkinan dia sudah berubah," kataku.
"Mungkin saja. Tapi mungkin pula ia malu untuk menceritakan kejahatan-kejahatannya yang baru kepadaku."
Malam itu aku tidak memberikan jawaban apa-apa atas pertanyaannya. Sebab, seminggu kemudian dia meneleponku lagi dan kembali bertanya tentang soal yang itu juga.
"Apakah aku salah karena telah menyelamatkan Mathias?"
"Aku bukan ahli hukum, bukan ahli agama, dan bukan pula ahli jiwa," kataku membalas.
"Aku menanyaimu sebagai seorang temanku," jawabnya lagi.
"Baiklah, aku menjawab," kataku.
Tindakanmu yang pertama, menyelamatkannya itu, memang salah. Sebab, dengan perlindunganmu itu ia membunuh beberapa orang yang tak bersalah dan kau sama sekali tidak melaporkannya kepada yang berwajib. Tapi, tindakanmu yang kedua, kau benar. Justru karena tindakanmu itulah, mungkin, ia menyadari kesalahannya, dan hal itu bisa saja membuatnya bertobat. Karena itulah kesalahan dan kebaikan yang kau perbuat sudah seimbang. Atau, dengan perkataan lain, kau tidak pernah berbuat dosa dalam persoalan temanmu Mathias."
"Terima kasih," katanya singkat.
"Oh ya," katanya kemudian.
"Satu hal lagi perlu kuberitahukan: Mathias pernah menyatakan keyakinannya padaku bahwa manusia pada suatu saat dapat menjadi robot yang tidak berharga apa-apa. Apakah itu suatu pikiran yang jahat?" tanyanya.
"Tidak," jawabku.
"Itu adalah buah pikiran yang baik dari seorang penjahat."
"Terima kasih," katanya lagi.
"Nanti jika saya bertemu Mathias, akan saya sampaikan hal itu kepadanya."
"Terima kasih," balasku.
Setelah masing-masing mengucapkan selamat malam aku pun meletakkan pesawat telepon. Suatu hal yang benar-benar kurasakan malam itu adalah aku terharu, Seorang teman yang tidak kukenal sama sekali telah mengadukan halnya kepadaku. Suatu saat manusia itu memang bisa jadi saudara yang akrab sekali antara sesamanya.
Karya: Sari Siregar
No comments:
Post a Comment