CAMPUR ADUK

Monday, December 24, 2018

HUDZAIFAH BIN AL-YAMAN

Kalau kau kehendaki, kau termasuk golongan Muhajirin; dan bila kau kehendaki pula, kau termasuk golongan Anshar. Pilihanlah, mana yang kau senangi di antara keduanya."

Dengan kalimat-kalimat tersebut. Rasulullah s.a.w. berbicara kepada Hudzaifah bin Al-Yaman, ketika pertama kali beliau bertemu dengannya di Makkah.

Pemberian hak memilih kepada Hudzaifah bin Al-Yaman untuk bergabung kepada salah satu dari dua golongan yang paling dimuliakan dan disenangi oleh kaum Muslimin itu, memiliki kisah tersendiri yang menarik. Demikianlah kisahnya:

Al-Yaman, ayah Hudzaifah, berasal dari Makkah ke turunan Bani Absin. Suatu kali dia membunuh seseorang dari kaumnya sendiri, dan terpaksa dia menghindar dari Makkah dan menuju Yatsrib (Madinah). Di Yatsrib, dia berlindung kepada Bani Abdil-Asyhal, dan kemudian menjadi menantu salah seorang dari bani tersebut. Dari perkawinan di Yatsrib itulah, Al-Yaman memperoleh anak, yang kemudian diberi nama Hudzaifah.

Selang berapa lama, dan setelah tak ada lagi larangan-larangan yang menghalanginya memasuki Makkah, Al-Yaman lalu sering mondar-mandir antara Makkah-Yatsrib---tapi dia lebih sering dan lama tinggal di Yatsrib.

Setelah Islam memancarkan sinarnya di jazirah Arab, Al-Yaman merupakan satu di antara sepuluh orang dari Bani Absin yang menghadap Rasul s.a.w. dan sebelum Rasul yang mulia hijrah ke Madinah. Oleh karena itulah, berkaitan dengan Hudzaifah, dia adalah orang asli Makkah yang di besarkan di Madinah.

****

Hudzaifah di besarkan dalam lingkungan keluarga Muslim. Dia dibesarkan dan dipelihara oleh kedua orangtua yang termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Hudzaifah telah menjadi Muslim, sebelum kedua matanya diberi celak dan mampu melihat Rasulullah s.a.w.

Keinginan Hudzaifah untuk bertemu Rasul menyesaki dadanya. Semenjak memeluk Islam, dia selalu mengikuti kabar dan perkembangan agama Allah tersebut. Di samping itu, dia pun senantiasa menanyakan sifat-sifat Rasulullah. Dan semuanya itu hanyalah menambah keinginan dan kerinduannya kepada Rasulullah s.a.w.

Suatu ketika, dia pergi menuju Makkah untuk bertemu dengan Rasul s.a.w. Begitu melihat Rosul, dia lalu berkata:

"Aku ini seorang Muhajir ataukah seorang Anshar, ya Rasulullah."

Kemudian Nabi menjawab:

"Kalau kau kehendaki, kau termasuk golongan Muhajirin; dan bila kau kehendaki pula, kau termasuk golongan Anshar. Pilihlah, mana yang kau senangi di antara keduanya."

Mendengar sabda Nabi, Hudzaifah lalu berkata:

"Aku seorang Anshar, ya Rasulullah."

****

Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah senantiasa mendampingi beliau dan mengikuti berbagai pertempuran, kecuali perang Badar. Tidak ikut sertanya Hudzaifah dalam perang Badar memiliki kisah tersendiri yang juga menarik. Hudzaifah berkisah tentang itu: 

Sesungguhnya, yang menghalangiku untuk ikut dalam perang Badar adalah karena bertepatan dengan perang itu, aku bersama ayahku sedang berada di luar Madinah. Kami berdua ditahan oleh orang-orang kafir-Quraisy. Mereka bertanya kepada kami berdua:

"Hendak ke mana kalian?"

"Ke Madinah," jawab kami.

"Kalau begitu, kalian hendak menemui Muhammad."

"Tidak. Kami hanya hendak pulang ke Madinah."

Selesai tanya-jawab itu, para kafir-Quraisy tetap tidak ingin melepaskan kami, kecuali kami berjanji ke pada mereka bahwa kami tidak akan membantu Muhammad dan tidak akan ikut berperang di pihak kaum Muslimin. Dengan perjanjian itulah, kami lalu dilepaskan mereka.

Setelah bertemu Rasulullah s.a.w. di Madinah, kami laporkan seluruh kejadian yang kami alami, termasuk ikatan perjanjian kami dengan para kafir-Quraisy. Kami menanyakan kepada Rasulullah, apa jalan terbaik yang layak kami lakukan.

Rasulullah lalu berkata:

"Kita tepati janji itu dan mintalah pertolongan kepada Allah terhadap mereka."


****

Dalam perang Uhud, Hudzaifah maju ke medan laga bersama ayahnya. Hudzaifah bertempur melawan musuh dengan keberanian yang luar biasa dan sangat terpuji. Dia keluar dari medan perang dengan selamat, sedangkan ayahnya gugur dalam perang itu. Namun, gugurnya Al-Yaman, ayah Hudzaifah, bukanlah akibat tikaman pedang kaum musyrikin, tapi dari kaum Muslimin sendiri. Kisahnya demikian:

Ketika akan berlangsung perang Uhud, Rasulullah s.a.w. menempatkan Al-Yaman dan Tsabit bin Waqsyin di benteng untuk menjaga kaum wanita dan anak-anak, karena kedua orang ini telah berumur lanjut. Setelah perang berkecamuk dan mengganas, Al-Yaman berkata kepada temannya: "Kita tak dapat hanya menunggu saja di sini. Demi Allah, tidak terbisa umur kita berdua kecuali tinggal sebentar saja. Kita ini hampir mati, baik hari ini ataupun esok. Apa tidak lebih baik, kita bawa pedang lalu menyusul Rasulullah s.a.w. Semoga Allah memberi rezeki syahid berperang bersama Nabi-Nya kepada kita." Akhirnya, keduanya pun lalu menyandang pedang dan menerobos barisan musuh.

Tsabit bin Waqsyin dimuliakan Allah, syahid terkena tikaman kaum Muslimin karena mereka tidak mengenalnya. Hudzaifah sendiri, saat melihat ayahnya, hanya dapat berteriak: "Ayahku......Ayahku.....," namun tidak ada seorang pun yang mendengar teriakannya. Ayah Hudzaifah pun tersungkur terkena tikaman pedang temannya sendiri. Hudzaifah hanya dapat berseru: "Semoga Allah mengampuni kalian, Dia Mahakasih dan Mahasayang."

Setelah pertempuran usai, Rasulullah s.a.w. hendak membayar diyat (ganti rugi) kepada Hudzaifah. Namun Hudzaifah berkata:

"Sesungguhnya, ayahku memang mencari syahid dan kini telah mendapatkannya. Ya Allah, saksikanlah bahwa aku sedekahkan diyat-nya untuk kaum Muslimin!"

Dengan kejadian itu, martabat Hudzaifah pun bertambah tinggi dalam pandangan Rasulullah s.a.w.

****

Rasulullah benar-benar menyelami dan sekaligus menguji sedalam-dalamnya jiwa Hudzaifah bin Al-Yaman. Dalam diri Hudzaifah tampak menonjol tiga hal: kepandaian dan kecerdasannya sehingga segala kesulitan yang menghadangnya, kemudian cepat tanggap dan taat menerima segala tugas yang dibebankan kepadanya, dan terakhir kuat menyimpan rahasia hingga tak seorang pun dapat mengoreknya.

Cara-cara Rasulullah s.a.w. dalam membagi tugas kepada para sahabatnya dibangun atas dasar pengetahuan beliau tentang kekhususan dan kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing sahabatnya. Beliau senantiasa mampu memanfaatkan kemampuan yang terpendam dalam diri sahabatnya, sehingga setiap sahabatnya dapat ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan keahliannya.

****

Kerepotan paling besar yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah ialah bercokolnya kaum munafik dari golongan Yahudi dan antek-anteknya. Selain kemunafikannya, mereka pun lihai dalam bertipu daya dan mengadu domba untuk merugikan Nabi s.a.w. dan para sahabatnya.

Nabi s.a.w. lalu membeberkan kepada Hudzaifah beberapa nama yang termasuk kaum munafik dan memberi tugas kepadanya untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Kerahasian nama-nama kaum munafik itu betul-betul disimpan dengan ketat oleh Hudzaifah dan tidak ada seorang pun yang diberitahu tentang hal itu. Akhirnya, Hudzaifah bin Al-Yaman sejak itu dipanggil dengan sebutan," Penyimpan Rahasia Rasulullah s.a.w."

****

Dengan kelebihan yang dimiliki oleh Hudzaifah, Rasulullah pun amat terbantu dengan pelaksanaan tugas-tugasnya. Sekali waktu beliau s.a.w. memanfaatkan kemampuan Hudzaifah dalam mengatasi suatu keadaan yang sangat berbahaya. Yaitu berupa tugas yang memerlukan kecerdasan, kecerdikan, dan keterampilan untuk yang diserahi mengemban tugas tersebut. Keadaan sangat berbahaya itu muncul sewaktu berlangsung perang Parit (Khandaq). Saat itu, kaum Muslimin dikepung oleh musuh dari segala arah. Tak cuma itu, pengepungan yang memakan waktu lama itu juga membuat panik sebagian kaum Muslimin, hingga menyebabkan mereka mulai berprasangka terhadap Alloh dengan aneka purba sangka.

Namun sesungguhnya, pada waktu itu, kaum Quraisy beserta pendukungnya dari kalangan musyrikin, keadaannya pun tidak lebih baik dari kaum Muslimin. Kaum Quraisy yang melakukan pengepungan itu juga mengalami saat-saat kritis.

Allah Azza wa Jalla telah menimpakan murka-Nya, sehingga membuat kaum Quraisy lemah semangat dan terguncang niat dan tekadnya. Allah mengutus angin topan untuk memorak-porandakan kemah-kemah mereka, menjungkir-balikkan persediaan makanan mereka, melempari muka-muka mereka dengan batu-batu kecil, dan menutup mata serta hidung mereka dengan debu.

Pada detik-detik paling menegangkan suatu peperangan seperti itu, yang rugi dan kalah adalah kelompok yang mengeluh dan runtuh semangatnya. Sebaliknya, yang sabar dan mampu menahan diri dari penderitaan, tentu akan memperoleh keberuntungan. Dari samping itu, diperlukan siasat (stragegi) perang yang jitu yang diatur oleh komandan perang untuk melepaskan diri dari ketegangan dan kemudian memukul mundur musuh.

Di sinilah peran Hudzaifah tampak menonjol. Rasulullah bermasksud menyelundupkan Hudzaifah ke jantung pasukan musuh di bawah kepekatan malam, agar mengamati kekuatan musuh dan melaporkannya kepada beliau s.a.w. Dengan itu, Rasulullah akan menentukan strategi perang selanjutnya.

Hudzaifah berkisah tentang peran yang diembannya waktu itu:

Malam itu, kami duduk berjejer-jejer. Abu Sufyan dan pasukannya dari kaum musyrikin Makkah berada di atas kami; sedang Bani Quraizhah dari kaum Yahudi berada di bawah kami. Kami semua khawatir kalau kaum Yahudi menyerang isteri dan anak-anak kami. Kami belum pernah mengalami malam yang menegangkan seperti waktu itu. Kegelapan menyelimuti kami sehingga tak seorang pun dapat melihat ujung jarinya sendiri. Sementara itu, angin kencang dan suara angin yang ribut menggeledek benar-benar mencengkam kami.

Kaum munafik, di antara kami, mulai meminta izin kepada Rasulullah s.a.w. untuk menghindar dari perang. Mereka beralasan: "Rumah-rumah kami terbuka dan mudah dimasuki musuh", padahal sebenarnya tidak terbuka. Namun tak seorang pun yang meminta izin, pergi meninggalkan kami, sehingga jumlah pasukan Muslimin tinggal tiga ratus orang.

Dalam keadaan seperti itu, Nabi s.a.w. lalu melakukan pemeriksaan barisan dengan melewati kami satu per satu. Sewaktu lewat di tempatku--dan waktu itu aku tidak memiliki sesuatu yang mampu melindungi badanku dari dinginnya udara malam, kecuali sehelai kain milik isteriku yang tidak sampai menutup lututku---Nabi mendekatiku dan menyapaku: 

"Siapakah kau?"

Aku menjawab: "Hudzaifah,"

"Hudzaifah?" beliau menukas.

Aku kemudian lebih merapatkan diriku ke tanah, malas berdiri, karena rasa lapar yang sangat dan dingin yang menusuk tulang, seraya menjawab: "Benar, ya Rasulullah."

Beliau lalu berkata: "Dalam pasukan musuh ada suatu  kejadian, dan aku perlu tahu. Menyelunduplah engkau ke kubu musuh dan laporkan keadaannya kepadanya......"

Aku lalu bergegas keluar dari tempatku, padahal akulah yang saat itu paling ketakutan dan tak kuat menahan dingin. Kudengar Rasulullah s.a.w. berdoa: 

"Ya Allah, lindungilah depan, belakang, kanan, kiri, atas, dan bawahnya."

Demi Allah, belum selesai doa Nabi s.a.w., tiba-tiba Allah SWT telah mencabut rasa takut dari diriku dan musnah pula rasa dingin yang menjalar di tubuhku.

Ketika aku hendak berangkat, janganlah engkau menimbulkan sesuatu di sana hingga kau selesai memberikan laporan kepadaku."

"Baik, ya Rasulullah," jawabku.

Aku lalu merunduk dan menyelundup ke tengah musuh, hingga seolah-olah aku merupakan satu di antara mereka. Tak begitu lama, tiba-tiba Abu Sufyan berdiri di tengah-tengah mereka dan berpidato:

"Wahai kaum Quraisy, aku akan menyampaikan pesan, tapi aku khawatir kalau hal ini sampai diketahui Muhammad. Oleh karena itu, harap masing-masing memeperhatikan siapa orang yang duduk di sebelahnya."

Mendengar itu, segera kupegang tangan orang yang di sebelahku, seraya berkata: "Siapakah engkau?" Dia menjawab: "Fulan bin Fulan!"

Kemudian Abu Sufyan melanjutkan pidatonya:

"Wahai kaum Quraisy, demi Allah, engkau semua tidak akan dapat bertahan sampai esok. Binatang ternak sudah banyak yang mati dan Bani Quraizhah telah mengkhianati janji, serta kita pun telah diserang oleh angin ribut. Pulanglah kalian semua dan aku akan menyegerakan pulang saat ini juga."

Abu Sufyan lalu membuka tali kekang untanya, duduk di punggungnya dan memukul unta itu agar segera bergerak. Seandainya Rasulullah tidak melarangku untuk menimbulkan sesuatu sebelum aku melapor kepada beliau, tentulah Abu Sufyan telah kubunuh dengan panahku.

Kemudian aku bergegas kembali ke pasukanku untuk melapor kepada Rasulullah. Aku dapatkan beliau sedang shalat dengan menggunakan kain isterinya. Selesai shalat dan setelah melihatku, aku lalu disuruh mendekat ke kakinya. Beliau meletakkan ujung kain itu ke badanku, dan kulaporkanlah apa yang kulihat. Beliau menjadi sangat gembira, lalu memuja Allah.

****

Hudzaifah tetap seorang terpercaya yang menyimpan rahasia nama-nama orang munafik di sepanjang hidupnya. Para Khulafa' (Pemimpin) pernah bertanya kepadanya tentang nama-nama kaum munafik, sehingga Umar bin Khaththab r.a. bila mengetahui ada seorang Muslim meninggal dunia, dia bertanya: " Apakah Hudzaifah atang melakukan shalat atasnya?" Bila mereka yang ditanya Umar menjawab: "Ya," maka Umar pun melakukan shalat dan bila yang ditanya menjawab: "Tidak," maka Umar menjadi ragu dan tidak melakukan shalat jenazah.

Pernah suatu kali Umar r.a. bertanya kepada Hudzaifah:

"Apakah di antara pegawaiku ada orang munafik?,"

"Ada satu," jawab Hudzaifah.

"Tunjukan kepadaku, siapa dia," sahut Umar.

"Tidak mungkin!" sergah Hudzaifah.

Hudzaifah kemudian menambahkan cerita di atas: Tidak lama kemudian, Umar pun memecat salah satu pegawainya. Seolah-olah telah mendapatkan petunjuk.

****

Mungkin hanya sedikit orang tahu bahwa Hudzaifah bin Al-Yaman telah menaklukkan berbagai daerah untuk kaum Muslimin. Di antara daerah-daerah yang ditaklukkan itu adalah: Nahawand, Dainawar, Hamadzan dan Rayya, serta kota-kota besar di Persia. Banyaknya pertempuran itulah yang menyebabkan kaum Muslimin berniat mengumpulkan Kitab Allah dalam bentuk satu mushaf, setelah sebelumnya hampir saja mereka berbeda pendapat.

Hudzaifah dikenal juga seorang yang sangat takut kepada Allah dan sangat takut terhadap siska-Nya. Ketika dia sakit yang akhirnya membawa kematiannya, beberapa sahabatnya menengok di tengah malam. Dia bertanya: "Jam berapa sekarang?" Para sahabatnya menjawab: " Hampir subuh!" Dia lalu berkata: "Aku memohon perlindungan Allah dari hari esok yang dapat mengantarkanku ke neraka......Aku mohon perlindungan-Nya dari hari esok yang dapat mengantarkanku ke neraka........"

Hudzaifah bertanya lagi kepada sahabatnya: "Apakah kalian telah menyiapkan kain kafan untukku?!" Mereka menjawab: "Ya!" Dia berkata lagi: "Janganlah berlebih-lebihan dalam hal kafan. Bila aku memiliki kebaikan di hadapan Allah, kafan itu tentu akan diganti dengan yang lebih baik. Tapi bila sebaiknya, justru kafan itu akan ditinggalkannya dari tubuhku......" Kemudian, dia berkata:

"Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Mengetahui bahwa aku lebih menyenangi kemiskinan daripada kekayaan. Aku lebih senang kerendahan daripada kemuliaan. Dan juga, aku lebih senang mati daripada hidup."

"Ruhku mulai berjalan. Kematian datang di saat aku merindukannya. Tidak beruntung, mereka yang kecewa........."

Semoga Allah mengaruniakan Rahmat-Nya kepada Hudzaifah bin Al-Yaman. Dia adalah salah satu teladan setiap insan.

****

SHUHAIB AR-RUMI

Shuhaib bukanlah orang Rumawi. Dia adalah orang Arah asli. Ayahnya berasal dari Bani Nurmair dan ibunya dari Bani Tamim.

Adapun soal di-nasab-kannya Shuhaib ke orang Rum (Rumawi), memiliki kisah tersendiri yang akan selalu diingat dalam catatan sejarah, dan diriwayatkan dalam buku-buku tarikh (sejarah).

Sebelum datangnya kenabian, sekitar dua dasawarsa, yang memerintah daerah Ubullah-daerah di kawasan Basrah-adalah Sinan bin Malik An-Numairi, ayah Shuhaib. Penguasa di daerah itu berada di bawah kekuasaan Kisrah, raja Persia.

Waktu itu, di antara anak-anak kecil yang umurnya belum lewat lima tahun, yang paling dicintai oleh kaumnya, ada yang bernama Shuhaib.

Shuhaib berwajah periang, berambut pirang, lincah, dan memiliki dua pasang mata yang memancarkan kecerdasan. Di samping itu, dia selalu tampak gembira dan berjiwa segar, sehingga membuat senang hati ayahnya. Hal-hal inilah yang mampu menghilangkan penat sang ayah sehabis menyelesaikan urusan pemerintahan yang digelutinya sehari-hari.

****
Suatu ketika, Shuhaib yang masih kecil, beserta ibunya dan bersama sekelompok pembantu dan pengiringnya, pergi ke desa Ats-Tsani di daerah Irak untuk bersantai. Tiba-tiba sepasukan tentara Rum menyerang desa tersebut, membunuh para penjaga, dan merampas harta benda, serta menawan para penduduknya.

Di antara penduduk yang tertawan adalah si kecil Shuhaib.

Shuhaib lalu dijual di pasar budak di Negeri Rum. Nasibnya pun seperti budak-budak yang lain, yaitu berpindah dari satu majikan ke majikan lain, dan dari satu gedung ke gedung lain di negeri Rum.

Kehidupan yang berpindah-pindah itu memberi kesempatan kepada Shuhaib untuk menyelami sedalam-dalamnya tata cara hidup masyarakat Rum.

Dia pun lalu tahu hakikat dan kenyataan kehidupan orang-orang Rum dari dalam. Kemewahan yang menghiasi istana-istana mereka, dan juga segala kebejatan maupun kerendahan akhlak, dan sebagainya. Dengan mengetahui hal-hal yang sesungguhnya itulah, Shuhaib lalu merasa jijik dan membenci kehidupan yang penuh kezaliman dan dosa.
Shuhib berkata untuk dirinya: "Masyarakat seperti itu hanya dapat dibersihkan dengan angin topan."

****

Meskipun Shuhaib hidup di negeri Rum dan dibesarkan di sana..... Meskipun dia juga lupa bahasa ibunya, bahasa Arab..... Namun di dalam benaknya tak pernah hilang kesana bahwa dia adalah seorang Arab, anak padang pasir. Tidak pernah lepas, meski sesaat, rindunya akan datangnya hari kebebasan dari perbudakannya, dan bergabung kembali dengan kaumnya.

Rindunya kepada tanah kelahirannya semakin menjadi-jadi, setelah dia mendengar dari seorang pendeta Nasrani yang berkata kepada satu di antara majikan-majikannya:

"Telah sangat dekat waktunya, akan keluar dari Makkah di jazirah Arab, seorang nabi yang menarkan kerasulan Isa bin Maryam, dan membimbing manusia dari alam kegelapan ke alam terang."

****

Suatu ketika, Shuhaib mendapat kesempatan baik, yaitu dapat melarikan diri dari ikatan perbudakan dengan majikannya. Dia langsung menuju Makkah Ummul-Qura, tempat persinggahan orang-orang Arab, yang juga tempat diutusnya nabi yang ditunggu-tunggu. Setelah sampai di Makkah dan hidup mapan, orang-orang pun memanggilnya dengan nama "Shuhaib Ar-Rumi", karena logat pengucapannya dan rambutnya yang pirang.

Di Makkah, Shuhaib giat berdagang. Ia membuat suatu perjanjian dagang dengan seorang tokoh Makkah.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK