Becak yang aku tumpangi akhirnya sampai di depan rumah Leni. Dengan di bantu tongkat kruknya, Leni berjalan menyambutku.
"Sudah selesai mengepak barang-barangmu, Leni?" tanyaku.
Besok lusa, Leni dan keluarganya akan pindah ke Bandung.
"Belum, Aku masih menata buku-buku ke dalam kardus. Aku sendirian di rumah. Mamaku pergi ke rumah. Mamaku pergi ke rumah. Mamaku pergi ke rumah Bu RT dan papaku sedang ke Australia."
"Tenang, Len! Aku bantu, deh!" kataku penuh semangat.
"Terima kasih, Widya. Kamu memang temanku yang baik."
"Len, setelah kamu tinggal di Bandung, kita harus tetap berteman, ya," kataku sambil mengambil buku-buku yang masih tersusun di rak buku.
"Tentu! Kita harus menjadi teman selamanya," kata Leni menegaskan.
"Kalau begitu kita sering berkirim kabar lewat e-mail, ya! Kita, kan, berlangganan internet di rumah."
"E...iya...." kata Leni dengan terbata-bata dan tersenyum masam.
Tiba-tiba, sebuah amplop melayang dan mendarat tepat di depan kakiku. Rupanya, amplop itu tadi terselip di antara buku yang sedang aku ambil dari rak.
"Len, surat siapa ini?" kataku sambil memberikan amplop itu pada Leni.
"Oh......ini surat dari papaku waktu pergi ke Venesia," kata Leni sambil mengamati amplop surat itu.
Leni lalu mengambil sebuah kotak sepatu di rak. Ia memasukkan amplop itu ke dalam kotak yang tampak berisi banyak amplop surat.
"Enak, ya, punya papa yang bekerja di biro pariwisata," celetukku.
"Iya, Papa selalu mengirimi aku surat setiap kali berada di luar negeri."
"Sampai sebanyak ini?" tanyaku takjub.
"Bukan....sebagian surat ini dari teman-temanku di berbagai daerah. Dua tahun yang lalu ketika kaki kananku diamputasi karena kecelakaan, mereka mengirimiku surat tanda simpati," kata Leni sambil menunjukkan beberapa surat.
Tak terasa, kini sudah satu bulan Leni pindah ke Bandung. Aku sering mengiriminya e-mail. Namun, semua e-mail itu tidak pernah di balas Leni.
"Kok, kamu kelihatan sedih, Wid?" tanya Mama yang masuk ke kamarku.
"Widya kecewa sama Leni, Ma," ujarku hampir menangis. "Leni sama sekali tidak pernah membalas e-mail yang aku kirim," kataku sesenggukan.
"Mungkin Leni belum sempat ke warnet," Mama menenangkanku.
"Tapi keluarga Leni selalu berlangganan internet. Kenapa ya, Ma?" aku merasa khawatir.
"Atau mungkin Leni masih sibuk menyesuaikan diri di sana. Kita berdoa saja, semoga tidak terjadi hal yang buruk padanya." Mama memelukku.
Tiba-tiba, aku teringat pada surat-surat Leni yang tersimpan di dalam kotak sepatu.
"Ma, besok, tolong poskan surat Widya buat Leni, ya Ma."
"Beres, anak manis. Kantor Mama, kan, dekat kantor pos."
Malamnya, aku menulis surat buat Leni. Surat itu lalu kutitipkan pada Mama untuk di pos. Tiga hari kemudian, saat aku sedang menyirami bunga di halaman, "Widya ada telepon buatmu!" terdengar teriakan Mama.
Aku berlari masuk ke dalam rumah dan menghampiri telepon di sudut ruang keluarga.
"Wid, terima kasih, ya, atas suratmu!" terdengar suara Leni.
"Leni?! Aduh, Leni, kenapa kamu tidak pernah balas email yang aku kirim?" tanyaku dengan agak kesal.
Maafkan aku, Wid. Aku sakit tipus," kata Leni memelas.
"Ha.........kapan?" aku tersentak kaget mendengarnya.
"Sejak seminggu yang lalu. Sekarang sudah mendingan, kok."
"Tapi, aku, kan, mengirimimu email setiap hari, sejak satu bulan yang lalu."
"A...ku...aku....," Leni berusaha mencari alasan.
"Karena e-mail tidak ada perangkonya, kan, Len?" selidikku pada Leni.
"Loo, kok, kamu tahu, Wid?" Leni tersentak kaget.
"Aku lihat semua amplop surat di dalam kotak sepatu itu sudah tidak ada perangkonya. Kamu diam-diam senang mengoleksi perangko, kan?"
"Iya, Wid. Aku memang suka koleksi perangko. Aku bisa dapat banyak pengetahuan dari perangko-perangko itu. Aku jadi tahu nama-nama bunya, binatang, pakaian adat, klub sepak bola dunia, tempat wisata, presiden, dan masih banyak lagi. Karena itu, Papa juga sering mengirimku surat setiap pergi ke luar negeri. Tapi.....aku sedih, karena teman-temanku sekarang lebih suka mengirimiku e-mail. Aku jadi tidak bisa mengoleksi perangko dari negara sendiri."
"Uuh.....kenapa tidak ngemong dari dulu, Len. Bikin cemas orang saja," kataku jengkel pada Leni. "Tahu begitu, setiap hari aku kirimi kamu surat!"
Leni tertawa lepas mendengar komentarku. "Sori, Wid! Email-mu juga akan kubalas, deh!" janjinya tulus.
Karya: Theresia Genduk
No comments:
Post a Comment