Lembah itu berceruk seperti mangkuk yang selalu cukup untuk menampung kesedihan orang-orang yang patah hati. Pohon-pohon besar menjulang di lembah itu, daun-daunnya murung seperti mendung yang bergulung-gulung. Bunga-bunga liar berwarna pucat tumbuh di setiap tempat dan aromanya seperti getah pohon karet yang patah. Kalau patah hati memiliki aroma, setidaknya itulah aroma yang pantas.
Di setiap penjuru lembah itu, batu-batu berserakan seperti bangku-bangku yang kokoh dan siap untuk menyandarkan segala bentuk rasa sakit. Di jantung lembah itu bergemericik sebuah sungai, orang-orang menyebutnya sungai air mata. Sungai yang melarungkan air mata orang-orang yang patah hati, dari masa ke masa.
Setiap hari lembah curam itu selalu ramai di datangi orang-orang yang patah hati. Lelaki-perempuan, tua-muda, semua bertemu di sana, mereka datang dari setiap penjuru kota, dari pelosok-pelosok kampung yang bersembunyi, dari gedung-gedung apartemen yang menusuk langit, dari rumah-rumah rongsok di kolong jembatan, dan dari mana saja. Kesedihan sebab patah hati memang dirancang tanpa pernah membeda-bedakan dari mana seseorang tinggal dan berasal. Siapa pun yang memiliki hati akan berpotensi mengalami patah hati. Tanpa terkecuali.
Seperti orang-orang yang mendatangi lembah itu untuk menyembuhkan lukaku, untuk melarungkan kesedihanku, dan tentu untuk menyambung hatiku yang patah. Patah oleh seorang gadis. Gadis yang kupercayai namun kemudian mematahkan kepercayaan itu, mematahkan hatiku. Aku tak tertarik untuk menceritakannya, menceritakan bagaimana hatiku sampai patah. Lagipula cerita seperti itu bisa kau dapat dari televisi kapan pun kau mau. Sungguh. Aku lebih tertarik untuk menceritakan isi lembah itu.
Orang-orang yang patah hati di lembah itu akan saling bertemu, berpapasan, sesekali bertegur sapa, membagi kesedihan mereka sebagai sesama orang yang patah hati, hingga jika mereka beruntung, pelan perlahan hati mereka yang patah akan tersambung kembali oleh orang-orang baru. Orang yang mereka temui di lembah itu. Meski, kadangkala hati mereka tersambung hanya untuk patah kembali, patah yang ke dua kali, ke tiga kali, dan seterusnya. Itu sangat mungkin.
***
Di lembah itu, aku berjalan dari jurang ke jurang, dari curam ke curam, dari ngarai ke ngarai, dan menyaksikan ratusan air wajah dari orang-orang yang patah hati. Di antara mereka ada yang hanya duduk termenung seperti arca di atas batu-batu yang dingin. Beberapa di antaranya menangis sesenggukan hingga bahu mereka berguncang-guncang. Beberapa yang lain menangis dengan suara keras-keras sambil memukuli apa saja yang ada di hadapan mereka. Dan beberapa yang lain lebih memilih untuk terus berjalan dan berjalan, menyaksikan kangerian seisi lembah, persis sepertiku.
Aku hanya berjalan, terus berjalan dan berjalan, membayangkan rasa sakit yang kuampu berjatuhan satu demi satu seiring langkah yang kuayun, seperti butir-butir keringat di dahi. Seperti daun-daun murung yang meneduhi lembah itu.
Aku masih terus berjalan dan berjalan, hingga di sebuah sudut dari lembah itu kudapati segerombolan orang tengah tertawa-tawa, mereka duduk mengelilingi meja makan, mereka duduk mengelilingi meja makan, mereka minum dan bersulan, saling berbincang seperti merayakan sebuah kemenangan.
Ini adalah lembah patah hati, bagaimana mungkin seseorang bisa tertawa-tawa dan merayakan pesta di tempat ini. Ini adalah tempat orang-orang bersedih dan merenung, bukan tertawa-tawa dan bersulang. Aku sedikit geram pada mereka namun hanya bisa jadi penonton, hingga tiba-tiba seorang menepuk pundakku dari belakang. Seseorang yang mirip denganku, dengan pakaian serbaputih serta tubuh yang seperti dibaluri cahaya. Rasanya aku mengenalnya, tapi aku tak yakin.
"Apa yang kaulakukan di tempat ini?" Tanya orang itu, seolah ia sudah sangat mengenalku.
"Aku mengalami patah hati," jawabku tanpa ragu-ragu.
"Tak seharusnya kau datang ke tempat ini," katanya lagi.
"Aku sudah datang ke tempat yang benar. Seharusnya orang-orang itu yang tidak datang kemari," kataku sambari menujuk segerombolan orang yang tengah gaduh dalam pesta, "Ini lembah patah hati, seharusnya mereka menghormati orang-orang yang patah hati dengan tidak membikin gaduh apalagi berpesta pora di tempat ini."
"Benar, ini memang lembah patah hati, dan mereka merayakan kemenangan atas orang-orang yang patah hati," lelaki yang mirip denganku itu menjawab dengan santai.
"Kemenangan? Kemenangan apa yang kau maksudkan?"
"Orang-orang yang patah hati cenderung kesulitan mengendalikan emosi, dan itu adalah kesempatan baik buat mereka."
"Kesempatan baik apa?"
"Kesempatan baik untuk mengajak orang-orang yang patah hati bergabung bersama mereka."
"Siapa mereka?"
"Mereka adalah keturunan dari makluk-makluk yang patah hati, Tuhan dan Adam pernah mematahkan hati nenek moyang mereka, patah sepatah-patahnya. Sebab Adam, Tuhan mengusir nenek moyang mereka dari tempat mulia itu. Dan atas nama dendam mereka akan mengajak sebanyak mungkin anak cucu Adam untuk bergabung bersama mereka, merasakan patah hati yang sesungguhnya: menjadi seteru Tuhan."
Dan segera aku bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang merancang lembah ini, siapa pula yang membujuk manusia untuk mendatangi lembah ini. Lembah patah hati. Lembah yang tampak mengasihani orang-orang yang patah hati namun sesungguhnya menjerat mereka, menanamkan keterpurukan, menumbuhkan benih dendam dari rasa sakit yang ada.
"Lembah ini mereka rancang untuk orang-orang yang patah hati, agar orang-orang yang patah hati tenggelam dalam kesedihan dan melupakan segala hak dan kewajiban mereka, melupakan kehidupan mereka. Maka, kusarankan untuk segera pergi dari tempat ini, sebelum kau tersesat dan tak bisa kembali."
Aku mengernyitkan dahi menatap lelaki yang mirip denganku itu dengan heran, "Lalu siapa kau/ Mengapa kau di sini?" tanyaku.
Lelaki itu tak menjawab, ia hanya tersenyum, mengarahkan telunjuk ke dadaku dan berlalu.
***
Karya: Mashdar Zainal
No comments:
Post a Comment