Sejak beberapa hari hujan turun dengan kepadatan musim yang tidak dapat ditahan. Cucian yang lembab bergantungan pada tali-tali yang direntangkan ayahku dari dinding satu ke dinding lainnya di dalam sepen di samping dapur.
Ayam-ayam kerjanya terkantuk-kantuk sepanjang hari tanpa mendapat kesempatan berjemur karena menghilangnya matahari. Beberapa ekor yang lebih giat, turun dari tenggeran, keluar kandang buat menengok kesibukan di balik kurungan mereka. Berdiri diteritisan, kadang-kadang mereka beruntung dapat mencegat keong-keong lembut yang muncul entah dari mana dan hendak mengarungi limpahan air, menyeberangi latar yang memisahkan bagian rumah induk dengan dapur, kamar mandi dan sebagainya.
....
Pagi itu aku bangun seperti biasa, setelah semua kakakku berangkat ke sekolah. Kudapati ibuku duduk di sudut ruang makan, di atas sebuah amben rendah yang menurut ingatanku selalu ada di sana. Di depannya, agak menjorok ke emper yang terlindungi oleh atap luas hingga ke pinggir latar, penjual sayuran dan berbagai bahan makanan yang setiap hari lewat, menjajakan dagangannya. Perempuan itu biasa kami sebut Embok Blanjan, karena daripadanya. Di kampung ada.
Beberapa penjual semacam itu yang lewat. Tetapi yang menjadi langganan kami selalu sama karena ibuku tidak suka berganti penjual. Biasanya setiap penjaja memiliki daerah penjualan masing-masing. Mereka pada umumnya saling mengenal, bertemu di Pasar Johar atau Pasar Bulu tempat mereka membeli dagangan. Mereka menjinjing bakul besar, satu atau dua bertumpukan dipunggung, diikat erat oleh selendang yang diselempangkan pada kedua bahu dan disimpulkan kedua ujungnya di depan dada. Di atas kepala, mereka menyunggi sebuah atau beberapa tampah berisi barang dagangan pula.
Melihatku keluar dari pintu ruang tengah, ibuku mengulurkan lengan seperti memanggilku. Sambil mengusap kedua mataku, aku mendekat. Langsung duduk di pangkuan ibuku yang menjadi lebar karena kakinya yang bersila.
"Apa sarapannya pagi ini, Ning?' Mau getuk lagi seperti kemarin? Atau tiwul?" tanya Embok Blanjan.
"Ada ketan kinca, mau?" ibuku menyambung.
"Tiwul." sahutku, setengah bangun setengah terbaring. Penjaja bahan makanan itu juga selalu membawa berbagai jajanan, makanan asin atau manis yang sedap lezat, dibungkus rapi dengan daun pisang.
Aku melepaskan diri dari rengkuhan ibuku, menuju ke meja makan lalu naik ke atas salah satu kursi. Di meja masih ada tutup makanan yang tengkurap seperti kurungan ayam, tetapi lebih memanjang bentuknya dan terbuat dari anyaman bambu yang agak rapat. Benda semacam itu terjual di toko atau di pasar, kadang-kadang dijajakan sepanjang jalan. Ada yang terbuat dari kain katun berlubang-lubang seperti kelambu, dipergunakan sebagai penutup tempat tidur bayi, terkadang terbuat dari anyaman berbagai bahan.
Gunanya yang utama sama, ialah untuk melindungi bayi atau makanan dari serbuan nyamuk, lalat yang terletak di depanku, sambil mengintip apa yang terkurung di bawahnya.
"Atau mau makan nasi?" ibuku bertanya dari tempatnya. "Tidak ada nasi goreng?"
"Tidak ada. Makan sisa sayur dan lauk kemarin."
Aku tidak suka sayur bobor. Jadi kuputuskan aku tidak mau makan nasi pagi itu. Kujauhkan kembali pinggir penutup makanan ke papan meja. Kedengaran suara sesuatu benda yang bergeser.
"Awas hati-hati," cepat ibu mengingatkan.
"Berapa kali sudah kukatakan, kau harus meletakkan kembali segala macam benda apa pun dengan perlahan-lahan."
Aku sudah hendak turun dari kursi, tetapi ibuku meneruskan: panggilan kepada anak gadis di Jawa Tengah pesisiran "Coba lihat lagi kalau-kalau kau menumpahkan kecap dari mangkuknya!" Kuturuti perintah ibuku, kuintip mangkuk coklat yang ada di ujung kanan, masih berdiri sedangkan senduknya tergeletak di samping, dengan bekas-bekas kecap melekat di atas meja. "Senduknya yang jatuh," laporku kepada ibuku.
"Ya, sudah, biar," kata ibuku lagi."Sekarang tutuplah dengan perlahan."
Lalu aku kembali ke pangkuan ibuku. Dia memegang bungkusan tiwul yang telah dibukanya, dan aku mulai menikmatinya, Embok Blanjan mengemasi dagangan. Dimasukkannya kembali dagangannya ke dalam bakul atau ke atas tampah.
"Untuk besok pagi apa yang perlu, Nyonya?"
"Tidak ada. Saya kira engkau tidak usah datang." "Saya akan ambil ikan bandeng langsung dari pinggir laut, lebih murah. Nyonya tidak mau?"
"Tidak. Di belakang banjir. Nanti sore bapaknya anak-anak mau cari ikan di sana. Biasanya benar-benar."
"Jadi saya tidak usah datang besok pagi. Sampai kapan?" "Dua hari lagi. Bawa sayur dan buah. Lebih-lebih bayem kalau ada."
"Betul di belakang banjir, Bu?" selaku tidak sabar. "Banjir besar. Kemarin malam hujan lebat. Tentunya di gunung juga."
"Aku mau lihat!" seruku sambil hendak turun dari pangkuannya.
Tetapi secepat itu pula ibuku menahanku.
"Nanti saja. Biar pintunya dikunci dulu. Siapa tahu kau jauh ke dalamnya."
Ibuku meneriakkan nama pembantu rumah tangga kami. Dia segera muncul sambil membawa tampah buat sayur dan makanan yang telah dibeli.
"Bapak mau memancing ikan?" tanyaku lagi mencari keterangan sejelas-jelasnya.
"Tidak memancing, tapi membendung bagian yang dangkal lalu menyerok ikan yang ada di sana."
Aku mau yang kecil-kecilan, hendak kusimpan di dalam kolam kaca."
"Dipelihara?"
"Ya seperti di rumah paman."
"Nanti siang katakan sendiri kepada ayahmu." "Aku boleh turut menyerok?"
"Oh, tidak!" ibuku berseru ketakutan.
"Airnya tinggi sekali.Bekau pastilah tenggelam di dalamnya."
Embok Blanjan sudah siap. Pembantu kami menolong mengangkatkan bakul ke punggung, sedangkan si penjual itu mengikatkan ujung selendangnya di dada. Lalu tampah yang telah ditutup oleh daun-daun Jan itu pun bertengger di atas kepalanya.
"Gerimis masihh turun terus," kata ibuku.
"Mudah-mudahan tidak kehujanan di jalan."
....
Bepergian ke luar kota bersama lima anaknya, bagi ibuku berarti harus mempersiapkan makanan secukup mungkin untuk di bawa dalam keba, yaitu tas yang terbuat anyaman daun pandang air. Dia tidak suka membeli makanan di perjalanan; kecuali buah-buahan atau jenis makanan keistimewaan daerah atau kota yang kami lalui. Selain soal keuangan, ibu mempunyai alasan lain.
....
Kami berangkat ke stasiun Tawang. Di dalam demo yang telah dipesan ayah, udara pagi dingin menusuk tulang. Masing-masing kami memakai jas sebagai rangkapan.
....
Sampai di tempat kakek, hari sudah gelap.
Sejak di halaman telah dapat dirasakan suasana kesahduan kehidupan rohani penghuninya. Aku tidak tahu dari mana rasa tersebut memancar. Tetapi keheningan yang suci menyuluruh sejak dari halaman depan, ke pendapa dimana kami menurunkan barang dan di ruang tengah tempat kami meninggalkan kasut kaki. Puncak dari segala rasa tekun namun penuh kekrasanan itu adalah ketika kami masuk lebih ke dalam lagi.
....
Selama di desa, aku lebih sering bersama nenek atau paman Sarosa. Karena bersama nenek, berarti akan sering berada di dapur atau di kebun. Di dapur, selalu kulihat kenikmatan bermcam-macam makanan bagiku.
....
Dua hari berlalu dengan kecepatan yang luar biasa. Tidak dapat kubayangkan sebelum itu, betapa sedihku akan meninggalkan rumah kakek. Di sana semua kusukai: benda binatang, manusia. Yang semula tidak kukenal, mulai kuketahui dari kumengerti, hingga sesudah beberapa hari berubah menjadi kawan karib sebagai bagian hidupku.
....
Karya: Nh. Dini
Ayam-ayam kerjanya terkantuk-kantuk sepanjang hari tanpa mendapat kesempatan berjemur karena menghilangnya matahari. Beberapa ekor yang lebih giat, turun dari tenggeran, keluar kandang buat menengok kesibukan di balik kurungan mereka. Berdiri diteritisan, kadang-kadang mereka beruntung dapat mencegat keong-keong lembut yang muncul entah dari mana dan hendak mengarungi limpahan air, menyeberangi latar yang memisahkan bagian rumah induk dengan dapur, kamar mandi dan sebagainya.
....
Pagi itu aku bangun seperti biasa, setelah semua kakakku berangkat ke sekolah. Kudapati ibuku duduk di sudut ruang makan, di atas sebuah amben rendah yang menurut ingatanku selalu ada di sana. Di depannya, agak menjorok ke emper yang terlindungi oleh atap luas hingga ke pinggir latar, penjual sayuran dan berbagai bahan makanan yang setiap hari lewat, menjajakan dagangannya. Perempuan itu biasa kami sebut Embok Blanjan, karena daripadanya. Di kampung ada.
Beberapa penjual semacam itu yang lewat. Tetapi yang menjadi langganan kami selalu sama karena ibuku tidak suka berganti penjual. Biasanya setiap penjaja memiliki daerah penjualan masing-masing. Mereka pada umumnya saling mengenal, bertemu di Pasar Johar atau Pasar Bulu tempat mereka membeli dagangan. Mereka menjinjing bakul besar, satu atau dua bertumpukan dipunggung, diikat erat oleh selendang yang diselempangkan pada kedua bahu dan disimpulkan kedua ujungnya di depan dada. Di atas kepala, mereka menyunggi sebuah atau beberapa tampah berisi barang dagangan pula.
Melihatku keluar dari pintu ruang tengah, ibuku mengulurkan lengan seperti memanggilku. Sambil mengusap kedua mataku, aku mendekat. Langsung duduk di pangkuan ibuku yang menjadi lebar karena kakinya yang bersila.
"Apa sarapannya pagi ini, Ning?' Mau getuk lagi seperti kemarin? Atau tiwul?" tanya Embok Blanjan.
"Ada ketan kinca, mau?" ibuku menyambung.
"Tiwul." sahutku, setengah bangun setengah terbaring. Penjaja bahan makanan itu juga selalu membawa berbagai jajanan, makanan asin atau manis yang sedap lezat, dibungkus rapi dengan daun pisang.
Aku melepaskan diri dari rengkuhan ibuku, menuju ke meja makan lalu naik ke atas salah satu kursi. Di meja masih ada tutup makanan yang tengkurap seperti kurungan ayam, tetapi lebih memanjang bentuknya dan terbuat dari anyaman bambu yang agak rapat. Benda semacam itu terjual di toko atau di pasar, kadang-kadang dijajakan sepanjang jalan. Ada yang terbuat dari kain katun berlubang-lubang seperti kelambu, dipergunakan sebagai penutup tempat tidur bayi, terkadang terbuat dari anyaman berbagai bahan.
Gunanya yang utama sama, ialah untuk melindungi bayi atau makanan dari serbuan nyamuk, lalat yang terletak di depanku, sambil mengintip apa yang terkurung di bawahnya.
"Atau mau makan nasi?" ibuku bertanya dari tempatnya. "Tidak ada nasi goreng?"
"Tidak ada. Makan sisa sayur dan lauk kemarin."
Aku tidak suka sayur bobor. Jadi kuputuskan aku tidak mau makan nasi pagi itu. Kujauhkan kembali pinggir penutup makanan ke papan meja. Kedengaran suara sesuatu benda yang bergeser.
"Awas hati-hati," cepat ibu mengingatkan.
"Berapa kali sudah kukatakan, kau harus meletakkan kembali segala macam benda apa pun dengan perlahan-lahan."
Aku sudah hendak turun dari kursi, tetapi ibuku meneruskan: panggilan kepada anak gadis di Jawa Tengah pesisiran "Coba lihat lagi kalau-kalau kau menumpahkan kecap dari mangkuknya!" Kuturuti perintah ibuku, kuintip mangkuk coklat yang ada di ujung kanan, masih berdiri sedangkan senduknya tergeletak di samping, dengan bekas-bekas kecap melekat di atas meja. "Senduknya yang jatuh," laporku kepada ibuku.
"Ya, sudah, biar," kata ibuku lagi."Sekarang tutuplah dengan perlahan."
Lalu aku kembali ke pangkuan ibuku. Dia memegang bungkusan tiwul yang telah dibukanya, dan aku mulai menikmatinya, Embok Blanjan mengemasi dagangan. Dimasukkannya kembali dagangannya ke dalam bakul atau ke atas tampah.
"Untuk besok pagi apa yang perlu, Nyonya?"
"Tidak ada. Saya kira engkau tidak usah datang." "Saya akan ambil ikan bandeng langsung dari pinggir laut, lebih murah. Nyonya tidak mau?"
"Tidak. Di belakang banjir. Nanti sore bapaknya anak-anak mau cari ikan di sana. Biasanya benar-benar."
"Jadi saya tidak usah datang besok pagi. Sampai kapan?" "Dua hari lagi. Bawa sayur dan buah. Lebih-lebih bayem kalau ada."
"Betul di belakang banjir, Bu?" selaku tidak sabar. "Banjir besar. Kemarin malam hujan lebat. Tentunya di gunung juga."
"Aku mau lihat!" seruku sambil hendak turun dari pangkuannya.
Tetapi secepat itu pula ibuku menahanku.
"Nanti saja. Biar pintunya dikunci dulu. Siapa tahu kau jauh ke dalamnya."
Ibuku meneriakkan nama pembantu rumah tangga kami. Dia segera muncul sambil membawa tampah buat sayur dan makanan yang telah dibeli.
"Bapak mau memancing ikan?" tanyaku lagi mencari keterangan sejelas-jelasnya.
"Tidak memancing, tapi membendung bagian yang dangkal lalu menyerok ikan yang ada di sana."
Aku mau yang kecil-kecilan, hendak kusimpan di dalam kolam kaca."
"Dipelihara?"
"Ya seperti di rumah paman."
"Nanti siang katakan sendiri kepada ayahmu." "Aku boleh turut menyerok?"
"Oh, tidak!" ibuku berseru ketakutan.
"Airnya tinggi sekali.Bekau pastilah tenggelam di dalamnya."
Embok Blanjan sudah siap. Pembantu kami menolong mengangkatkan bakul ke punggung, sedangkan si penjual itu mengikatkan ujung selendangnya di dada. Lalu tampah yang telah ditutup oleh daun-daun Jan itu pun bertengger di atas kepalanya.
"Gerimis masihh turun terus," kata ibuku.
"Mudah-mudahan tidak kehujanan di jalan."
....
Bepergian ke luar kota bersama lima anaknya, bagi ibuku berarti harus mempersiapkan makanan secukup mungkin untuk di bawa dalam keba, yaitu tas yang terbuat anyaman daun pandang air. Dia tidak suka membeli makanan di perjalanan; kecuali buah-buahan atau jenis makanan keistimewaan daerah atau kota yang kami lalui. Selain soal keuangan, ibu mempunyai alasan lain.
....
Kami berangkat ke stasiun Tawang. Di dalam demo yang telah dipesan ayah, udara pagi dingin menusuk tulang. Masing-masing kami memakai jas sebagai rangkapan.
....
Sampai di tempat kakek, hari sudah gelap.
Sejak di halaman telah dapat dirasakan suasana kesahduan kehidupan rohani penghuninya. Aku tidak tahu dari mana rasa tersebut memancar. Tetapi keheningan yang suci menyuluruh sejak dari halaman depan, ke pendapa dimana kami menurunkan barang dan di ruang tengah tempat kami meninggalkan kasut kaki. Puncak dari segala rasa tekun namun penuh kekrasanan itu adalah ketika kami masuk lebih ke dalam lagi.
....
Selama di desa, aku lebih sering bersama nenek atau paman Sarosa. Karena bersama nenek, berarti akan sering berada di dapur atau di kebun. Di dapur, selalu kulihat kenikmatan bermcam-macam makanan bagiku.
....
Dua hari berlalu dengan kecepatan yang luar biasa. Tidak dapat kubayangkan sebelum itu, betapa sedihku akan meninggalkan rumah kakek. Di sana semua kusukai: benda binatang, manusia. Yang semula tidak kukenal, mulai kuketahui dari kumengerti, hingga sesudah beberapa hari berubah menjadi kawan karib sebagai bagian hidupku.
....
Karya: Nh. Dini
No comments:
Post a Comment