CAMPUR ADUK

Monday, December 31, 2018

PISAU BERKARAT

Darah bercerceran di mana-mana, barang-barang, buku, baju, celana, meja, kursi, semuanya berantakan, berhamburan. Di luar hujan deras, angin menerbangkan segala benda, sesekali semburat petir meludahi wajah langit, bias cahayanya bahkan terlihat di balik kaca jendela. “A-apa yang-yang kau i-inginkan?” suara Radit tersengal-sengal, napasnya tak beraturan, ia duduk bersandar di sudut ruangan dapur di dekat alat-alat memasak, darah sudah membanjiri bajunya. Lelaki yang mengenakan topeng itu mendekat lagi mengarahkan pisau berkarat yang ia pegang tepat di punggung hidung Radit.

Napas lelaki itu bahkan semakin menggebu, ia seperti harimau kelaparan yang sedang mengepung kijang patah kaki. Radit tak berdaya, hanya diam menanti malaikat maut datang di ujung pisau berkarat itu, napasnya tersengal bahkan untuk mengelap keringat bercampur darah yang mengucur di pelipisnya pun ia tak sempat. “A-apa salah saya, jika-jika kau ingin mengambil hartaku, ambil saja, tapi jangan ambil nyawaku..” Radit menghembuskan napas, mendengus sepelan mungkin. Lelaki itu mendekat, jongkok lalu mengarahkan bibirnya yang tertutup topeng ke arah telinga Radit, “aku bukan butuh harta, aku butuh nyawa. Nyawa pecundang..” Radit bergidik, menelan ludah yang kini terasa pahit. Nyawaku sudah di ujung tanduk, batinnya.

Hujan di luar semakin deras, berkali-kali petir menerangi kolong langit seper sekian detik. Jalanan di dekat rumah Radit lengang, siapa pula yang akan ke luar saat tengah malam, hujan deras. Lebih baik menarik selimut bermain di dalam mimpi. Tak akan ada yang tahu kalau ada keributan di dalam rumah di dekat persimpangan itu. 30 menit sebelum kedatangan lelaki bertopeng itu, Radit baru pulang dari kerja ke dapur untuk menyiapkan mie, memasak nasi dan membuat secangkir teh hangat. ketika ia sedang menuangkan air panas ke dalam cangkirnya, lelaki itu langsung memukul kepala Radit dari belakang, menghantam tubuh Radit dengan tendangan dan melukai punggung Radit dengan pisau berkarat. Darah berceceran, bahkan banjir. Melihat Radit yang tak lagi berdaya lelaki itu kembali ke ruangan tengah, memecahkan kaca lemari, tv, pas bunga, menghambur-hamburkan berkas penting, merusak segala benda, yang akhirnya membuat seisi rumah seperti kapal pecah.

“Apa yang-yang kau cari, ji-jika bukan mencari uangku?” Radit bertanya pelan, volume suaranya ia rendahkan supaya lelaki itu tidak tersinggung. Lelaki itu mendekat, mengenggam erat dagu Radit, membuat bibir pria malang itu monyong, “apa kau tuli pecundang! Aku tak butuh uang, emas, baju, bahkan celana dalammu yang bekas kurap itu, aku tak butuh! aku hanya ingin mengambil nyawamu..” Radit semakin terdesak, dadanya menyempit. Lelaki itu melepaskan tanganya dengan kasar.

“la-lu-lalu siapa kau? A-apa.. apa salahku?”

“salahmu?” lelaki itu menjambak rambut Radit yang sudah dilumuri darah, mendengus kuat. Lalu lelaki itu membuka topengnya. “Kak Damar!” Radit kaget, matanya membulat, ludah ditelan berkali-kali. Lelaki yang membantainya, yang ingin membunuhnya itu ternyata Kak Damar. “Kak ampun Kak, maaf Kak!” Radit meminta iba, Menatap damar lamat lamat. “sudah terlambat Radit, kau tak bisa mengembalikkan keperawanan adikku, nyawa adikku. Kau menjadikannya pacar hanya ingin menikmati tubuhnya, kau pikir dia anak ayam, hah!” jambakan Damar semakin kuat, seperti hendak melepaskan rambut Radit dari batok kepalanya.

“Maaf kak, Radit minta maaf, Radit khilaf.” Radit tersungkur menangis kencang separuh bersujud, “kau harus menanggung perbuatanmu, adikku meninggal karena depresi dan bunuh diri karena kau! Mulut dibalas mulut, gigi dibalas gigi dan nyawa dibalas nyawa pecundang, cuih..!!” Ludah itu sampai ke wajah Radit yang semakin pucat. Jam dinding di ruang tengah berdentang-dentang menopang pukul 12 malam, Suasana yang mencekam hening sesaat bersamaan dengan redanya hujan di luar rumah.

“CASS.. AKKKK…”

Malaikat maut sudah datang, genderang langit sudah ditabuh, darah tumpah ruah, membanjiri dapur, suara berde–akkkk itu memecah hening, lampu dapur berkedap-kedip, remang seketika. Seper sekian detik sebelumnya Radit mengambil pisau berkarat yang jatuh dari tangan Damar, ia menghujamkan pisau itu ke perut Damar yang sedang lengah karena membayangkan nasib pilu adiknya. Damar tersungkur, tidur di atas darah, tidur menyusul adiknya. Suasana kembali hening seketika, seisi rumah bahkan mungkin sejagad. Hanya ada suara burung gagak yang datang saat hujan telah redah tadi.


Karya: Yogi Anggara

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK