CAMPUR ADUK

Monday, December 31, 2018

EUNOIA

Aku tersadar dengan enggan ketika merasakan ada tangan yang mengusap rambutku denga pelan. Aku mencium aroma tubuh seseorang yang sekarang sedang duduk di samping ranjangku. Aku belum membuka mata. Rasanya masih mengantuk dan elusan tangan tersebut malah membuatku terbuai ke dalam tidurku lagi. Tangan itu sekarang berpindah ke pipiku. Usapannya sekarang lebih lembut, selembut beledu.

Aku teringat hari ini kita ada janji untuk pergi ke suatu tempat. Suatu tempat yang katanya sangat indah. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku hanya untuk tidur bermalas-malas dan dia hanya duduk di samping melihat wajahku yang jelek belum mandi. Rambutku pasti berantakan dan bau badanku tidak wangi. Sedangkan dia pasti sudah mandi dan berbau harum.

Sebenarnya, jika hari ini aku habiskan untuk tidur adalah yang tidak terlalu buruk, asalkan dia duduk di sebelahku dengan tangannya berada di pipiku. Aku memang tidak bisa menetapkan suatu pilihan dengan tepat. Aku sangsi bahwa dia pasti akan tetap di sini jika aku tidak bangun. Toh, dia tidak bekerja. Dia memiliki libur satu bulan yang akan dihabiskan bersamaku. Sedangkan aku memiliki waktu yang tidak terbatas, karena pekerjaanku yang bebas.

Tangannya menghilang dari pipiku maupun rambutku. Aku merasa kehilangan. Terdengar suara langkah kaki menjauh dari tempatku tertidur. Apakah dia bosan duduk di sini? Apakah dia memutuskan pulan karena mendapatkan diriku yang belum bangun tidur? Apakah dia ada kepentingan lain? Apakah dia akan membatalkan rencana kita yang sudah kita bicarakan kemarin? Apakah dia lelah dengan sikapku yang menyebalkan dan merepotkan?. Aku tahu selama ini dia memanjakanku dan aku pun menerimanya. Tetapi terkadang aku menolaknya. Aku tidak mau merepotkan hidupnya yang surah repot karena urusan keluarganya. Tapi kadang dia memaksa. Suatu hari dia pernah mengatakan bahwa dia suka aku merepotkannya. Memang lelaki yang aneh.

Aku belum membuka mataku. Dia belum kembali ke sisiku. Aku juga tidak mendengar langkah kakinya. Diam-diam aku menghitung dalam hati. Jika sampai sepuluh dia belum datang. Aku akan bangun. Aku membuka mataku dan bangun menyingkirkan selimut. Dan segera mencari dirinya.

"Aidan....," ucapku setengah berteriak.

"Aku di sini Elma," suara merdu membalasku.

Mataku langsung menemukannya sedang duduk di tempat duduk favoritku dekat jendela besar. Di depannya terdapat gelas keramik yang aku tebak berisi kopi. Di tangannya terdapat buku yang baru saja aku beli kemarin.

"Rupanya kau sudah bangun. Tampaknya kau sangat lelah sampai-sampai kau bangun tidak seperti biasanya."

"Aku tidak lelah Aidan. Tadi sebenarnya aku sudah bangun ketika kau duduk di sampingku. Aku hanya pura-pura tidur agar kau terus-menerus mengelus pipi dan rambutku," ucapku jujur.

Aku tidak berani melihat ke arahnya. Aku hanya menatap ke bawah, ke kakiku yang tidak bisa diam.

"Dasar anak nakal. Segeralah mandi." perintahnya yang sekarang berdiri di sampingku.

Tangannya menyingkirkan rambut yang sebagian besar menutupi wajahku. Tangannya menarikku ke arah kamarku.

"Aku akan menunggumu Tuan Putri."

Dia melepaskan tanganku dan mempersilahkanku untuk ke kamar. Aku tersipu mendengar kalimatnya.

"Terima kasih Pangeran. Aku akan segera mandi," jawabku dan langsung melenggangkan kakiku ke kamar mandi yang berada di dalam kamarku. Aku mendengar dia menutup pintu kamarku.

Tidak perlu waktu lama untuk mandi. Seperti biasanya. Aku memakai jeans hitamku dan memakai blus putih berenda. Aku menyerah dengan rambutku yang sulit diatur. Rambutku yang sedikit bergelombang kubiarkan tergerai seadanya. Aidan tidak akan masalah dengan penampilanku yang tidak mengikuti mode. Langsung saja aku ke luar kamar.

"Pangeran Aidan. Aku sudah siap. Apakah kau sudah menyiapkan kereta kencana kita?" tanyaku sambil menahan tawa. Aidan langsung berdiri dari posisi duduknya. Dia menutup buku dan menempatkannya di samping gelas keramik.

"Tentu saja aku sudah siap Tuan Putri dan kereta kencana kita sudah menunggu kita sedari tadi," ucapnya sambil berjalan ke arahku. Tangannya langsung menyambar tanganku.

"Pangeran, kenapa kau langsung mengambil tanganku. Itu tidak sopan Pangeran." ucapku berlagak marah dan melepaskan tangannya.

Dia memutar mata. Tapi dia langsung memenuhi permintaanku. Sudah kubilang, aku memang manja. Dia sedikit membungkukkan badannya, tatapannya menuju mataku, satu tangannya menjulurkannya kepadaku. "Tuan Putri Elma, apakah kau mau berkencan denganku?"

"Tentu saja Pangeran." aku menerima tangannya.

"Seperti hari-hari lainnya Tuan Putri. Kau sangat cantik dan begitu menawan dengan bajumu."

Aku tidak tahu dia bermaksud mengejekku atau tidak. Setahuku dia tidak memiliki penyakit mata. Matanya normal. Tentu saja aku tidak cantik, apalagi menawan. Tetapi aku tetap melanjutkan permainan ini.

"Terima kasih Pangeran. Kau juga begitu tampan dengan kemeja putih dan jaket hitam," ucapku sambil mengunci pintu rumah. Aku tinggal sendiri, sehingga aku selalu mengunci rumah jika berpergian.

"Inilah kereta kencana kita Tuan Putri. Kau harus hati-hati menaikinya karena gaunmu itu," ucapnya sambil tertawa.

Tentu saja aku tidak memakai gaun. Aku hanya memakai jeans dan blus putih, sehingga sangat mudah naik ke mobil.

"Au ah," jawabku sambil menutup pintu mobil.

Dia tidak menjawabnya. Kita selalu menganggap bahwa kita adalah pangeran dan Putri. Padahal kenyataannya hanyalah pasangan biasa. Tapi aku menyukainya ketika dia berpura-pura menjadi Pangeran, terlebih sikapnya. Terkadang dia bosan memerankannya, tapi tetap melakukannya.

Rumah-rumah sederhana sepanjang jalan berlalu dengan siringnnya mobil Aidan melaju. Aku tidak tahu kemana mobil ini akan berhenti. Dia tidak mau mengatakannya dan tidak akan pernah. Sudah dua minggu kita berlibur menghabiskan waktu bersama. Kita tidak selalu ke tempat-tempat liburan, kadang kita hanya ke bioskop tapi pernah juga ke pantai.

Aidan bersenandung kecil menirukan lagu yang sedang diputar oleh salah satu stasiun radio. Suaranya merdu dan aku tidak akan pernah bosan mendengar suaranya. Kadang-kadang jika dia berkunjung ke rumahku malam-malam, dia akan menina bobokanku dengan menyanyikan salah satu lagu favoritku.

Aku menantap ke arahnya. Rambutnya hitam gelap berantakan, hidungnya mancung,  tulang pipinya sedikit menonjol, dan yang paling aku suka adalah warna kulitnya yang berwarna putih kecoklatan. Aku suka dia saat berbicara, aku suka saat dia berjalan, aku suka saat dia makan dengan lahap. Aku suka semuanya, tak terkecuali sifatnya yang menuntut dan suka mengatur. Dasarnya aku juga orang yang suka diatur. Aku kadang tidak bisa memutuskan suatu hal dengan benar.

"Apa?" tanyanya tanpa melihatku.

"Hmm...kita mau ke mana?"

"Ke suatu tempat yang indah."

Dia selalu menjawab pertanyaanku seperti ini. Tetapi aku tidak bosan dan tidak marah. Biarkanlah rasa tahuku dipegang olehnya.

"Apakah jauh," tanganku memainkan rambutku.

"Tidak. Sebentar lagi sampai."

"Kalau begitu bernyanyilah." pintaku ketika mendengar lagu Take Me To Church.

My church offers no absolution.

She tell me 'worship in the bedroom'

The only heaven I be sent to

Is when I'm alone with you.

Aku memandang tempat ini dengan takjub. Tempat yang indah dan damai. Tidak ada satu orang pun di sini kecuali aku dan Aidan. Sepanjang mata memandang hanya ada danau dan pepohonan rindang di sekelilingnya. Ada bangku kayu di dekat danau.

Aidan menggandeng tanganku dan menuju ke bangku kayu tersebut. Kita diam cukup lama karena terlalu asik dengan pikiran masing-masing. Aku juga masih senang memandangi danau ini.

Tempat ini masih asri seperti belum dijamah oleh satu pun manusia. Tidak ada sampah organik di sini. Air danaunya berwarna hijau dan tidak ada tanaman liar di permukaan air danau. Bangku kayu ini sudah termakan usia, setiap kita bergerak sedikit bangku ini ikut bergerak. Untungnya masih kuat menopang berat badan kita. Walaupun kita harus hati-hati.

"Ma."

"Iya?"

"Apakah kita akan seperti ini terus-menerus?"

"Apa?" tanyaku menoleh ke arahnya. Aku tidak tahu arah pembicaraannya.

"Maksudku apakah kau akan tetap bertahan walaupun kau tidak tahu bahwa kehidupan mana yang nyata?" tanyanya tanpa melihatku. Pandangannya jauh ke ujung sungai. Ekspresinya datar, sehingga sulit untuk mengetahui isi hatinya. Pertanyaan ini sudah kita bahas berulang kali. Sudah kita diskusikan berulang kali tapi jawabangnya nihil. Selama ini aku membohongi diriku bahwa aku hidup di dunia ini bisa bahagia bersama Aidan. Aku mengharapkan tetap bersama Aidan seumur hidup. Aku mengharapkan suatu hari kita menikah dan memiliki keturunan. Tapi harapan itu musnah. Buyar ditelan oleh kenyataan hidup yang memusingkan.

"Aku tidak akan berubah dengan pendirianku sebelumnya. Aku akan bertahan walau kita hidup berbeda dimensi. Aku tahu jika kita mau mencari jawabannya. Secara perlahan-lahan kita akan menemukan jawaban akan kejadian yang kita alami selama ini. Mungkin jika kita mau lebih berusaha lagi daripada ini, kita bisa hidup di dunia ini. Bukan di duniaku atau duniamu. Aku....aku....tidak bisa membayangkan jika aku kehilangan dirimu karena dunia kita yang berbeda. Aku....tidak bisa Aidan." mataku panas.

Air mata yang tidak diinginkan meluncur begitu saja seperti tetes hujan. Aku mengatupkan rahangku, berusaha sekeras mungkin agar tidak menangis. Sudah terlalu banyak air mata yang sudah aku keluarkan di duniaku maupun dunia ini. Kenapa hidup begitu rumit dan sekompleks ini? Bahkan mungkin hanya beberapa manusia yang pernah memikirkan tentang dunia yang aku dan Aidan alami.

Aidan menarikku mendekat dan memelukku.

"Menangislah Tuan Putri. Menangis bisa menghasilkan hormon yang bisa menenangkan." dia berkata di rambutku.

Tangannya mengusap-usap punggungku. Tangisku meledak tidak bisa ditahan. Aku cengeng, cengeng sekali. Teringat dulu ketika kecil aku sering dipanggil Elma Si Cenggeng oleh teman-temanku. Sampai sekarang pun, aku tidak bisa menghilangkan sifat menyebalkanku ini.

Sadar aku bisa membasahi kemeja Aidan, aku berusaha menjauh tapi Aidan tidak mau melepaskanku. Pelukannya semakin kuat.

"Menangislah Elma. Seharusnya tadi aku tidak membicarakan ini. Maafkanlah Pangeran karena terlalu bodoh. Seharusnya tadi Pangeran tidak usah memikirkan hal itu. Maafkanlah Pangeran, Tuan Putri Elma," dia mengatakannya di rambutku.

Aku tidak menjawabnya. Tidak punya tenaga untuk menjawab satu kata sekali pun. Aku tidak menyalahkannya, aku hanya tidak bisa mengontrol emosiku. Aku menghirup aroma tubuhnya. Aroma yang paling aku sukai di dunia ini dan dunia lainnya.

"Kita bersama-sama akan menemukan jawaban ini. Tentunya aku juga tidak bisa hidup tanpamu. Aku berjanji kita akan selama-lamanya bahagia bersama sampai hukum alam memisahkan."

Aku mendengar dia mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Aku memeluknya semakin erat. Tanganku melingkari tubuhnya. Aku tidak tahu sampai kapan kita bisa begini. Aku meregangkan pelukkanku dan memegang kedua pundak Aidan dengan kedua tanganku. Aku menatap kedua matanya yang hitam kecoklatan. Mungkin aku bisa hidup seperti ini terus-menerus dengan posisi menatap ke kedalaman matanya.

"Aku mencintaimu Aidan. Kaulah satu-satunya alasan aku tetap hidup."

"Aku juga mencintaimu Elma.Tetaplah bersamaku selamanya."

"Aku yang lebih mencintaimu."

"Tidak Elma. Aku yang lebih mencintaimu."

"Aku akan menerimanya dengan senang hati Pangeran Aidan," ucapku mengakhiri percakapan kita.

Aku menyadarkan kepalaku ke bahunya. Tangan Aidan mendekap lenganku. aku tidak tahu realita sebenarnya. Bukan, bukan hanya aku. Tapi aku dan Aidan. Aku harap ini adalah realita sebenarnya. Aku harap ini bukan Eunoia. Bukan hanya pemikiran yang indah.



Karya: Devia Regita

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK