Pada suatu masa, hiduplah seorang peternak kuda dari suatu kerajaan China. Ia menjalani kehidupan dalam kesendirian, kecuali dengan banyak sekali kuda-kuda sehat yang sangat subur, membuatnya memiliki banyak sekali kuda untuk dijual. Dari sanalah, ia dapat menjalani dan menafkahi hidupnya sendiri, yakni dari pundi-pundi emas dari setiap kuda yang ia jual. Selain kuda, peternak itu juga memelihara seekor kucing berbulu putih sempurna yang sangat cantik, bernama Mao.
Namun sayang, kehidupannya yang terlihat baik-baik saja, acap kali terusik oleh oknum prajurit-prajurit jahat yang sering meminta secara paksa kuda-kuda yang ia jual. Tentu saja, hal semacam ini tidak boleh dilakukan prajurit kerajaan manapun. Tapi, memang kelompok oknum prajurit ini sering kali bertindak seperti preman di belakang prajurit lainnya. Mereka meresahkan penduduk desa, namun tak ada yang berani melawan.
Padahal, si peternak tahu, jika saja Jendral atau petinggi kerajaan mengetahui hal ini, pasti prajurit-prajurit itu akan dihukum berat. Namun, seperti yang telah disinggung, ia memilih diam saja karena sering diancam oleh para prajurit.
“Jika kau katakan hal ini pada siapapun, kami takkan segan-segan menghancurkanmu dan segala ternakmu!” Kata salah satu prajurit, di suatu hari. Setelah si peternak mengancam untuk mengadu.
Karena hal ini, sang peternak tak berani mengadukannya. Ia pun hidup dalam bayang-bayang ketakutan pada para prajurit selama lebih dari dua tahun. Setiap hari, ia tetap memberi pakan pada kuda-kudanya, kadang menjual kudanya dengan harga selayak mungkin, tapi kadang ia harus rela memberi kudanya secara gratis. Semua itu ia lakukan karena dipaksa oleh para oknum prajurit.
Akan tetapi, pernah sewaktu-waktu si peternak melawan. Karena Mao peliharaannya ditendang oleh salah satu prajurit, ia hampir menyerang salah satu prajurit dengan garpu rumput. Ketika para prajurit memaksa peternak untuk memberikan kuda terbaiknya waktu itu, Mao langsung melompat dan mencakar tangan berotot salah satu prajurit, dan mendesis hebat.
Karena merasa terganggu, si prajurit lantas menendang si kucing begitu saja, dan membuat peternak marah. Ia mengambil garpu rumput, mengarahkannya pada salah satu prajurit, dan berteriak “Jangan sentuh kucingku!”
Tapi prajurit itu berhasil menghindar. Ketika itu terjadi, rombongan prajurit lain seakan gelisah. Mereka memandang keluar peternakan, dan salah satunya berkata “Ini bisa memancing keributan! Ayo pergi dari sini!”
Dan salah satunya berkata “Kami akan kembali lagi nanti!”
Mereka pun, dengan nampak penuh kekhawatiran, ke luar dari peternakan menuju kota. Mereka juga menundukkan kepala mereka, ketika melewati salah satu prajurit bertubuh sangat besar yang sedang berjaga di desa. Peternak berpikir, mereka sengaja menutupi wajah mereka agar prajurit berbadan besar tak mengenal mereka. Mungkin sebelumnya, mereka punya masalah atau semacamnya. Tapi peternak merasa lega, ia setidak—tidaknya belum harus memberikan kuda terbaiknya. Ia berharap dan berdoa, agar dapat menjual kuda terbaiknya secepat mungkin.
Ia sadar Mao menghilang. Setelah para prajurit tak terlihat lagi, ia mencari Mao kucingnya. Ternyata kucing berbulu putihnya itu berjalan ke luar. Peternak, dengan tenang dan penasaran, mengikuti Mao dengan kesunyian. Mao melompat tinggi pada sebuah tembok, dan peternak memanggilnya, tapi sang kucing tak bergeming.. Tembok itu tipis dan tinggi, Mao melompat melalui tumpukkan kotak bekas pakaian tak terpakai di depannya. Peternak memanggil lagi, tapi Mao tetap melanjutkan jalannya.
“Kemana Mao pergi?” Tanya peternak pada dirinya sendiri.
Karena penasaran, ia pun mengikuti Mao. Ternyata Mao tak hanya berjalan melewati tembok tipis dan rawan itu saja. Ia juga melakukan hal berbahaya lainnya, seperti berjalan tanpa takut di hadapan seekor anjing pemburu yang dirantai, melompati kubangan lumpur yang cukup luas baginya, bahkan memanjat sebuah pohon tinggi. Ia mengambil sesuatu di atas sana, dan ia menatap peternak dengan menggigit sebuah pesawat kertas. Dengan sedikit keraguan, ia melompat dari ketinggian. Mao hanya bermain dan mencakar kertas itu, dan ketika ia merasa bosan, ia meninggalkannya.
Peternak pun berpikir, dan berbicara pada dirinya lagi, “Bodohnya kucingku, melintasi jalan berbahaya hanya untuk kertas tak berharga.” Ia pun membawa kucingnya kembali ke rumah.
Kemunculan bulan menandakan malam. Peternak masih memikirkan kejadian tadi siang. Kejadian di mana kucingnya sudi melewati tembok tipis, berjalan di hadapan seekor anjing, melewati kubangan lumpur, dan melompat naik-turun pohon tinggi hanya untuk kertas tak berguna. Akan tetapi, semakin ia memikirkannya, sesuatu yang berbeda melintas di kepalanya. Di detik kemudian, ia baru tersadar, ternyata dirinyalah yang selama ini sangat bodoh. Mao kucingnya melewati perjalanan menyusahkan untuk secercah kertas tak berguna. Walaupun harus melewati rintangan dan keraguan, tetapi ia tetap melakukannya. Sedangkan dirinya, sebagai manusia, tak mau memerjuangkan hal yang penting untuknya sendiri, dan lebih memilih diam dalam rasa kepengecutannya.
Ketika pikiran itu melintas di kepalanya, peternak berdiri dari tidurnya, dan ia berjalan ke luar rumah. Ia ke luar desa dan seorang prajurit penjaga malam bertanya, “Apa yang kau lakukan malam-malam begini?”
“Aku ingin memerjuangkan hakku.” Kata peternak, lantang.
“Hak apa yang kau maksud?” Tanya prajurit.
“Aku, peternak miskin di desa, sering ditindas oleh oknum prajurit yang meminta kuda-kuda yang kujual secara paksa. Aku ingin mengadukannya pada Raja!”
Mendengar itu, wajah prajurit itu menjadi merah dan terlihat sangat marah. Untuk sesaat, peternak ketakutan dan berpikir prajurit itu salah satu dari mereka yang sering ‘merampok’ kudanya. Namun setelahnya, ia baru tersadar ternyata prajurit itu adalah Jendral terkenal kerajaan. Ia sempat tak mengenalinya karena gelapnya hari. Jendral itu bernama Zhang Fei, yang mempunyai kumis tipis di kedua atas bibirnya.
Jendral itu berteriak “Akan kubantu kau mengadukan semuanya pada Raja! Dan mereka akan mendapat balasan setimpal!”
Esok harinya, Raja dan Jendral mencari tahu siapa-siapa oknum prajurit yang dimaksud. Setelah terbukti bersalah, mereka dipecat dan dihukum berat oleh kerajaan. Namun peternak, yang merasa hukuman mereka terlalu berat, dengan rendah hatinya berkata, “Maaf yang mulia, jika anda tidak keberatan, bolehkah hukuman mereka diganti saja?”
“Apa usulmu?” Tanya Raja, tersenyum.
“Jika boleh, buat saja mereka bekerja di kerajaan sebagai pesuruh dengan bayaran yang disesuaikan.”
Raja yang seakan kecewa, berkata “Hatimu terlalu baik peternak, tapi karena aku sangat menyukai kebaikanmu, akan kuikuti saranmu.” Dan Raja berbicara lantang pada para prajurit, “Mulai sekarang! Dan untuk dosa dua tahun kalian! Kalian akan bekerja untuk membantu ternak peternak yang baik ini dengan kerajaan yang akan membayar kalian secukupnya.”
Semua setuju dalam pengampunan itu, air mata terima kasih dan penyesalan para prajurit tercucur deras. Mereka memeluk lutut peternak yang merasa tak enak.
Mulai hari itu, para oknum prajurit yang menyesal semenyesalnya, bekerja untuk peternakan si peternak. Membuat si peternak berhubungan jauh lebih baik dengan para mantan prajurit. Mereka hidup dalam keakraban, bekerja untuk membangun hubungan yang dulu rusak, dan juga sebuah peternakan kuda.
Dua tahun berselang, dan masa hukuman mereka selesai. Namun, para mantan prajurit memutuskan untuk tetap bekerja pada peternak. Mereka berjanji akan membuat peternakan menjadi besar dan terkenal, bahkan di seluruh penjuru negeri.
Karya: Jaka Ahmad
Namun sayang, kehidupannya yang terlihat baik-baik saja, acap kali terusik oleh oknum prajurit-prajurit jahat yang sering meminta secara paksa kuda-kuda yang ia jual. Tentu saja, hal semacam ini tidak boleh dilakukan prajurit kerajaan manapun. Tapi, memang kelompok oknum prajurit ini sering kali bertindak seperti preman di belakang prajurit lainnya. Mereka meresahkan penduduk desa, namun tak ada yang berani melawan.
Padahal, si peternak tahu, jika saja Jendral atau petinggi kerajaan mengetahui hal ini, pasti prajurit-prajurit itu akan dihukum berat. Namun, seperti yang telah disinggung, ia memilih diam saja karena sering diancam oleh para prajurit.
“Jika kau katakan hal ini pada siapapun, kami takkan segan-segan menghancurkanmu dan segala ternakmu!” Kata salah satu prajurit, di suatu hari. Setelah si peternak mengancam untuk mengadu.
Karena hal ini, sang peternak tak berani mengadukannya. Ia pun hidup dalam bayang-bayang ketakutan pada para prajurit selama lebih dari dua tahun. Setiap hari, ia tetap memberi pakan pada kuda-kudanya, kadang menjual kudanya dengan harga selayak mungkin, tapi kadang ia harus rela memberi kudanya secara gratis. Semua itu ia lakukan karena dipaksa oleh para oknum prajurit.
Akan tetapi, pernah sewaktu-waktu si peternak melawan. Karena Mao peliharaannya ditendang oleh salah satu prajurit, ia hampir menyerang salah satu prajurit dengan garpu rumput. Ketika para prajurit memaksa peternak untuk memberikan kuda terbaiknya waktu itu, Mao langsung melompat dan mencakar tangan berotot salah satu prajurit, dan mendesis hebat.
Karena merasa terganggu, si prajurit lantas menendang si kucing begitu saja, dan membuat peternak marah. Ia mengambil garpu rumput, mengarahkannya pada salah satu prajurit, dan berteriak “Jangan sentuh kucingku!”
Tapi prajurit itu berhasil menghindar. Ketika itu terjadi, rombongan prajurit lain seakan gelisah. Mereka memandang keluar peternakan, dan salah satunya berkata “Ini bisa memancing keributan! Ayo pergi dari sini!”
Dan salah satunya berkata “Kami akan kembali lagi nanti!”
Mereka pun, dengan nampak penuh kekhawatiran, ke luar dari peternakan menuju kota. Mereka juga menundukkan kepala mereka, ketika melewati salah satu prajurit bertubuh sangat besar yang sedang berjaga di desa. Peternak berpikir, mereka sengaja menutupi wajah mereka agar prajurit berbadan besar tak mengenal mereka. Mungkin sebelumnya, mereka punya masalah atau semacamnya. Tapi peternak merasa lega, ia setidak—tidaknya belum harus memberikan kuda terbaiknya. Ia berharap dan berdoa, agar dapat menjual kuda terbaiknya secepat mungkin.
Ia sadar Mao menghilang. Setelah para prajurit tak terlihat lagi, ia mencari Mao kucingnya. Ternyata kucing berbulu putihnya itu berjalan ke luar. Peternak, dengan tenang dan penasaran, mengikuti Mao dengan kesunyian. Mao melompat tinggi pada sebuah tembok, dan peternak memanggilnya, tapi sang kucing tak bergeming.. Tembok itu tipis dan tinggi, Mao melompat melalui tumpukkan kotak bekas pakaian tak terpakai di depannya. Peternak memanggil lagi, tapi Mao tetap melanjutkan jalannya.
“Kemana Mao pergi?” Tanya peternak pada dirinya sendiri.
Karena penasaran, ia pun mengikuti Mao. Ternyata Mao tak hanya berjalan melewati tembok tipis dan rawan itu saja. Ia juga melakukan hal berbahaya lainnya, seperti berjalan tanpa takut di hadapan seekor anjing pemburu yang dirantai, melompati kubangan lumpur yang cukup luas baginya, bahkan memanjat sebuah pohon tinggi. Ia mengambil sesuatu di atas sana, dan ia menatap peternak dengan menggigit sebuah pesawat kertas. Dengan sedikit keraguan, ia melompat dari ketinggian. Mao hanya bermain dan mencakar kertas itu, dan ketika ia merasa bosan, ia meninggalkannya.
Peternak pun berpikir, dan berbicara pada dirinya lagi, “Bodohnya kucingku, melintasi jalan berbahaya hanya untuk kertas tak berharga.” Ia pun membawa kucingnya kembali ke rumah.
Kemunculan bulan menandakan malam. Peternak masih memikirkan kejadian tadi siang. Kejadian di mana kucingnya sudi melewati tembok tipis, berjalan di hadapan seekor anjing, melewati kubangan lumpur, dan melompat naik-turun pohon tinggi hanya untuk kertas tak berguna. Akan tetapi, semakin ia memikirkannya, sesuatu yang berbeda melintas di kepalanya. Di detik kemudian, ia baru tersadar, ternyata dirinyalah yang selama ini sangat bodoh. Mao kucingnya melewati perjalanan menyusahkan untuk secercah kertas tak berguna. Walaupun harus melewati rintangan dan keraguan, tetapi ia tetap melakukannya. Sedangkan dirinya, sebagai manusia, tak mau memerjuangkan hal yang penting untuknya sendiri, dan lebih memilih diam dalam rasa kepengecutannya.
Ketika pikiran itu melintas di kepalanya, peternak berdiri dari tidurnya, dan ia berjalan ke luar rumah. Ia ke luar desa dan seorang prajurit penjaga malam bertanya, “Apa yang kau lakukan malam-malam begini?”
“Aku ingin memerjuangkan hakku.” Kata peternak, lantang.
“Hak apa yang kau maksud?” Tanya prajurit.
“Aku, peternak miskin di desa, sering ditindas oleh oknum prajurit yang meminta kuda-kuda yang kujual secara paksa. Aku ingin mengadukannya pada Raja!”
Mendengar itu, wajah prajurit itu menjadi merah dan terlihat sangat marah. Untuk sesaat, peternak ketakutan dan berpikir prajurit itu salah satu dari mereka yang sering ‘merampok’ kudanya. Namun setelahnya, ia baru tersadar ternyata prajurit itu adalah Jendral terkenal kerajaan. Ia sempat tak mengenalinya karena gelapnya hari. Jendral itu bernama Zhang Fei, yang mempunyai kumis tipis di kedua atas bibirnya.
Jendral itu berteriak “Akan kubantu kau mengadukan semuanya pada Raja! Dan mereka akan mendapat balasan setimpal!”
Esok harinya, Raja dan Jendral mencari tahu siapa-siapa oknum prajurit yang dimaksud. Setelah terbukti bersalah, mereka dipecat dan dihukum berat oleh kerajaan. Namun peternak, yang merasa hukuman mereka terlalu berat, dengan rendah hatinya berkata, “Maaf yang mulia, jika anda tidak keberatan, bolehkah hukuman mereka diganti saja?”
“Apa usulmu?” Tanya Raja, tersenyum.
“Jika boleh, buat saja mereka bekerja di kerajaan sebagai pesuruh dengan bayaran yang disesuaikan.”
Raja yang seakan kecewa, berkata “Hatimu terlalu baik peternak, tapi karena aku sangat menyukai kebaikanmu, akan kuikuti saranmu.” Dan Raja berbicara lantang pada para prajurit, “Mulai sekarang! Dan untuk dosa dua tahun kalian! Kalian akan bekerja untuk membantu ternak peternak yang baik ini dengan kerajaan yang akan membayar kalian secukupnya.”
Semua setuju dalam pengampunan itu, air mata terima kasih dan penyesalan para prajurit tercucur deras. Mereka memeluk lutut peternak yang merasa tak enak.
Mulai hari itu, para oknum prajurit yang menyesal semenyesalnya, bekerja untuk peternakan si peternak. Membuat si peternak berhubungan jauh lebih baik dengan para mantan prajurit. Mereka hidup dalam keakraban, bekerja untuk membangun hubungan yang dulu rusak, dan juga sebuah peternakan kuda.
Dua tahun berselang, dan masa hukuman mereka selesai. Namun, para mantan prajurit memutuskan untuk tetap bekerja pada peternak. Mereka berjanji akan membuat peternakan menjadi besar dan terkenal, bahkan di seluruh penjuru negeri.
Karya: Jaka Ahmad
No comments:
Post a Comment