Malam berselimut asap pekat di sebuah kota. Suara bising mesin-mesin kendaraan berlalu-lalang, Gemerlap cahaya warna-warni lampu kota telah membutakan penduduk yang berdesakan tinggal di dalamnya. Angin malam menyerbak, membekukan hingga ke rongga-rongga tulang, seakan meneror penduduknya untuk tetap terjaga dalam realita, seakan meneror penduduknya takluk dalam mimpi-mimpi tiada akhir. Sementara gedung-gedung korporasi berdiri angkuh melawan alam, di langit kota turun perlahan tiga makhluk yang berjubah sehitam malam, berkepala ular. Mereka bukan manusia, mereka makhluk yang diutus para dewa untuk menjadi saksi sebuah peristiwa malam ini. Mereka melayang dari langit ke bumi sambil menembangkan syair
Kini Ahasveros mewabah di atas bumi
Petualang yang tak pernah tahu jalan kembali
Demi mencari arti diri, terbang hingga ke arsy
Harus berakhir hangus, terbakar matahari!
Di sudut kota itu terdapat sebuah bukit, puncaknya tertutup oleh rimbunan hutan, seakan terpisah dari peradaban kota di bawahnya. Di Balik rimbunan hutan itulah sebuah rumah kayu sederhana berdiri muram, didiami seorang lelaki tua yang tak kalah muram. Wajahnya layu, pakaiannya kumal tak terurus dinodai sisa-sisa cat. Lelaki tua itu terus melukis pada sebuah kanvas, ditemani ratusan lukisan hasil karyanya yang dipajang memenuhi dinding-dinding rumah. Lukisan-lukisan itu dipenuhi debu namun masih memancarkan berbagai pemandangan dan peristiwa di dalamnya. Lukisan-lukisan dengan detail yang sangat cermat. Begitu hidup dan nyata. Namun, lukisan-lukisan itu kini hanya mampu memandang cemas pada lelaki tua yang telah menciptakannya. Bagaimana tidak cemas? Sudah beratus-ratus tahun sejak lelaki tua itu mengunci diri dalam gubuk kayunya, berfokus pada satu lukisan yang kini tengah dilukisnya. Sebuah lukisan yang menggambarkan kobaran api yang menyala-nyala seakan mampu menghangatkan seisi ruangan. Sambil terus melukis sesekali mulutnya bergumam pelan “Siapa aku?”. Niestre nama lelaki tua itu.
Zaman dahulu ketika malam masih berselimut kabut tebal di sebuah desa yang begitu terpencil. Jauh dari suara bising mesin-mesin kendaraan, Jauh dari cahaya warna-warni lampu kota, angin malam masih menyerbak, menembus sela-sela rumah kayu yang dibangun seadanya, seakan membujuk penduduk untuk tidur lelap dalam rumah gubuknya yang sederhana, seakan membujuk penduduk untuk hanyut dalam mimpi-mimpinya yang sederhana. Di desa itulah Niestre dilahirkan. Sejak baru dilahirkan telah ia tunjukan sebuah mukjizat layaknya seorang nabi. Ketika tabib mengangkat tubuh bayi mungilnya dari rahim ibunya dan menimangnya, ia tidak menangis seperti bayi kebanyakan. Justru telunjuk tangannya bergerak-gerak melukis sesuatu dari darah bekas persalinan, Niestre lukis bunga-bunga padma di tangan si tabib sebagai tanda terima kasih, Tabib itu takjub keheranan. Namun si bayi kecil Niestre hanya membalas keheranan itu dengan tersenyum manis. Kabar pun tersiar ke seluruh desa, tentang bayi ajaib yang mampu melukis ketika baru saja dilahirkan, desa kecil itu kemudian geger hingga kabar itu menjadi topik yang ramai dibicarakan dimana-mana.
Waktu pun berlalu Seiring bertambahnya usia, kemampuan melukis Niestre semakin bertambah. Kabar tentang si bayi ajaib tidak juga surut, justru setiap hari Niestre mendatangkan keajaiban-keajaiban baru bersama lukisannya. Bahkan bagi mereka yang tidak mengerti tentang lukisan pun dapat melihat bahwa lukisan-lukisan Niestre begitu hidup, Lukisan-lukisan Niestre bukan hanya indah tapi mampu mendatangkan perasaan ajaib dan magis bagi penikmatnya. Berbagai cerita ajaib muncul dari Niestre dan lukisannya. Sewaktu remaja Niestre yang sedang asik jalan-jalan di sore yang cerah bertemu dengan Orpheus, yang sedang duduk di sebuah batu di padang rumput, memainkan lagu duka cita atas hilangnya istrinya, nada-nada yang dimainkan dari harpanya begitu memilukan menusuk dada, sambil memetik senar harpanya ia tembangkan syair-syair berisi ratapan karena kehilangan Euridice. Kesedihan Orpheus karena tak mampu menyelamatkan Euridice dari kematian seakan mengubah cuaca cerah sore itu menjadi gelap dan mendung. Niestre yang merasa kasihan pada sang dewa musik membuatkannya sebuah lukisan Euridice dan memberikannya pada orpheus. Orpheus begitu gembira melihat lukisan Euridice yang bukan saja mirip namun melihat lukisan itu Orpheus merasa seperti bertemu Euridice secara utuh kembali. Ia peluk erat lukisan Euridice, cinta sejatinya telah kembali hidup dalam sebuah kanvas. Ia berterima kasih sebanyak-banyaknya pada Niestre. Ia tinggalkan harpa di padang rumput, sambil membawa pulang lukisan Euridice ke rumahnya. Orpheus pun menjalani hidup dengan bahagia.
Selain menyelamatkan Orpheus dari duka citanya, Niestre bersama lukisannya bahkan mampu menyelamatkan kehidupan sebuah desa. Konon suatu ketika, di ujung timur negeri ini terdapat sebuah desa yang sangat miskin. Desa Kwor namanya, seringkali desa ini tertimpa bencana hingga menimbulkan wabah kelaparan yang sangat parah. Bayi-bayi busung lapar, orang dewasa kurus tak bertenaga, sawah-sawah kering tak terurus, dalam kondisi yang begitu mengkhawatirkan itu para pemimpin desa malah lari tunggang-langgang enggan bertanggung jawab pada nasib penduduknya, maka datanglah Niestre ke sana, sesampainya di Desa Kwor Niestre langsung mulai melukis berbagai macam buah-buahan lezat dan berbagai hidangan makanan di sebuah kanvas setinggi dua tubuh manusia dan di pajangnya di depan balai desa. Seketika bayi-bayi lapar yang melihat lukisan itu berhenti menangis seakan baru saja diberi asi, begitu juga orang-orang dewasa yang menatap lukisan itu, mereka seketika kenyang dan bertenaga, lalu ramai-ramai bangkit dari rasa laparnya dan berbondong-bondong mengolah sawahnya lagi. Walau bencana kembali datang, namun setiap melihat lukisan Niestre di balai desa, penduduk desa kwor menjadi semakin kuat dan tangguh. Tidak lama kemudian desa tersebut menjadi makmur bahkan menjadi salah satu desa termakmur di Negeri ini.
Namun kini segala kisah-kisah heroik Niestre telah jauh berlalu, kini Niestre hanya pelukis tua muram dalam gubuk kayu muram yang tenggelam dalam satu lukisan. Lukisan-lukisan masa lalunya kini menderita melihat sang pencipta yang tak lagi menyala seperti dulu. Sesekali Nistre menatap lukisan-lukisannya yang lain sambil bertanya pada mereka “Siapa aku?”, Lukisan-lukisan itu berusaha menjawab pertanyaan Niestre, namun Niestre tidak pernah mampu mendengar suara-suara itu, Niestre hanya mendengar keheningan. “kalian semua telah kucipta namun tidak juga mampu menjawab siapa aku”. Putus asa karena tak pernah mendengar jawaban dari lukisan-lukisan itu ia kembali melanjutkan lukisan yang nampak seperti kobaran api yang terus dibuatnya semakin detail, lebih hidup, tambah menyala. Seiring pudarnya kisah-kisah Niestre yang tenggelam dimakan waktu, seiring meredupnya cahaya kemanusiaan dalam tubuhnya. Seiring turunnya tiga mahluk berjubah hitam berkepala ular di atas rumah kayunya. Namun Niestre tidak juga mendengar suara-suara lukisannya yang menembangkan syair
Kini Ahasveros mewabah di atas bumi
Petualang yang tak pernah tahu jalan kembali
Demi mencari arti diri, terbang hingga ke arsy
Harus berakhir hangus, terbakar matahari!
Kabar Niestre yang telah menyelamatkan desa kwor dengan lukisannya tersebar ke seluruh penjuru bumi, sepulangnya dari Desa Kwor berbagai sanjungan dan pujian menyambut Niestre di desa kelahirannya. Orang-orang desanya turut bangga dengan apa yang Niestre lakukan pada Desa Kwor. Ia dinyatakan sebagai pahlawan. Niestre yang hanya pemuda sederhana kini disanjung seluruh kota. Kepulangan ke desanya disambut dengan syukuran di balai desa. Setiap sore anak-anak kecil meneriakan nama Niestre seperti pahlawan saat mereka sedang asyik bermain di lapangan, ibu-ibu mendongengkan anak-anaknya sebelum tidur dengan kisah Niestre yang menyelamatkan Desa Kwor seperti musa yang menyelamatkan kaum Yahudi dari Firaun. Bapak-bapak mulai mendiskusikan kemungkinan Niestre menjadi demang desa pada saat mereka kumpul-kumpul di sore hari, dan yang lebih membuat kalut adalah ketika perempuan-perempuan desa mulai cari-cari perhatian saat melihat Niestre jalan-jalan santai di sore hari.
Hingga di suatu senja pintu gubuk kayu Niestre diketuk seseorang, begitu pintu itu dibuka terlihatlah seorang perempuan muda dengan rambut hitam terurai lurus sepunggung dengan warna kulit coklat kemerahan di ambang pintu rumah. Mata perempuan itu berbentuk almond dengan garis wajah oval, ia sunggingkan senyum anggun namun menggoda dari bibirnya yang kemerahan, penuh, dan sensual “namaku Empousa, senang bisa bertemu dengan anda”, Niestre yang tidak biasa kedatangan tamu begitu gugup dan hanya senyum seadanya kedatangan tamu perempuan sore-sore seperti ini. “Ya, ada apa?”. Jelas mata tajam dan senyum sensual Empousa telah membius logika Niestre hingga hanya bisa berkata ada apa. “tidak ada, hanya ingin tahu bagaimana kediaman seorang pelukis sekaligus pahlawan yang dielu-elukan semua orang”. Jawabnya dengan nada datar namun sopan. Niestre kehilangan logika untuk melontarkan pertanyaan, Niestre hanya menjawab “Ya, beginilah, sama saja seperti orang-orang lain”. Empousa mulai masuk ruangan sebelum dipersilakan, melewati Niestre yang hanya diam mematung dengan segudang tanda tanya di kepala, ia pandangi sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan. “Kau terlalu merendah Niestre, dinding rumah orang pada umumnya tidak dipenuhi oleh lukisan-lukisan luar biasa seperti ini” mata perempuan itu mengerling pada Niestre dan tubuhnya gemulai seperti menari ketika ia berjalan mengagumi satu-persatu lukisan Niestre. Niestre seakan terhipnotis oleh setiap langkah perempuan itu. Di akhir langkah gemulainya, perempuan itu menatap nakal mata Niestre, kilau impulsif terpancar dari sana, ia berkata “Lukisan-lukisan yang luar biasa, coba ceritakan padaku maksud dan arti setiap lukisan-lukisanmu”
Maka sejak itu setiap matahari hampir terbenam Empousa mengunjungi rumah kayu Niestre di puncak bukit, saling bercerita tentang arti dan makna setiap lukisan-lukisan Niestre. Lukisan-lukisan Niestre sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Tak akan pernah habis untuk diceritakan satu-persatu. Pertemuan demi pertemuan terus terjadi, membuat mereka semakin dekat, dan kehilangan batas. Terkadang bila malam terlalu dingin mereka berdua malah lupa bercerita tentang makna lukisan dan asik bercinta sepanjang malam. Semua kedekatan mereka terhenti ketika sebuah pertanyaan terlontar dari Empousa “sudah banyak kau ceritakan makna lukisanmu, namun tidak adakah dari lukisan-lukisanmu yang mencurahkan hati dan perasaanmu sendiri? kau hanya sibuk melukis karena orang lain atau karena mengagumi suatu hal”, “Perasaan sendiri? untuk apa?”. Empousa menjawab tenang. “ya ini semua tentang dirimu, ini kehidupanmu, kau berhak tahu siapa dirimu, sampai kapan kau hanya mengagumi orang-orang lain, benda-benda lain, kau punya anugerah yang luar biasa, gunakanlah, lukislah dirimu sendiri agar aku bisa mengenal siapa kamu?”. “Siapa aku?” pikiran Niestre benar-benar kacau mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. “ya kau adalah manusia yang luar biasa, mudah saja bukan untuk melukis tentang dirimu.” Niestre diam, pikirannya jauh menerawang, “Aku akan datang saat kau telah mengetahui arti dirimu”
“Tunggu sebentar! aku tahu siapa aku, akan aku lukis sekarang juga”, Niestre bangkit mengambil kanvas, kuas, serta cat, segera membuat sketsa dari pikirannya. Tidak sampai 15 menit lukisan itu sudah jadi. “inilah aku” katanya sambil menyerahkan sebuah lukisan bunga padma pada Empousa, bunga padma yang sama yang pernah ia lukis sewaktu baru dilahirkan. Hanya saja kali ini dengan penggambaran yang lebih detail dan hidup. Bunga padma itu berwarna kuning, dengan kilau ceria di atas sebuah kolam yang jernih. Seperti biasanya lukisan Niestre begitu hidup. Riakan kolam yang lembut dalam sebuah kanvas seakan menceritakan suatu ketenangan, bunga padma yang berkilau seakan menceritakan sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan dan ketenangan, titik spiritualitas tertinggi seorang manusia. Menerima lukisan itu Empousa hanya mengulum bibir Niestre dan berkata “kau lebih dari itu Niestre, lihatlah lagi ke dalam dirimu dan kau akan tahu siapa dirimu. Aku dapat melihatnya, dirimu sesungguhnya bukanlah bunga padma yang kau lukis ini”. Empousa pergi, meninggalkan Niestre dalam labirin tanya siapa aku
Sejak itu Niestre mulai mencari jati dirinya, ia tenggelam dalam sebuah tanya di kepalanya, tanpa pernah mendengar suara dari lukisan-lukisannya yang tergantung di dinding rumah kayunya, yang berada di tangan Orpheus, yang ada di Desa Kworr. Semua lukisannya jelas telah mengetahui jawabannya. Namun suara-suara mereka semua berbeda dan hanya menghasilkan keheningan di telinga Niestre. Niestre ambil kanvas dan kuas sebagai senjatanya untuk menaklukan misteri terbesar semestanya, akan ia lukis siapapun manusia yang menciptakan bayangan dari cahaya api di hadapannya. Kemudian waktu pun bergulir desa berubah menjadi kota, pahlawan-pahlawan super bermunculan, Iron Man, Batman, saras 008, menyingkirkan nama Niestre yang hanya sekedar pahlawan di benak anak-anak yang kini tak lagi bermain di lapangan, Ibu-ibu sudah tidak lagi mendongengkan anak-anaknya, harga sembako membumbung tinggi, setiap malam mereka menakar-nakar kebutuhan beras untuk esok pagi. Bapak-bapak tidak lagi punya waktu kumpul membicarakan desa, kini mereka dihantui sistem kompetisi kota, mereka kerja pagi-malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. Kisah-kisah Niestre tersingkir dari peredaran zaman
Tiga mahluk berjubah hitam berkepala ular telah sampai di depan gubuk kayu Niestre. Begitu mereka menginjakan kaki di atas bumi dalam sekejap lukisan api niestre berubah menjadi api sesungguhnya. Bukan sekedar hidup sebagai obyek lukisan, tapi benar-benar telah menjadi api seutuhnya. Lukisan api itu kini bukan hanya mengubah persepsi, namun telah melampaui batas-batas fisiknya sebagai lukisan. Api dalam lukisan Niestre menjalar ke luar dari kanvas. membakar tangan Niestre yang sedang melukisnya. Niestre terkejut, ia kibaskan tangannya yang terbakar api, namun api dalam lukisan itu tiba-tiba saja meledak mementalkan tubuhnya, Niestre jatuh terkulai lemas, sebelum otaknya mampu bertanya apa yang terjadi, lukisan itu telah membakar seluruh rumah kayu dan lukisan-lukisan Niestre yang lainnya. Api dari lukisan berkobar semakin besar, membakar apapun di sekeliling Niestre, Api itu mengitari Niestre, menjalar mendekatinya dari berbagai arah, kemudian membakar tubuh Niestre. Dalam kobaran api yang menyala-nyala membakar dirinya, Niestre dapat melihat tiga mahluk berjubah hitam membahana menembangkan syair. Dalam kobaran api yang menyala-nyala membakar dirinya, Niestre dapat mendengar suara-suara dari lukisannya yang terbakar. membahana menembangkan syair
Kini Ahasveros mewabah di atas bumi
Petualang yang tak pernah tahu jalan kembali
Demi mencari arti diri, terbang hingga ke arsy
Harus berakhir hangus, terbakar matahari!
Api dari lukisan terus membakar apapun. Semakin besar tak terkendali. Bahkan api dari lukisan telah membakar lukisan itu sendiri, membakar dirinya sendiri. Saat itu dari kobaran api munculah Empousa di hadapan Niestre. Empousa masih sama seperti ratusan tahun lalu saat Niestre pertama kali melihatnya di ambang pintu. Seorang perempuan muda dengan rambut hitam lurus terurai sepunggung dengan warna kulit coklat kemerahan, mata berbentuk almond dengan garis wajah oval, dan bibirnya yang kemerahan. Namun ada yang sedikit berbeda. Di atas kepalanya terdapat sebuah tonjolan yang mirip sekali dengan tanduk “Sesuai janji aku datang padamu saat telah kau lukiskan siapa dirimu sebenarnya. Kaulah manusia, makhluk penuh ambisi yang merusak dan membakar kehidupannya sendiri”. Empousa tertawa melengking, suara tawanya terus meninggi memekakkan telinga, kemudian seperti tertiup angin suara tawanya menghilang seiring hilang kembali dirinya. Lukisan api telah terbakar habis menjadi arang, lukisan yang Niestre ciptakan selama ratusan tahun kini tak jauh berbeda dengan kertas putih yang terbakar. Menyaksikan tragedi di bawahnya langit hitam mulai menangis, menurunkan hujannya. Air hujan yang jatuh ke bumi seperti membelai api yang bergolak, kemudian menggelayut manja dan padam. Tinggal asap yang tersisa ditinggal api yang kemudian hilang ditelanjangi angin. Maka selesailah sudah seluruh sandiwara.
Tangan Niestre telah menjadi arang, hanya sedikit sisa-sisa darahnya yang belum habis diuapkan api, namun kesadarannya belum hilang. Kini ia merasa asing setelah perjalanannya mencari arti diri yang begitu panjang. Kepulangannya kini tak lagi disambut seperti kepulangannya dari Desa Kwor. Di ujung hayatnya Niestre melihat dari atas bukit, desa kelahirannya telah menjadi kota, pohon-pohon telah berubah menjadi gedung-gedung tinggi, Niestre berada dalam realita yang sudah tak dikenalnya lagi. Niestre telah menjadi makhluk purbakala dan mati tanpa jejak. Tidak! Ia tidak mau mati di atas tanah yang tak dikenalnya. Ia kini begitu rindu pada kampung halamannya. Pada pohon-pohon yang melambai diterpa angin. Pada kabut yang sejuk membelai mimpi-mimpi. Pada senyum tulus dari penduduknya yang sederhana. Maka, bertinta hitam arang dan merah darah, ia buat sebuah lukisan terakhirnya di atas tanah. Dengan sisa keajaibannya ia buat sebuah lukisan yang menggambarkan desa kelahirannya. Padang rumput hijau membentang luas, dengan empat sungai yang mengalir membelah bukit, ditumbuhi pohon-pohon apel besar nan meneduhkan. Di atas lukisan itulah Niestre menghembuskan nafas terakhirnya. Di atas sebuah lukisan tentang desa yang permai dan sederhana yang di zaman ini orang-orang mengenalnya sebagai Taman Eden.
Karya: Aldi P Soebakir
Kini Ahasveros mewabah di atas bumi
Petualang yang tak pernah tahu jalan kembali
Demi mencari arti diri, terbang hingga ke arsy
Harus berakhir hangus, terbakar matahari!
Di sudut kota itu terdapat sebuah bukit, puncaknya tertutup oleh rimbunan hutan, seakan terpisah dari peradaban kota di bawahnya. Di Balik rimbunan hutan itulah sebuah rumah kayu sederhana berdiri muram, didiami seorang lelaki tua yang tak kalah muram. Wajahnya layu, pakaiannya kumal tak terurus dinodai sisa-sisa cat. Lelaki tua itu terus melukis pada sebuah kanvas, ditemani ratusan lukisan hasil karyanya yang dipajang memenuhi dinding-dinding rumah. Lukisan-lukisan itu dipenuhi debu namun masih memancarkan berbagai pemandangan dan peristiwa di dalamnya. Lukisan-lukisan dengan detail yang sangat cermat. Begitu hidup dan nyata. Namun, lukisan-lukisan itu kini hanya mampu memandang cemas pada lelaki tua yang telah menciptakannya. Bagaimana tidak cemas? Sudah beratus-ratus tahun sejak lelaki tua itu mengunci diri dalam gubuk kayunya, berfokus pada satu lukisan yang kini tengah dilukisnya. Sebuah lukisan yang menggambarkan kobaran api yang menyala-nyala seakan mampu menghangatkan seisi ruangan. Sambil terus melukis sesekali mulutnya bergumam pelan “Siapa aku?”. Niestre nama lelaki tua itu.
Zaman dahulu ketika malam masih berselimut kabut tebal di sebuah desa yang begitu terpencil. Jauh dari suara bising mesin-mesin kendaraan, Jauh dari cahaya warna-warni lampu kota, angin malam masih menyerbak, menembus sela-sela rumah kayu yang dibangun seadanya, seakan membujuk penduduk untuk tidur lelap dalam rumah gubuknya yang sederhana, seakan membujuk penduduk untuk hanyut dalam mimpi-mimpinya yang sederhana. Di desa itulah Niestre dilahirkan. Sejak baru dilahirkan telah ia tunjukan sebuah mukjizat layaknya seorang nabi. Ketika tabib mengangkat tubuh bayi mungilnya dari rahim ibunya dan menimangnya, ia tidak menangis seperti bayi kebanyakan. Justru telunjuk tangannya bergerak-gerak melukis sesuatu dari darah bekas persalinan, Niestre lukis bunga-bunga padma di tangan si tabib sebagai tanda terima kasih, Tabib itu takjub keheranan. Namun si bayi kecil Niestre hanya membalas keheranan itu dengan tersenyum manis. Kabar pun tersiar ke seluruh desa, tentang bayi ajaib yang mampu melukis ketika baru saja dilahirkan, desa kecil itu kemudian geger hingga kabar itu menjadi topik yang ramai dibicarakan dimana-mana.
Waktu pun berlalu Seiring bertambahnya usia, kemampuan melukis Niestre semakin bertambah. Kabar tentang si bayi ajaib tidak juga surut, justru setiap hari Niestre mendatangkan keajaiban-keajaiban baru bersama lukisannya. Bahkan bagi mereka yang tidak mengerti tentang lukisan pun dapat melihat bahwa lukisan-lukisan Niestre begitu hidup, Lukisan-lukisan Niestre bukan hanya indah tapi mampu mendatangkan perasaan ajaib dan magis bagi penikmatnya. Berbagai cerita ajaib muncul dari Niestre dan lukisannya. Sewaktu remaja Niestre yang sedang asik jalan-jalan di sore yang cerah bertemu dengan Orpheus, yang sedang duduk di sebuah batu di padang rumput, memainkan lagu duka cita atas hilangnya istrinya, nada-nada yang dimainkan dari harpanya begitu memilukan menusuk dada, sambil memetik senar harpanya ia tembangkan syair-syair berisi ratapan karena kehilangan Euridice. Kesedihan Orpheus karena tak mampu menyelamatkan Euridice dari kematian seakan mengubah cuaca cerah sore itu menjadi gelap dan mendung. Niestre yang merasa kasihan pada sang dewa musik membuatkannya sebuah lukisan Euridice dan memberikannya pada orpheus. Orpheus begitu gembira melihat lukisan Euridice yang bukan saja mirip namun melihat lukisan itu Orpheus merasa seperti bertemu Euridice secara utuh kembali. Ia peluk erat lukisan Euridice, cinta sejatinya telah kembali hidup dalam sebuah kanvas. Ia berterima kasih sebanyak-banyaknya pada Niestre. Ia tinggalkan harpa di padang rumput, sambil membawa pulang lukisan Euridice ke rumahnya. Orpheus pun menjalani hidup dengan bahagia.
Selain menyelamatkan Orpheus dari duka citanya, Niestre bersama lukisannya bahkan mampu menyelamatkan kehidupan sebuah desa. Konon suatu ketika, di ujung timur negeri ini terdapat sebuah desa yang sangat miskin. Desa Kwor namanya, seringkali desa ini tertimpa bencana hingga menimbulkan wabah kelaparan yang sangat parah. Bayi-bayi busung lapar, orang dewasa kurus tak bertenaga, sawah-sawah kering tak terurus, dalam kondisi yang begitu mengkhawatirkan itu para pemimpin desa malah lari tunggang-langgang enggan bertanggung jawab pada nasib penduduknya, maka datanglah Niestre ke sana, sesampainya di Desa Kwor Niestre langsung mulai melukis berbagai macam buah-buahan lezat dan berbagai hidangan makanan di sebuah kanvas setinggi dua tubuh manusia dan di pajangnya di depan balai desa. Seketika bayi-bayi lapar yang melihat lukisan itu berhenti menangis seakan baru saja diberi asi, begitu juga orang-orang dewasa yang menatap lukisan itu, mereka seketika kenyang dan bertenaga, lalu ramai-ramai bangkit dari rasa laparnya dan berbondong-bondong mengolah sawahnya lagi. Walau bencana kembali datang, namun setiap melihat lukisan Niestre di balai desa, penduduk desa kwor menjadi semakin kuat dan tangguh. Tidak lama kemudian desa tersebut menjadi makmur bahkan menjadi salah satu desa termakmur di Negeri ini.
Namun kini segala kisah-kisah heroik Niestre telah jauh berlalu, kini Niestre hanya pelukis tua muram dalam gubuk kayu muram yang tenggelam dalam satu lukisan. Lukisan-lukisan masa lalunya kini menderita melihat sang pencipta yang tak lagi menyala seperti dulu. Sesekali Nistre menatap lukisan-lukisannya yang lain sambil bertanya pada mereka “Siapa aku?”, Lukisan-lukisan itu berusaha menjawab pertanyaan Niestre, namun Niestre tidak pernah mampu mendengar suara-suara itu, Niestre hanya mendengar keheningan. “kalian semua telah kucipta namun tidak juga mampu menjawab siapa aku”. Putus asa karena tak pernah mendengar jawaban dari lukisan-lukisan itu ia kembali melanjutkan lukisan yang nampak seperti kobaran api yang terus dibuatnya semakin detail, lebih hidup, tambah menyala. Seiring pudarnya kisah-kisah Niestre yang tenggelam dimakan waktu, seiring meredupnya cahaya kemanusiaan dalam tubuhnya. Seiring turunnya tiga mahluk berjubah hitam berkepala ular di atas rumah kayunya. Namun Niestre tidak juga mendengar suara-suara lukisannya yang menembangkan syair
Kini Ahasveros mewabah di atas bumi
Petualang yang tak pernah tahu jalan kembali
Demi mencari arti diri, terbang hingga ke arsy
Harus berakhir hangus, terbakar matahari!
Kabar Niestre yang telah menyelamatkan desa kwor dengan lukisannya tersebar ke seluruh penjuru bumi, sepulangnya dari Desa Kwor berbagai sanjungan dan pujian menyambut Niestre di desa kelahirannya. Orang-orang desanya turut bangga dengan apa yang Niestre lakukan pada Desa Kwor. Ia dinyatakan sebagai pahlawan. Niestre yang hanya pemuda sederhana kini disanjung seluruh kota. Kepulangan ke desanya disambut dengan syukuran di balai desa. Setiap sore anak-anak kecil meneriakan nama Niestre seperti pahlawan saat mereka sedang asyik bermain di lapangan, ibu-ibu mendongengkan anak-anaknya sebelum tidur dengan kisah Niestre yang menyelamatkan Desa Kwor seperti musa yang menyelamatkan kaum Yahudi dari Firaun. Bapak-bapak mulai mendiskusikan kemungkinan Niestre menjadi demang desa pada saat mereka kumpul-kumpul di sore hari, dan yang lebih membuat kalut adalah ketika perempuan-perempuan desa mulai cari-cari perhatian saat melihat Niestre jalan-jalan santai di sore hari.
Hingga di suatu senja pintu gubuk kayu Niestre diketuk seseorang, begitu pintu itu dibuka terlihatlah seorang perempuan muda dengan rambut hitam terurai lurus sepunggung dengan warna kulit coklat kemerahan di ambang pintu rumah. Mata perempuan itu berbentuk almond dengan garis wajah oval, ia sunggingkan senyum anggun namun menggoda dari bibirnya yang kemerahan, penuh, dan sensual “namaku Empousa, senang bisa bertemu dengan anda”, Niestre yang tidak biasa kedatangan tamu begitu gugup dan hanya senyum seadanya kedatangan tamu perempuan sore-sore seperti ini. “Ya, ada apa?”. Jelas mata tajam dan senyum sensual Empousa telah membius logika Niestre hingga hanya bisa berkata ada apa. “tidak ada, hanya ingin tahu bagaimana kediaman seorang pelukis sekaligus pahlawan yang dielu-elukan semua orang”. Jawabnya dengan nada datar namun sopan. Niestre kehilangan logika untuk melontarkan pertanyaan, Niestre hanya menjawab “Ya, beginilah, sama saja seperti orang-orang lain”. Empousa mulai masuk ruangan sebelum dipersilakan, melewati Niestre yang hanya diam mematung dengan segudang tanda tanya di kepala, ia pandangi sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan. “Kau terlalu merendah Niestre, dinding rumah orang pada umumnya tidak dipenuhi oleh lukisan-lukisan luar biasa seperti ini” mata perempuan itu mengerling pada Niestre dan tubuhnya gemulai seperti menari ketika ia berjalan mengagumi satu-persatu lukisan Niestre. Niestre seakan terhipnotis oleh setiap langkah perempuan itu. Di akhir langkah gemulainya, perempuan itu menatap nakal mata Niestre, kilau impulsif terpancar dari sana, ia berkata “Lukisan-lukisan yang luar biasa, coba ceritakan padaku maksud dan arti setiap lukisan-lukisanmu”
Maka sejak itu setiap matahari hampir terbenam Empousa mengunjungi rumah kayu Niestre di puncak bukit, saling bercerita tentang arti dan makna setiap lukisan-lukisan Niestre. Lukisan-lukisan Niestre sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Tak akan pernah habis untuk diceritakan satu-persatu. Pertemuan demi pertemuan terus terjadi, membuat mereka semakin dekat, dan kehilangan batas. Terkadang bila malam terlalu dingin mereka berdua malah lupa bercerita tentang makna lukisan dan asik bercinta sepanjang malam. Semua kedekatan mereka terhenti ketika sebuah pertanyaan terlontar dari Empousa “sudah banyak kau ceritakan makna lukisanmu, namun tidak adakah dari lukisan-lukisanmu yang mencurahkan hati dan perasaanmu sendiri? kau hanya sibuk melukis karena orang lain atau karena mengagumi suatu hal”, “Perasaan sendiri? untuk apa?”. Empousa menjawab tenang. “ya ini semua tentang dirimu, ini kehidupanmu, kau berhak tahu siapa dirimu, sampai kapan kau hanya mengagumi orang-orang lain, benda-benda lain, kau punya anugerah yang luar biasa, gunakanlah, lukislah dirimu sendiri agar aku bisa mengenal siapa kamu?”. “Siapa aku?” pikiran Niestre benar-benar kacau mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. “ya kau adalah manusia yang luar biasa, mudah saja bukan untuk melukis tentang dirimu.” Niestre diam, pikirannya jauh menerawang, “Aku akan datang saat kau telah mengetahui arti dirimu”
“Tunggu sebentar! aku tahu siapa aku, akan aku lukis sekarang juga”, Niestre bangkit mengambil kanvas, kuas, serta cat, segera membuat sketsa dari pikirannya. Tidak sampai 15 menit lukisan itu sudah jadi. “inilah aku” katanya sambil menyerahkan sebuah lukisan bunga padma pada Empousa, bunga padma yang sama yang pernah ia lukis sewaktu baru dilahirkan. Hanya saja kali ini dengan penggambaran yang lebih detail dan hidup. Bunga padma itu berwarna kuning, dengan kilau ceria di atas sebuah kolam yang jernih. Seperti biasanya lukisan Niestre begitu hidup. Riakan kolam yang lembut dalam sebuah kanvas seakan menceritakan suatu ketenangan, bunga padma yang berkilau seakan menceritakan sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan dan ketenangan, titik spiritualitas tertinggi seorang manusia. Menerima lukisan itu Empousa hanya mengulum bibir Niestre dan berkata “kau lebih dari itu Niestre, lihatlah lagi ke dalam dirimu dan kau akan tahu siapa dirimu. Aku dapat melihatnya, dirimu sesungguhnya bukanlah bunga padma yang kau lukis ini”. Empousa pergi, meninggalkan Niestre dalam labirin tanya siapa aku
Sejak itu Niestre mulai mencari jati dirinya, ia tenggelam dalam sebuah tanya di kepalanya, tanpa pernah mendengar suara dari lukisan-lukisannya yang tergantung di dinding rumah kayunya, yang berada di tangan Orpheus, yang ada di Desa Kworr. Semua lukisannya jelas telah mengetahui jawabannya. Namun suara-suara mereka semua berbeda dan hanya menghasilkan keheningan di telinga Niestre. Niestre ambil kanvas dan kuas sebagai senjatanya untuk menaklukan misteri terbesar semestanya, akan ia lukis siapapun manusia yang menciptakan bayangan dari cahaya api di hadapannya. Kemudian waktu pun bergulir desa berubah menjadi kota, pahlawan-pahlawan super bermunculan, Iron Man, Batman, saras 008, menyingkirkan nama Niestre yang hanya sekedar pahlawan di benak anak-anak yang kini tak lagi bermain di lapangan, Ibu-ibu sudah tidak lagi mendongengkan anak-anaknya, harga sembako membumbung tinggi, setiap malam mereka menakar-nakar kebutuhan beras untuk esok pagi. Bapak-bapak tidak lagi punya waktu kumpul membicarakan desa, kini mereka dihantui sistem kompetisi kota, mereka kerja pagi-malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. Kisah-kisah Niestre tersingkir dari peredaran zaman
Tiga mahluk berjubah hitam berkepala ular telah sampai di depan gubuk kayu Niestre. Begitu mereka menginjakan kaki di atas bumi dalam sekejap lukisan api niestre berubah menjadi api sesungguhnya. Bukan sekedar hidup sebagai obyek lukisan, tapi benar-benar telah menjadi api seutuhnya. Lukisan api itu kini bukan hanya mengubah persepsi, namun telah melampaui batas-batas fisiknya sebagai lukisan. Api dalam lukisan Niestre menjalar ke luar dari kanvas. membakar tangan Niestre yang sedang melukisnya. Niestre terkejut, ia kibaskan tangannya yang terbakar api, namun api dalam lukisan itu tiba-tiba saja meledak mementalkan tubuhnya, Niestre jatuh terkulai lemas, sebelum otaknya mampu bertanya apa yang terjadi, lukisan itu telah membakar seluruh rumah kayu dan lukisan-lukisan Niestre yang lainnya. Api dari lukisan berkobar semakin besar, membakar apapun di sekeliling Niestre, Api itu mengitari Niestre, menjalar mendekatinya dari berbagai arah, kemudian membakar tubuh Niestre. Dalam kobaran api yang menyala-nyala membakar dirinya, Niestre dapat melihat tiga mahluk berjubah hitam membahana menembangkan syair. Dalam kobaran api yang menyala-nyala membakar dirinya, Niestre dapat mendengar suara-suara dari lukisannya yang terbakar. membahana menembangkan syair
Kini Ahasveros mewabah di atas bumi
Petualang yang tak pernah tahu jalan kembali
Demi mencari arti diri, terbang hingga ke arsy
Harus berakhir hangus, terbakar matahari!
Api dari lukisan terus membakar apapun. Semakin besar tak terkendali. Bahkan api dari lukisan telah membakar lukisan itu sendiri, membakar dirinya sendiri. Saat itu dari kobaran api munculah Empousa di hadapan Niestre. Empousa masih sama seperti ratusan tahun lalu saat Niestre pertama kali melihatnya di ambang pintu. Seorang perempuan muda dengan rambut hitam lurus terurai sepunggung dengan warna kulit coklat kemerahan, mata berbentuk almond dengan garis wajah oval, dan bibirnya yang kemerahan. Namun ada yang sedikit berbeda. Di atas kepalanya terdapat sebuah tonjolan yang mirip sekali dengan tanduk “Sesuai janji aku datang padamu saat telah kau lukiskan siapa dirimu sebenarnya. Kaulah manusia, makhluk penuh ambisi yang merusak dan membakar kehidupannya sendiri”. Empousa tertawa melengking, suara tawanya terus meninggi memekakkan telinga, kemudian seperti tertiup angin suara tawanya menghilang seiring hilang kembali dirinya. Lukisan api telah terbakar habis menjadi arang, lukisan yang Niestre ciptakan selama ratusan tahun kini tak jauh berbeda dengan kertas putih yang terbakar. Menyaksikan tragedi di bawahnya langit hitam mulai menangis, menurunkan hujannya. Air hujan yang jatuh ke bumi seperti membelai api yang bergolak, kemudian menggelayut manja dan padam. Tinggal asap yang tersisa ditinggal api yang kemudian hilang ditelanjangi angin. Maka selesailah sudah seluruh sandiwara.
Tangan Niestre telah menjadi arang, hanya sedikit sisa-sisa darahnya yang belum habis diuapkan api, namun kesadarannya belum hilang. Kini ia merasa asing setelah perjalanannya mencari arti diri yang begitu panjang. Kepulangannya kini tak lagi disambut seperti kepulangannya dari Desa Kwor. Di ujung hayatnya Niestre melihat dari atas bukit, desa kelahirannya telah menjadi kota, pohon-pohon telah berubah menjadi gedung-gedung tinggi, Niestre berada dalam realita yang sudah tak dikenalnya lagi. Niestre telah menjadi makhluk purbakala dan mati tanpa jejak. Tidak! Ia tidak mau mati di atas tanah yang tak dikenalnya. Ia kini begitu rindu pada kampung halamannya. Pada pohon-pohon yang melambai diterpa angin. Pada kabut yang sejuk membelai mimpi-mimpi. Pada senyum tulus dari penduduknya yang sederhana. Maka, bertinta hitam arang dan merah darah, ia buat sebuah lukisan terakhirnya di atas tanah. Dengan sisa keajaibannya ia buat sebuah lukisan yang menggambarkan desa kelahirannya. Padang rumput hijau membentang luas, dengan empat sungai yang mengalir membelah bukit, ditumbuhi pohon-pohon apel besar nan meneduhkan. Di atas lukisan itulah Niestre menghembuskan nafas terakhirnya. Di atas sebuah lukisan tentang desa yang permai dan sederhana yang di zaman ini orang-orang mengenalnya sebagai Taman Eden.
Karya: Aldi P Soebakir
No comments:
Post a Comment