Di sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, hidup seorang pemuda bernama Masoy. Pemuda ini hidup sebatang kara. Ia mempunyai sebuah ladang kecil tempatnya bercocok tanam. Masoy menanam sayur dan buah-buahan di ladangnya. Seminggu sekali ia memetik sayur dan buah-buahan untuk dijualnya di pasar. Dari uang inilah ia bisa membeli beras untuk ia makan.
Pagi ini Masoy pergi ke pasar seperti biasa. Ia membawa sayur dan buah-buahan yang ia petik dari ladangnya. Banyak orang di pasar yang membeli hasil ladangnya. Masoy pun sering memberikan harga yang sangat murah. Ia berpikir jikalau hasil ladangnya cukup untuk memberinya makan, ia sudah sangat bersyukur. Itulah sebabnya Masoy tidak menjual hasil ladangnya dengan harga yang mahal seperti yang dilakukan oleh orang lain.
Setelah semua sayur dan buah-buahannya habis terjual, Masoy kembali ke rumah. Sebelum pulang ke rumah ia menyempatkan diri untuk melihat ladangnya kembali. Kali ini ia sangat tekejut mendapati ladangnya yang porak-poranda. Rupanya seseorang telah mengambil beberapa buah dari sana. Masoy pun mencoba membiarkan kejadian tersebut. Ia segera kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Masoy pergi ke ladang. Ia hendak melihat apakah pencuri kemarin masih mendatangi ladangnya. Masoy pun kembali terkejut karena dilihatnya beberapa sayur telah hilang dari ladangnya. Ia sangat geram. Kejadian ini baru pertama kali menimpanya. Ia pun memutuskan untuk membuat pagar di sekeliling ladang.
Hari berikutnya Masoy masih mendapati beberapa buah dan sayurnya telah dicuri. Ia pun makin kesal. Ia telah membuat pagar yang sangat tinggi di sekeliling ladangnya. Rupanya cara ini tidak mencegah pencuri untuk mengambil sayur dan buah-buahan dari ladangnya.
Selanjutnya, sebuah ide terlintas dalam benak Masoy. Ia pun membuat sebuah patung yang menyerupai manusia untuk diletakkan di tengah ladang. Patung itu ia buat dari batang bambu. Ia meletakkan sebuah topi di kepala patung tersebut. Tak lupa ia melumuri sekujur tubuh patung tersebut dengan lem. Masoy meninggalkan ladangnya dengan hati gembira. Ia yakin bahwa besok ia akan mengetahui siapakah yang selama ini telah mencuri hasil ladangnya.
Pagi-pagi sekali seekor monyet besar mendatangi ladangnya. Ternyata ialah yang selama ini telah mencuri di ladang milik Masoy. Tanpa ragu lagi monyet itu memanjat pagar dan masuk ke dalam ladang. Saat melihat patung yang telah dibuat oleh Masoy monyet itu berpikir bahwa itu adalah Masoy. Ia pun mengurungkan niatnya untuk mencuri dan menyapa patung di hadapannya yang ia pikir adalah Masoy.
“Eengg... Masoy, apa kabar? Sedang apa kamu di sini?”
Monyet berpura-pura menyapanya. Ia berbasa-basi sambil mengucapkan beberapa kalimat. Namun patung yang berada di depannya, yang ia pikir adalah Masoy, tidak menyahut satu patah kata pun. Monyet merasa kesal karena merasa tidak ditanggapi. Ia pun memukul patung tersebut dengan tangan kanannya. Tangannya pun lengket karena lem dan tidak bisa ia lepaskan. Monyet itu pun kembali memukul dengan tangan kirinya. Setelah kedua tangannya lengket dan tidak bisa ia gerakkan lagi monyet tersebut masih berusaha untuk menendang dengan kakinya sampai seluruh tubuhnya menempel pada patung dan tidak bisa bergerak lagi.
Di saat itulah Masoy sampai di ladang. Ia melihat seekor monyet yang menempel pada patung buatannya. Masoy segera menghampiri monyet malang tersebut. Monyet itu segera meminta ampun kepada Masoy dan memohon untuk dibebaskan. Ia berjanji untuk tidak lagi mencuri hasil ladangnya. Ia berjanji apabila Masoy bersedia membebaskan maka ia akan menjadi pelayannya untuk selamanya.
Masoy pun menyetujui permintaan monyet dan segera membebaskannya. Sejak saat itu monyet menjadi pelayan setia Masoy. Setiap hari ia membantu Masoy merawat ladangnya. Ia menggantikan tugas Masoy pergi ke pasar dan menjual buah dan sayur-sayuran. Masoy pun memperlakukan monyet itu dengan baik.
Suatu pagi monyet pergi ke pasar untuk menjual buah dan sayur-sayuran. Dalam perjalanan pulang, monyet menemukan emas dan perak yang terjatuh di jalan. Monyet segera memungutnya. Saat memungut emas dan perak di tepi jalan ia teringat akan kepala desa yang sangat kaya raya. Kepala desa itu mempunyai seorang anak gadis yang sangat cantik jelita.
Monyet itu tahu bahwa Masoy sudah lama menyukai putri kepala desa. Namun, kepala desa hanya mau menikahkan putrinya dengan pemuda yang juga kaya raya. Maka monyet pun merencanakan sesuatu agar Masoy bisa menikah dengan gadis tersebut. Monyet itu segera pergi ke rumah kepala desa. Ia mengatakan hendak meminjam sebuah timbangan. Ketika sampai di rumah kepala desa ia disambut di depan pintu oleh Kepala Desa.
“Permisi, Kepala Desa. Aku hendak meminjam sebuah timbangan,” kata Monyet dengan hati-hati.
“Kamu hendak menimbang apa?” Kepala Desa pun menjawab dengan penuh nada curiga.
“Majikanku hendak menggunakannya untuk menimbang emas dan perak di rumahnya,” jawab Monyet.
Mendengarkan jawaban monyet yang di luar dugaan, Kepala Desa berubah menjadi sangat ramah. Ia berpikir pastilah majikan dari monyet ini sangatlah kaya sehingga ia membutuhkan sebuah timbangan untuk menimbang emas dan perak.
“Siapakah nama majikanmu yang sangat kaya itu?”
Mendengar Kepala Desa yang berubah menjadi sangat bersahabat, tanpa ragu lagi Monyet menjawab pertanyaan Kepala Desa.
“Majikanku bernama Masoy. Ia mempunyai tambang emas dan perak. Dia juga tinggal di istana yang sangat megah,” jawab Monyet dengan nada gembira.
Kepala Desa pun memberikan timbangan kepada monyet. Ia lalu membawanya pulang. Keesokan harinya, tanpa sepengetahuan Masoy ia pergi kembali ke rumah Kepala Desa untuk mengembalikan timbangan. Ia sengaja meninggalkan emas yang ia temukan pada timbangan tersebut. Menyadari bahwa ada emas yang tertinggal di dalam timbangan, Kepala Desa memanggil Monyet kembali.
“Tunggu! Ada emas yang tertinggal di dalam timbangan,” kata Kepala Desa sambil memanggil Monyet yang telah berjalan meninggalkan rumahnya.
“Majikanku mempunyai emas yang sangat banyak. Emas yang tertinggal ini tidak ada artinya jika dibandingkan semua emas yang ia miliki. Anggaplah ini sebagai tanda terima kasih karena telah meminjaminya timbangan,” jawab Monyet.
Beberapa hari kemudian dengan alasan yang sama ia kembali meminjam timbangan kepada Kepala Desa. Saat mengembalikan timbangan ia sengaja meninggalkan perak di dalam timbangan. Saat ditanya, monyet memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Kepala Desa pun sangat terkesan. Ia ingin sekali bertemu dengan majikan dari monyet tersebut.
Seminggu kemudian monyet itu kembali pergi ke rumah Kepala Desa. Kali ini ia akan berterus terang dan mengatakan kepadanya bahwa majikannya ingin sekali menikahi putrinya. Mendengar perkataan monyet, Sang Kepala Desa pun menyetujuinya dan meminta agar besok sore ia membawa majikannya ke rumahnya untuk melamar putrinya. Dengan wajah penuh kemenangan, monyet pulang ke rumah Masoy. Monyet itu pun segera memberitahukan kepada Masoy bahwa Kepala Desa ingin menikahkannya dengan putrinya. Masoy yang tidak mengetahui rencana monyet tidak percaya. Namun, dengan sangat bersemangat monyet bisa meyakinkannya.
“Tapi... tapi aku tidak punya baju yang bagus untuk dipakai,” kata Masoy dengan ragu-ragu.
“Tenanglah! Aku akan mengurus semuanya.”
Ketika pagi tiba, monyet segera mengajak Masoy untuk pergi bersama ke sungai. Ia menyuruh Masoy untuk mandi di sungai sebelum pergi ke rumah Kepala Desa. Saat sedang mandi itulah monyet melihat ada seorang pemuda dengan pakaian yang sangat bagus sedang mandi di sungai. Saat pemuda tersebut lengah, monyet mengambil baju pemuda tersebut dan memberikannya kepada Masoy. Mereka berdua segera pergi ke rumah Kepala Desa. Tanpa disangka, setelah keduanya sampai di rumah Kepala Desa mereka disambut oleh banyak orang. Masoy sangat terkejut. Ternyata Kepala Desa mengundang beberapa penduduk untuk menyambut kedatangan Masoy. Dengan sangat sopan Kepala Desa mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Masoy yang tidak tahu menahu rencana yang telah dibuat oleh monyet hanya menuruti kata-kata Kepala Desa. Bahkan saat Kepala Desa mengumumkan kepada para penduduk bahwa putrinya akan menikah dengan seorang yang kaya raya dan tinggal di sebuah rumah yang sangat megah seperti istana, Masoy pun tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya terdiam dan mengangguk setiap kali Kepala Desa menanyainya dengan banyak pertanyaan. Monyet menyelinap keluar dari kerumunan banyak orang. Ia pergi menuju ke rumah seorang penyihir tua jahat yang tinggal di sebuah rumah megah seperti istana. Di depan rumah penyihir tersebut monyet berteriak ketakutan. Penyihir tua itu pun keluar untuk melihat apa yang terjadi.
“Apa yang kamu lakukan di rumahku?”
“Wahai Penyihir Tua, Kepala Desa sedang dalam perjalanan ke sini untuk mencarimu. Ia berkata bahwa apabila ia menemukan seorang penyihir yang sangat tua ia akan membunuhnya. Cepat selamatkan dirimu!”
Penyihir Tua terlihat sangat ketakutan. Ia segera mengambil beberapa barangnya dan meninggalkan rumahnya dengan lari terbirit-birit. Penyihir itu memang telah melakukan banyak kejahatan di desa ini, namun tidak ada satu orang pun yang berani melawannya. Setelah itu, monyet memberitahukan kepada semua penduduk di sekitar rumah penyihir itu bahwa nanti Kepala Desa akan datang ke tempat ini.
“Jika Kepala Desa datang ke sini dan bertanya milik siapakah rumah ini maka kalian harus menjawab rumah ini milik Masoy atau kepala desa itu akan membunuh kalian.”
Karena merasa takut dengan kepala desa mereka, para penduduk pun mematuhi kata-kata monyet. Rombongan Kepala Desa pun datang ke tempat tersebut. Ia disambut oleh para warga dan menanyakan tentang rumah megah yang mirip istana tersebut. Mereka pun menjawab bahwa rumah tersebut memang benar milik Masoy dan ia adalah orang terkaya di desa ini. Kepala Desa bersedia untuk menikahkan putrinya dengan Masoy. Mereka berdua hidup bahagia di rumah megah bersama dengan monyet yang setia itu.
***
Abdul selesai membaca buku dan buku di taruh di meja. Abdul beranjak dari duduknya di ruang tengh, ya bergerak masuk ke kamarnya untuk belajarlah mengulas pelajaran yang di berikan guru di bangku sekolah dengan baik.
No comments:
Post a Comment