CAMPUR ADUK

Monday, December 16, 2019

HARIMAU! HARIMAU!

Ketika Wak Katok sadar dari pingsannya, dia mencoba duduk, tetapi dia tak dapat menggerakkan tangan dan kakinya, dan kemudian dia tahu, bahwa dia diikat. Kemudian dia teringat apa yang terjadi. Pak Haji yang jatuh tersungkur ditembaknya dan kemudian pergumulannya dengan Buyung. Dia membalikkan kepalanya dan melihat mayat Pak Haji di sampingnya. Dia terkejut. Dia melihat Buyung dan Sanip yang duduk membelakangi pondok dekat api. Hati Wak Katok jadi senang sedikit. Buyung dan Sanip akan dapat dikalahkannya. Mereka masih muda dan belum berpengalaman. Dia akan menakuti mereka. Dia mengangkat suaranya memanggil Buyung. Buyung dan Sanip berdiri dan masuk ke pondok.

"Lepaskan aku," kata Wak Katok, dan sinar matanya mengandung kemarahan dan kebencian.

Buyung dan Sanip diam saja.

"Lepaskan aku, mengapa kalian ikat aku?"

"Wak Katok sudah membunuh Pak Haji," kata Buyung.

"Bukan salahku. Mangapa aku kalian serang?"

"Wak Katok mengirim kami mati," kata Buyung.

"Lepaskan aku, kalau tidak kumanterai kalian. Akan mati kalian, mati dengan perut gembung, aku kirim setan dan jin menyerang kalian, aku sumpahi kalian tujuh turunan......" Dia berhenti, melihat Buyung tersenyum kepada Sanip, dan Sanip tersenyum kembali kepada Buyung.

Buyung teringat sesuatu dan membuka ikat pinggangnya yang menutupi tali-tali jimat yang mengelilingi pinggangnya. Jimat-jimat itu diberikan kepadanya oleh Wak Katok. Dilepaskannya tali jimat perlahan-lahan, digumpalkannya, dan diperlihatkannya kepada Wak Katok, dan kemudian dengan lambatnya lalu dilemparkannya ke api unggun.

"Lepaskan aku, nanti aku beri engkau mantera yang membuat Zaitun tergila-gila padamu," katanya.

"Manteramu palsu, jimatmu palsu, pimpinanmu palsu, engkau palsu" kata Buyung.

"Dan," tambah Buyung dengan kebanggaan dan kesadaran baru" aku akan kawin dengan Zaitun karena dia cinta padaku, bukan karena mantera dan jimat."

"Akan kalian apakan aku?" tanya Wak Katok, dengan suara gemetar.

"Dibawa ke kampung dan diserahkan kepada polisi," kata Buyung.

"Oh, jadi kalian menyangka, kalian dua orang muda yang tak berilmu, akan dapat menangkap Wak Katok? Kalian tak percaya pada ilmuku, pada sihirku, ha? Ha-ha-haaaaaa. Baiklah kita nanti akan melihat tukang siapa yang tinggal di hutan ini, dan siapa yang akan pulang ke kampung....kalian bangsat-bangsat yang tak tahu terima kasih pada guru.....awaslah......" dan Wak Katok mengancam-ancam mereka  lagi, serta menakuti mereka.
....

Esok paginya, Sanip dan Buyung memandikan mayat Pak Haji, menyembahyangkan mayat, dan kemudian menguburkan Pak Haji. Kemudian mereka masak dan makan, dan menyediakan perbekalan,  dan Buyung membuka ikatan kaki Wak Katok, tetapi membiarkan tangannya tetap terikat.

"Ke mana kita?" tanya Wak Katok.

"Memburu harimau," kata Buyung.

"Apaaaa?' Wak Katok berteriak ketakutan," Kalian bawa aku berburu harimau sedang tanganku terikat? Sedikitnya beri aku parang dan buka ikatan tanganku."

"Tak ada gunanya Wak Katok diberi senjata. Waktu Wak Katok memegang senjata  dan berkuasa, Wak Katok tak dapat memakainya untuk membunuh harimau, tapi Wak Katok sendiri yang jadi harimau," jawab Buyung.

....

Mereka makan dalam keadaan siap sedia. Setelah selesai makan, Buyung berbisik pada Sanip, dan kemudian memberi isyarat pada Wak Katok.

"Kaki Wak Katok kami ikat lagi," katanya.

"Mengapa?" tanya Wak Katok.

"Ikut sajalah perintah," kata Buyung.

Akan tetapi, Wak Katok hendak lari, dan Buyung berseru, "Larilah, harimau telah menunggu."

Dan Wak Katok berhenti, tertegun, ketakutannya pada harimau lebih besar lagi. Dia membiarkan kakinya diikat, dan kemudian Buyung dan Sanip menyadarkannya ke pohon, dan sebelum Wak Katok menyadari apa yang mereka lakukan terhadap dirinya, maka Buyung dan Sanip telah mengikatkan badannya ke pohon.

"Kalian buat aku jadi umpan harimau?" matanya terbelatak dan lidahnya hampir kelu.

"Ya," kata Buyung, "tetapi jangan takut, kami lindungi jiwa Wak Katok."

"Tapi bagaimana kalau tembakanmu meleset?" tanya Wak Katok dengan suara gemetar.

"Pakailah segala ilmu Wak Katok untuk membuat tembakanku tepat sekali," jawab Buyung.

"Tidak, tidak, tak boleh engkau buat begitu," seru Wak Katok, "Apa dosaku, maka aku disiksa serupa ini?"

"Dosa Wak Katok? kata Buyung, "Dengarlah, dosa-dosa Wak Katak dahulu kami lupakan, dosa Wak Katok dengan Siti Rubiyah kami lupakan, dosa Wak Katok hendak membunuh kami, dan telah membunuh Pak Haji, kami maafkan, dan biarlah hakim yang mengadili Wak Katok di dunia ini, dan Tuhan nanti di akhirat untuk dosa-dosa itu semuanya. Tetapi Wak Katok di dunia ini, dan Tuhan nanti di akhirat untuk dosa-dosa itu semuanya. Tetapi Wak Katok telah menipu orang banyak, Wak Katok katanya guru dan pemimpin, tapi Wak Katok telah memberi pelajaran palsu, mantera palsu, jimat palsu, pimpinan palsu. Dalam hati Wak Katok selama ini bukan manusia yang bersarang, tetapi harimau yang buas. Kami hanya hendak mengumpan harimau dengan harimau........"

Lalu Buyung memberi isyarat pada Sanip dan mereka berdua menjauhkan diri, kira-kira lima belas meter dari tempat Wak Katok terikat di pohon. Mula-mula Wak Katok diam, akan tetapi ketakutannya semakin membesar. Hutan terasa hening dan sepi. Daun-daun seakan tak bergerak sedikit pun juga. Dia tak lagi dapat menahan diri, dia hendak berteriak, akan tetapi tiba-tiba timbul pula takutnya lebih besar lagi, jika dia berteriak, harimau akan lebih mudah mendengarnya,  dan akan lebih cepat tiba. Akan tetapi, jika dia tak berteriak, harimau pun akan datang .... Ah, telah tibakah harimau, itu suara napas mengembus-hembus di dalam belukar .... krekek-krekek dalam dan daun kering .... Wak Katok tak lagi dapat menahan dirinya, dan berteriak sekeras-kerasnya, teriak manusia yang dicekik kengerian dan ketakutan hati, teriak manusia primitif ketika melihat maut hendak datang hinggap di bahunya.

"Buyuuuuung! di mana engkauuuuuu???? Aduuuuuuh, tolooooong!!! Tolooooooong !!! Kalian tinggalkan aku sendiriiiiiii! Bohong kalian, kalian meninggalkan akuuuuuuu! Bayuuuuuuuu!!! Toloooooong!!"

Lama dia berteriak dan menjerit demikian, hingga suaranya serak, dan setelah dia letih berteriak, dia menangis terisak-isak, lalu menjanjikan uang, sawah dan rumah kepada Buyung dan Sanip, dan ketika ini juga tak berhasil, lalu dia mencoba mengadu Sanip melawan Buyung, menjanjikan Sanip uang, ilmu, harta, asal Sanip mau melepaskannya.

Kemudian dia menangis kembali, dadanya seakan hendak pecah. Sanip sampai tak tahan, dan berbisik padaa Buyung, "Tak kasihan engkau?"

Tetapi Buyung menggelengkan kepalanya. Kemudian tiba-tiba Buyung mengangkat kepalanya. Sebuah tali nalurinya seakan dipetik berdering ... dia mengangkat senapan perlahan-lahan. Belum ada sesuatu yang terdengar.

Mereka menunggu dengan hati berdebar-debar. Kemudian mereka mendengar seakan ada sesuatu bergerak dalam belukar di depannya. Perlahan dan halus sekali. Hanya mata yang amat tajam sekali dan yang memperhatikannya dengan saksama dapat membedakan gerakan itu dengan gerakan daun dan dahan yang dibuai angin. Perlahan-lahan belukar di depan mereka tersibak, dan mereka melihat muka harimau muncul, muka harimau yang telah memburu-buru mereka berhari-hari, yang telah menimbulkan korban begitu banyak di antara mereka. Kini mereka berhadap-hadapan. Hamariu itu memperhatikan tempat yang agak terbuka di hadapannya dan kemudian menegangkan tubuhnya dan sebuah geram kecil timbul di dalam rongga dadanya. Dia melihat kepada Wak Katok yang terikat bersandar ke pohon di hadapannya dengan kepala terkulai. Wak Katok telah beberapa waktu diam, karena keletihan. Akan tetapi dia mengangkat kepalanya ketika mendengar harimau menggeram kecil, dan melihat muka harimau, hanya sepuluh meter di depannya, dia membuka mulutnya hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba kepalanya jatuh terkulai, dan yang keluar dari mulutnya hanyalah bunyi napas yang dikejutkan keluar, dan bunyi erang ketakutan yang menyayat hati.

Harimau itu merendahkan badannya, siap hendak melompat .... Buyung membidik hati-hati... membidikkan senapan tepat ke tengah antara kedua mata harimau. Dengan gembira dia melihat tangannya tak gemetar. Sepanjang hari hatinya selalu bertanya-tanya, dan dia merasa khawatir, apakah dia tidak akan ketakutan dan tak kuasa membidik, tanggannya dan seluruh badannya akan gemetar jika melihat harimau. Akan tetapi kini dia merasa seluruh badannya akan gemetar jika melihat harimau. Akan tetapi kini dia merasa seluruh badan dan pikirannya tenang. Dia tahu apa yang dilakukannya, dia menginsyafi bahaya bahaya besar yang mereka hadapi, dia yakin pada dirinya sendiri. Kemudian melintas dalam kepalanya, dia dapat juga membiarkan harimau menerkam Wak Katok dahulu, biarlah Wak Katok dibunuh harimau, dan kemudian baru dia menembak .... Hatinya tertarik pada pikiran ini .... tetapi dia seakan mendengar bisikan Pak Haji - bunuhlah dahulu harimau dalam hatimu sendiri .... Buyung membidik hati-hati, memberatkan jari telunjuknya pada pelatuk senapan, menunggu .... dan ketika harimau membuka mulutnya mengaum yang dahsyat dan melantarkan badannya menerkam ke arah Wak Katok, pada saat yang sama benar, Buyung menarik pelatuk. Letusan senapan yang keras dan dahsyat berkumandang bergelombang di dalam hutan, bercampur dengan pekik erangan harimau ditahan oleh sebuah tangan raksasa yang maha kuat di udara, dan harimau terhempas di tanah satu meter dari tempatnya melompat, meronta-ronta sebentar di tanah, dan kemudian diam, mati terbujur.


Karya: Mochtar Lubis. 

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK