“Preng..”
Terdengar pecahan kaca, dari dapur. Tak ada angin yang masuk, hari ini hari yang cerah. Aku menoleh ke dapur, sebuah bingkai foto yang pecah. Yang membaca ini, aku yakin pasti ia akan bingung, mengapa sebuah bingkai ada di dapur. Entahlah, tapi itu selalu berada di sana. “Ibu kok bingkai ini pecah?” tanyaku agak heran.
“Tidak tahu..” ibu menjawab singkat, tampaknya ia tampak biasa saja. Wajahnya datar, tak ada ekspresi.
Tiba-tiba, angin berhembus kencang, perasaan cemas menghantuiku. Aku mempunyai firasat buruk, apa itu? Aku pun tak tahu. Yang pasti firasat itu adalah firasat buruk! Namun, wajah ibu tetap datar dan diam. Aku menutup jendela, dan membereskan pecahan kaca. Aku kembali memajang foto kami satu keluarga dengan bingkai yang botak. Aku menatap foto itu, wajahku yang ada di sana, mataku tampak berubah, jadi lebih aneh, aku bergidik ngeri. Terdengar suara geledek, aku takut dan langsung masuk ke kamar, dan menyelimutiku dengan selimut yang hangat. Mulutku berkomat-kamit membaca doa, berharap tak ada yang terjadi hari ini ataupun esok. Hujan mulai turun, hujan yang deras, sesaat aku bingung, bagaimana hujan deras bisa turun saat musim kemarau panjang ini. Ibu masuk ke kamarku dengan tatapan kosong.
“I… I… Ibu.. Kenapa?” tanyaku bergetar.
Namun, ibu hanya diam. Ia duduk di sebelahku, ia terdiam. Aku ketakutan, sampai hujan reda, aku berlari keluar. Tiba-tiba, aku tertabrak mobil, dan aku tak sadarkan diri.
“Dok bagaimana keadaannya?” samar-samar aku mendengar suara kakakku dan dokter berbicara.
“Ada beberapa syaraf di matanya yang rusak. Jadi, ia mengalami kebutaan. Tenang saja, kebutaannya tidak permanen. Dibutuhkan pendonor mata,” ujar dokter dengan raut yang sedih. “Terima kasih dok.” jawab kakakku lemas.
Jariku mulai bergerak-gerak. Mataku terbuka perlahan, aku tak bisa melihat apa-apa, aku pun berteriak.
“Kakak, aku kenapa kakak? Aku tidak bisa melihat, hidupkan lampunya kakak, aku takut!” aku berteriak dengan histeris sambil menangis.
“Sayang, sabar ya. Kamu mengalami kebutaan…” kakak ikut menangis sambil memelukku.
Aku terdiam, ternyata yang dibicarakan kakak dan dokter benar. Firasatku kemarin juga benar, bentuk mataku yang berubah menandakan aku mengalami kebutaan. Aku mulai menangis, aku harap nantinya ada seseorang yang ingin mendonorkan mata untukku. Aku menghela napas, sejauh itukah ujianku selama ini? Tapi, aku kembali berpikir, bagaimana dengan ibu? Kenapa dia kemarin? Apa ada pertanda buruk lainnya? Gumamku dalam hati. Aku harap, firasat ini tidak terjadi lagi. Aku sungguh takut kehilangan teman dan lainnya.
Karya : Tita Larasati Tjoa
Terdengar pecahan kaca, dari dapur. Tak ada angin yang masuk, hari ini hari yang cerah. Aku menoleh ke dapur, sebuah bingkai foto yang pecah. Yang membaca ini, aku yakin pasti ia akan bingung, mengapa sebuah bingkai ada di dapur. Entahlah, tapi itu selalu berada di sana. “Ibu kok bingkai ini pecah?” tanyaku agak heran.
“Tidak tahu..” ibu menjawab singkat, tampaknya ia tampak biasa saja. Wajahnya datar, tak ada ekspresi.
Tiba-tiba, angin berhembus kencang, perasaan cemas menghantuiku. Aku mempunyai firasat buruk, apa itu? Aku pun tak tahu. Yang pasti firasat itu adalah firasat buruk! Namun, wajah ibu tetap datar dan diam. Aku menutup jendela, dan membereskan pecahan kaca. Aku kembali memajang foto kami satu keluarga dengan bingkai yang botak. Aku menatap foto itu, wajahku yang ada di sana, mataku tampak berubah, jadi lebih aneh, aku bergidik ngeri. Terdengar suara geledek, aku takut dan langsung masuk ke kamar, dan menyelimutiku dengan selimut yang hangat. Mulutku berkomat-kamit membaca doa, berharap tak ada yang terjadi hari ini ataupun esok. Hujan mulai turun, hujan yang deras, sesaat aku bingung, bagaimana hujan deras bisa turun saat musim kemarau panjang ini. Ibu masuk ke kamarku dengan tatapan kosong.
“I… I… Ibu.. Kenapa?” tanyaku bergetar.
Namun, ibu hanya diam. Ia duduk di sebelahku, ia terdiam. Aku ketakutan, sampai hujan reda, aku berlari keluar. Tiba-tiba, aku tertabrak mobil, dan aku tak sadarkan diri.
“Dok bagaimana keadaannya?” samar-samar aku mendengar suara kakakku dan dokter berbicara.
“Ada beberapa syaraf di matanya yang rusak. Jadi, ia mengalami kebutaan. Tenang saja, kebutaannya tidak permanen. Dibutuhkan pendonor mata,” ujar dokter dengan raut yang sedih. “Terima kasih dok.” jawab kakakku lemas.
Jariku mulai bergerak-gerak. Mataku terbuka perlahan, aku tak bisa melihat apa-apa, aku pun berteriak.
“Kakak, aku kenapa kakak? Aku tidak bisa melihat, hidupkan lampunya kakak, aku takut!” aku berteriak dengan histeris sambil menangis.
“Sayang, sabar ya. Kamu mengalami kebutaan…” kakak ikut menangis sambil memelukku.
Aku terdiam, ternyata yang dibicarakan kakak dan dokter benar. Firasatku kemarin juga benar, bentuk mataku yang berubah menandakan aku mengalami kebutaan. Aku mulai menangis, aku harap nantinya ada seseorang yang ingin mendonorkan mata untukku. Aku menghela napas, sejauh itukah ujianku selama ini? Tapi, aku kembali berpikir, bagaimana dengan ibu? Kenapa dia kemarin? Apa ada pertanda buruk lainnya? Gumamku dalam hati. Aku harap, firasat ini tidak terjadi lagi. Aku sungguh takut kehilangan teman dan lainnya.
Karya : Tita Larasati Tjoa
No comments:
Post a Comment