Hari ini hari senin, pada sore hari aku dan teman-teman sedang dalam perjalanan pulang ke tenda masing-masing. Praktek lapangan hari ini sangat jauh, ditempuh dengan jalan kaki dari tenda ke tempat praktek sekitar 4 jam pulang-pergi. Nampak bukit-bukit yang indah mengelilingi perjalanan kami pulang, tetapi ada satu bukit yang membuat ku kagum dengan hamparan hijaunya pohon serta semak belukar, namun dibalik kekaguman itu tersimpan cerita mistis turun temurun dari masyarakat. Konon di daerah perbukitan ini ada 5 bukit yang terkenal yaitu Mandiangin, Pandamaran, Bukit Besar, Patra Bulu dan Pamaton. Bukit Pamaton tersebut merupakan kerajaan dari para makhluk halus yang sebenarnya adalah tempat pemukiman orang-orang kerajaan zaman dulu yang sudah meninggal. Seorang kakek tiba-tiba datang, saat kami tengah istirahat di bawah pohon lalu kakek tersebut bercerita kepada kami tentang bukit itu.
“Jika bukit Pamaton itu dilihat dengan mata batin maka kemegahan dan perkembangan zaman telah terjadi dan mengalahkan dunia nyata, mulai dari bangunan hingga kendaraan semuannya terbuat dari emas dan perak, tidak ada rakyat kerajaan yang hidupnya melarat” cerita sang kakek.
“Bukit itu merupakan kerajaan dari Sultan Adam (Pangeran Kalimantan Selatan) beliau semasa hidupnya sangat bijaksana dan adil, namun sampai sekarang makam dan peninggalan tidak ada yang ditemukan, hanya saja prasasti itu” tutur kakek tersebut, sambil menunjuk ke arah bukit itu.
Setelah lama bercengkrama dengan kakek tua itu, kami melanjutkan perjalanan karena matahari secara perlahan-lahan mulai tenggelam.
“Ayo sudah, kita cepat pulang, nanti sampai ke tenda kita mandi, terus makan, enggak tahan aku, dah lapar beudd..” kata ku, saraya melangkahkan kaki dengan cepat.
“Iya manda sebentar lagi kita sampai. Ehh.. tadi kita makan siang menunya nasi kuning kan?? Emang gag apa-apa ya? Setau ku kalau kita pergi jauh, apalagi ke hutan melewati bukit bawa nasi kuning itu gag boleh loh… Pamali kata orang dulu.. “ kata si Tina.
“Kata siapa?? Kalau setau ku tuh.. beras ketan bukan nasi kuning” timpal ku.
“Iya loh.. banyak orang daerah sini percaya kalau bawa nasi kuning terus kita jalan jauh apalagi ke hutan, nanti kita di ikutin sama mereka yang transparan itu” kata Linda, sambil nyengir.
“Udah deh, dah senja nih, enggak baik cerita begituan,, toh, kalau mereka ikut. Emang dampak dan pengaruh buat kita apa? Enggak ada kan? Toh. Kita tujuan kesini kan bukan untuk hura-hura, merusak alam, dan pesta. Kita kesini belajar, kita praktek lapangan dan enggak ngganggu mereka-mereka itu.. Positive thinking aja lah vroohhh… udah 19 tahun mahasiswa kehutanan lagi masak takut..” celoteh ku, sambil menepis ketakutan yang sejak tadi sudah merasakan hal-hal yang aneh, tetapi tak ku hiraukan.
Akhirnya dalam perjalanan pulang dan kembali ke tenda, kami semua berkumpul di tenda masing-masing, disini banyak sekali mahasiswa yang melaksanakan kegiatan praktek lapangan ada sekitar 50 mahasiswa, 10 assisten dosen dan 3 dosen pendamping. Meskipun umat manusia disini sangat banyak namun, kejadian-kejadian aneh terus terjadi. Dimulai dari kejadian pertama. Sekitar jam 17.30 saat kami hendak mandi dan menuju ke sungai belakang tenda para mahasiswi, tercium aroma sedap dan harum layaknya bau bunga dengan minyak atsiri.
“Baunya wangi? Apa ini? Nusuk banget harumnya..” celoteh Mumu.
“Mungkin bau buhannya (buhannya: artinya “teman-teman” dalam bahasa banjar) yang habis mandi.” Tutur ku.
“Jangan-jangan penunggu disini??” timpal Tari, dengan gaya nakut-nakutin rambutnya yang panjang di kedepankan semua.
“Apa-apa’an lu? Gag keren ah!! Di datangin entar malam pas tidur, baru tahu rasa lu!!” kata ku, dengan perasaan kesal.
“Kata nenek ku sih, kalau bau harumnya kaya gini nih, berarti ada penunggu hutan yang mengijinkan kita mandi disini, tapi kalau baunya busuk, penunggunya marah sama kita, gitu.”, celoteh Yuni.
“Oh.. syukur deh, kalau di ijin’in,, ayok mandi keburu malam nanti” kata Mumu.
Saat kami mandi dengan teman-teman yang lain Mumu, Tari, Dewi, Dwi, Fahli, Yuni, Tina, Linda, Wayan, Tatik, dan 10 teman cewek yang lain, tiba-tiba si Mumu terperanjat dan mencerit seraya menunjuk kearah rimbunnya pepohonan.
“Lihat bro!! ada orang tuh!! Lagi ngintip kita!!”, pekik Mumu.
“Mana? mana? mana? orangnya?” kata teman-teman yang lain.
“Pakai baju putih.. kepalanya gundul. Pokoknya dari atas sampai bawah.. serba PUTIH!!!”, jerit Mumu, sambil memejamkan matanya.
“Gimana nih?? Udah deh cepat-cepat aja mandinya, kita ganti bajunya di tenda aja lah??” teriak Tatik, “AYOOKKK!!!”
Dengan santainya kami berlima, Aku, Mumu, Tari, Dewi dan Dwi masih mandi di sungai sambil mencuci pakaian kotor yang dikenakan pada waktu praktek, Mumu masih terlihat syok dan gemetaran, sedangkan aku masih emosi dan ingin menantang orang tersebut.
“WOOOYYYYY!! Sini ikam (ikam: artinya “kamu” dalam bahasa banjar), lawan aku sini nah!! Beraninnya kaya itu, ngintip doang?? Sini nah!! Berkelahi kah kita nah!! Aku gag takut eyy… AYO!!”, teriak ku dengan nada super tinggi (karena, aku terkenal tomboy dan bersuara keras).
“Ya Allah, gila banget sih kamu Nda??, udah Nda.. sabar. Kita pergi aja gih.. nanti kita bilang sama panitia dan dosen, bahwa ada orang yang ngintip kita.”, nasihat Tari mencoba menenangkan ku.
Aku dan keempat teman ku sudah selesai mandi dan mencuci, tiba-tiba bau busuk menyengat tercium oleh kami berlima, baunya seperti bau anyir dan amis sekali macam bau busuk. Dan angin mulai berhembus kencang diikuti langit berubah meredup dan gelap, tandanya waktu senja sudah lewat dan akan digantikan oleh malam hari. Disaat bersamaan kami melangkah pergi dari sungai itu, sekelompok laki-laki menyoroti kami dengan sinar senter.
“Kalian gak apa-apa kan??”, tanya Rahman ketuplak (Ketua Pelaksana).
“Allhamdulillah gag apa-apa kok”, timpal Dwi sambil menggandeng lengan Mumu yang masih kelihatan pucat.
“Tuh, tadi ada orang kurang ajar banget, untung kita mandi masih pakai baju”, kata ku dengan kesal.
“Ya, udah. Kami para mahasiswa akan menyusuri sekitar tenda para mahasiswi dan berjaga-jaga kalau ada apa-apa, sebaiknya kalian cepat-cepat ke tenda dan persiapan melaksanakan Isoma (Istirahat, Sholat dan Makan)”, perintah Rahman.
Ditenda kami diserbu pertanyaan oleh para teman-teman cewek yang lain, biasa cewek kan keepo kalau ada masalah sedikit pasti pengen tau. Sementara aku dan teman-teman ku yang baru datang berganti baju dan merapikan ranjang tidur kami. Aku menyuruh temanku Tari untuk menemani ku ke toilet yang ada di depan dekat kantin. Hanya berselang beberapa menit kemudian, setelah aku selesai dan keluar dari toilet. Tiba tiba, semua para mahasiswa laki-laki berhamburan menuju ke tenda para mahasiswi, sampai-sampai mereka yang sedang makan dikantin ditinggal begitu saja, karena jeritan-jeritan dan meronta-ronta para mahasiswi yang begitu kuat sampai kedepan pun terdengar.
“Ada apa Tar??”, Tanya ku.
“Enggak tau mbak, tapi anak-anak lakian pada kesana,, kayanya ada yang kesurupan mbak.” timpal Tari.
“HAH???, ayo kesana!!”, ajak ku, bergegas lari dan pergi tanpa membayar pemakaian toilet.
Situasi saat aku dan Tari datang, tampak begitu ribut dan ramai serta ditambah dengan erangan, rontaan, rintihan dan yang seramnya lagi ada yang ketawa-ketawa sambil menari. Aku melongo binggung, apa yang mesti aku perbuat?, semua teman ku ternyata kesurupan/kemasukan roh halus, hampir mahasiswi disini kerasukan. Hanya aku dan Tari yang tidak kesurupan. Aku hendak menolong teman-teman ku tapi apa daya, aku malah disuruh menjauh dan pergi sementara dari tenda agar tidak ikut kesurupan juga. Kami berdua berjalan menuju ke kantin, saat dikantin bertemulah dengan Mumu dan Linda, syukurlah mereka juga tidak apa-apa hanya saja mereka terlihat kaget dan menangis.
“Syukurlah, kalian enggak apa-apa, gimana tadi kok kayak gitu kejadiannya, aku tadi enggak tau, aku tadi ke toilet sama Tari”, tanya ku pada mereka.
“Aku tadi pas ganti baju, tiba-tiba dari tenda sebelah ada yang teriak, “Haahhh!! pergi dari sini kalian semua pergi!!! Kalian orang terpelajar tapi enggak ada yang punya etika. PERGI!!”, cerita Mumu sambil menirukan gaya suara teman kami yang kesurupan bernama Yuni.
“Nah! Pasti dari kita ini yang melakukan suatu kesalahan, sehingga para penunggu disini marah.”, timpal Tari.
“Aku dengar tadi kata Rahman, saat dia menyusuri sungai, disitu ada bekas pembalut dan celana dalam yang dibuang begitu saja tanpa dibersihkan”, kisah Linda sambil menangis.
Belum lama kami dikantin, tiba-tiba ada seorang laki-laki menghampiri kami, ternyata dia adalah kakak tingkat kami, namanya Indro. Dia kelihatan linglung dan menggerutu, entah apa yang dia ucapkan dimulutnya sambil komat-kamit. Lalu dia menghanpiri kami yang sedang duduk dikantin.
“Kalian adik-adik tingkat angkatan 2012 kan?”, sapanya.
“Iya kak, kakak darimana? kok pucat banget wajahnya kak?”, tanya Tari.
Tiba-tiba saja kami berlima dan para ibu-ibu yang memasak dikantin terkejut, sampai kami sama-sama menjerit dalam waktu bersamaan. Ternyata kak Indro, kesurupan juga. Dia berubah menjadi sesosok beringas dan kuat yang menghantam meja dan kursi serta makanan yang dihidangkannya pun ikut dibuang lalu di injaknya, dengan suara lantang dia berteriak dan mengumpat, aku juga tidak mengerti apa yang dia katakan. Mungkin karena aku orang jawa dan kak Indro orang banjar, aku sedikit mengerti bahasa banjar tapi tidak fasih. Dia berlari menuju meja dapur dimana tempat ibu-ibu itu masak, dia mengamuk tak tentu arah, dia meloncat-loncat, dia mengambil nasi kuning sisa tadi pagi, langsung melahapnya tahap terlebih dahulu dikunyah melainkan langsung ditelan saja.
Aku dan teman-teman lainnya meminta tolong, akhirnya ada temanku yang bisa menenangkan kak Indro dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dan ayat kursi kak Indro pun tenang, tetapi masih saja dia tetap kesurupan. Setelah tenang dia meminta hal yang aneh-aneh. Dia meminta sesajen untuk kemudian dimakannya, kalau tidak dituruti permintaannya maka para anak buahnya jin serta yang lainnya akan dipanggil lagi untuk membuat kesurupan massal pada mahasiswi. Alhasil, kami para mahasiswa dan dosen tidak menurutinya karena itu perbuatan yang dilarang agama. Kami mampu melawan karena kami mempunyai agama yang kuat dan benar, setelah dipanggil para uzstad dan kiyai untuk membersihkan tempat dari hal-hal yang ghaib, suasana semua kembali tenang. Pak kiyai sempat menasihati kami, bahwa kami harus membersihkan sungai dari hal-hal yang kotor dan najis, serta jangan buang air kecil/besar sembarangan tanpa permisi karena sebenarnya kita hidup secara berdampingan. Terkadang pada pagi hari adalah kegiatan kita setelah senja dan beranjak malam itu adalah kegiatan mereka (makhluk ghaib).
Kata seorang juru kunci bukit Pamaton sempat bercerita,
“Kalau membawa nasi kuning atau makanan yang lainnya terlebih dahulu menawari orang yang tak terlihat sebelum kita makan, dengan cara melempar sejumput nasi kearah depan/samping kita”.
“Disini banyak sekali makhluk-makhluk yang menakutkan jika kalian mengganggu maka, mereka akan menampakkan dirinya, makhluk disini ada kuntilanak yang suka berdiri/duduk diatas ranting pohon yang besar sambil bernyanyi dan ketawa, sundel bolong ada di balik pohon besar dengan punggung berlubang yang dipenuhi ulat dan berbau busuk, pocong ada dibawah rumah panggung itu, matanya merah serta lingkaran mata yang hitam, wajahnya rusak dan ada bekas sayatannya, kuyang juga ada, tetapi hanya saja dia menampakkan waktu ada orang yang melahirkan di desa ini.”, tutur sang juru kunci, membuat kami diam dan ketakutan akibat kisahnya.
“Aku tau semua mereka itu, karena sebelumnya aku telah melihat dan sempat berbicara, tapi mereka selalu hilang saat ditanya, mungkin paman terlalu jelek jadi enggak mau di ajak ngobrol”, canda paman juru kunci, untuk memecah keadaan yang menakutkan.
Sesaat kami tertawa mendengar candaaan paman juru kunci, tetapi ada salah satu teman ku yang penasaran sekali, sehingga dia bertanya terus menerus.
“Paman?? Paman pernah ketemu mereka itu gimana paman ceritanya?,” tanya Rahman, yang sejak tadi memperhatikan betul kisah dari juru kunci tersebut.
“Pas waktu ngopi mas, dibawah pohon trembesi, ada yang ngomong, katanya begini “Paman, minta kopinya man, 1 gelas aja yang pahit!!”.. “waktu itu paman langsung melihat keatas, ternyata wujudnya sangat tidak wajar, hanya satu mata yang lebar-selebar meja makan dengan mulut yang berdarah, lalu paman mengedipkan mata, setelah itu makhluk tersebut berubah menjadi sesosok yang besar dan hitam, besarnya melebihi pohon trembesi mas, itu kayak genderuwo, terus paman baca ayat kursi, enggak lama genderuwo itu menghilang dan meninggalkan kepulan asap.” tutur paman juru kunci.
“Kira-kira tadi itu siapa yang merasuki teman-teman kami paman?? Soalnya banyak sekali teman-teman saya yang bilang, kalau ada anak kecil, nenek-nenek, dan orang yang berpakaian kerajaan.”, tanya Rahman lagi yang penasaran akan hal tersebut.
“Oh.. mereka itu ya rakyat-rakyat kerajaan saja, mungkin teman-teman mu yang kesurupan itu tidak sengaja menginjak atau membuang hal najis secara sembarangan tanpa ijin dulu”, jawab paman.
“Kalau, orang yang pakaian kerajaan itu siapa paman?, katanya temanku yang kesurupan ada seorang wanita cantik berpakaian serba kuning turun dari kereta kencana yang terbuat dari emas, rambutnya terurai panjang melebihi pinggangnya, kepalanya dihiasi mahkota.”, tanya Rahman lagi.
“Itu Ratu dari seluruh bukit ini, paman tidak bisa bercerita banyak, karena itu semua rahasia adat desa ini. Sebaiknya mulai dari sekarang kalian hati-hati, jangan membuang sampah dan hal yang najis lainnya, selain merusak ekosistem lingkungan hutan dan sungai ini juga mengganggu yang lainnya.” timpal paman juru kunci.
Di keheningan malam kami semua mengerti dan merasa bersalah apa yang telah kami lakukan, semua yang ada dimuka bumi ini adalah ciptaan sang pencipta, kita memang makhluk yang sempurna, maka dari itu jika ada kejadian hal-hal yang ghaib, ingatlah kepada sang pencipta bahwasannya mereka yang ghaib adalah ciptaan dari Tuhan yang maha besar. Selagi kita masih menjadi umat beragama, kita wajib ingat kepada Tuhan dan mengamalkan hal yang baik.
Karya Amanda Yuliana.
No comments:
Post a Comment