CAMPUR ADUK
Monday, November 29, 2021
MAKAN MALAM DI RESTORAN
BUNGA YANG SUSAH UNTUK DI LUPAKAN
SEANGGUN BIDADARI
Friday, November 26, 2021
PROSES HIDUP
"Abdul. Kita ini berasal dari keluarga miskin....kan?!" kata Budi.
"Iya," kata Abdul.
"Karena dari keadaan kemiskinan, ya jadi berusaha untuk jadi kaya, ya harus kerja keras lebih dari usahanya orang sudah kaya dari lahir kan....Abdul?!" kata Budi.
"Ya memang sih. Kita dari keadaan miskin, ya jadinya kita berusaha lebih keras lagi untuk jadi kaya, ya beda dengan orang lahir dari kecil, ya sudah kaya," kata Abdul menegaskan omongan Budi.
"Sabar dan terus berusaha dengan baik, ya diiringi ibadah yang baik, ya pasti berhasil jadi kaya," kata Budi.
"Omongan Budi bener lah. Contohnya : motor yang masih kredit Budi. Setelah lulus sekolah SMA, ya Budi berusaha dengan baik kerja di perusahaan, ya jadi buruk pabrik. Dari gaji tempat Budi bekerja, ya bisa kredit motor. Padahal awalnya pergi kerja naik angkot. Dari usaha yang keras yang di iringi ibadah yang baik, ada nilai kesabaran tinggi dalam diri Budi. Ya Budi berhasil mengubah nasif dari miskin jadi mampu. Kalau di tekunin dengan baik, ya bisa jadi kaya, ya dengan jalan mengikuti perkembangan zaman, ya lewat pendidikan lah," kata Abdul.
"Memang dengan ketekunan bisa jadi kaya, ya harus mengikuti perkembangan zaman, ya lewat pendidikan," kata Budi menegaskan omongan Abdul.
"Aku saja berusaha dengan baik mengolah usaha ku, ya agar jadi kaya. Walau masih menggunakan ilmu SMA. Tapi aku mengikuti perkembangan zaman, ya membeli buku ini dan itu yang berkaitan dengan usaha ku yang aku jalankan dengan baik, ya agar maju lah usaha ku. Kalau aku berhasil aku kuliah lah, ya ngambil bidang ekonomi lah, ya tujuan aku sih bisa sejajar dengan cewek yang aku sukai, ya Putri. Putri kan kuliah dengan baik di Jakarta," kata Abdul.
"Usaha Abdul berjalan dengan baik, ya karena mengikuti perkembangan zaman. Ya aku memang ingin kuliah juga, ya tujuannya untuk maju jadi orang kaya," kata Budi.
"Sama aja dengan Eko, ya ingin kuliah, ya tujuannya ingin maju dan juga kaya. Karena hidup di tuntut mengikuti perkembangan zaman, ya lewat pendidikan lah untuk mendapat pengetahuan lebih baik lagi," kata Abdul.
"Main catur saja!" kata Budi.
"Ok....main catur!" kata Abdul.
Budi sudah mengambil papan catur di bawah meja, ya di taruh dengan baik papan catur di atas meja. Budi dan Abdul menyusun dengan baik bidak catur di atas papan catur.
"Kalau seandainya aku lahir dari keadaan kaya, ya pastinya aku sudah kuliah, ya sama seperti Erwin. Ya Erwin sedang menjalankan kuliahnya dengan baik di Jakarta," kata Budi.
"Ya kalau lahir dari keadaan kaya. Kenyataan tetap lahir dari keadaan miskin, ya di jalan kan dengan baik. Selama ada jalan untuk mencapai jadi kaya, ya bisa jadi kaya. Contohnya : banyak sekali. Dari keadaan miskin, ya mengikuti proses kehidupan dengan baik, ya jadi kaya, " kata Abdul.
"Ya harus mengikuti proses hidup. Suatu saat aku jadi kaya, ya bisa beli mobil. Mungkin bisa kontan atau kredit, ya beli mobilnya....kan di perhitungkan dari keuangan," kata Budi.
"Hp saja kan Budi bisa kontan. Berarti ada kemungkinan Budi di masa depan yang di ingin Budi, ya bisa beli mobil. Kalau keputusan Budi beli mobil kaya sama beli motor, ya antara kontan atau kredit, ya tidak masalah sih. Kalau aku berhasil dengan usaha ku, ya pasti aku beli mobil sampai rumah," kata Abdul.
"Ya sudahlah tidak perlu di obrolin lebih jauh. Kan masih proses semuanya dalam menjalankan hidup. Ya Abdul fokus main caturnya!" kata Budi.
"Ok!" Abdul.
Abdul dan Budi, ya main catur dengan baik. Sedangkan Eko, ya sedang ada urusan cinta lah seperti biasanya dengan Purnama. Eko dan Purnama sekedar ngobrol saja di ruang tamu.
Thursday, November 25, 2021
PERMAINAN SEANDAINYA
"Eko.....pasar sekarang masih lagu-lagu jawa?!" kata Budi.
"Kalau aku nonton Tv, ya masih lagu jawa di nyanyikan dengan baik," kata Eko.
"Berarti....cewek ini cantik!" kata Budi.
Eko memang kaget, ya mendengar omongan Budi, ya memuji cewek cantik.
"Cewek yang mana yang di puji Budi?!" kata Eko.
"Cewek yang ada di koran ini lah. Fotonya!" kata Budi.
Eko mengambil koran dari tangan Budi, ya untuk melihat foto cewek yang di puji Budi....cantik.
"Oooooo cewek ini. Relatif lah....cantik," kata Eko.
"Kok....relatif? Jangan-jangan di kaitan dengan Purnama, ya Eko, ya perbandingan gitu?!" kata Budi.
"Tidak ada kaitan dengan Purnama untuk menilai sesuatu, ya hanya foto cewek di koran!" kata Eko.
"Iya deh. Aku mengerti omongan Eko. Ya tidak ada kaitan dengan Purnama. Cewek yang di foto yang di koran itu, ya memang sih cantik itu relatif. Tergantung siapa yang menilai sih?!" kata Budi.
"Cewek di koran ini. Pernah menjalin asmara dengan cowok, ya sesama penyanyi," kata Eko.
"Memang sih cewek di koran itu pernah menjalin asmara dengan cowok, ya sesama penyanyi gitu. Kalau main seandainya....aku ingin menjalin kisah cinta sama cewek di koran," kata kata Budi.
"Khayalan ya Budi?!" kata Eko.
"Ya...khayalan lah Eko. Kan main seandainya. Kalau sebenarnya, ya tidak mungkin lah. Siapa aku? Siapa dia?" kata Budi.
"Budi kan. Cowok yang berani bersaing dalam urusan cinta," kata Eko.
"Memang sih aku cowok yang berani bersaing urusan cinta. Ya modal ku kan cuma modal motor kredit, ya kalau lunas kreditannya jadi milik aku sepenuhnya lah motor lah," kata Budi.
"Kalau cewek biasa-biasa....Budi. Ya cewek mau sama Budi lah. Karena kan Budi tipe cowok yang pekerja keras dan bertanggungjawab ketika sesuatu telah di putus kan dengan baik," kata Eko.
"Cewek biasa-biasa saja aku bisa mendapatkan sih. Oiya. Kalau motor ku lunas, ya di modalin untuk lamar cewek. Harga motor naik apa turun?!" kata Budi.
"Ya motor Budi jadi motor bekas lah, ya harganya turun, ya beda dengan harga motor barulah yang belum di pakai," kata Eko.
"Paling kisaran harganya, ya sesuai dengan omongan sana sini tentang harga motor bekas kan Eko?!" kata Budi.
"Ya begitu lah," kata Eko.
"Berarti aku kalah dalam permainan kekayaan. Ya tidak bisa mendapatkan cewek yang ada di foto kan...Eko?!" kata Budi.
"Masih permainan seandainya?!" kata Eko, ya sambil menaruh koran di meja.
"Ya masih sih!" kata Budi.
"Masih toh. Ya kalau begitu Budi kalah lah dalam permainan. Cowok yang pernah menjalin asmara dengan cewek di foto di koran, ya karirnya menyanyi bagus, ya kaya gitu. Budi, ya tidak ada apa-apa ya dalam urusan kerjaan dan kekayaan. Apa lagi cewek yang foto ya di koran, ya tipe cewek pekerja keras, ya karir menyanyi lagi bagus-bagusnya. Cewek zaman sekarang ini, ya pinter-pinter, ya hidup tidak bisa makan cinta. Harta itu penting untuk menjalankan hidup, ya jauh dari hidup susah, ya kemiskinan. Kaya itu enak, ya serba bercukupan, ya lebih gitu. Ya kemungkinan sih cewek yang berhasil ini dan itu, ya memilih cowok yang sama kedudukannya, ya jalan hubungan jadi baik gitu," kata Eko.
"Kalau umur gimana Eko?!" kata Budi.
"Kalau umur sih tidak ada masa lah sih. Yang penting itu...jaminan hidup!" kata Eko.
"Ya sudah lah permainan seandainya di sudahin saja, ya sekedar obrolan, ya ngomongin cewek yang fotonya ada di koran. Ya artis Happy Asmara!" kata Budi.
"Emmmm," kata Eko.
"Main catur saja!" kata Budi.
"Ok!" kata Eko.
Eko dan Budi, ya mulai menyusun bidak catur di atas papan catur. Keduanya main catur dengan baik lah.
Wednesday, November 24, 2021
MENUNJUKKAN SESUATU!
"Eko. Gimana tanggapan mu tentang seseorang yang menunjukkan suatu sikap dan juga berkata yang cukup lantang, ya rasa kecewanya pada seseorang, ya biasa ya dalam urusan kerjaan?!" kata Budi.
Budi mengambil gelas berisi kopi di meja, ya di minum dengan baik kopi lah.
"Sebelum aku tanggapi. Aku mau tanya. Apakah Budi ada masalah kerjaan?!" kata Eko.
Eko mengambil gelas berisi kopi di meja, ya di minum dengan baik kopi lah. Budi menaruh gelas berisi kopi di meja lah.
"Ya aku tidak ada masalah dalam kerjaan," kata Budi.
Eko menaruh gelas berisi kopi di meja.
"Oooo tidak ada masalah kerjaan toh," kata Eko.
"Ya sebenarnya sih. Yang barusan aku omongin itu, ya aku dapatkan dari Tv sih," kata Budi.
"Ooooo dapet dari Tv toh. Oke aku tanggapi dengan baik. Ya sebenarnya rasa kecewa itu pasti datang ketika waktunya. Dalam urusan kerjaan, ya bisa terjadi sih. Bos kecewa dengan kerjaan anak buahnya. Kata lantang Bos pada anak buahnya, ya mengoreksi kerjaan, ya jadi pecutan untuk anak buahnya berpikir dengan baik dan kerja dengan baik, ya agar hasilnya jadi lebih baik, ya sesuai dengan target," kata Eko.
"Berarti. Presiden bicara lantang pada anak buahnya, ya urusan kerjaan. Ya pantes saja sih omongan Presiden tentang rasa kecewa dan juga kesalnya pada anak buahnya," kata Budi.
"Yang kerja di pemerintahan itu orang bergelar sajana dan juga punya pengalaman banyak dalam kerjaan. Jika suatu kerjaan tidak mencapai target, ya biasa sih omongan lantang menunjukkan rasa kecewa dan juga kesal," kata Eko.
"Para Pejabat menunjukkan rasa kecewa dan kesalnya pada kinerja anak buahnya, ya bisa berdampak buruk pada pemilu berikut ya kan?!" kata Budi.
"Maksudnya....jika pejabat itu ikut pemilu lagi, ya bisa kalah karena menunjukkan rasa kecewa dan kesal pada anak buahnya, ya kinerjanya anak buahnya di koreksi dengan baik?!" kata Eko.
"Ya itu yang di omongin Eko!" kata Budi.
"Mungkin.....ya bisa kalah dalam pemilu karena menunjukkan sesuatu sikap ini dan itu. Ah....cuma perkiraan lulusan SMA yang masih kurang ilmu ini dan itu, ya beda dengan lulusan Universitas yang sudah meneliti ini dan itu," kata Eko.
"Aku paham omongan Eko. Sekedar obrolan lulusan SMA," kata Budi.
"Kalau pejabat yang telah duduk selama 5 tahun, ya telah membimbing dengan baik anak buahnya dan terpilih kembali menduduki jabatannya. Contohnya : Presiden. Bos bicara lantang menunjukkan rasa kesal dan kecewa pada anak buahnya, ya kinerja. Jadi hal biasa lah omongannya karena telah mengarahkan selama 5 tahun dengan baik dan ketika 5 tahun berikutnya, ya cara sudah berbeda. Ya pastinya tegas dan tegas!" kata Eko.
"Ketegasan dalam menujukkan sesuatu itu penting banget untuk anak buah, ya agar kerjaan sesuai dengan rencana dan mencapai target yang telah di perhitungkan dengan baik," kata Budi.
"Sama halnya. Seorang pemuda menunjukkan rasa kecewa pada pada orang-orang yang bergelar yang lebih tinggi di bidang agama. Ya pemuda itu berhasil mendengar kan suara roh, ya pemuda itu di bimbing dengan baik sama roh. Berbeda dengan orang-orang yang bergelar tinggi, ya maksudnya....profesor, ya tidak bisa mendengarkan roh. Jadinya hal yang aneh?!" kata Eko.
"Jadinya aneh. Penuh dengan tanda tanya," kata Budi.
"Ya sudah lah tidak perlu di obrolin lebih jauh. Lebih baik main catur saja!" kata Eko.
"Ok....main catur!" kata Budi.
Budi mengambil papan catur di bawah meja, ya di taruh di atas meja lah. Eko terkejut dengan warna papan catur berwarna berbeda.
"Papan catur biasanya warna hitam dan putih. Kok warnanya.....merah dan biru?!" kata Eko.
"Kan tidak selamanya papan catur berwarna hitam putih, ya aku ganti dengan warna merah dan biru!" kata Budi.
Eko pun mengambil bidak catur dan berkata "Bidak catur pun warnanya merah dan biru, ya biasanya warna hitam dan putih. Ya sudah lah main saja!"
"Ya!" kata Budi.
Budi dan Eko menyusun dengan baik bidak catur di atas papan catur.
"Eko. Gimana tanggapan Eko tentang orang yang mutrad dari ajaran agama yang di yakininya?!" kata Budi.
"Kalau itu sih aku malas banget membahasnya. Karena aku akan menunjukkan rasa kecewa pada orang keluar dari agama, ya mutrad itu," kata Eko.
"Oooooo menunjukkan sesuatu sikap rasa kecewa pada seseorang yang keluar dari agama, ya mutrad itu," kata Budi.
"Sebaiknya itu membimbing dengan baik agama yang di yakini, ya sampai agama yang di yakini menunjukkan kebenaran. Contohnya : pemuda yang bisa mendengar kan roh, ya di bimbing dengan baik sama roh," kata Eko.
"Ya aku paham omongan Eko," kata Budi.
"Fokus main caturnya!" kata Eko.
"Ok!" kata Budi.
Budi dan Eko main dengan baik caturnya.
Saturday, November 20, 2021
RUKUN
Dono tetap menonton acara Tv, ya sampai selesai.
"Sampai gelar profesor di bidang agama ini dan itu....tetap tidak menunjukkan mereka semua di bimbing roh, ya sampai mendengarkan roh seperti aku. Aku merasa kecewa!" kata Dono.
Dono mematikan Tv pake remit dan remot di taruh di meja. Dono masuk ke dalam kamarnya, ya mengetik di leptopnya membuat cerita ini dan itu di Blog-nya, ya seperti biasanya.
Selang berapa saat, ya Kasino selesai merawat tanaman di potnya. Kasino mencuci tangannya dengan sabun dan juga air keran lah. Setelah itu. Kasino duduk dengan baik. Indro berhenti main game di Hp-nya.
"Kasino," kata Indro.
"Apa?!" kata Kasino.
Kasino menuangkan tekok berisi teh ke cangkir. Segera Kasino meminum teh dengan baik.
"Berita...Terorisme....Kasino," kata Indro.
Kasino menaruh cangkir berisi teh di meja.
"Telor asin," kata Kasino.
Indro terkejut dengan omongan Kasino.
"Kok....telor asin?!" kata Indro.
"Telor asin itu enak di makan, ya jadi lauk makan," kata Kasino.
"Telor asin memang enak di makan. Tetap saja Kasino.....itu mah mengalihkan topik yang mau di omongin," kata Indro.
"Sebenarnya untuk apa membicarakan tentang berita Terorisme?!" kata Kasino.
"Sekedar bahan obrolan saja. Ya kaya acara Tv. Membahas ini dan itu," kata Indro.
"Sekedar obrolan toh," kata Kasino.
"Kan ada kaitannya dengan agama," kata Indro.
"Agama. Sampai-sampai berita ini dan itu tentang MUI dibubarkan, ya jadinya kontrafersi ini dan itu," kata Kasino.
"Memang ada sih berita tentang MUI ini dan itu. Ya tetap saja berita," kata Indro.
"Hidup tenang begini. Jadi tidak ada masalahkan?!" kata Kasino.
"Memang sih. Kehidupan kita tenang, ya jadi tidak ada masalah sih," kata Indro.
"Hidup harus saling menghormati dan menghargai antar umat beragama, ya agar rukun. Jadinya jauh dari konflik ini dan itu," kata Kasino.
"Omongan Kasino, ya bener sih," kata Indro menegaskan omongan Kasino.
"Ya sudah cuma sekedar obrolan saja. Lebih main game di Hp aku!" kata Indro.
"Main game itu lebih baik. Dari pada membicarakan agama yang ini dan itu.....sampai Terorisme dan juga MUI yang ini dan itu. Kalau begitu aku main game juga!" kata Kasino.
Kasino pun main game di Hp-nya.
"Makan telor asin enak," celoteh Kasino.
Indro yang asik main game, ya memang mendengar omongan Kasino.
"Memang telor asin enak di makan," celoteh Indro.
Indro dan Kasino, ya terus asik main game di Hp-nya.
BALAS BUDI BURUNG GAGAK
Jauh sekali dari masa sekarang, ketika manusia masih berkendara dengan kuda dan istana-istana para sultan masih baru selesai di bangun, hiduplah seorang lelaki tua yang sering keluar masuk hutan untuk menangkap burung-burung. Burung-burung itu ia jual kepada siapa pun yang bersedia membelinya. Kemudian, lelaki tua itu menggunakan uangnya untuk menghidupi dirinya dan anak lelaki semata wayangnya yang bernama Nasir.
Suatu pagi, Nasir mencoba membangunkan ayahnya di pembaringan. Namun, ayahnya tak kunjung bangun. Bahkan, ia tidak bangun untuk selamanya. Pagi itu, ayah Nasir meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, Nasir merasa sedih. Ia juga kebingungan karena uang dalam kantung kulit keledai peninggalan ayahnya tinggal sekeping.
“Jika aku kehabisan uang, maka aku tidak akan bisa membeli makanan dan bisa mati kelaparan... Ah, aku harus bekerja!” pikir Nasir.
Tanpa sengaja, mata Nasir tertumbuk pada sesuatu di sudut ruangan. Sebuah buntalan kain yang di bawa ayahnya untuk bekerja setiap hari. Nasir membuka buntalan itu dan menemukan sebuah jaring untuk menangkap burung. Wajah Nasir terlihat lebih cerah.
“Jika Ayah bisa, maka aku juga bisa melakukannya!”
Nasir bergegas berangkat menuju hutan untuk menangkap burung. Sesampainya di hutan, Nasir segera membentangkan jaringnya di atas pohon. Ia cukup beruntung karena pernah belajar menangkap burung bersama teman-temannya sewaktu kecil. Setelah membentangkan jaringnya, Nasir menunggu di bawah pohon. Tak berapa lama kemudian, ia melihat seekor burung gagak hitam hinggap di atas pohon, tepat pada bagian yang berjaring. Nasir langsung meringkus burung itu dengan cepat. Krosak! Krosak!
“Yap! Aku berhasil!” seru Nasir senang.
“Kaok…! Tolong, Tuan... tolong... lepaskan saya...” Burung gagak itu memohon sambil meronta-ronta.
“Maaf, Burung Gagak. Tapi, aku harus menangkapmu. Aku akan menjualmu agar aku akan mendapatkan uang untuk membeli makanan,” jawab Nasir.
“Tolonglah, Tuan.... lepaskan saya. Saya masih ingin hidup bebas. Saya berjanji akan membalas kebaikan Tuan dengan sesuatu yang lebih bagus.”
Burung Gagak terus mengiba kepada Nasir. Nasir akhirnya merasa kasihan melihatnya.
“Aku tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh seekor burung gagak untukku. Tetapi, karena aku kasihan padamu, engkau bisa bebas sekarang.”
Begitu terlepas dari jeratan jaring, Burung Gagak mengangguk-anggukkan kepalanya yang hitam lalu berkata, “Terima kasih, Tuan! Terima kasih! Saya tidak akan melupakan kebaikan Tuan!”
Nasir memandang kepergian burung gagak itu dengan berat hati. Tetapi, kesedihannya tak berlangsung lama. Ia kembali membentangkan jaringnya di atas pohon. Kali ini, sebentar saja, seekor burung lain terbang mendekat dan hinggap di atas pohon yang telah dipasangi jaring oleh Nasir. Hup! Nasir menangkap burung itu dengan sigap. Ketika ia membuka jaring, tampaklah seekor burung yang sangat indah dengan helai-helai bulu halus mengilap dan berwarna pelangi.
“Aku belum pernah melihat burung secantik ini.”
Nasir berdecak kagum. Burung ini, benar-benar, lebih bagus daripada burung gagak tadi.
“Tuan, saya telah menepati janji, bukan?” Burung gagak, yang dilepaskan Nasir tadi, hinggap di dahan pohon dekat Nasir berdiri.
“Sekarang, juallah burung itu kepada Sultan. Beliau akan membelinya dengan senang hati.”
Nasir menuruti nasihat Burung Gagak. Ia pun pergi ke istana Sultan hendak menawarkan burung berbulu pelangi itu kepada beliau. Namun, Penasihat Istana dan beberapa pengawal mencegahnya.
“Hei, berani sekali seorang penjual burung datang ke istana! Pergi!” bentak Penasihat Istana sambil mengangkat dagu.
Ia adalah seorang lelaki tinggi kurus berwajah congkak. Walaupun mendapat penolakan, Nasir tidak menyerah. Ia tetap bersikukuh ingin menemui Sultan.
“Saya yakin Sultan akan menyukai burung ini. Burung ini benar-benar tiada duanya di seluruh negeri. Saya mohon, izinkanlah saya bertemu Sultan.”
Mendengar suara ribut-ribut di luar istana, Sultan tampak datang menghampiri mereka. Beliau melihat Nasir membawa seekor burung yang sangat menakjubkan.
“Ah, indah nian burung yang engkau bawa ini. Aku belum pernah menjumpai burung seindah ini di seluruh negeri! Anak muda, siapakah namamu?” Sultan bertanya dengan wajah gembira.
“Saya Nasir, Yang Mulia Sultan.”
Nasir membungkuk hormat, memperkenalkan dirinya.
“Baiklah, Nasir. Berikan burung berbulu pelangi ini kepadaku. Sebagai gantinya, kau akan mendapatkan seratus kantung emas!”
Seratus kantung emas! Nasir bersorak-sorai dalam hati. Dengan seratus kantung emas, ia yakin tidak akan kelaparan lagi dan bisa hidup lebih baik. Melihat banyaknya hadiah untuk Nasir, Penasihat Istana menjadi iri. Ia berbisik di telinga Sultan, mencoba memengaruhi beliau.
“Tidakkah terlalu mahal untuk seekor burung yang—aneh, Tuanku?”
“Apa kau bilang? Aneh? Mulai hari ini, burung ini adalah burung milik Sultan. Siapa pun yang menghina burung ini sama dengan menghina Sultan!” seru Sultan kepada penasihatnya.
Penasihat Istana tampak malu karena dibentak Sultan sedemikian rupa di depan Nasir dan para pengawal. Wajahnya menjadi merah padam, menahan malu dan amarah.
“Tunggulah pembalasanku, Anak Muda!” Penasihat Sultan berkata geram dalam hati.
Ia tidak bisa mencegah Sultan membeli burung yang ditangkap Nasir. Sultan memasukkan burung berbulu pelangi itu ke dalam sebuah sangkar yang istimewa. Sangkar itu berukuran besar supaya sang burung bisa bergerak leluasa. Sultan juga meletakkannya di bawah sebuah pohon rindang di taman belakang istana. Sangkar burung itu pun bukan sembarang sangkar karena ukiran-ukirannya terbuat dari emas. Sangkar emas itu akan terlihat semakin berkilau megah ketika sinar mentari menyentuhnya. Dan, saat sinar bulan di malam hari meneranginya, sangkar itu bersinar lebih anggun dari pada bulan purnama di kegelapan. Akan tetapi, meski sangkar itu sangat indah, keindahannya tetap tak bisa menandingi keindahan sang burung berbulu pelangi. Selama berhari-hari, Sultan mengagumi peliharaannya yang baru. Kecintaannya pada burung itu pun semakin bertambah dari hari ke hari.
“Yang Mulia, Anda memang benar. Burung dalam sangkar emas ini memang sungguh istimewa. Sayangnya, sangkar emas bukanlah sangkar terbaik di dunia,” komentar Penasihat Istana suatu hari.
“Sangkar emas bukan sangkar terbaik? Lalu, sangkar apakah yang terbaik?” tanya Sultan ingin tahu.
“Sangkar terbaik adalah sangkar yang terbuat dari gading gajah, Tuanku. Burung ini pasti akan lebih senang tinggal di dalam sangkar gading daripada sangkar emas.”
“Sangkar gading? Kita pasti membutuhkan banyak gading gajah untuk membuat sebuah sangkar gading yang besar. Hmm, lalu bagaimana aku bisa mendapatkan gading gajah?” Penasihat Istana menyeringai licik. Ia menyembunyikan sebuah rencana jahat.
“Pemuda yang berhasil menangkap burung ini pasti bisa membawakan gading gajah untuk Baginda Sultan.”
Sultan menganggukkan kepala tanda setuju. Maka, Nasir pun di panggil ke istana untuk menghadap Sultan.
“Oh, Yang Mulia Sultan, bagaimana saya bisa mendapatkan gading? Saya bahkan belum pernah bertemu dengan gajah seumur hidup saya,” kata Nasir.
Namun, Sultan tidak mau tahu kesulitan Nasir.
“Jika dalam waktu empat puluh hari kau tidak berhasil mendapatkan cukup gading untuk sangkar burungku, maka kau akan mendapatkan hukuman!” perintah Sultan.
Nasir gemetar ketakutan. Ia sungguh tidak tahu apa yang harus ia perbuat untuk memenuhi permintaan Sultan. Dengan langkah gontai, Nasir berjalan menuju hutan, hendak mencari cara untuk mendapatkan gading gajah.
“Tuan! Tuan! Kaok! Mengapa Tuan berwajah muram?” tanya sebuah suara.
Nasir mendongak. Ia melihat Burung Gagak sedang bertengger di sebuah dahan pohon.
“Ah, Kawanku, Burung Gagak. Aku mendapatkan tugas berat dari Sultan,” jawab Nasir.
Ia menghela napas, panjang, sebelum akhirnya menceritakan perintah Sultan.
“Kaok! Kaok!” seru Burung Gagak.
“Itu sangat mudah, Tuan. Di balik hutan ini, ada kawanan gajah yang tinggal di sana. Mintalah kepada Sultan, empat puluh kereta kuda berisi minuman anggur. Lalu, tuanglah minuman anggur itu ke dalam kolam tempat minum gajah-gajah itu.”
Nasir mengangguk paham.
“Baiklah. Terima kasih atas saranmu. Aku akan segera menghadap Sultan.”
Beberapa hari kemudian, bersama empat puluh kereta kuda berisi minuman anggur yang dikendarai oleh empat puluh prajurit istana, Nasir datang ke tempat yang telah ditunjukkan oleh Burung Gagak. Di balik hutan, terdapat sebuah padang luas yang dihuni oleh banyak gajah berukuran besar. Ketika gajah-gajah itu pergi, Nasir segera meminta para prajurit istana menuangkan minuman anggur secara diam-diam. Kemudian, semua orang bersembunyi, menunggu apa yang akan terjadi. Saat siang tiba, kawanan gajah itu datang dan berkumpul di kolam tempat mereka biasa minum. Gajah itu minum seperti biasa, namun, dalam sekejap, sesuatu mulai terjadi.
“Wah! Gajah-gajah itu mulai limbung!” seru Nasir dalam hati.
Minuman anggur telah membuat para gajah lemas dan mengantuk. Tak lama kemudian, binatang-binatang besar itu jatuh berdebum ke atas tanah, tertidur dengan nyenyaknya.
“Tolong, bantu saya mengambil gading-gading itu. Tetapi, kita jangan sampai menyakiti atau melukai mereka.” Nasir memberikan aba-aba kepada para prajurit istana.
Setelah Nasir mendapatkan cukup gading gajah, ia segera kembali ke istana untuk menghadap Sultan. Sultan sangat gembira karena Nasir berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Ia pun tidak menghukum Nasir, tetapi justru menghadiahkan empat puluh kereta kuda pembawa anggur yang berisi dengan berbagai macam benda-benda berharga. Keberuntungan Nasir membuat Penasihat Sultan semakin iri. Ia pun kembali merancang rencana jahat untuk mencelakakan Nasir.
“Benar-benar sangkar gading yang indah, Baginda Sultan,” puji Penasihat Sultan di suatu pagi yang cerah.
“Tentu saja. Aku belum pernah merasa sepuas ini,” jawab Sultan sambil menikmati keindahan burung berbulu pelangi dalam sangkar gading.
“Ah, seandainya burung ini bisa berkicau, pasti suaranya sungguh merdu.” Penasihat Istana mulai menjalankan rencana liciknya.
Sultan berpikir sejenak.
“Kau benar, Penasihat Istana. Burung ini tak pernah berkicau sejak kedatangannya. Siapa gerangan yang bisa membuatnya berkicau?”
“Pemilik asli burung ini pasti bisa membuatnya berkicau, Tuanku,” jawab Penasihat Istana.
“Pemuda yang menangkap burung ini dan membawa gading gajah untuk sangkarnya, pasti tahu siapa pemilik aslinya.”
Sultan kembali memanggil Nasir ke istana. Ia memerintahkan Nasir untuk menemukan pemilik asli burung berbulu pelangi. Nasir harus menemukan pemiliki burung tersebut jika ia tidak ingin dihukum oleh Sultan.
“Burung Gagak, Sahabatku, bagaimana aku bisa menemukan pemilik burung indah itu? Sedangkan aku, kan, hanya menangkapnya secara tak sengaja di hutan,” keluh Nasir pada Burung Gagak.
“Jangan bersedih, Tuan. Saya tahu siapa pemilik burung itu karena sayalah yang mendatangkannya,” hibur Burung Gagak.
“Kali ini, Tuan harus meminta sebuah kapal laut yang indah dan berukuran besar kepada Sultan. Kapal itu harus berukuran cukup besar untuk diisi dengan sebuah taman dan pemandian. Lalu, bawalah kapal laut itu berlayar menuju arah kanan. Apabila Tuan menjumpai sebuah gunung, berlayarlah lurus. Jika Tuan sudah mencapai pantai, menepilah. Di sana, tinggal seorang ratu bidadari. Dialah pemilik burung itu. Persilakan dia memasuki kapal untuk melihat-lihat, tetapi jangan biarkan para pelayannya masuk,” nasihat Burung Gagak.
Nasir tak meragukan perkataan sahabatnya, si Burung Gagak. Ia lalu menemui Sultan untuk meminta kapal laut, sesuai dengan nasihat Burung Gagak. Setelah semuanya siap, Nasir memulai pelayarannya.
“Ah! Itu dia pantainya!” Nasir berteriak gembira ketika mencapai pantai yang dimaksud oleh Burung Gagak.
Di sana, Nasir melihat seorang wanita yang sangat cantik sedang berjalan-jalan di tepian pantai dengan diiringi oleh empat puluh pelayan wanita. Saat wanita itu melihat keindahan kapal laut yang dibawa Nasir, ia mendatanginya dengan rasa kagum.
“Tuan, apakah bagian dalam kapal laut ini seindah bagian luarnya?” tanya Ratu Bidadari dengan lembut.
“Apa yang ada di dalam kapal ini lebih indah daripada luarnya. Ratu boleh melihatnya, tetapi para pelayan Ratu harus menunggu di luar kapal,” kata Nasir.
Ratu Bidadari menyetujui persyaratan Nasir. Ia memerintahkan para pelayannnya untuk menunggu di luar kapal. Ia pun memasuki kapal itu sendirian.
“Wah, saya belum pernah melihat taman di dalam sebuah kapal laut.”
Ratu Bidadari terpesona dengan apa yang dilihatnya. Taman itu persis seperti taman-taman istana, lengkap dengan pepohonan, semak-semak berbunga, rerumputan hijau, bebatuan, dan air mancur. Bahkan, ia melihat sebuah tempat pemandian yang tak kalah menariknya.
“Aku telah masuk sampai sejauh ini. Sepertinya sayang sekali jika aku tidak mencoba pemandian ini,” batin Ratu Bidadari.
Ia pun berendam di dalam kolam dan menikmati segarnya air pemandian. Nasir, yang mengetahui bahwa Ratu Bidadari telah masuk ke dalam pemandian, segera berlayar meninggalkan tempat itu.
Ketika Ratu Bidadari selesai mandi, ia begitu panik karena kapal telah berlayar meninggalkan tempat tinggalnya.
“Oh, Tuan! Ke manakah kapal ini hendak berlayar?”
“Jangan khawatir, Ratu. Kita akan menuju ke sebuah istana Sultan. Tempat itu sangat indah dan penuh dengan orang-orang baik,” hibur Nasir.
Sesampainya di istana Sultan, suara kicauan burung yang melengking merdu menyambut kedatangan Ratu Bidadari. Burung berbulu pelangi, yang selama ini tak pernah berkicau, langsung bernyanyi begitu melihat Ratu Bidadari memasuki ruangan!
“Andakah pemilik sebenarnya dari burung ini?” sambut Sultan gembira.
Beliau juga terpesona melihat keanggunan Ratu Bidadari.
“Benar, Yang Mulia Sultan. Burung ini terlepas dari istana saya, dan menghilang entah ke mana,” jawab Ratu Bidadari.
Kali ini, untuk ketiga kalinya, Nasir berhasil menjalankan tugas dari Sultan dengan baik. Sultan pun tak segan-segan mengganjarnya dengan hadiah yang lebih besar lagi dari sebelumnya. Selain itu, Sultan juga mengundang Nasir ke pesta pernikahannya dengan Ratu Bidadari. Pesta pernikahan Sultan dan Ratu Bidadari berlangsung sangat meriah selama empat puluh hari empat puluh malam. Nasir terlihat amat bahagia. Hal ini membuat rasa iri Penasihat Istana semakin menjadi-jadi. Penasehat Istana kembali berencana untuk mencelakakan Nasir. Ia menunggu saat yang tepat untuk menjalankan rencananya itu. Ia menunggu selama berminggu-minggu, hingga datanglah kesempatan itu. Suatu hari, Ratu Bidadari jatuh sakit, hingga tak sadarkan diri. Ratu Bidadari hanya bisa sembuh dengan meminum obat yang hanya bisa diperoleh di Negeri Bidadari, tempat asal Ratu Bidadari.
“Aku akan berangkat sendiri untuk mengambil obat bagi permaisuriku! Aku tak akan gentar, meski permaisuriku pernah berkata bahwa gerbang istananya dijaga oleh dua ekor singa yang buas!” tekad Sultan.
Namun, Penasihat Istana buru-buru mencegah Sultan.
“Jangan, Tuanku! Jika terjadi sesuatu pada Yang Mulia Sultan, rakyat akan kehilangan pemimpin. Akan lebih baik jika Nasir yang mengambilkannya untuk Paduka. Bukankah ia pernah pergi ke sana?” Sultan termenung sejenak, lalu menyetujui usul Penasihat Istana.
“Hahaha! Bagus! Kali ini, celakalah engkau Nasir! Tenggelamlah ke dasar laut atau diterkam singa penjaga gerbang Istana Bidadari! Jangan pernah kembali lagi ke sini!” Penasihat Istana tertawa riang dalam hati.
Nasir sangat terkejut ketika mendengar perintah Sultan untuk mencari obat di Negeri Bidadari. Ia sama sekali tak tahu bagaimana cara mendapatkan obat itu. Tetapi, ia tak punya pilihan lain. Ia pun mulai berangkat menuju Negeri Bidadari. Ketika berada di kapal laut yang membawanya ke Negeri Bidadari, Burung Gagak kembali menemui Nasir.
“Kaok! Kaok! Tuanku, Anda hendak pergi ke mana?”
“Aku mendapatkan tugas lagi dari Sultan. Ratu Bidadari sedang sakit, sehingga aku harus mencari obatnya di Negeri Bidadari. Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan obat itu, tapi aku harus tetap berangkat ke sana.”
“Tuan, jangan khawatir. Aku mengetahui tempatnya. Apakah Tuan masih ingat dengan gunung yang Tuan tuju untuk bertemu dengan Ratu Bidadari?”
“Ya, aku ingat.”
“Obat untuk Ratu Bidadari ada di dalam Istana Bidadari, di balik gunung itu. Penjaga pintu gerbangnya adalah dua ekor singa bersurai emas dan bertaring setajam pedang. Ambillah sehelai buluku, dan usapkan pada mulut mereka.”
Burung Gagak mencabut sehelai bulu dengan paruhnya. Nasir menerimanya dengan penuh rasa terima kasih. Ia segera menyimpan bulu hitam mengilat itu dengan baik.
“Terima kasih, Kawan. Mengapa engkau begitu baik padaku? Berkat jasamu, aku bisa melaksanakan tugas-tugas dari Sultan dan hidup berkecukupan.”
“Tuan pernah berbaik hati membebaskan saya dari jaring. Inilah balas budi saya kepada Tuan. Semoga Tuan kembali dengan selamat. Kaok!” Usai membantu Nasir, Burung Gagak terbang. Nasir tak ingin membuang-buang waktu.
Ia segera berlayar ke arah kanan, hingga melihat sebuah gunung. Kemudian, ia berlayar lurus menuju pantai di tepian gunung dan menepi di sana. Untuk mencapai istana di balik gunung, Nasir terus mendaki, menembus semak belukar berduri dan rapatnya pepohonan berakar sulur, sampai akhirnya ia melihat sebuah istana yang amat cantik. Dan, seperti perkataan Burung Gagak, gerbang istana itu dijaga oleh dua ekor singa dengan surai emas yang berkibar tertiup angin gunung. Kedua singa itu tampak memamerkan taring-taringnya yang setajam pedang. Mereka diam bersiaga, layaknya sepasang patung singa.
“Aku harus berani!” Nasir memegang erat bulu Burung Gagak sambil berjalan mendekat dengan hati-hati.
Nasir semakin dekat dengan kedua singa itu. Tetapi, singa-singa itu tetap diam mematung. Tak bergerak. Tak menyerang. Hanya menggeram, menyeringai, dan menatap tajam ke arah Nasir, seolah memberi peringatan.
“Tenang, singa-singa baik. Aku hanya ingin meminta obat untuk ratu kalian.”
Nasir mengusap-usap kedua mulut singa itu secara bergantian menggunakan bulu Burung Gagak. Tak disangka, singa-singa itu menutup mulutnya, lalu duduk seperti kucing penurut. Para singa merebahkan kepala bersurai emas mereka di kaki dan menggoyang-goyangkan ekor.
“Wah! Ajaib! Singa-singa ini menjadi jinak setelah terkena bulu gagak ini.” Nasir berseru senang dengan jantung yang berdebar-debar.
Ia pun melewati pintu gerbang dengan berjalan pelan-pelan. Di dalam istana, para pelayan Ratu Bidadari mengenali Nasir dan segera tahu bahwa ratu mereka sedang sakit.
“Tolong, minumkan obat ini kepada ratu kami. Semoga, beliau lekas sehat seperti sedia kala,” kata salah satu pelayan dengan wajah sedih. Nasir menjawab dngan anggukan.
Usai berpamitan, Nasir berlayar pulang dan bergegas menemui Sultan. Burung Gagak yang mengetahui kepulangan Nasir, juga ikut masuk ke dalam istana Sultan, sembari bertengger di pundak Nasir. Penasihat Istana, yang melihat keberhasilan Nasir, merasa semakin jengkel saat melihat kedatangan Nasir. Apalagi rencananya kembali gagal untuk kesekian kali. “Huh! Lihat saja pembalasanku!” gumamnya sendirian.
Burung Gagak, yang mengetahui niat jahat Penasihat Istana, segera mengingatkan Nasir. “Berhati-hatilah, Tuan. Penasihat Istana bermaksud buruk kepada Anda.”
“Baginda Sultan! Tunggu! Jangan minumkan obat itu kepada Baginda Ratu!” cegah Penasihat Istana.
Saat itu Sultan hendak meminumkan obat itu kepada Ratu Bidadari yang berbaring tak sadarkan diri di ranjang. Sultan terkejut mendengar peringatan itu.
“Katakan kepadaku, apa alasannya?”
“Nasir tidak mungkin bisa mendapatkan obat dari Negeri Bidadari. Bagaimana ia bisa melewati dua singa buas penjaga gerbang Istana Bidadari?” Penasihat Istana mengemukakan alasannya.
“Sa...ya…. Sa...ya menggunakan bulu burung gagak ini untuk menjinakkan mereka.” Nasir menjelaskan dengan terbata-bata.
Semua orang yang berada di situ tertawa mendengarnya, kecuali Sultan. Ia menyimak penjelasan Nasir dengan sungguh-sungguh.
“Bagaimana mungkin sehelai bulu burung bisa menjinakkan dua ekor singa? Ini pasti penipuan! Obat itu pasti palsu! Ratu bisa meninggal kalau meminum obat itu! Nasir itu seorang pembohong, Yang Mulia!” teriak Penasihat Istana.
“Nasir berani membohongi Sultan! Dia harus dihukum! Harus dihukum!” seru yang lain.
Nasir gemetar menahan marah. Ia tidak menyangka jika Penasihat Istana menuduhnya berbohong.
“Tenang semua!”
Sultan mengangkat tangannya. Ia menatap Nasir dengan tegas.
“Anak muda, selama ini, engkau belum pernah mengecewakan aku. Katakanlah, dari mana engkau mendapatkan obat ini?”
“Dari Istana Bidadari, Tuanku. Pelayan Ratu yang memberikannya kepada saya,” kata Nasir mencoba bersikap setenang mungkin.
“Apakah aku bisa memercayaimu?” tanya Sultan.
Nasir mengangguk yakin.
“Ya, Anda bisa mempercayai saya, Tuan.”
Sultan memercayai perkataan Nasir. Beliau meminumkan obat itu ke mulut Ratu Bidadari. Semua yang hadir menunggu dengan tegang, menunggu reaksi obat. Perlahan-lahan, wajah Ratu Bidadari bersemu segar, lalu membuka mata, dan bangkit duduk di tempat tidur. Orang-orang langsung berseru lega, kecuali Penasihat Istana. Wajahnya tampak pucat pasi. Sementara itu, Nasir terlihat sangat lega karena ia terbukti tidak berbohong kepada Sultan. Ratu Bidadari memanggil Nasir untuk mendekat. “Aku telah mendengar cerita tentang keberanianmu. Terima kasih, Anak Muda,” ucap Ratu Bidadari, inikah burung gagak yang telah membantumu?”
Ratu menatap Burung Gagak yang bertengger di pundak Nasir.
“Benar, Yang Mulia. Dia adalah sahabat terbaik saya,” kata Nasir.
“Aku akan memberi tahumu satu hal. Sebenarnya, burung gagak ini adalah jelmaan dari salah satu pelayanku. Dulu, dia melanggar perintahku, sehingga aku mengubahnya menjadi seekor burung gagak. Tetapi, kini, aku telah melihat kebaikannya dalam membantumu dan menyelamatkan nyawaku. Oleh karena itu, aku memaafkan segala kesalahannya dahulu.”
Tiba-tiba, tubuh Burung Gagak bergetar hebat, hingga jatuh ke lantai. Begitu tubuhnya menyentuh lantai, sapuan angin menderu lembut. Burung Gagak telah berubah kembali ke rupa aslinya, yaitu seorang bidadari pelayan Ratu.
“Terima kasih, Baginda Ratu!” Bidadari itu bersujud penuh hormat.
Hari itu, semua kisah berakhir dengan kebahagiaan, kecuali kisah Penasihat Istana. Oleh karena ia telah melontarkan tuduhan palsu terhadap Nasir, ia diusir dari Istana Sultan. Sebagai gantinya, Sultan mengangkat Nasir sebagai penasihatnya yang baru. Nasir juga tak lupa untuk berterima kasih kepada Burung Gagak yang telah kembali menjadi seorang bidadari. Tanpa bantuan burung gagak itu, Nasir tidak mungkin berhasil melewati semua rintangan ini. Tak lama sesudah kejadian itu, Nasir dan sang bidadari memutuskan untuk menikah. Mereka pun hidup bahagia selama-lamanya.
***
Eko sampai di rumah Budi, ya memarkirkan motornya dengan baik di depan rumah Budi. Eko pun duduk sebelah Budi. Ya Budi selesai baca buku cerita, ya di taruhlah buku di mejalah.
"Lagi suka baca buku cerita ya Budi?!" kata Eko.
"Iya Eko lagi suka baca cerita, ya cerita dari Turki, ya di tulis di buku itu sih!" kata Budi.
"Cerita dari Turki. Kaya ceritanya bagus," kata Eko.
"Memang sih Eko ceritanya bagus. Cerita tentang balas budinya buruk gagak pada seorang cowok bernama Nasir. Ya ternyata burung gagak itu seorang bidadari yang di hukum sama Ratu Bidadari, ya karena berbuat salah sih," kata Budi sedikit menceritakan isi buku cerita pada Eko.
"Oooooo begitu," kata Eko.
"Main catur saja!" kata Budi.
"Main lain ada apa enggak?!" kata Eko.
"Ada sih mainan yang lain. Ya main ular tangga tapi aku modifikasi, ya bisa di bilang baru," kata Budi.
"Ular tangga di modifikasi sama Budi. Boleh juga kalau itu di mainkan," kata Eko.
Budi mengambil barang di bawah meja dan di taruh di atas meja.
"Ini mainan ular tangga yang telah aku modifikasi, ya jadinya mainan baru," kata Budi.
Eko melihat dengan baik mainan ular tangga yang telah di modifikasi sama Budi. Ya Budi menjelaskan dengan baik cara mainnya. Eko mengerti penjelasan Budi, ya keduanya main deh dengan baik.
Friday, November 19, 2021
AGAMA
"Eko," kata Budi.
Budi mengambil tahu goreng di piring, ya di makan dengan baik tahu goreng.
"Apa?!" kata Eko.
Eko mengambil tahu goreng di piring, ya makan dengan baik lah tahu goreng.
"Aku ingin membicarakan sesuatu," kata Budi.
"Bicara saja!" kata Eko.
"Yang aku bicarakan ini. Apa bisa jadi masalah apa tidak ya?!" kata Budi.
"Memang yang mau diomongin apa?!" kata Eko.
"Agama," kata Budi
"Kalau agama, ya tidak akan jadi masalah. Hal biasa. Cuma sekedar obrolan. Apalagi kita ini, ya hanya lulusan SMA, ya masih kurang ilmu ini dan itu, ya pemahaman gitu," kata Eko.
"Kalau tidak jadi masalah, ya aku omongin lah!" kata Budi.
Budi mengambil gelas berisi kopi di meja, ya di minum dengan baik kopi lah.
"Eeeemmmm. Tapi di pikir dengan baik. Kalau ngomongin agama, ya kena masalah sih," kata Eko dengan niatnya becanda.
Eko mengambil gelas berisi kopi di meja, ya di minum dengan baik kopi lah. Budi menaruh gelas berisi kopi di meja.
"Beneran Eko. Kalau ngomongin agama akan jadi masalah?!" kata Budi.
Eko menaruh gelas berisi kopi di meja lah.
"Bisa sih jadi masalah. Kalau ada urusannya dari fitnah sampai urusan terorisme, ya maksudnya ada kaitan dengan terorisme," kata Eko.
"Beneran Eko?!" kata Budi.
"Becanda Budi!" kata Eko.
"Oooo becanda toh!" kata Budi.
"Jadi apa yang mau di omongin Budi tentang agama?!" kata Eko.
"Kalau saja agama tidak lahir di muka bumi ini, ya gimana Eko?!" kata Budi.
"Ooooo yang mau di bicarakan tentang agama, ya kalau agama tidak terlahir di muka bumi. Ya kalau di pikir dengan baik, ya Budi. Tidak ada perselisihan antar agama sampai urusan terorisme," kata Eko.
"Jadi malah lebih baik agama tidak lahir di muka bumi ini, ya perselisihan antar agama sampai urusan terorisme juga tidak ada," kata Budi.
"Agama tidak ada, ya manusia malah lebih berbahaya lagi. Ya bertindak semau-maunya kaya manusia zaman purba," kata Eko.
"Iya juga ya. Agama tidak ada. Manusia, ya bertindak kaya manusia zaman purba, ya binatang," kata Budi.
"Maka itu. Lebih baik agama lahir di muka bumi ini, ya tujuannya membimbing manusia yang memiliki nilai berbudi pekerti yang baik, ya agar hidup di jalan kebaikkan dan hidup saling berdampingan dengan baik antar suku bangsa lah," kata Eko.
"Pada akhirnya. Memang lebih baik agama lahir di muka bumi ini. Ada pun perselisihan antara agama satu dengan lain, ya di anggap pertengkaran anak kecil yang belum mengerti ilmu ini dan itu, ya harus di bimbing dengan baik, ya agar paham ini dan itu," kata Budi.
"Ya bisa di bilang sih. Ujian hidup di muka bumi ini," kata Eko.
"Ya Eko...lebih baik main ular tangga saja!" kata Budi.
"Main ular tangga, ya boleh lah!" kata Eko.
Budi telah mengambil barang di bawah meja, ya di taruh atas mejalah. Budi dan Eko main ular tangga lah.
"Kalau agama tidak ada. Berarti kita akan menjalankan aturan adat istiadat ya Eko?!" kata Budi.
"Kalau agama tidak ada, ya kita menjalankan aturan adat istiadat berdasarkan nenek moyang yang di turunkan kepada orang tua kita, ya sampai ke kita. Ya di pikir dengan baik, ya adat istiadat juga, ya bisa di bilang agama," kata Budi.
"Kalau di pikir dengan baik, ya adat istiadat, ya agama sih," kata Budi menegaskan omongan Eko.
"Tapi kenapa adat istiadat kalah dari agama yang datang dari negeri asalnya agama?!" kata Eko.
"Mungkin pendekatan agama, ya masuk ke dalam lapisan tiap suku yang ada di negeri ini," kata Budi.
"Emmmmm. Pendekatannya, ya memang baik sih pendekatannya. Agar orang-orang masuk ke dalam agama," kata Eko.
"Kalau begitu tidak perlu bahas lebih jauh. Ya lebih baik fokus main ular tangganya!" kata Budi.
"Ok!" kata Eko.
Eko dan Budi main ular tangga dengan baik.
Thursday, November 18, 2021
SI KABAYAN
Budi duduk di depan rumahnya, ya sedang baca buku Bahasa Indonesia yang ada cerita cerpen dengan judul 'Si Kabayan', ya sambil menikmati makan gorengan dan juga minum teh gelas lah.
Isi cerita cerpen yang di baca Budi :
Alkisah, zaman dahulu hidup seorang lelaki di tanah Pasundan atau sekarang Jawa Barat, bernama Kabayan. Si Kabayan terkenal sangat pemalas, bodoh, tapi anehnya banyak akal. Akal bulusnya sering ia gunakan untuk mendukung sifat malasnya. Si Kabayan telah memiliki istri bernama Nyi Iteung. Mertua Kabayan sudah sangat kesal dengan sifat menantunya. Ia sering memarahi menantunya tapi Si Kabayan selalu saja punya akal bulus dalam menghadapi mertuanya.
Pada suatu hari Si Kabayan di suruh oleh mertuanya untuk mengambil tutut di sawah. Tutut adalah sejenis siput-siput kecil di sawah. Biasa tutut-tutut sawah di masak menggunakan bumbu-bumbu dengan cara di rebus. Si Kabayan menuruti perintah mertuanya untuk mencari tutut di sawah. Ia pergi ke sawah tapi malas-malasan.
Setibanya di sawah, Si Kabayan bukannya mencari tutut tapi malah duduk-duduk santai di pematang sawah. Mertua Kabayan lama menunggu di rumah tapi Si Kabayan tak juga kunjung datang. Akhirnya mertua Kabayan menyusul ke sawah. Sesampainya di sawah, mertua Kabayan marah bukan main. Ia mendapati menantunya tengah duduk-duduk santai di pematang sawah.
“Hai Kabayan! Aku suruh mencari tutut tapi engkau malah enak duduk-duduk. Dasar pemalas!” teriak mertuanya.
“Aduh Abah, aku takut mau turun ke sawah, soalnya sangat dalam. Coba lihat Abah! Saking dalamnya, langit sampai terlihat di air sawah.” kata Kabayan beralasan.
Karena kesal melihat kemalasan menantunya, Mertua Si Kabayan kemudian mendorong tubuh menantunya hingga terjatuh ke sawah. Si Kabayan terjatuh ke sawah sambil tersenyum-senyum.
“Aduh Abah, tenyata sawahnya dangkal ya.”
Ia kemudian mengambil siput-siput kecil di sawah. Suatu ketika Si Kabayan sakit. Ia menderita sakit pilek dan batuk. Selama seharian Si Kabayan hanya meringkuk di dalam kamarnya. Pada malam sebelumnya Si Kabayan memang kehujanan sepulang dari rumah Pak RT. Nyi Iteung merasa kuatir melihat kondisi Kabayan. Nyi Iteung lalu mengajak Kabayan pergi ke Puskesmas. Singkat cerita, Kabayan diantar Nyi Iteung pergi ke Puskesmas dekat rumahnya.
Pak Mantri dengan ramah kemudian memeriksa Kabayan. Ia mengatakan bahwa Kabayan hanya sakit pilek dan batuk biasa.
“Kang Kabayan hanya sakit pilek biasa. Ini saya beri 2 macam obat. Asalkan makan cukup, minum obat sesuai resep dan beristirahat, Kang Kabayan akan segera sembuh.” kata Pak Mantri.
Pulang dari Puskesmas, Kabayan merasa yakin bahwa sakitnya akan segera sembuh. Pak Mantri, memberinya 2 macam obat yang harus di minum, yaitu obat pilek dan obat batuk. Sesampainya di rumah, Nyi Iteung menyiapkan makanan dan obat untuk di minum Kabayan. Kabayan pun segera makan dan meminum obatnya kemudian tidur istirahat. Sore harinya ketika Kabayan bangun tidur. Ia sadar sudah waktunya harus minum obat. Tapi Nyi Iteung tidak nampak.
“Nyi Iteung kemana nih? Sudah waktunya minum obat. Mungkin Nyi Iteung lagi ke rumah Abah.” pikir Kabayan.
Setelah makan makanan di meja makan, Kabayan meminum obat yang didapatnya dari Puskesmas. Tidak lama kemudian Nyi Iteung datang. Ia merasa heran melihat Kabayan tengah meloncat-loncat di dalam rumah.
“Akang Kabayan kan masih sakit, kenapa meloncat-loncat? Kang Kabayan, udah sembuh? Lagi olah raga ya?” tanya Nyi Iteung.
“Bukan olah raga Nyi.” kata Kabayan sambil terengah-engah. “Tadi Akang habis minum obat tapi lupa baca tulisan di botol obat batuk. Disitu ditulis, kocok dahulu sebelum diminum. Makanya Akang sekarang loncat-loncat biar obatnya di kocok.” kata Kabayan lagi.
Rupanya Kabayan meloncat-loncat supaya obatnya bisa di kocok di dalam perut.
“Aduh Kang Kabayan...Ga usah loncat-loncat gitu...” Nyi Iteung berteriak.
Suatu hari Nyi Iteung lagi datang manjanya. Entah kenapa Ia sangat ingin makan buah Nangka. Nyi Iteung lalu mendatangi sang suami tercinta, Si Kabayan.
“Kang Kabayan, Iteung teh lagi ingin makan buah Nangka, tolong atuh Kang di ambilin Iteung buah Nangka di pohon. Kan udah ada yang mateng tuh.” kata Nyi Iteung sambil menunjuk pohon nangka.
”Iya Nyi, Akang ambilin nangka. Jangankan cuman naik pohon nangka, naik kapal aja akang mau demi Nyai mah.” kata Kabayan.
Ia kemudian pergi ke dapur mengambil golok. Dengan golok dipinggang, Si Kabayan dengan sigap naik pohon nangka yang lumayan tinggi dan banyak cabangnya. Begitu sampai di atas pohon nangka, Kabayan segera menebas sebutir buah Nangka masak menggunakan goloknya. Bag...big...bug... begitu suara buah Nangka jatuh terkena dahan-dahan pohon sebelum sampai di tanah. Si Kabayan menyukai suara nangka jatuh. Ia menganggapnya seperti suara musik merdu.
“Wah enak euy suara nangka jatuh, merdu sekali seperti musik. Bagaimana kalo golok saya lempar ke bawah? Suaranya pasti lebih merdu.” gumam Si Kabayan.
Kemudian Kabayan menjatuhkan goloknya. Tang..ting..tung..tang..ting..tung..teng.. begitu suara golok menimpa dahan dan akhirnya jatuh di tanah.
“Waduh bagus suaranya ya.” kata Si Kabayan.
“Coba saya jatuhkan yang ini pasti suaranya lebih merdu lagi.” kata Si Kabayan.
Tiba-tiba terdengar suara berisik “Gubrak! waduh! brug! aawww! hek! aduh! buk! Iteeeeeung!!! Tolongin akang Iteung.” teriak Kabayan kesakitan. Ternyata Si Kabayan menjatuhkan tubuhnya sendiri. Hari lainnya, Si Kabayan disuruh mertuanya memetik buah nangka matang. Pohon nangka tersebut terletak di pinggir sungai, dimana tangkainya menjorok di atas sungai. Si Kabayan memanjat pohon nangka dengan malasnya. Ia takut mertuanya marah besar jika ia tak menuruti perintahnya.
Diatas pohon ia melihat ada buah nangka telah matang. Dipetiknya buah nangka matang tersebut. Tapi sayang, karena cukup sulit, buah nangka tersebut jatuh ke dalam sungai. Si Kabayan membiarkan buah nangka matang hanyut di sungai. Ia kemudian pulang ke rumah mertuanya. Di rumah, mertuanya nampak kesal ketika melihat menantunya pulang tanpa membawa buah nangka matang yang ia minta.
“Mana buah nangka matang yang aku minta petik?” Tanya mertuanya.
“Loh, bukannya buah nangka yang aku petik tadi sudah sampai duluan? Waktu kupetik, buah nangka itu jatuh ke sungai. Nampaknya ia ingin berjalan sendirian. Makanya aku biarkan ia berjalan sendirian. Sudah aku perintahkan agar ia cepat pulang ke rumah, tapi ternyata belum sampai juga nangka itu ya? Dasar nangka tak tahu diri, dia tidak mau menuruti perintahku.” Dengan santainya Si Kabayan menjawab.
“Apa-apaan kamu Kabayan? Mana bisa buah nangka berjalan sendirian ke rumah. Dasar pemalas banyak alasan.” mertuanya berteriak kesal.
Si Kabayan hanya hanya tertawa-tawa dimarahi oleh mertuanya. Pada hari lain, mertuanya mengajak Si Kabayan memetik kacang koro di kebun. Untuk keperluan tersebut, mereka membawa sebuah karung untuk mengangkut kacang koro. Baru saja memetik beberapa kacang koro, Si Kabayan mulai kambuh penyakit malasnya.
Ia terlihat mengantuk, kemudian masuk ke dalam karung untuk tidur di dalamnya. Menjelang siang, mertua Kabayan telah selesai memetik kacang koro. Ia keheranan karena tidak mendapati Kabayan.
“Si Pemalas itu pasti sudah pulang duluan karena malas mengangkat karung berisi kacang koro. Dasar menantu pemalas!” Mertua Si Kabayan kemudian memanggul karung yang ia kira berisi kacang koro sampai ke rumah.
Ia merasa heran kenapa karung kacang koro terasa berat sekali. Sesampainya di rumah, mertua Kabayan kemudian membuka karung kacang koro. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati di dalam karung ternyata berisi Si Kabayan tengah tidur lelap.
“Saya bawa karung untuk kacang koro! Bukan untuk manusia, Kabayan!” Mertua Kabayan marah bukan main.
Si Kabayan terbangun dari tidurnya sambil tersenyum-senyum. Keesokan harinya mertua Kabayan kembali mengajaknya memetik kacang-kacang koro di kebun. Ia masih sangat kesal dengan kejadian hari sebelumnya. Abah berniat membalas dendam. Saat Kabayan tengah memetik kacang-kacang koro, diam-diam mertuanya masuk ke dalam karung untuk tidur.
Ia berharap Kabayan akan memanggul karung tersebut ke rumah seperti yang ia lakukan hari kemarin. Pada adzan Dhuhur, Si Kabayan menghentikan pekerjaannya. Ia kemudian melihat ke dalam karung dan terkejut melihat mertuanya tengah tidur di dalam karung. Kabayan kemudian mengikat karung kacang koro lalu menyeretnya. Karena diseret-seret, mertuanya terbangun dari tidurnya kemudian berteriak-teriak.
“Kabayan ini Abah! Jangan engkau seret-seret Abah!” Namun Si Kabayan tak memperdulikannya.
Ia tetap menyeret karung tersebut sampai di rumah.
“Saya bawa karung untuk kacang koro! Bukan untuk manusia Abah!” kata Kabayan.
Sejak kejadian tersebut mertuanya merasa sangat marah. Ia sangat membenci Kabayan. Ia tidak mau berbicara dengannya. Setiap ia berpapasan dengan menantunya, ia akan menunjukkan kebenciannya dengan memalingkan mukanya. Lama-kelamaan Kabayan merasa tidak enak dengan sikap mertuanya. Ia mencari cara untuk mengambil hati mertuanya.
Kabayan kemudian menanyakan nama asli mertuanya kepada Nyi Iteung, istrinya. Nyi Iteung mengingatkan suaminya bahwa berdasar adat saat itu, mengetahui nama asli mertua adalah sebuah pantangan. Namun Kabayan berusaha meyakinkan Nyi Iteung bahwa ia ingin mendoakan mertuanya agar panjang umur, murah rezeki, dan jauh dari marabahaya. Nyi Iteung akhirnya memberi tahu nama asli mertuanya yaitu, Ki Nolednad.
Nyi Iteung meminta suaminya untuk tidak menyebutkan nama mertuanya kepada siapapun. Kabayan menyanggupinya. Setelah mengetahui nama mertuanya, Si Kabayan kemudian mencari air enau yang masih kental. Ia kemudian melumuri seluruh tubuhnya dengan air enau. Selanjutnya Kabayan menempelkan kapuk ke seluruh tubuhnya. Hingga tubuhnya terlihat berwarna putih karena dipenuhi oleh kapuk.
Ia kemudian menuju lubuk tempat mertuanya biasa mandi. Ia memanjat pohon dan menunggu mertuanya yang akan mandi. Saat mertua Kabayan hendak mandi, Si Kabayan kemudian memanggil nama mertuanya.
“Nolednad! Nolednad!” teriak Kabayan.
Suaranya dibuat agak berat.
“Siapa yang memanggil namaku?” Mertuanya sedikit ketakutan ketika melihat ke atas pohon ada sesosok mahluk bertubuh putih menyeramkan.
“Nolednad, aku Kakek penunggu lubuk. Dengar Nolednad, engkau harus menyayangi menantumu Si Kabayan . Karena ia adalah cucu kesayanganku. Jangan menyia-nyiakannya. Urus dia baik-baik. Jika engkau tidak mengurusnya baik-baik, percayalah, hidupmu akan penuh marabahaya.” kata Kabayan.
“Baik baik Kakek penunggu lubuk. Mulai sekarang Aku akan mengurus dan menyayangi Kabayan sepenuh hati. Aku janji Kakek.” kata mertua Kabayan ketakutan.
Sejak saat itu, Si Kabayan sangat disayangi oleh mertuanya. Ia dibuatkan sebuah rumah kecil untuk ditinggali bersama istrinya. Begitu juga sandang pangan pun dicukupi. Mertuanya juga sudah tidak pernah lagi memarahinya karena takut dengan pesan Kakek penunggu lubuk. Akhir cerita, setelah disayangi sepenuh hati oleh mertuanya, Si Kabayan akhirnya sadar dengan sikap malas dan tipu dayanya. Ia kini tidak lagi malas-malasan. Ia sekarang mulai rajin bekerja sebagai buruh di ladang. Ia menyayangi Nyi Iteung juga menyayangi mertuanya.
***
Eko sampai di rumah Budi, ya memarkirkan motornya dengan baik di depan rumah Budi. Eko pun duduk dengan baik di sebelah Budi. Ya Budi telah selesai membaca cerpen di buku Bahasa Indonesia, ya buku di taruh di meja.
"Buku Bahasa Indonesia di baca Budi. Kan Budi telah lulus sekolah SMA?!" kata Eko.
"Ada cerita yang menarik, ya cerpen di buku Bahasa Indonesia. Cerpen itu dengan judul 'Si Kabayan'," kata Budi.
"Ooooo karena ada cerita cerpen yang berjudul 'Si Kabayan', ya jadinya Budi baca buku Bahasa Indonesia," kata Eko.
"Eko main catur saja!" kata Budi.
"Main catur. Main lain gitu!" kata Eko.
"Main lain. Berarti main ini saja!" kata Budi.
Budi mengambil sebuah barang di bawah meja dan di taruh di atas meja.
"Permainan ular tangga," kata Eko.
"Iya," kata Budi.
"Ya kalau begitu main," kata Eko.
"Ok!!!!," kata Budi.
Budi dan Eko main ular tangga, ya dengan baik, ya sambil menikmati makan gorengan dan juga minum teh gelas.
Tuesday, November 16, 2021
KEGAGALAN DALAM CINTA
"Artis yang baru menikah, ya menunjukkan kebahagian hubungan, ya rumah tangga," kata Budi.
"Kok jadi ngomongin artis?!" kata Eko.
Eko mengambil gelas berisi kopi di meja, ya di minum dengan baik kopi lah.
"Sekedar obrolan saja," kata Budi.
Budi mengambil gelas berisi kopi di meja, ya di minum dengan baik kopi lah. Eko menaruh gelas berisi kopi di meja.
"Ooooo sekedar obrolan saja," kata Eko.
Budi menaruh gelas berisi kopi di meja lah.
"Ya ada cerita. Artis telah menjalankan rumah tangganya, eeee tahu-tahu terjadi masalah rumah tangganya. Artis itu bercerai deh," kata Budi.
"Kalau di pikir dengan baik. Artis. Kan ingin menaikan namanya dari hal baik urusan rumah tangga sampai urusan rumah tangganya yang buruk. Ya kontrafersi ini dan itu," kata Eko.
"Sebagai pandangan saja buat kita. Bahwa pernikahan itu di jalankan, ya tidak selamanya jalannya baik, ya ada buruknya," kata Budi.
"Memang sih sebagai pandangan buat kita. Ya hubungan pernikahan tidak selamanya jalan baik, ya ada jalan buruk. Ya ujiannya berumah tangga. Bisa masalah ekonomi sampai perselingkuhan, ya seperti cerita sinetron atau film gitu. Ceritanya menarik di tonton gitu, ya penuh dengan intrik," kata Eko.
"Kegagalan dalam cinta, ya putus hubungan antara suami dan istri, ya cerai gitu," kata Budi.
"Cerai itu memang kegagalam dalam cinta," kata Eko menegaskan omongan Budi.
"Ada ceritanya sih," kata Budi.
"Oooo ada cerita toh. Budi ceritakan dengan baik!" kata Eko.
"Baiklah aku ceritakan dengan baik. Ceritanya seperti ini. Seorang cowok yang suka dengan cewek yang di sukainya, ya niat baiknya menikahi cewek pilihannya. Pernikahan pun berjalan dengan baik, ya hubungan rumah tangganya berjalan dengan baik. Sampai suatu ketika, ya cowok itu tidak bekerja karena usaha tempat ia bekerja, ya bangrut gitu. Cowok itu jadinya pengangguran deh. Cowok itu telah berusaha dengan baik, ya tetap susah mendapatkan pekerjaan. Istrinya menuntut ini dan itu, ya pada suaminya. Ya suaminya tidak bisa memenuhi permintaan istrinya. Suami itu, ya pusing dengan tuntutan dari istrinya yang ini dan itu. Maka suami itu, ya mencerai kan istrinya. Ya begitu lah ceritanya," kata Budi.
"Ceritanya bagus," kata Eko.
"Cerita yang baru aku cerita kan itu, ya kenyataan sih, ya aku ambil dari orang yang pernah menjalankan hubungan pernikahan gitu," kata Budi.
"Dari kegagalan orang membangun rumah tangganya, ya jadi pelajaran buat kita. Harus bijaksana dalam bersikap dalam memutuskan untuk menikah dan menjalankannya pernikahan itu," kata Eko.
"Belajar dari orang yang gagal, ya agar diri kita tidak gagal dalam membangun hubungan dengan cewek, ya sampai menikah gitu," kata Budi.
"Harus pandai-pandai memilih cewek yang ngertiin keadaan kita kan Budi?!" kata Eko.
"Memang sih harus pandai-pandai memilih cewek yang bisa mengerti keadaan kita," kata Budi menegaskan omongan Eko.
"Maka itu aku memilih Purnama, ya cewek yang baik dari pemahaman agamanya dan juga sudah bekerja juga," kata Eko.
"Pilihan Eko tepat lah memilih Purnama, ya cewek yang mengerti keadaan Eko lah. Sedangkan aku tetap berusaha mendapatkan cewek yang mengertiin keadaan aku lah," kata Budi.
"Budi....main catur saja!" kata Eko.
"Ok!!!" kata Budi.
Eko sudah mengambil papan catur di bawah meja, ya di taruh di atas meja. Eko dan Budi, ya menaruh bidak catur di atas papan catur.
"Kegagalan dalam cinta, ya hubungan pernikahan, ya cerai gitu. Berarti salah sepenuhnya cowoknya kan Eko?!" kata Budi.
"Ya memang salah sepenuhnya cowoknya karena kan pemimpin rumah tangga kan cowok, ya bukan cewek. Maka itu cowok harus bisa membimbing ceweknya, ya agar urusan rumah tangganya berjalan dengan baik. Ya harus paham agama lah dan juga bekerja lah, ya agar urusan rumah tangga berjalan dengan baik lah!" kata Eko.
"Ya sudah lah lebih baik serius main catur!" kata Budi.
"Ok!!!!" kata Eko.
Eko dan Budi, ya main catur dengan baik.
PERJODOHAN
"Cerita sinetron dan film, ya urusan cinta. Selalu berkaitan dengan perjodohan," kata Budi.
Mengambil tahu goreng di piring, ya di makan dengan baik tahu goreng lah.
"Perjodohan kan hal baik untuk menyatukan hubungan dua keluarga yang memiliki anak cewek dan anak cowok yang telah dewasa, ya bekerja juga sih.....dengan perkawinan," kata Eko.
Eko mengambil bakwan goreng di piring, ya di makan dengan baik lah bakwan goreng.
"Memang baik sih," kata Budi.
"Perjodohan, ya ada berhasil ada juga yang tidak," kata Eko.
"Perjodohan berhasil, ya agap saja contohnya bisa di sinetron dan juga film saja. Sedang perjodohan gagal, ya ada sebuah cerita tentang perjodohan, ya kenyataan ceritanya sih. Ada sebuah cerita seorang pemuda. Ya pemuda itu di dekatin sama orang tua punya anak cewek, ya bapak-bapak gitu. Bapak itu mau menjodohkan anak ceweknya sama dengan pemuda itu. Ya pemuda itu menolaknya dengan berkata halus banget. Bapak itu pun kecewa di tolak sama pemuda itu. Sebenarnya ceweknya suka dengan pemuda itu. Ya pemudanya tidak suka dengan cewek itu. Begitu lah ceritanya," kata Budi.
Budi mengambil gelas berisi kopi di meja, ya di minum dengan baik kopi lah.
"Oooo cerita perjodohan yang gagal itu. Sampai bapak itu meninggal, ya gagal menikah kan anak ceweknya," kata Eko.
Eko mengambil gelas berisi kopi di meja, ya di minum dengan baik kopi lah. Budi menaruh gelas berisi kopi, ya di meja lah.
"Hidup tidak selamanya mulus sesuai dengan rencana, ya pasti ada kegagalan dalam rencana," kata Budi.
Eko menaruh gelas berisi kopi di meja lah.
"Sama halnya urusan kerja. Ada yang kerja di perusahaan, ya ijazah SMA, ya jadi buruh. Ada yang gagal juga, ya tidak kerja di perusahaan," kata Eko.
"Ya tetap saja harus berusaha sebaik mungkin agar kerja, ya mengubah nasif lah. Dari pengangguran jadi kerja. Tujuannya kerja kan untuk nolong orang tua yang telah berusaha keras menyekolahkan anaknya sampai lulus SMA dengan cara hutang sana sini, ya nama juga orang miskin. Bisa di bilang sih balas budi anak ke orang tua," kata Budi.
"Anak berhasil kerja, ya orang tua seneng bukan main. Maka itu lebih baik menyenangkan orang tua dengan harta yang kita yang di dapatkan dengan jalan kebaikan dari pada menyenangkan cewek, ya belum tentu ngertiin kita. Kecuali cewek itu didik sama orang tuanya dengan baik, ya dengan pemahaman ilmu agama yang baik," kata Eko.
"Memang lebih baik menyenangkan orang tua. Aku ini anak berbaktikan Eko?!" kata Budi.
"Sebagai teman yang baik dari kecil sampai dewasa, ya aku tahu Budi lah, ya anak yang berbakti pada orang tua. Rezeki Budi dari kerja kan di berikan kepada orang tua. Ya sama dengan aku lah," kata Eko menegaskan omongan Budi.
"Kalau begitu lebih baik main catur saja!" kata Budi.
"Ok. Main catur!" kata Eko.
Budi telah mengambil papan catur di bawah meja, ya papan catur di taruh atas meja. Budi dan Eko menyusun budak catur di atas papan catur.
"Kalau aku di jodohkan dengan cewek yang menyukai aku, ya aku terima dengan baik," kata Budi.
"Gimana dengan keinginan Budi yang ingin mendapatkan cewek cantik dan kaya. Kalau di jodohkan orang tua, ya pastinya sederajat lah?!" kata Eko.
"Seandainya saja Eko!" kata Budi.
"Oooo seandainya. Aku kirain beneran," kata Eko.
"Ya sudah tidak perlu di bahas lagi. Lebih baik serius main caturnya!" kata Budi.
"Ok!" kata Eko.
Eko dan Budi, ya main catur dengan baik lah.
Sunday, November 14, 2021
CINTA ITU MEMBUATKU RINDU
"Cinta itu membuat aku rindu ingin bertemu dengan sosok yang aku sukai," kata Abdul.
"Kok tiba-tiba ngobrolin cinta?!" kata Budi.
"Ya.....tiba-tiba rasa itu terasa banget ingin bersama cewek yang aku sukai," kata Abdul.
"Putri lagi Putri lagi," kata Budi.
"Cewek yang aku sukai dan juga sekedar bahan obrolan saja!" kata Abdul.
Abdul mengambil teh gelas di meja, ya di minum dengan baik teh gelas.
"Iya sih sekedar obrolan," kata Budi.
Budi mengambil teh gelas di meja, ya di minum lah dengan baik teh gelas. Abdul menaruh teh gelas di meja lah.
"Apakah Putri mikirin aku?!" kata Abdul.
Budi menaruh teh gelas di meja lah.
"Ya kemungkinan Putri tidak mikirin Abdul lah. Berdasarkan data kebiasaan cewek yang sibuk dengan urusan pendidikannya," kata Budi.
"Kemungkinan yang di omongin Budi, ya ada benernya sih, ya berdasarkan kebiasaan cewek yang sibuk dengan pendidikannya," kata Abdul.
"Kalau kepepet urusan target menikah, ya cewek mikirin juga sih, ya cowok yang di sukai. Hal lumrah," kata Budi.
"Ya kalau kepepet urusan target menikah, ya cewek mikirin cowok yang ia sukai lah, ya harapannya tinggi, ya cowoknya menyatakan cinta lah," kata Abdul menegaskan omongan Budi.
Budi terpikir dengan cewek yang di sukainya, ya berkata "Cewek itu sangat cantik, ya menurut aku. Ya beda dengan cowok lain tanggapannya tentang cewek itu. Tapi sayang di sayang kan. Cewek itu sudah punya pacar. Aku tidak ingin merusak hubungan cewek itu dengan pacarnya."
Abdul memang terkejut dengan omongan Budi, ya curhat tentang cewek yang di sukai Budi. Abdul pun berkata "Cewek yang di omongin Budi. Apa aku tahu orang ya?!"
"Ya Abdul tidak tahu lah orangnya," kata Budi.
"Oooo aku tidak tahu orangnya toh. Jadi sekedar obrolan tentang cewek yang di sukai Budi, ya kan Budi?!" kata Abdul.
"Ya begitu lah," kata Budi.
"Kalau cewek yang di sukai Budi, ya ternyata sudah punya pacar. Ya bagus lah Budi ngomong begitu. Tidak mau merusak hubungan cewek yang di sukai Budi yang sudah punya pacar," kata Abdul.
"Seandainya aku bertemu dengan cewek itu lebih dulu. Maka aku lah bisa jadian dengannya cewek itu," kata Budi.
"Awal bertemu. Mungkin Budi bisa jadian cewek itu," kata Abdul.
"Ya sudah lah ngobrolin cewek itu. Lebih baik main catur saja!" kata Budi.
"Ok. Main catur!" kata Abdul.
Budi telah mengambil papan catur di bawah meja, ya di taruh di atas meja. Budi dan Abdul menyusun bidak catur di atas papan catur. Keduanya main catur dengan baik. Sedangkan Putri, ya tepatnya di rumahnya di dalam kamarnya. Putri sedang sibuk mengetik di leptopnya, ya membuat tugas-tugas kuliah dengan baik. Putri tetap fokus dengan pendidikan di Universitas dengan baik, ya kalau bisa di selesaikan pendidikannya sesuai rencana.
Saturday, November 13, 2021
KERIS SAKTI
CAMPUR ADUK
MUMBAI XPRESS
Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...
CAMPUR ADUK
-
1. Asal Usul Pangeran Jayakusuma Alkisah cerita, ada sebuah kerajaan yang besar di daerah Timur dengan rajanya yang bernama Prabu Braw...
-
Sekurang-kurangnya sepuluh atau lima belas orang, laki-laki dan perempuan, berdiri dalam satu deretan panjang, berbaris dari belakang dan...
-
Pagi indah sekali di Baturaden. Matahari bersinar cerah menimpa pohon-pohon ceramah yang kelihatan hijau berkilat. Puncak Gunung Slamet m...