Jauh sekali dari masa sekarang, ketika manusia masih berkendara dengan kuda dan istana-istana para sultan masih baru selesai di bangun, hiduplah seorang lelaki tua yang sering keluar masuk hutan untuk menangkap burung-burung. Burung-burung itu ia jual kepada siapa pun yang bersedia membelinya. Kemudian, lelaki tua itu menggunakan uangnya untuk menghidupi dirinya dan anak lelaki semata wayangnya yang bernama Nasir.
Suatu pagi, Nasir mencoba membangunkan ayahnya di pembaringan. Namun, ayahnya tak kunjung bangun. Bahkan, ia tidak bangun untuk selamanya. Pagi itu, ayah Nasir meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, Nasir merasa sedih. Ia juga kebingungan karena uang dalam kantung kulit keledai peninggalan ayahnya tinggal sekeping.
“Jika aku kehabisan uang, maka aku tidak akan bisa membeli makanan dan bisa mati kelaparan... Ah, aku harus bekerja!” pikir Nasir.
Tanpa sengaja, mata Nasir tertumbuk pada sesuatu di sudut ruangan. Sebuah buntalan kain yang di bawa ayahnya untuk bekerja setiap hari. Nasir membuka buntalan itu dan menemukan sebuah jaring untuk menangkap burung. Wajah Nasir terlihat lebih cerah.
“Jika Ayah bisa, maka aku juga bisa melakukannya!”
Nasir bergegas berangkat menuju hutan untuk menangkap burung. Sesampainya di hutan, Nasir segera membentangkan jaringnya di atas pohon. Ia cukup beruntung karena pernah belajar menangkap burung bersama teman-temannya sewaktu kecil. Setelah membentangkan jaringnya, Nasir menunggu di bawah pohon. Tak berapa lama kemudian, ia melihat seekor burung gagak hitam hinggap di atas pohon, tepat pada bagian yang berjaring. Nasir langsung meringkus burung itu dengan cepat. Krosak! Krosak!
“Yap! Aku berhasil!” seru Nasir senang.
“Kaok…! Tolong, Tuan... tolong... lepaskan saya...” Burung gagak itu memohon sambil meronta-ronta.
“Maaf, Burung Gagak. Tapi, aku harus menangkapmu. Aku akan menjualmu agar aku akan mendapatkan uang untuk membeli makanan,” jawab Nasir.
“Tolonglah, Tuan.... lepaskan saya. Saya masih ingin hidup bebas. Saya berjanji akan membalas kebaikan Tuan dengan sesuatu yang lebih bagus.”
Burung Gagak terus mengiba kepada Nasir. Nasir akhirnya merasa kasihan melihatnya.
“Aku tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh seekor burung gagak untukku. Tetapi, karena aku kasihan padamu, engkau bisa bebas sekarang.”
Begitu terlepas dari jeratan jaring, Burung Gagak mengangguk-anggukkan kepalanya yang hitam lalu berkata, “Terima kasih, Tuan! Terima kasih! Saya tidak akan melupakan kebaikan Tuan!”
Nasir memandang kepergian burung gagak itu dengan berat hati. Tetapi, kesedihannya tak berlangsung lama. Ia kembali membentangkan jaringnya di atas pohon. Kali ini, sebentar saja, seekor burung lain terbang mendekat dan hinggap di atas pohon yang telah dipasangi jaring oleh Nasir. Hup! Nasir menangkap burung itu dengan sigap. Ketika ia membuka jaring, tampaklah seekor burung yang sangat indah dengan helai-helai bulu halus mengilap dan berwarna pelangi.
“Aku belum pernah melihat burung secantik ini.”
Nasir berdecak kagum. Burung ini, benar-benar, lebih bagus daripada burung gagak tadi.
“Tuan, saya telah menepati janji, bukan?” Burung gagak, yang dilepaskan Nasir tadi, hinggap di dahan pohon dekat Nasir berdiri.
“Sekarang, juallah burung itu kepada Sultan. Beliau akan membelinya dengan senang hati.”
Nasir menuruti nasihat Burung Gagak. Ia pun pergi ke istana Sultan hendak menawarkan burung berbulu pelangi itu kepada beliau. Namun, Penasihat Istana dan beberapa pengawal mencegahnya.
“Hei, berani sekali seorang penjual burung datang ke istana! Pergi!” bentak Penasihat Istana sambil mengangkat dagu.
Ia adalah seorang lelaki tinggi kurus berwajah congkak. Walaupun mendapat penolakan, Nasir tidak menyerah. Ia tetap bersikukuh ingin menemui Sultan.
“Saya yakin Sultan akan menyukai burung ini. Burung ini benar-benar tiada duanya di seluruh negeri. Saya mohon, izinkanlah saya bertemu Sultan.”
Mendengar suara ribut-ribut di luar istana, Sultan tampak datang menghampiri mereka. Beliau melihat Nasir membawa seekor burung yang sangat menakjubkan.
“Ah, indah nian burung yang engkau bawa ini. Aku belum pernah menjumpai burung seindah ini di seluruh negeri! Anak muda, siapakah namamu?” Sultan bertanya dengan wajah gembira.
“Saya Nasir, Yang Mulia Sultan.”
Nasir membungkuk hormat, memperkenalkan dirinya.
“Baiklah, Nasir. Berikan burung berbulu pelangi ini kepadaku. Sebagai gantinya, kau akan mendapatkan seratus kantung emas!”
Seratus kantung emas! Nasir bersorak-sorai dalam hati. Dengan seratus kantung emas, ia yakin tidak akan kelaparan lagi dan bisa hidup lebih baik. Melihat banyaknya hadiah untuk Nasir, Penasihat Istana menjadi iri. Ia berbisik di telinga Sultan, mencoba memengaruhi beliau.
“Tidakkah terlalu mahal untuk seekor burung yang—aneh, Tuanku?”
“Apa kau bilang? Aneh? Mulai hari ini, burung ini adalah burung milik Sultan. Siapa pun yang menghina burung ini sama dengan menghina Sultan!” seru Sultan kepada penasihatnya.
Penasihat Istana tampak malu karena dibentak Sultan sedemikian rupa di depan Nasir dan para pengawal. Wajahnya menjadi merah padam, menahan malu dan amarah.
“Tunggulah pembalasanku, Anak Muda!” Penasihat Sultan berkata geram dalam hati.
Ia tidak bisa mencegah Sultan membeli burung yang ditangkap Nasir. Sultan memasukkan burung berbulu pelangi itu ke dalam sebuah sangkar yang istimewa. Sangkar itu berukuran besar supaya sang burung bisa bergerak leluasa. Sultan juga meletakkannya di bawah sebuah pohon rindang di taman belakang istana. Sangkar burung itu pun bukan sembarang sangkar karena ukiran-ukirannya terbuat dari emas. Sangkar emas itu akan terlihat semakin berkilau megah ketika sinar mentari menyentuhnya. Dan, saat sinar bulan di malam hari meneranginya, sangkar itu bersinar lebih anggun dari pada bulan purnama di kegelapan. Akan tetapi, meski sangkar itu sangat indah, keindahannya tetap tak bisa menandingi keindahan sang burung berbulu pelangi. Selama berhari-hari, Sultan mengagumi peliharaannya yang baru. Kecintaannya pada burung itu pun semakin bertambah dari hari ke hari.
“Yang Mulia, Anda memang benar. Burung dalam sangkar emas ini memang sungguh istimewa. Sayangnya, sangkar emas bukanlah sangkar terbaik di dunia,” komentar Penasihat Istana suatu hari.
“Sangkar emas bukan sangkar terbaik? Lalu, sangkar apakah yang terbaik?” tanya Sultan ingin tahu.
“Sangkar terbaik adalah sangkar yang terbuat dari gading gajah, Tuanku. Burung ini pasti akan lebih senang tinggal di dalam sangkar gading daripada sangkar emas.”
“Sangkar gading? Kita pasti membutuhkan banyak gading gajah untuk membuat sebuah sangkar gading yang besar. Hmm, lalu bagaimana aku bisa mendapatkan gading gajah?” Penasihat Istana menyeringai licik. Ia menyembunyikan sebuah rencana jahat.
“Pemuda yang berhasil menangkap burung ini pasti bisa membawakan gading gajah untuk Baginda Sultan.”
Sultan menganggukkan kepala tanda setuju. Maka, Nasir pun di panggil ke istana untuk menghadap Sultan.
“Oh, Yang Mulia Sultan, bagaimana saya bisa mendapatkan gading? Saya bahkan belum pernah bertemu dengan gajah seumur hidup saya,” kata Nasir.
Namun, Sultan tidak mau tahu kesulitan Nasir.
“Jika dalam waktu empat puluh hari kau tidak berhasil mendapatkan cukup gading untuk sangkar burungku, maka kau akan mendapatkan hukuman!” perintah Sultan.
Nasir gemetar ketakutan. Ia sungguh tidak tahu apa yang harus ia perbuat untuk memenuhi permintaan Sultan. Dengan langkah gontai, Nasir berjalan menuju hutan, hendak mencari cara untuk mendapatkan gading gajah.
“Tuan! Tuan! Kaok! Mengapa Tuan berwajah muram?” tanya sebuah suara.
Nasir mendongak. Ia melihat Burung Gagak sedang bertengger di sebuah dahan pohon.
“Ah, Kawanku, Burung Gagak. Aku mendapatkan tugas berat dari Sultan,” jawab Nasir.
Ia menghela napas, panjang, sebelum akhirnya menceritakan perintah Sultan.
“Kaok! Kaok!” seru Burung Gagak.
“Itu sangat mudah, Tuan. Di balik hutan ini, ada kawanan gajah yang tinggal di sana. Mintalah kepada Sultan, empat puluh kereta kuda berisi minuman anggur. Lalu, tuanglah minuman anggur itu ke dalam kolam tempat minum gajah-gajah itu.”
Nasir mengangguk paham.
“Baiklah. Terima kasih atas saranmu. Aku akan segera menghadap Sultan.”
Beberapa hari kemudian, bersama empat puluh kereta kuda berisi minuman anggur yang dikendarai oleh empat puluh prajurit istana, Nasir datang ke tempat yang telah ditunjukkan oleh Burung Gagak. Di balik hutan, terdapat sebuah padang luas yang dihuni oleh banyak gajah berukuran besar. Ketika gajah-gajah itu pergi, Nasir segera meminta para prajurit istana menuangkan minuman anggur secara diam-diam. Kemudian, semua orang bersembunyi, menunggu apa yang akan terjadi. Saat siang tiba, kawanan gajah itu datang dan berkumpul di kolam tempat mereka biasa minum. Gajah itu minum seperti biasa, namun, dalam sekejap, sesuatu mulai terjadi.
“Wah! Gajah-gajah itu mulai limbung!” seru Nasir dalam hati.
Minuman anggur telah membuat para gajah lemas dan mengantuk. Tak lama kemudian, binatang-binatang besar itu jatuh berdebum ke atas tanah, tertidur dengan nyenyaknya.
“Tolong, bantu saya mengambil gading-gading itu. Tetapi, kita jangan sampai menyakiti atau melukai mereka.” Nasir memberikan aba-aba kepada para prajurit istana.
Setelah Nasir mendapatkan cukup gading gajah, ia segera kembali ke istana untuk menghadap Sultan. Sultan sangat gembira karena Nasir berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Ia pun tidak menghukum Nasir, tetapi justru menghadiahkan empat puluh kereta kuda pembawa anggur yang berisi dengan berbagai macam benda-benda berharga. Keberuntungan Nasir membuat Penasihat Sultan semakin iri. Ia pun kembali merancang rencana jahat untuk mencelakakan Nasir.
“Benar-benar sangkar gading yang indah, Baginda Sultan,” puji Penasihat Sultan di suatu pagi yang cerah.
“Tentu saja. Aku belum pernah merasa sepuas ini,” jawab Sultan sambil menikmati keindahan burung berbulu pelangi dalam sangkar gading.
“Ah, seandainya burung ini bisa berkicau, pasti suaranya sungguh merdu.” Penasihat Istana mulai menjalankan rencana liciknya.
Sultan berpikir sejenak.
“Kau benar, Penasihat Istana. Burung ini tak pernah berkicau sejak kedatangannya. Siapa gerangan yang bisa membuatnya berkicau?”
“Pemilik asli burung ini pasti bisa membuatnya berkicau, Tuanku,” jawab Penasihat Istana.
“Pemuda yang menangkap burung ini dan membawa gading gajah untuk sangkarnya, pasti tahu siapa pemilik aslinya.”
Sultan kembali memanggil Nasir ke istana. Ia memerintahkan Nasir untuk menemukan pemilik asli burung berbulu pelangi. Nasir harus menemukan pemiliki burung tersebut jika ia tidak ingin dihukum oleh Sultan.
“Burung Gagak, Sahabatku, bagaimana aku bisa menemukan pemilik burung indah itu? Sedangkan aku, kan, hanya menangkapnya secara tak sengaja di hutan,” keluh Nasir pada Burung Gagak.
“Jangan bersedih, Tuan. Saya tahu siapa pemilik burung itu karena sayalah yang mendatangkannya,” hibur Burung Gagak.
“Kali ini, Tuan harus meminta sebuah kapal laut yang indah dan berukuran besar kepada Sultan. Kapal itu harus berukuran cukup besar untuk diisi dengan sebuah taman dan pemandian. Lalu, bawalah kapal laut itu berlayar menuju arah kanan. Apabila Tuan menjumpai sebuah gunung, berlayarlah lurus. Jika Tuan sudah mencapai pantai, menepilah. Di sana, tinggal seorang ratu bidadari. Dialah pemilik burung itu. Persilakan dia memasuki kapal untuk melihat-lihat, tetapi jangan biarkan para pelayannya masuk,” nasihat Burung Gagak.
Nasir tak meragukan perkataan sahabatnya, si Burung Gagak. Ia lalu menemui Sultan untuk meminta kapal laut, sesuai dengan nasihat Burung Gagak. Setelah semuanya siap, Nasir memulai pelayarannya.
“Ah! Itu dia pantainya!” Nasir berteriak gembira ketika mencapai pantai yang dimaksud oleh Burung Gagak.
Di sana, Nasir melihat seorang wanita yang sangat cantik sedang berjalan-jalan di tepian pantai dengan diiringi oleh empat puluh pelayan wanita. Saat wanita itu melihat keindahan kapal laut yang dibawa Nasir, ia mendatanginya dengan rasa kagum.
“Tuan, apakah bagian dalam kapal laut ini seindah bagian luarnya?” tanya Ratu Bidadari dengan lembut.
“Apa yang ada di dalam kapal ini lebih indah daripada luarnya. Ratu boleh melihatnya, tetapi para pelayan Ratu harus menunggu di luar kapal,” kata Nasir.
Ratu Bidadari menyetujui persyaratan Nasir. Ia memerintahkan para pelayannnya untuk menunggu di luar kapal. Ia pun memasuki kapal itu sendirian.
“Wah, saya belum pernah melihat taman di dalam sebuah kapal laut.”
Ratu Bidadari terpesona dengan apa yang dilihatnya. Taman itu persis seperti taman-taman istana, lengkap dengan pepohonan, semak-semak berbunga, rerumputan hijau, bebatuan, dan air mancur. Bahkan, ia melihat sebuah tempat pemandian yang tak kalah menariknya.
“Aku telah masuk sampai sejauh ini. Sepertinya sayang sekali jika aku tidak mencoba pemandian ini,” batin Ratu Bidadari.
Ia pun berendam di dalam kolam dan menikmati segarnya air pemandian. Nasir, yang mengetahui bahwa Ratu Bidadari telah masuk ke dalam pemandian, segera berlayar meninggalkan tempat itu.
Ketika Ratu Bidadari selesai mandi, ia begitu panik karena kapal telah berlayar meninggalkan tempat tinggalnya.
“Oh, Tuan! Ke manakah kapal ini hendak berlayar?”
“Jangan khawatir, Ratu. Kita akan menuju ke sebuah istana Sultan. Tempat itu sangat indah dan penuh dengan orang-orang baik,” hibur Nasir.
Sesampainya di istana Sultan, suara kicauan burung yang melengking merdu menyambut kedatangan Ratu Bidadari. Burung berbulu pelangi, yang selama ini tak pernah berkicau, langsung bernyanyi begitu melihat Ratu Bidadari memasuki ruangan!
“Andakah pemilik sebenarnya dari burung ini?” sambut Sultan gembira.
Beliau juga terpesona melihat keanggunan Ratu Bidadari.
“Benar, Yang Mulia Sultan. Burung ini terlepas dari istana saya, dan menghilang entah ke mana,” jawab Ratu Bidadari.
Kali ini, untuk ketiga kalinya, Nasir berhasil menjalankan tugas dari Sultan dengan baik. Sultan pun tak segan-segan mengganjarnya dengan hadiah yang lebih besar lagi dari sebelumnya. Selain itu, Sultan juga mengundang Nasir ke pesta pernikahannya dengan Ratu Bidadari. Pesta pernikahan Sultan dan Ratu Bidadari berlangsung sangat meriah selama empat puluh hari empat puluh malam. Nasir terlihat amat bahagia. Hal ini membuat rasa iri Penasihat Istana semakin menjadi-jadi. Penasehat Istana kembali berencana untuk mencelakakan Nasir. Ia menunggu saat yang tepat untuk menjalankan rencananya itu. Ia menunggu selama berminggu-minggu, hingga datanglah kesempatan itu. Suatu hari, Ratu Bidadari jatuh sakit, hingga tak sadarkan diri. Ratu Bidadari hanya bisa sembuh dengan meminum obat yang hanya bisa diperoleh di Negeri Bidadari, tempat asal Ratu Bidadari.
“Aku akan berangkat sendiri untuk mengambil obat bagi permaisuriku! Aku tak akan gentar, meski permaisuriku pernah berkata bahwa gerbang istananya dijaga oleh dua ekor singa yang buas!” tekad Sultan.
Namun, Penasihat Istana buru-buru mencegah Sultan.
“Jangan, Tuanku! Jika terjadi sesuatu pada Yang Mulia Sultan, rakyat akan kehilangan pemimpin. Akan lebih baik jika Nasir yang mengambilkannya untuk Paduka. Bukankah ia pernah pergi ke sana?” Sultan termenung sejenak, lalu menyetujui usul Penasihat Istana.
“Hahaha! Bagus! Kali ini, celakalah engkau Nasir! Tenggelamlah ke dasar laut atau diterkam singa penjaga gerbang Istana Bidadari! Jangan pernah kembali lagi ke sini!” Penasihat Istana tertawa riang dalam hati.
Nasir sangat terkejut ketika mendengar perintah Sultan untuk mencari obat di Negeri Bidadari. Ia sama sekali tak tahu bagaimana cara mendapatkan obat itu. Tetapi, ia tak punya pilihan lain. Ia pun mulai berangkat menuju Negeri Bidadari. Ketika berada di kapal laut yang membawanya ke Negeri Bidadari, Burung Gagak kembali menemui Nasir.
“Kaok! Kaok! Tuanku, Anda hendak pergi ke mana?”
“Aku mendapatkan tugas lagi dari Sultan. Ratu Bidadari sedang sakit, sehingga aku harus mencari obatnya di Negeri Bidadari. Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan obat itu, tapi aku harus tetap berangkat ke sana.”
“Tuan, jangan khawatir. Aku mengetahui tempatnya. Apakah Tuan masih ingat dengan gunung yang Tuan tuju untuk bertemu dengan Ratu Bidadari?”
“Ya, aku ingat.”
“Obat untuk Ratu Bidadari ada di dalam Istana Bidadari, di balik gunung itu. Penjaga pintu gerbangnya adalah dua ekor singa bersurai emas dan bertaring setajam pedang. Ambillah sehelai buluku, dan usapkan pada mulut mereka.”
Burung Gagak mencabut sehelai bulu dengan paruhnya. Nasir menerimanya dengan penuh rasa terima kasih. Ia segera menyimpan bulu hitam mengilat itu dengan baik.
“Terima kasih, Kawan. Mengapa engkau begitu baik padaku? Berkat jasamu, aku bisa melaksanakan tugas-tugas dari Sultan dan hidup berkecukupan.”
“Tuan pernah berbaik hati membebaskan saya dari jaring. Inilah balas budi saya kepada Tuan. Semoga Tuan kembali dengan selamat. Kaok!” Usai membantu Nasir, Burung Gagak terbang. Nasir tak ingin membuang-buang waktu.
Ia segera berlayar ke arah kanan, hingga melihat sebuah gunung. Kemudian, ia berlayar lurus menuju pantai di tepian gunung dan menepi di sana. Untuk mencapai istana di balik gunung, Nasir terus mendaki, menembus semak belukar berduri dan rapatnya pepohonan berakar sulur, sampai akhirnya ia melihat sebuah istana yang amat cantik. Dan, seperti perkataan Burung Gagak, gerbang istana itu dijaga oleh dua ekor singa dengan surai emas yang berkibar tertiup angin gunung. Kedua singa itu tampak memamerkan taring-taringnya yang setajam pedang. Mereka diam bersiaga, layaknya sepasang patung singa.
“Aku harus berani!” Nasir memegang erat bulu Burung Gagak sambil berjalan mendekat dengan hati-hati.
Nasir semakin dekat dengan kedua singa itu. Tetapi, singa-singa itu tetap diam mematung. Tak bergerak. Tak menyerang. Hanya menggeram, menyeringai, dan menatap tajam ke arah Nasir, seolah memberi peringatan.
“Tenang, singa-singa baik. Aku hanya ingin meminta obat untuk ratu kalian.”
Nasir mengusap-usap kedua mulut singa itu secara bergantian menggunakan bulu Burung Gagak. Tak disangka, singa-singa itu menutup mulutnya, lalu duduk seperti kucing penurut. Para singa merebahkan kepala bersurai emas mereka di kaki dan menggoyang-goyangkan ekor.
“Wah! Ajaib! Singa-singa ini menjadi jinak setelah terkena bulu gagak ini.” Nasir berseru senang dengan jantung yang berdebar-debar.
Ia pun melewati pintu gerbang dengan berjalan pelan-pelan. Di dalam istana, para pelayan Ratu Bidadari mengenali Nasir dan segera tahu bahwa ratu mereka sedang sakit.
“Tolong, minumkan obat ini kepada ratu kami. Semoga, beliau lekas sehat seperti sedia kala,” kata salah satu pelayan dengan wajah sedih. Nasir menjawab dngan anggukan.
Usai berpamitan, Nasir berlayar pulang dan bergegas menemui Sultan. Burung Gagak yang mengetahui kepulangan Nasir, juga ikut masuk ke dalam istana Sultan, sembari bertengger di pundak Nasir. Penasihat Istana, yang melihat keberhasilan Nasir, merasa semakin jengkel saat melihat kedatangan Nasir. Apalagi rencananya kembali gagal untuk kesekian kali. “Huh! Lihat saja pembalasanku!” gumamnya sendirian.
Burung Gagak, yang mengetahui niat jahat Penasihat Istana, segera mengingatkan Nasir. “Berhati-hatilah, Tuan. Penasihat Istana bermaksud buruk kepada Anda.”
“Baginda Sultan! Tunggu! Jangan minumkan obat itu kepada Baginda Ratu!” cegah Penasihat Istana.
Saat itu Sultan hendak meminumkan obat itu kepada Ratu Bidadari yang berbaring tak sadarkan diri di ranjang. Sultan terkejut mendengar peringatan itu.
“Katakan kepadaku, apa alasannya?”
“Nasir tidak mungkin bisa mendapatkan obat dari Negeri Bidadari. Bagaimana ia bisa melewati dua singa buas penjaga gerbang Istana Bidadari?” Penasihat Istana mengemukakan alasannya.
“Sa...ya…. Sa...ya menggunakan bulu burung gagak ini untuk menjinakkan mereka.” Nasir menjelaskan dengan terbata-bata.
Semua orang yang berada di situ tertawa mendengarnya, kecuali Sultan. Ia menyimak penjelasan Nasir dengan sungguh-sungguh.
“Bagaimana mungkin sehelai bulu burung bisa menjinakkan dua ekor singa? Ini pasti penipuan! Obat itu pasti palsu! Ratu bisa meninggal kalau meminum obat itu! Nasir itu seorang pembohong, Yang Mulia!” teriak Penasihat Istana.
“Nasir berani membohongi Sultan! Dia harus dihukum! Harus dihukum!” seru yang lain.
Nasir gemetar menahan marah. Ia tidak menyangka jika Penasihat Istana menuduhnya berbohong.
“Tenang semua!”
Sultan mengangkat tangannya. Ia menatap Nasir dengan tegas.
“Anak muda, selama ini, engkau belum pernah mengecewakan aku. Katakanlah, dari mana engkau mendapatkan obat ini?”
“Dari Istana Bidadari, Tuanku. Pelayan Ratu yang memberikannya kepada saya,” kata Nasir mencoba bersikap setenang mungkin.
“Apakah aku bisa memercayaimu?” tanya Sultan.
Nasir mengangguk yakin.
“Ya, Anda bisa mempercayai saya, Tuan.”
Sultan memercayai perkataan Nasir. Beliau meminumkan obat itu ke mulut Ratu Bidadari. Semua yang hadir menunggu dengan tegang, menunggu reaksi obat. Perlahan-lahan, wajah Ratu Bidadari bersemu segar, lalu membuka mata, dan bangkit duduk di tempat tidur. Orang-orang langsung berseru lega, kecuali Penasihat Istana. Wajahnya tampak pucat pasi. Sementara itu, Nasir terlihat sangat lega karena ia terbukti tidak berbohong kepada Sultan. Ratu Bidadari memanggil Nasir untuk mendekat. “Aku telah mendengar cerita tentang keberanianmu. Terima kasih, Anak Muda,” ucap Ratu Bidadari, inikah burung gagak yang telah membantumu?”
Ratu menatap Burung Gagak yang bertengger di pundak Nasir.
“Benar, Yang Mulia. Dia adalah sahabat terbaik saya,” kata Nasir.
“Aku akan memberi tahumu satu hal. Sebenarnya, burung gagak ini adalah jelmaan dari salah satu pelayanku. Dulu, dia melanggar perintahku, sehingga aku mengubahnya menjadi seekor burung gagak. Tetapi, kini, aku telah melihat kebaikannya dalam membantumu dan menyelamatkan nyawaku. Oleh karena itu, aku memaafkan segala kesalahannya dahulu.”
Tiba-tiba, tubuh Burung Gagak bergetar hebat, hingga jatuh ke lantai. Begitu tubuhnya menyentuh lantai, sapuan angin menderu lembut. Burung Gagak telah berubah kembali ke rupa aslinya, yaitu seorang bidadari pelayan Ratu.
“Terima kasih, Baginda Ratu!” Bidadari itu bersujud penuh hormat.
Hari itu, semua kisah berakhir dengan kebahagiaan, kecuali kisah Penasihat Istana. Oleh karena ia telah melontarkan tuduhan palsu terhadap Nasir, ia diusir dari Istana Sultan. Sebagai gantinya, Sultan mengangkat Nasir sebagai penasihatnya yang baru. Nasir juga tak lupa untuk berterima kasih kepada Burung Gagak yang telah kembali menjadi seorang bidadari. Tanpa bantuan burung gagak itu, Nasir tidak mungkin berhasil melewati semua rintangan ini. Tak lama sesudah kejadian itu, Nasir dan sang bidadari memutuskan untuk menikah. Mereka pun hidup bahagia selama-lamanya.
***
Eko sampai di rumah Budi, ya memarkirkan motornya dengan baik di depan rumah Budi. Eko pun duduk sebelah Budi. Ya Budi selesai baca buku cerita, ya di taruhlah buku di mejalah.
"Lagi suka baca buku cerita ya Budi?!" kata Eko.
"Iya Eko lagi suka baca cerita, ya cerita dari Turki, ya di tulis di buku itu sih!" kata Budi.
"Cerita dari Turki. Kaya ceritanya bagus," kata Eko.
"Memang sih Eko ceritanya bagus. Cerita tentang balas budinya buruk gagak pada seorang cowok bernama Nasir. Ya ternyata burung gagak itu seorang bidadari yang di hukum sama Ratu Bidadari, ya karena berbuat salah sih," kata Budi sedikit menceritakan isi buku cerita pada Eko.
"Oooooo begitu," kata Eko.
"Main catur saja!" kata Budi.
"Main lain ada apa enggak?!" kata Eko.
"Ada sih mainan yang lain. Ya main ular tangga tapi aku modifikasi, ya bisa di bilang baru," kata Budi.
"Ular tangga di modifikasi sama Budi. Boleh juga kalau itu di mainkan," kata Eko.
Budi mengambil barang di bawah meja dan di taruh di atas meja.
"Ini mainan ular tangga yang telah aku modifikasi, ya jadinya mainan baru," kata Budi.
Eko melihat dengan baik mainan ular tangga yang telah di modifikasi sama Budi. Ya Budi menjelaskan dengan baik cara mainnya. Eko mengerti penjelasan Budi, ya keduanya main deh dengan baik.
No comments:
Post a Comment