Di tepi sebuah sungai, tinggallah seekor katak hijau bernama Nogsaeg Gaeguli. Ia tinggal bersama ibunya yang bernama Eomma Gaeguli. Ibu Nogsaeg sangat sayang kepadanya, meski ia tidak pernah menuruti kata-kata ibunya. Bahkan Nogsaeg selalu melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan permintaan ibunya. Eomma Gaeguli terkadang merasa kesal dengan sikap anaknya. Akan tetapi, dia tidak bisa marah kepada anak semata wayangnya itu.
Musim hujan telah tiba. Semua katak, termasuk Nogsaeg Gaeguli, bersukacita karena mereka dapat bernyanyi dan berlompatan di bawah segarnya rintik hujan. Namun Eomma sering khawatir apabila Nogsaeg bermain di sungai. Ia takut Nogsaeg tenggelam atau terseret arus sungai karena gelambir pada kaki Nogsaeg, yang digunakan untuk berenang, tidak tumbuh dengan sempurna.
“Di luar sudah gelap, rintik hujan sudah mulai turun, pergilah ke bukit sana, kalau kau mau bermain,” kata Eomma.
Nogsaeg tidak menanggapi perkataan ibunya. Dia malah melompat keluar dari semak belukar dan segera mengayuh kakinya ke tepi sungai. Pluuung! Nogsaeg menenggelamkan dirinya di bawah aliran air sungai dan langsung bermain dengan riang. Eomma menyusul Nogsaeg dan memerhatikan tingkah anak kesayangannya dengan mata terbelalak. Ia hendak memarahi Nogsaeg, namun amarahnya segera surut ketika ia melihat anaknya yang bermain dengan riang gembira.
“Aku lebih suka bermain di sungai, Bu,” teriak Nogsaeg dari dalam air.
“Tapi kau tidak boleh berenang terlalu jauh!” seru Eomma mengingatkan.
Nogsaeg tersenyum. Ia justru membiarkan dirinya terseret arus air hingga beberapa meter ke hilir sungai.
“Nogsaeg!” teriak Eomma dari tepi sungai.
Nogsaeg terus mengambang bersama aliran air. Dia sengaja melakukan hal itu untuk membuat ibunya khawatir. Dia selalu senang melihat kekhawatiran ibuya, yang selalu berlebihan, kepadanya. Setelah mengambang cukup jauh dan tidak melihat ibunya lagi, Nogsaeg berenang ke tepi sungai dan melompat ke daratan. Hujan turun semakin besar. Butiran airnya jatuh di kulit Nogsaeg yang berbintil-bintil. Neogsaeg kian lincah bergerak.
Sementara itu, Eomma Gaeguli masih menunggu anaknya di tempat semula. Eomma menatap langit yang bergelayut mendung. Hujan akan turun lebih lama, pikirnya. Eomma mulai menikmati tetesan hujan. Hatinya mulai senang. Secara spontan ia mulai melompat-lompat kecil dan bersenandung merdu. “Kungkong, kungkong, kungkong.”
Neogsaeg masih melompat-lompat, berusaha menyusul ibunya. Walaupun ia senang melihat ibunya khawatir, namun ia tidak ingin ibunya terlalu khawatir padanya. Nogsaeg melompat-lompat lambat dengan kaki belakangnya, yang tidak terlalu panjang. Tanpa henti tubuhnya yang mungil menerobos rerumputan basah.
Tak lama kemudian, Nogsaeg sampai di tempat ibunya menunggu. Nogsaeg tersenyum melihat ibunya yang melompat kecil sambil bernyanyi riang. Ia pun tak mau tinggal diam. Dengan riang, ia kembali bermain bersama katak-katak di sungai. Saat malam menjelang, Eomma Gaeguli, yang sudah beranjak tua, mulai merasa kelelahan setelah bersenang-senang di bawah rinai hujan seharian. Ia pun berbaring lebih cepat dari biasanya.
“Nogsaeg, tidurlah Nak! Tubuhmu pasti lelah setelah bermain di sungai seharian,” kata Eomma dari tempat pembaringannya.
Nogsaeg belum mengantuk. Badannya juga masih segar bugar. “Aku belum mengantuk, Bu,” kata Nogsaeg sambil melompat-lompat kecil di dalam rumah mereka.
“Hoaaahm…” Eomma menguap lebar. Rasa kantuknya sudah tak tertahankan. “Kau boleh bermain Nogsaeg, tapi di dalam rumah saja ya?”
Seperti tidak mengindahkan kata-kata ibunya, Nogsaeg justru melompat keluar dari lubang, tempat mereka tinggal. Eomma, yang sudah tertidur, tidak menyadari kepergian Nogsaeg.
Nogsaeg terus melompat-lompat, semakin jauh dari tempat tinggalnya. Perut Nogsaeg mulai merasa lapar. Ia terbayang makanan kesukaannya, serangga. Ia pun melompat pelan, mencari serangga yang bisa ia santap. Namun tiba-tiba terdengar suara gemerisik daun. Nogsaeg langsung bersiaga. Tak lama kemudian, Nogsaeg mendengar desis hewan yang merupakan musuh besarnya. Ular.
Nogsaeg melompat, menjauh dari arah datangnya suara, dengan cekatan. Ia tidak ingin mati konyol. Ia terus melompat dengan cepat menggunakan kaki pendeknya. Namun suara kakinya, yang menginjak rerumputan, terdengar jelas. Ular itu pun merayap semakin cepat. Nogsaeg tidak mau menyerah. Ia memacu segenap kemampuannya untuk menyelamatkan diri.
Hup.. hup.. hup… Nogsaeg melompat dengan sekuat tenaga. Dan, pluuuung... ia sampai di dalam lubang, tempat tinggalnya yang nyaman. Ular pun kehilangan jejak Nogsaeg. Suara keributan membuat Eomma terbangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih mengantuk.
“Kaukah itu, Neogsaeg ?” tanyanya dengan suara parau.
“Hah.. hah.. hah..” Neogsaeg tidak menjawab pertanyaan ibunya. Ia masih berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Kenapa kamu terengah-engah seperti itu, Nak?” tanya Eomma, setelah benar-benar terjaga dari kantuknya. “Apa yang terjadi, Nak?” tanyanya lagi.
“Ada... ada ular yang mengejarku, Bu,” jawab Neogsaeg.
“Ular? Tadi, kan, ibu sudah berpesan agar kamu bermain di dalam rumah saja. Jangan keluar malam-malam,” kata Eomma dengan nada sedikit keras. Eomma sadar jika ular adalah ancaman yang sangat berbahaya bagi mereka.
Nogsaeg tertunduk, merasa bersalah. “Tadi aku lapar, Bu,” kata Nogsaeg pelan, mencari pembelaan.
“Bukankah ibu sudah memberimu makanan?” tanya Eomma keheranan.
Nogsaeg masih terdiam. Sebenarnya, ia telah memainkan makanan yang diberikan oleh ibunya. Makanan itu pun menjadi tidak enak dimakan. Lagi pula, dia sangat ingin makan serangga malam ini. Oleh karena itu ia kelaur rumah. Namun bukan serangga yang ia dapatkan, melainkan ular, yang ingin memangsanya. Nogsaeg menarik napas dalam-dalam, bersyukur karena ia bisa menyelamatkan diri dari ular itu.
Melihat anaknya, yang terdiam sambil mengatur napas, membuat Eomma merasa iba. Ia melompat ke sudut ruangan dan mengambilkan seekor serangga yang terperangkap dalam lubangnya sore tadi. Nogsaeg langsung berbinar cerah, ketika melihat serangga itu. Ia segera menyambut serangga itu dengan lidahnya yang panjang. Bleeeb... dalam sekejap, serangga itu sudah masuk dalam perutnya.
“Aku akan segera tidur, Bu,” kata Neogsag, setelah selesai makan. Eomma mengangguk, senang. Mereka pun segera tidur.
Nogsaeg dan Eomma Gaeguli bangun pagi dengan badan yang segar. Embun masih menempel di ujung rerumputan. Eomma bernyanyi kecil, menyambut datangnya mentari. “Kungkong, kungkong, kungkong.”
Seekor katak berwarna hitam legam mendekat Eomma. “Eomma, di timur jauh akan ada bermacam-macam perlombaan. Tidakkah kalian berminat untuk mengikutinya?” tanya katak hitam itu ramah.
“Oh, ada lomba apa saja?” tanya Nogsaeg yang tiba-tiba muncul. Ia tampak tertarik.
“Ada lomba loncat indah, loncat jauh, menyanyi, dan masih banyak lagi. Lebih baik kalian segera mendaftar jika ingin ikut,” kata Katak Hitam.
“Apakah aku boleh ikut mendaftar, Bu?” tanya Nogsaeg sambil menoleh kepada ibunya.
Eomma tersenyum senang. Ia memang ingin Nogsaeg mengikuti perlombaan itu atas kemauannya sendiri, bukan karena permintaannya.
“Tentu, Nogsaeg. Segeralah kau mendaftarkan diri!” kata Eomma, memberi semangat kepada anaknya.
“Aku ingin ikut lomba menyanyi, Bu,” ucap Nogsaeg dengan mata berbinar.
“Baiklah, akan kucatat. Minggu depan datanglah ke timur jauh,” ujar Katak Hitam. Ia kemudian bergegas pergi.
“Nogsaeg, kamu harus rajin berlatih agar kau bisa memenangkan perlombaan itu,” nasihat ibunya.
“Kalau begitu, aku akan mulai berlatih sekarang.” Nogsaeg menyambut nasihat ibunya dengan penuh semangat.
“Ambil posisi tegak, lihat Eomma. Ya, seperti itu.” Eomma berusaha mengajarkan teknik menyanyi yang baik, agar Nogsaeg bisa menyanyi dengan merdu.
“Tarik napas dalam-dalam dan mulailah bernyanyi, kungkong, kungkong, kungkong.” Eomma mulai memperdengarkan suaranya yang merdu.
Nogsaeg berusaha menirukan sikap tubuh ibunya. Dia mulai mengatur napasnya dan bernyanyi, “Kongkung, kongkung, kongkung.”
Eomma terenyak. Nogsaeg masih belum berubah. Dia terus saja melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ia ajarkan.
“Nogsaeg, kalau kamu ingin menang, kamu harus menyanyikan lagu itu dengan benar.” Eomma berusaha menasihati Nogsaeg. “Kalau lagunya kamu balik menjadi ‘kongkung, kongkung, kongkung’, juri pasti tidak akan memberikan nilai yang tinggi kepadamu. Dengar baik-baik, Nak. ‘Kungkong, kungkong, kungkong,’ bukan ‘kongkung, kongkung, kongkung’.”
Eomma terus melatih Nogsaeg dengan gigih, agar dapat bernyanyi dengan benar. Tetapi Nogsaeg tetap bernyanyi dengan versinya sendiri. Eomma pun tidak bisa memaksa lagi. Hari Minggu tiba. Nogsaeg telah bersiap untuk pergi ke tempat perlombaan. Akan tetapi, Eomma tidak bisa menemani dan memberi semangat bagi Nogsaeg di perlombaan karena ia sedang sakit. Ia pun hanya berdiam diri di rumah sambil berdoa agar Nogsaeg dapat memenangkan perlombaan dan membawa hadiah, seperti yang diidam-idamkan oleh Nogsaeg.
“Ingat, Nogsaeg, perlombaan itu ada di timur jauh. Sebaiknya kamu berangkat lebih awal agar bisa mempersiapkan diri sebelum bertanding. Hati-hatilah di jalan, Nak,” pesan Eomma ketika ia melepas kepergian Neogsag. Sebenarnya, Eomma ingin sekali melihat pertandingan itu, namun tubuhnya sangat lemas. Ia tidak kuat bila harus pergi jauh.
“Ibu juga hati-hati di rumah, ya. Aku berangkat dulu,” pamit Nogsaeg. Eomma mengantar kepergian anak kesayangannya dengan pandangan mata penuh doa.
Nogsaeg mengayuh kakinya dengan kuat. Ia melompat dengan penuh semangat. Timur jauh adalah arah yang harus ia tuju. Namun lompatan kakinya justru menuju ke arah sebaliknya. Ia melompat ke arah barat dekat. Sesampainya di tempat itu, ia tidak menemukan siapa pun. Nogsaeg kecewa dan kembali ke rumahnya dengan langkah gontai.
“Aku tidak menemukan siapa pun di sana, Bu,” kata Nogsaeg setelah tiba di rumah.
“Oh, benarkah? Tapi ibu ingat betul kalau perlombaan itu diadakan di timur jauh,” ujar Eomma kebingungan. Ia masih ingat betul perkataan Katak Hitam tempo hari.
“Emmm… Aku datang ke arah barat dekat, Bu,” kata Nogsaeg jujur.
Eomma melongo. Ia pikir, kali ini, Nogsaeg akan melakukan sesuatu yang benar karena ia ingin memenangkan perlombaan itu. Namun, Neogsag ternyata masih melakukan sesuatu yang berlawanan dengan perkataan ibunya.
Eomma menghela napas, kemudian berkata, “Tidak apa-apa, Nogsaeg. Mungkin lain waktu, kamu bisa mengikuti perlombaan yang lain.” Eomma berusaha menghibur hati Nogsaeg.
Ketika sore tiba, beberapa rombongan katak melewati rumah Nogsaeg. Karena tidak melihat Nogsaeg di perlombaan itu, mereka pun bertanya, “Nogsaeg, kenapa kamu tidak ikut lomba? Bukankah kamu rajin berlatih menyanyi akhir-akhir ini?” tanya seekor katak hijau.
“Ya, aku memang rajin berlatih. Tapi aku datang ke tempat yang salah, Teman.”
“Oh, kenapa bisa begitu?” katak hijau itu bertanya lagi, penasaran.
“Ya, aku senang melakukan sesuatu yang berlawanan dengan perintah atau perkataan ibuku. Ibuku sudah menyuruhku ke arah timur laut, tapi aku justru menuju ke arah barat dekat,” kata Nogsaeg dengan menyesal.
“Oh, begitu. Padahal perlombaan tadi seru banget, lho,” cerita Katak Hijau. Wajahnya ceria, ia tampak sangat menikmati perlombaan yang diikutinya.
Nogsaeg tidak tahu harus bicara apa. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada bungkusan yang dibawa oleh Katak Hijau sejak tadi. Ia lalu bertanya, “Apa yang kau bawa itu, Teman?”
Katak hijau itu tersenyum penuh kemenangan. “Aku berhasil memenangkan lomba lompat jauh. Aku dapat juara satu, Nogsaeg. Ini adalah hadiahnya,” kata Katak Hijau sambil menunjukkan hadiah yang ia dapatkan.
Nogsaeg tertegun. Ia merasa kecewa karena tidak menuruti perkataan ibunya. Kalau dia patuh, dia pasti bisa menjadi juara seperti Katak Hijau.
“Baiklah, hari sudah menjelang senja, aku harus segera pulang, Kawan,” pamit Katak Hijau. Nogsaeg hanya mengangguk pelan, sambil memandangi Katak Hijau yang mulai menjauh, pulang.
“Lain kali kamu pasti bisa menjadi juara, Nak,” hibur Eomma saat ia menghampiri Nogsaeg. Nogsaeg mengangguk pelan. Ia memasukkan kata-kata ibunya dalam hati. Lain kali ia pasti bisa menjadi juara! serunya dalam hati.
Hari-hari pun berlalu. Sakit yang diderita Eomma tidak kunjung sembuh. Obat-obatan yang ia minum tidak mampu membuat tubuhnya kembali sehat. Badannya justru kian melemah, hingga ia tidak bisa melakukan kegiatan apa pun. Setiap hari ia hanya berbaring di tempat tidur, tidak pernah keluar rumah lagi.
Melihat keadaan ibunya, Nogsaeg bersedih hati. Ia menyesal dan berjanji akan menuruti perkataan ibunya. Ia ingin membuat ibunya senang dengan melakukan perintahnya dengan benar. Selain itu, ia juga mencari makanan dan obat untuk ibunya serta merawatnya setiap saat.
Suatu hari, Eomma tidak dapat bertahan lagi. Ia pun mengembuskan napasnya yang terakhir. Nogsaeg menangis tersedu-sedu. Ia begitu kehilangan ibunya. Nogsaeg menyadari jika ibunya adalah seorang ibu yang sangat baik dan penyabar. Ibunya tidak pernah marah dengan segala tingkah polah yang ia lakukan. Padahal Nogsaeg tahu, ibunya kadang dongkol dengan tingkah lakunya itu, tapi ia tidak pernah memarahinya.
Sebelum Eomma meninggal, ia berpesan kepada Nogsaeg untuk menguburkannya di tepi sungai. Ibu Nogsaeg sangat hafal dengan tingkah laku anaknya, yang selalu melakukan tindakan berlawanan dengan perrintahnya. Maka, Eomma berpikir jika ia memerintahkan untuk dikuburkan di tepi sungai, Nogsaeg pasti akan melakukan yang sebaliknya. Nogsaeg pasti akan menguburkannya di atas bukit. Dan, hal itulah yang ia inginkan, dikubur di atas bukit, agar kuburannya tidak terendam banjir saat hujan.
Akan tetapi, Nogsaeg telah berjanji untuk menjalankan perintah ibunya dengan benar. Ia sangat ingin menebus kesalahan yang selama ini ia lakukan. Ia pun menuruti pesan terakhir ibunya. Nogsaeg menguburkan ibunya di tepi sungai. Setiap musim hujan tiba, Nogsaeg selalu sedih. Ia takut makam ibunya akan kebanjiran atau terbawa air sungai yang meluap. Oleh karena itu, ia selalu setia menunggui makam ibunya sambil bersenandung pilu, “Kungkong, kungkong, kungkong.”
***
Eun selesai membaca bukunya dan berkata "Ok bagus cerita asal dari Korea Selatan."
Eun menutup bukunya dengan baik dan buku di taruh meja.
"Main game ah!" kata Eun.
Eun segera main game di Hp-nya dengan baiklah.
No comments:
Post a Comment