Rumah itu ramai dengan cericit burung. Beberapa ekor burung kucica asyik bermain di atapnya yang terbuat dari ijuk berwarna hitam. Atap rumah itu juga menjadi rumah bagi burung-burung kucica. Tiba-tiba seekor bayi burung kucica melayang, jatuh terkapar, dan tidak bergerak lagi. Deok, yang menyaksikan kejadian itu, segera berlari menghampiri kucica kecil. Ia memerhatikan burung berwarna hitam dengan bintik putih di beberapa bagian itu. Perlahan ia menyentuhnya. Burung kecil itu menggerak-gerakkan cakar mungil di kakinya.
“Ayah… Ada kucica jatuh dari atas rumah.” Deok berteriak memanggil ayahnya. Ia ingin menolong burung malang itu, namun ia tidak tahu caranya.
Seorang laki-laki kurus berjalan tergopoh-gopoh, keluar dari dalam rumah. Ia mendekati Deok.
“Ayah, coba lihat, dia masih bergerak-gerak.” Deok memberi ruang pada ayahnya untuk memeriksa bayi kucica.
“Sepertinya sayapnya patah,” kata ang ayah. Ia mengangkat burung itu dan meletakkannya di telapak tangan.
“Parutlah jahe dan tempelkan di sayapnya. Lalu ikat dengan kain tapi jangan terlalu kuat agar dia tidak kesakitan,” perintah sang ayah sambil tersenyum.
Deok segera berlari ke dalam rumah. Ia meminta jahe kepada ibunya yang sedang memasak di dapur. Ia pun memarut jahe itu dengan susah payah.
“Buat apa, Nak?” tanya Ibu ingin tahu.
“Obat untuk kucica yang jatuh, Bu. Kata Ayah sayapnya patah,” jawab Deok sambil terus menggesekkan beberapa ruas jahe di parutan.
“Hati-hati, parutnya tajam.” Sang ibu mengingatkan. Deok mengangguk.
Setelah parutan jahe cukup banyak, Deok segera membawanya ke depan. Ia juga membawa selembar kain yang sudah tidak dipakai lagi.
“Ini, Ayah.” Deok menyerahkan parutan jahe dan kain kepada ayahnya.
Ayahnya pun membebatkan jahe itu ke sayap kucica mungil dengan sigap.
“Sudah selesai. Sekarang, kembalikan burung kecil ini ke sarangnya agar ibu kucica tidak bingung mencarinya.” Ayah Deok menyerahkan kucica itu kepada putranya.
Deok menerima burung kecil itu dengan hati-hati. Sejenak dia mengamati burung itu. Senyumnya mengembang ketika kucica kecil itu membuka matanya.
“Aku ambil tangga dulu ya, Yah.”
Deok meletakkan kucica itu di sebuah bangku panjang di depan rumah mereka. Ia lalu berjalan ke belakang rumah dan kembali dengan sebuah tangga panjang di tangannya. Tangga itu segera disandarkan di dinding rumah yang telah reot. Dengan membawa kucica kecil, Deok menaiki anak tangga satu per satu. Sesampai di atap rumah, ia meletakkan anak kucica di sebuah sangkar kosong.
“Cepat sembuh ya, kucica. Setelah kau sembuh, belajarlah terbang tinggi seperti kawan-kawanmu yang lain,” gumam Deok pada bayi kucica.
Seekor kucica dewasa terbang mendekat. Ia meregangkan sayapnya, seolah ingin memeluk kucica kecil itu. Ia kemudian memasukkan biji-bijian ke mulut bayi kucica dengan paruhnya. Rupanya ia adalah induk kucica mungil itu. Deok memerhatikan burung-burung itu dengan perasaan lega bercampur senang.
“Heh, kau jangan pura-pura lupa Nam Kin!”
Sebuah suara menggelegar sampai ke telinga Deok. Ia menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata Paman Tun Kin. Sepertinya ia marah pada Ayah. Perlahan Deok turun dari atap rumah.
“Aku tidak lupa, Kak. Tapi memang aku belum punya uang untuk membayar hutangku pada Kakak.”
“Jadi, kapan?” Tun Kin mendesak.
Nam Kin diam. Ia tidak tahu kapan bisa membayar hutang-hutangnya pada kakaknya. Deok mendekat mereka. Ia menjabat tangan sang paman. Walaupun bersaudara, Paman Tun Kin jauh berbeda dengan ayahnya. Dibanding ayahnya, Paman Tun Kin bertubuh lebih gemuk dan perutnya buncit. Ia adalah orang kaya sehingga bisa makan apa saja. Hidupnya makmur dan berkecukupan. Sangat jauh berbeda dengan ayahnya yang kurus kering dan selalu berpakaian apa adanya. Hidup keluarganya juga sangat sederhana.
“Apa yang kau lakukan di atap, Deok?” tanya sang paman basa-basi.
“Aku baru saja mengobati anak burung yang jatuh dan mengembalikannya ke sarang, Paman,” jawab Deok sopan.
“Hah, untuk apa kau mengurusi burung tidak berguna itu? Lebih baik kau bekerja sehingga bisa membantu ayahmu membayar hutang-hutangnya,” kata pamannya dengan sombong.
“Tidak perlu berkata seperti itu pada Deok. Aku pasti akan membayar semua hutangku padamu,” sahut Nam Ki tegas. Ia segera menyuruh Deok masuk ke dalam rumah.
“Baiklah, aku tunggu janjimu.” Tun Kin pergi dari halaman rumah Nam Ki.
Dari dalam rumah, ibu Deok melihat kepergian Tun Kin dengan perasaan lega. Ia sempat khawatir kalau kakak iparnya itu akan menagih hutangnya dengan cara kekerasan seperti beberapa hari lalu. Nam Kin berjalan ke kebun di samping rumah dengan perasaan sedih. Ia tidak menyangka jika kakaknya sangat tega kepadanya. Hutang Nam Ki sebenarnya tidak seberapa. Namun Tun Kin membebankan bunga hingga berlipat-lipat, sehingga hutang Nam Kin tidak juga lunas. Saat tiba di kebun, Nam Kin mencoba melupakan kesedihannya. Ia mengolah kebunnya dengan bersemangat. Ia berharap hasil kebunnya dapat disisihkan untuk menyicil hutangnya. Meskipun di kebunnya yang kecil hanya ada cabe, kol, dan sawi, ia selalu merawatnya dengan baik. Tak berapa lama, Deok muncul dan membantu ayahnya mencabut gulma dengan cekatan. Keesokan harinya, Nam Kin terkejut dengan teriakan Deok yang sedang berada di kebun.
“Ada apa, Nak?” tanya Nam Kin yang datang terburu-buru.
“Ada banyak labu di kebun kita, Yah!” seru Deok dengan mata berbinar.
“Labu siapa? Kita tidak menanamnya!” teriak Nam Kin dengan lantang. Ia semakin mempercepat langkahnya.
Setibanya di kebun, ia melihat buah labu itu berbaris rapi. Labu-labu itu terlihat bersih dan berwarna kuning keemasan. Ia menghitungnya satu per satu. Ada dua belas labu di kebunnya. Namun ia tidak tahu, siapa yang meletakkan labu-labu itu di kebunnya. Tiba-tiba, dari arah belakang, muncul beberapa ekor kucica. Cakar mungilnya menggeser labu-labu itu hingga berbaris rapi.
“Kucica itu yang membawanya, Yah,” Deok berkata takjub.
Ia mengambil labu yang baru saja diletakkan kucica. Burung itu lalu terbang kembali ke atap rumah dan bernyanyi riang. Nam Kin mendongak. Atap rumahnya kini penuh dengan kucica. Ia pun tersenyum. Walau kadang berisik, ia tidak berniat mengusir burung itu. Apabila ia mengusir burung-burung itu dari rumah ini, ke mana mereka akan pergi?
“Kalau begitu, kita bisa mengambilnya satu biji untuk dimasak,” celetuk ibu Deok yang muncul dan mengambil sebuah labu.
Ia kemudian membawanya ke dalam rumah. Ia mulai membelah labu itu. Labu itu terasa lebih keras dari labu biasanya. Setelah terbelah, seketika itu juga ia terkejut, karena... labu itu berisi kepingan emas!
“Nam Kin!” teriak ibu Deok.
Nam Kin kembali tersentak. Mendengar teriakan sang istri, ia bergegas masuk. Deok pun segera menyusul ayahnya. Sesampai di dapur, mereka semua terpana melihat isi labu itu. Nam Kin mengucek-ucek matanya. Ia tidak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Lalu ia berjongkok dan memungut kepingan emas itu.
“Ini, benar-benar emas, Bu?” tanyanya lagi, masih tak percaya.
“Iya, Pak. Ini benar-benar emas,” jawab sang istri.
Deok ikut berjongkok, ikut mengamati benda yang bersinar mengilat itu.
“Kita buka saja semua labu itu, Yah. Mungkin semuanya berisi emas,” kata Deok. Matanya berbinar membayangkan isi labu yang dibawa kucica. Emas!
Kedua orang tua Deok segera tersadar dari lamunan mereka. Mereka lalu bergegas mengambil beberapa labu, yang masih ditinggalkan di kebun, dan membukanya satu per satu. Dan labu-labu itu, benar-benar, berisi emas! Keluarga itu pun langsung bersyukur atas rezeki yang mereka terima. Bahkan Nam Kin menitikkan air mata. Ia sangat bahagia. Nam Kin tertunduk, ia teringat pada anak kucica yang mereka tolong tempo hari. Mungkin semua ini adalah hadiah dari apa yang telah dilakukannya pada kucica itu. Burung-burung itu membalas kebaikan mereka dengan membawa labu berisi emas. Nam Kin pun segera ingat untuk membayar hutang kepada sang kakak. Ia segera menghitung semua hutangnya. Ia lalu membawa sebuah labu berisi emas ke rumah kakaknya.
“Ada apalagi kamu datang kemari? Mau hutang lagi?” tanya Tun Kin congkak. Ia sedang duduk di kursi malas sambil mengangkat kakinya yang gempal. Matanya melirik pada buah labu yang dibawa Nam Kin.
“Tidak, Kak. Aku datang untuk membayar semua hutangku pada Kakak.”
“Heh, dari mana kamu dapat uang?” tanya Tun Kin dengan nada mengejek.
“Aku mendapat rezeki dari seekor burung yang kutolong kemarin. Ia membawakanku labu berisi emas,” jawab Nam Kin jujur.
Tun Kin terperanjat. Ia tidak percaya kalau adiknya mendapat kemujuran seperti itu. Ia segera mengambil labu yang dibawa oleh adiknya. Ketika labu itu dibuka, ia semakin terkejut. Ternyata apa yang dikatakan adiknya itu benar! Tun Kin ingin mendapatkan labu-labu berisi emas itu. Ia pun mengorek informasi bagaimana adiknya bisa mendapatkan labu-labu itu.
“Bagaimana kau bisa mendapatkan labu emas ini?”
Nam Kin menceritakan kejadian tempo hari di rumahnya. Mendengar cerita Nam Kin, muncullah rasa iri di hati Tun Kin. Ia pun mulai menyusun rencana licik.
“Jadi ada banyak labu yang dibawa kucica itu ke kebunmu?”
“Dua belas labu, Kak.”
Mata Tun Kin yang sipit terbeliak lebar. Sifat serakahnya semakin menjadi-jadi. Jika ia bisa mendapatkan labu-labu seperti Nam Kin, pasti ia akan semakin kaya raya. Bahkan ia bisa lebih kaya dari adiknya, Nam Kin. Setelah Nam Kin pulang, Tun Kin segera menjalankan rencananya. Ia mencari burung kucica dan meletakannya di atap rumah. Selama berhari-hari ia menunggu dan berharap ada anak kucica yang jatuh dari sarangnya. Namun harapannya tidak jua terkabul. Karena jengkel, ia mengambil seekor anak kucica dari sarang dan menjatuhkannya. Kucica kecil itu terkapar. Namun ia tidak mati. Sayapnya juga tidak ada yang patah. Tun Kin pun semakin geram. Ia mematahkan sayap kucica kecil, lalu membalut sayap itu dengan selembar kain, tanpa membubuhkan parutan jahe di dalamnya. Setelah itu, ia meletakkan burung itu kembali di sarangnya. Pada saat induk kucica dating, setelah mencari makan, ia terkejut mendapati anaknya yang tergeletak lemah di dalam sarang. Ia pun berkicau memanggil teman-temannya yang lain. Hingga puluhan kucica berkumpul di sana. Salah seekor burung, yang melihat kejadian itu, menceritakannya pada induk kucica. Sang induk menjadi geram dan segera menemui Tun Kin.
“Justru aku yang telah menolong anakmu ketika ia jatuh. Aku juga yang membalut sayapnya yang patah agar cepat sembuh,” kata Tun Kin membela diri.
“Sekarang kau harus membawakan labu berisi emas kepadaku,” perintah Tun Kin.
Induk kucica mengangguk setuju. Ia pun meminta tolong teman-temannya untuk membawakan labu-labu yang diinginkan oleh Tun Kin. Teman-temannya bersedia membantu induk kucica karena mereka merasa iba dengan musibah yang dialami induk kucica. Mereka pun bahu-membahu membawa labu-labu itu ke depan rumah Tun Kin. Hati Tun Kin begitu gembira melihat puluhan labu tergeletak di depan rumahnya. Dengan tidak sabar, ia mulai membelah labu-labu itu. Akan tetapi, ia terkejut karena labu itu tidak berisi emas, melainkan ulat bulu besar berwarna hitam. Tun Kin bergidik, jijik. Ia pun melemparkan labu itu ke halaman rumahnya dengan sekuat tenaga. Ia kemudian mencoba membelah labu kedua. Ternyata isinya sama. Ia kembali melempar labu itu. Tanpa putus asa, ia membuka labu ketiga dengan harapan labu itu berisi emas. Namun harapannya sia-sia. Labu itu juga berisi ulat bulu. Tan Kim kembali membelah labu yang lain, hingga semua labu-labu habis terbelah. Tak ada satu keping emas pun di dalamnya. Justru rumahnya sudah dipenuhi dengan ulat bulu besar berwarna hitam. Tun Kin mulai marah. Ia merasa dibohongi oleh adiknya dan induk kucica. Ia pun berlari ke rumah Nam Kin dan melampiaskan kemarahannya.
“Nam Kin! Kau pembohong!” teriak Tun Kin dari luar rumah. Dengan penuh amarah, ia mencabuti tanaman cabe yang mulai berbuah dengan sekuat tenaga.
Nam Kin bergegas keluar rumah setelah mendengar suara gaduh di halaman.
“Apa yang terjadi, Kakak?”
“Labu itu tidak berisi emas, tapi ulat bulu yang menjijikan!” Tun Kin mengendikkan bahu, merasa jijik.
Nam Kin belum mengerti dengan perkataan kakaknya.
“Kau bilang labu pemberian burung kucica, yang sayapnya patah, berisi emas. Aku sudah melakukan semuanya, persisi seperti yang kau lakukan, tapi semua labu yang kuterima berisi ulat bulu.” Tun Kin berbicara dengan menggebu-gebu, hingga matanya merah. Sementara itu, Nam Kin baru menyadari kalau sang kakak mengikuti apa yang dikatakannya tempo hari.
“Aku tidak tahu, Kak. Kucica itu memang membawakanku labu berisi emas. Kakak bisa lihat sendiri. Hidup kami jauh lebih baik dengan adanya labu-labu itu.”
“Hah! Kamu mulai mengejekku, Nam Kin.” Wajah Tun Kin makin memerah. Ia tahu jika adiknya sudah menjadi orang kaya, bahkan, mungkin lebih kaya dari dirinya. Namun ia enggan mengakui semuanya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui kelebihan adiknya.
Setelah puas melampiaskan amarahnya pada tanaman di kebun Nam Kin, Tun Kin pulang ke rumahnya. Akan tetapi, amarahnya kembali saat ulat-ulat bulu mulai memasuki rumahnya. Ulat-ulat itu juga menggerogoti barang-barang antik kesayangannya.
“Enyahlah kalian dari dalam rumahku!” teriak Tun Kin sambil mengibaskan kain ke arah ulat-ulat itu. Namun ulat itu justru bertambah banyak dan memenuhi rumah Tun Kin.
Tun Kin kehabisan akal untuk mengusir ulat-ulat itu. Maka ia mengambil minyak tanah dan menyiramkannya ke seluruh penjuru rumah. Dengan sekali sulutan api, rumah itu menyala di lalap jago merah. Tun Kin membakar rumahnya sendiri.
“Hahaha... Kini kalian tidak bisa menggangguku lagi!” seru Tun Kin sembari tertawa lebar. Ia tidak menyadari kalau ia akan kehilangan tempat tinggalnya.
Ia pun kembali berseru lantang, “Dan kau kucica, terimalah pembalasanku. Kalian juga akan ikut menjadi arang seperti ulat-ulat itu. Hahaha…”
Tun Kin menyaksikan api semakin besar berkobar. Hawa panas menyentuh wajahnya yang masih merah madam. Melihat kobaran api yang kian membubung, ia baru tersadar jika telah kehilangan rumahnya sendiri. Tun Kin berdiri terpaku memandangi kobaran api yang tidak bisa ia padamkan seorang diri.
“Tolong… Tolong… Tolong!”
Tun Kin mulai berteriak, meminta bantuan tetangganya. Namun tak seorang pun menggubrisnya. Tetangga Tun Kin enggan menolongnya karena Tun Kin dikenal sebagai lintah darat yang kejam. Mereka juga tahu jika Tun Kin sengaja membakar rumahnya sendiri untuk membunuh ulat yang bersarang di sana.
“Tolong... Tolong…!” Tun Kin berteriak lagi, tapi kali ini, suaranya hanya sampai di tenggorokan.
Tun Kin memandangi rumahnya dengan penyesalan tak terkira. Sekarang, ia tidak mempunyai apa-apa lagi. Seluruh hartanya sudah habis terbakar. Ia sudah tidak mempunyai muka lagi untuk meminta bantuan kepada adiknya. Tun Kin mulai menyesali kesombongannya selama ini. Karena semua sifatnya itu, tidak ada seorang pun yang sudi menolongnya di saat ia tertimpa musibah seperti sekarang ini. Ia pun harus menanggung akibat dari semua perbuatannya selama ini. Kehilangan harta, kawan, dan saudara!
***
Bazif Guita selesai membaca bukunya.
"Bagus cerita asal cerita Korea Selatan," kata Bazif Guita.
Bazif Guita menutup bukunya dan menaruh bukunya di meja. Bazif Guita tetap asik menikmati minum jus dan makan kue buatan ibu yang enak banget.
No comments:
Post a Comment