“Kau tadi berbicara dengan siapa, Kim Ha?” tanya Park Ji, ayah Kim Ha.
“Dokkaebi ayah, dia teman baruku.” Kim Ha menjawab pertanyaan ayahnya dengan nada riang. Bocah lelaki berusia sembilan tahun itu terlihat sangat senang memiliki seorang teman baru.
“Dokkaebi?” Sang ayah mengulang sebuah nama yang disebut anaknya itu. Ia terdiam sambil berpikir keras. Ia seperti pernah mendengar nama seperti itu. Nama apakah itu? pikir Park Ji. Keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat sesuatu, namun tak berhasil.
“Di mana rumahnya?” tanya Park Ji akhirnya.
Kim Ha menatap ayahnya sambil berpikir. Ia mencoba mengingat sesuatu, tapi ia segera menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bertanya dia tinggal di mana,” jawab Kim Ha.
“Ehm, baiklah. Sebaiknya kita pulang sekarang,” ajak Park Ji. Ia berjalan menuju sepedanya, yang bersandar di bawah pohon. Kim Ha mengikuti ayahnya dengan berlari-lari kecil di belakangnya.
Langit mulai memerah. Senja hampir tiba. Park Ji mulai mengayuh sepedanya perlaha-lahan. Kim Ha membonceng sepeda angin itu sambil membentangkan tangannya sesekali. Ia senang merasakan desiran angin yang melawan laju sepeda mereka. Rambutnya, yang berdiri, meliuk liuk tertiup angin.
“Kring... Kring…” Park Ji membunyikan bel sepedanya. Ia seperti melihat anak kecil melintas. Namun saat ia memerhatikan dengan teliti, ia tidak melihat siapa-siapa.
“Hoooiii... sampai ketemu lagi, ya!” Kim Ha berseru nyaring, sambil melambaikan tangan.
“Kamu bicara dengan siapa?” tanya ayahnya, yang terus mengayuh sepeda. Meski suara ayahnya terbawa angin, Kim Ha dapat mendengarnya dengan jelas.
“Dengan anak yang tadi, Ayah,” jawab Kim Ha.
Sang ayah terdiam. Ia memang seperti melihat anak kecil tadi, tapi anak itu segera menghilang, entah ke mana. Mungkin mataku mulai rabun, pikir Park Ji.
Perjalanan mereka tidak memakan waktu lama. Mereka segera tiba di sebuah rumah mungil berhalaman luas. Banyak bunga mugunghwa tumbuh di sana. Bunga itu memiliki kelopak luar berwarna ungu, kelopak dalam berwarna merah, dan putik yang berwarna putih. Bunga-bunga itu ditanam oleh ibu Kim Ha.
“Kalian berdua sudah pulang?” Seorang wanita cantik, dengan rambut tersanggul rapi, berdiri menyambut mereka.
Kim Ha tersenyum. Ia segera turun dari sepeda ayahnya dan berjalan cepat ke arah ibunya. “Bu, aku senang bisa bermain di taman kota sore ini. Aku juga mendapat teman baru di sana. Namanya Dokkaebi,” kata Kim Ha memulai cerita.
Setiap hari sabtu, Kim Ha selalu merasa senang karena ia bisa pergi ke taman untuk bermain. Ada banyak permainan yang bisa ia temui dan mainkan bersama anak-anak yang datang ke sana. Hoejeon mogma adalah salah satu permainan kesukaan Kim Ha. Permainan itu terbuat dari besi yang ditancapkan ke beton taman. Di bagian tengahnya terdapat tempat duduk dari besi dengan sandaran berbentuk lingkaran. Kim Ha suka duduk di haejoen mogma yang diputar kencang, karena rambutnya akan bergoyang seiring perputaran porosnya.
Sementara anaknya bercerita panjang lebar. Ibu Kim Ha terkejut mendengar cerita Kim Ha. “Siapa nama teman barumu?” tanyanya lagi.
“Dokkaebi, Bu,” jawab Kim Ha yakin.
Ibu Kim Ha benar-benar kaget saat mendengar nama itu. Ia tahu jika Dokkaebi bukanlah nama anak manusia. Ia pun mendekati suaminya, yang baru selesai meletakkan sepeda anginnya di belakang rumah.
“Kim Ha mengatakan kalau dia mendapat seorang teman baru bernama Dokkaebi, apakah itu benar, Pak?” tanya ibu Kim Ha penuh selidik.
Park Ji mengangguk pelan. “Aku juga merasa aneh dengan nama itu, tapi aku tidak dapat mengingat itu nama apa.”
“Dokkaebi itu mahluk halus yang terbentuk dari benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, Pak. Ia bisa menjelma seperti manusia jika diolesi hyangsu di seluruh permukaannya.” Ibu Kim Ha berusaha membangkitkan ingatan suaminya pada Dokkaebi.
“Oh, iya. Aku ingat sekarang. Dokkaebi juga bisa memunculkan benda yang dibutuhkan dengan cara mengambilnya dari orang lain,” kata Park Ji. “Tapi apakah dia mahluk berbahaya, Bu?”
“Dia suka mengganggu anak-anak dengan membuat mereka sakit,” ucap Ibu pelan.
“Oh, kita harus melarang Kim Ha bermain dengannya lagi,” ujar Park Ji membuat keputusan. “Kita katakan pada Kim Ha besok saja, Bu.” Ibu Kim Ha mengangguk, setuju dengan perkataan suaminya.
Keesokan harinya, Kim Ha bangun pagi-pagi sekali. Ayah dan ibunya sudah bangun lebih dulu. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ibu sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Sementara ayahnya memberi makan ternak mereka di kandang belakang rumah.
Kim Ha menghampiri ayahnya. Ia mengambil rumput dan meletakkannya di depan seekor anak kambing. “Makanlah yang banyak, Yeomso, agar kamu cepat besar seperti aku,” kata Kim Ha sambil mengelus anak kambing itu.
“Mandilah, Kim. Sebentar lagi kita akan berangkat ke kuil Bulguksa,” panggil ibunya dari dalam rumah.
Ibu Kim Ha sudah selesai menyiapkan sarapan dan siap pergi beribadah. Kim Ha bergegas ke kamar mandi. Park Ji, yang telah menyelesaikan pekerjaannya, mandi bergantian dengan Kim Ha.
Hari itu adalah hari minggu, hari di mana mereka mengunjungi kuil Bulguksa untuk beribadah. Park Ji, Kim Ha, dan ibunya menaiki sepeda angin mereka menuju Kuil Bulguksa. Sepeda itu tampak sesak dinaiki oleh mereka bertiga, apalagi Kim Ha sudah semakin besar. Namun, mereka belum mampu membeli kendaraan yang lebih bagus.
Meski harus bersesak-sesak, Kim Ha senang berada di boncengan belakang bersama ibunya. Rambutnya, yang sedikit basah, berdiri menantang langit. Sehingga angin hanya bisa menggoyangkannya satu-satu.
“Hoi! Aku mau pergi ke kuil Bulguksa!” teriak Kim Ha tiba-tiba.
“ Kamu sedang berbicara dengan siapa, Nak?” tanya ibu Kim Ha heran.
“Temanku yang kuceritakan pada ibu kemarin,” jawab Kim Ha tenang.
Ibu Kim Ha terkesiap. Ia segera menoleh kembali ke belakang dan mendapati seorang anak kecil sedang menatap mereka dengan pandangan hampa. Ibu Kim Ha merasakan bulu kuduknya meremang. Dia segera mengalihkan pandangan, tidak berani menatap ke belakang lagi.
Sesampai di kuil, mereka bertiga mulai berdoa. Dengan penuh pengharapan, ibu Kim Ha berdoa kepada dewa-dewa agar Kim Ha dijauhkan dari segala mara bahaya, terutama dari mahluk bermana Dokkaebi. Setelah selesai beribadat, mereka menuju ke taman kota. Park Ji sudah berjanji kepada Kim Ha untuk pergi ke taman kota dan bermain sepuasnya. Selain itu, ia juga berpesan agar Kim Ha menjauhi Dokkaebi dan tak bermain dengannya lagi.
Sesampainya di taman kota, tempat itu sudah ramai dengan pengunjung. Taman itu tetap sejuk meski matahari mulai naik dan udara semakin panas. Ibu Kim Ha segera mencari tempat yang teduh. Ia menggelar tikar yang dibawanya dari rumah dan mengeluarkan bekal untuk mereka makan bersama. Kim Ha langsung berlari menuju mainan kesukaannya. Namun, ia harus kecewa karena mainan itu telah penuh dengan anak-anak sebayanya. Tidak ada tempat untuknya lagi di sana.
“Kim Ha, ayo main denganku,” kata seorang anak laki-laki kecil yang menenteng sebuah topi lancip.
Kim Ha menatap anak itu dengan ragu. Ia teringat pesan ayahnya, namun ia tak memiliki teman lain. Ia pun berkata, “Baiklah, permainan apa yang akan kita mainkan?”
“Ehmmm, aku bisa membuat benda-benda yang kau inginkan ada di sini dalam sekejab,” katanya sambil tersenyum lebar.
“Wah, kau bisa bermain sulap, Dokkaebi?” tanya Kim Ha pada Dokkaebi, anak laki-laki yang menenteng topi lancip.
“Hal itu mudah bagiku,” Dokkaebi berkata sambil menaikkan sebelah alisnya dengan sikap sombong. “Lihatlah, aku juga bisa membuat tubuhku menjadi tembus pandang.” Ia meletakkan topi yang dipegangnya di atas kepala. Seketika itu juga Kim Ha tidak bisa melihat Dokkaebi.
“Dokkaebi, di mana kamu?” tanya Kim Ha sambil menengok ke kanan dan ke kiri, mencari Dokkaebi. Dokkaebi tiba-tiba menghilang dari pandangannya.
“Aku di belakangmu,” kata Dokkaebi sembari melepas topinya.
Kim Ha membalikkan tubuhnya dan melihat Dokkaebi di belakangnya. “Bagaimana kau melakukannya?” tanya Kim Ha penasaran. Ia mulai lupa pada pesan ayahnya.
“Aku punya gamut, topi lancip yang bisa membuatku tembus pandang,” kata Dokkaebi. Ia menunjukkan topi berwarna kuning yang dipegangnya.
“Topimu hebat sekali, bolehkah aku meminjamnya?” tanya Kim Ha.
“Tapi kau harus berjanji untuk menjadi temanku selamanya,” pinta Dokkaebi. Kim Ha mengangguk, setuju.
Dokkaebi menyerahkan topinya kepada Kim Ha. Kim Ha langsung menerima dan meletakkan topi itu di kepalanya. Seketika itu juga tubuh Kim Ha tidak terlihat. Ia lalu berjalan, dengan membusungkan dada, mendekati orang tuanya di bawah pohon. Sesampai di dekat kedua orang tuanya, ia mengambil makanan kesukaannya, pajeon. Pajeon berbentuk bulat seperti martabak manis. Makanan itu terbuat dari tepung, telur, bawang Bombay, dan kerang. Tanpa membuang waktu, ia melahap pajeon buatan ibunya yang super lezat. Kim Ha menikmati pajeon itu sambil menatap ibunya yang terlihat kebingungan.
“Ayah, lihatlah pajeon itu,” kata ibu Kim Ha. Ia menunjuk makanan buatannya yang melayang di udara.
Park Ji berusaha menangkap makanan itu, tapi makanan itu justru berkurang, seperti sedang dimakan oleh seseorang. Kedua orang itu terpana melihat kejadian itu.
“Ini aku, Bu,” ucap Kim Ha mulai menampakkan dirinya.
Kedua orang tuanya sangat terkejut.
“Kim Ha, bagaimana bisa kamu seperti itu?” Ibu Kim Ha membelalakkan mata. Ia cemas dengan tingkah Kim Ha barusan.
“Dokkaebi meminjamkan topinya padaku, Bu, asal aku mau terus menjadi temannya,” Kim Ha berkata seraya mengunyah pajeon di tangan kanannya. Tangan kirinya masih memegang topi lancip berwarna kuning milik Dokkaebi.
“Bukankah ayah sudah berpesan agar kamu tidak bermain lagi dengan Dokkaebi?” Park Ji mengingatkan Kim Ha.
Kim Ha terdiam, merasa bersalah. “Tapi, aku senang bermain dengannnya, Yah. Dia bisa bermain sulap.”
“Tapi dia bukan teman yang baik, Sayang. Sekarang kembalikan topi itu kepadanya.” Ibu Kim Ha mencoba membuat Kim Ha mengerti.
Kim Ha cemberut, tapi ia tidak membantah perintah ibunya. Dia pun beranjak dan mulai mencari Dokkaebi.
“Aku tidak menemukannya, Ayah,” lapor Kim Ha, setelah kelelahan mencari Dokkaebi di sekitar taman.
“Tinggalkan topi itu di tempat ini. Dia pasti akan datang kembali untuk mengambilnya,” usul ibu Kim Ha.
Kim Ha mengangguk, lalu duduk di tikar. Ia kembali memakan bekal yang dibawa oleh Ibu dengan lahap. Selain pajeon, Ibu juga membuat gimbap yaitu nasi yang digulung dengan rumput laut dan diisi dengan sayur, daging, sosis, atau keju. Kim Ha terus makan dengan sukacita, sedangkan ibunya semakin gelisah. Kejadian siang itu membuat hatinya tidak enak.
“Segera habiskan bekal kita, Nak. Setelah itu kita pulang,” ajak ibu Kim Ha.
“Tapi, aku belum puas bermain, Bu.” Kim Ha mulai merengek.
“Besok kita bermain lagi, Kim Ha. Ibu tidak enak badan sekarang.” Ibu Kim Ha mencoba memberi alasan kepada anak kesayangannya.
Kim Ha menatap ibunya, sedikit kesal. Tapi akhirnya ia mengangguk, “Baiklah, aku mau pulang.” Kim Ha menghabiskan potongan gimbap di mulutnya dengan malas. Meski rasanya masih enak, ia sudah kehilangan semangat untuk menghabiskannya. Malam mulai menjelang. Kim Ha merasa tidak enak badan. Badannya mulai demam.
“Bu… Ibu…” panggil Kim Ha dengan lemah.
Ibu Kim Ha segera menghampiri anaknya. Ia kaget ketika merasakan suhu tubuh Kim Ha yang menghangat.
“Kamu demam, Nak. Sepertinya kamu kecapaian setelah bermain di taman tadi.” Ibu Kim Ha segera mengambil ramuan ginseng dan meminumkan ramuan itu kepada Kim Ha. Setelah meminum ramuan ginseng itu, Kim Ha pun tertidur.
“Kembalikan topiku, Kim Ha.” Dokkaebi tiba-tiba berdiri di samping tempat tidur Kim Ha.
Kim Ha terbangun karena mendengar suara Dokkaebi. “Aku meninggalkannya di taman, Dokkaebi. Ibu berkata bahwa kau akan mengambilnya. Apa kau tidak mengambilnya?”
“Tidak, kamu harus mengembalikan topi itu padaku.” Dokkaebi terus mendesak. “Kamu akan terus-menerus sakit kalau tidak mengembalikan topi itu.” Dokkaebi terus berbicara sambil menatap mata Kim Ha.
Kim Ha merasa tubuhnya semakin tidak enak. Park Ji, yang mendengar percakapan dari dalam kamar Kim Ha, mendekat kamar anaknya. Ia terkejut mendapati seorang anak laki-laki di sebelah tempat tidur putranya.
“Siapa kamu?” tanya Park Ji.
“Saya teman Kim Ha, nama saya Dokkaebi.”
“Bagaimana kamu bisa masuk kemari?”
“Hal itu mudah bagi saya, Tuan. Saya datang ke sini untuk mengambil topi saya. Kalau Anda tidak mengembalikannya, Kim Ha akan terus-menerus sakit,” kata Dokkaebi.
“Kami akan mengembalikan topimu, tapi kamu tidak boleh menganggu Kim Ha lagi.” Park Ji mengajukan syarat kepada Dokkaebi. Dokkaebi mengangguk, menyetujui syarat Park Ji.
Park Ji mengambil topi Dokkaebi yang ia simpan. Sebenarnya Kim Ha telah meninggalkan topi itu di taman, tapi Park Ji mengambil kembali topi itu dan menyimpannya. Kini, Park Ji akan mengembalikan topi itu dengan syarat Dokkaebi tidak boleh mengganggu Kim Ha lagi. Sementara itu, Dokkaebi tidak ingin meninggalkan Kim Ha, meski topi lancipnya akan dikembalikan. Ia sudah terlanjur berjanji untuk terus berteman dengan Kim Ha.
“Kalau aku boleh tahu, apa yang kau takutkan Dokkaebi?” tanya Park Ji. Ia telah membuat rencana untuk menjauhkan Kim Ha dengan Dokkaebi.
“Saya paling takut pada minyak wangi. Kalau Tuan, apa yang Anda takutkan?”
“Kami takut pada uang,” jawab Park Ji tanpa berpikir panjang.
Setelah Dokkaebi menerima topinya, ia segera pergi dari rumah Park Ji. Park Ji lalu memanggil istrinya, meminta bantuannya untuk menyiramkan minyak wangi ke sekeliling rumah. Dengan demikian, Park Ji berharap Dokkaebi tidak mengganggu Kim Ha lagi. Setelah menyelesaikan pekerjaan mereka, Park Ji dan istrinya melihat keadaan Kim Ha. Suhu tubuh Kim Ha sudah turun. Mereka pun bisa beristirahat dengan tenang.
Keesokan harinya, Dokkaebi datang lagi ke rumah Kim Ha. Ia ingin mengajak Kim Ha bermain. Namun ia tidak kuat dengan bau minyak wangi yang disebar oleh orang tua Kim Ha di halaman rumah mereka. Dokkaebi menangis dan pergi dari rumah itu. Akan tetapi, Dokkaebi kembali lagi ke rumah Kim Ha untuk membalas perlakuan orang tua Kim Ha. Ia datang ke rumah Kim Ha dengan membawa uang yang sangat banyak dan menyebarkannya di depan rumah Kim Ha. Setelah itu, ia pergi dan tidak pernah kembali lagi ke rumah Kim Ha. Keesokan harinya, Park Ji terkejut sembari berteriak kegirangan ketika mendapati banyak uang yang berserakan di depan rumahnya. Sejak saat itu keluarga Park Ji menjadi keluarga yang kaya raya.
***
Darpana selesai membaca bukunya.
"Cerita yang bagus asal dari Korea Selatan," kata Darpana.
Darpana menutup bukunya dan menaruh buku di mejanya dengan baik.
"Nonton Tv ah!" kata Darpana.
Darpana mengambil remot di meja dan segera menghidupkan Tv dengan baik. Acara Tv yang di tonton, ya acara film kartun sih....karena menarik sih. Darpana menaruh remot di meja dan fokus dengan tontonannya.
No comments:
Post a Comment