Di sebuah desa, yang berbatasan dengan kota Gongju, tinggallah seorang wanita miskin bersama anak perempuannya. Mereka hidup dengan sangat sederhana. Mereka tidak mempunyai sawah atau ladang untuk digarap dan menghasilkan padi sebagai persediaan makanan seperti keluarga lain. Setiap hari mereka pergi ke sawah untuk menggarap sawah-sawah milik orang lain. Ya, mereka bekerja di sawah milik seorang tuan tanah yang kaya raya. Meski tidak memiliki sawah sendiri, mereka tetap bersyukur karena masih ada orang yang mau mempekerjakan mereka. Ibu dan anak itu pun masih dapat makan dan memenuhi kebutuhan hidup mereka, meski dengan sangat sederhana.
“Sepertinya hasil musim panen kali ini sedikit sekali,” kata Tuan Dong. Ia berdiri di pinggir sawahnya sambil memerhatikan beberapa orang yang hampir menyelesaikan pekerjaan mereka.
“Letakkan di sini, Hyangji,” perintah Tuan Dong. Ia menunjuk suatu tempat.
Gadis kecil, dengan penutup rambut itu, berjalan tergopoh-gopoh ke arah yang ditunjuk Tuan Dong. Sebuah karung berisi gabah, yang besarnya dua kali tubuhnya, ia turunkan dari pundak mungilnya. Hyangji menghempaskan napasnya. Lalu ia berjalan mendekati seorang wanita kurus yang sedang duduk beristirahat.
“Aku mau minum, Bu.” Hyangji meminta botol air minum yang mereka bawa dari rumah.
Wanita kurus itu mengambil botol dari buntalan di bajunya dan menyerahkannya pada Hyangji. Hyangji menerimanya. Botol itu terasa sangat ringan ketika sampai di tangannya. Hyangji lalu membuka tutup botol itu dan mengarahkan ke mulutnya. Ia merasakan setetes kecil air membasahi bibirnya. Diintipnya isi botol itu. Kemudian ia menutup botol itu kembali.
“Sudah habis,” katanya sambil tersenyum pada ibunya.
Sang ibu ingat jika ia menyisakan sedikit air untuk anaknya. Tangannya yang mulai keriput pun segera meraba buntalan di bajunya. Basah. Rupanya botol itu tidak tertutup rapat, sehingga airnya menetes dan habis sia-sia. Padahal air itu sangat berharga buat mereka.
Wanita kurus itu menatap Hyangji, iba. “Maafkan ibu, Nak,” gumamnya lirih.
“Yung Mi.” Tuan Dong menyebut sebuah nama.
Wanita kurus itu berdiri dan mendekati Tuan Dong. Tuan Dong mengulurkan selembar uang kertas. Wanita kurus itu menerimanya dengan tangan gemetar.
“Terima kasih, Tuan,” katanya pelan.
Tuan Dong menganggukkan kepala. Meski tenaga Yung Mi tidak bisa diandalkan untuk tetap bekerja di sawahnya, Tuan Dong merasa kasihan padanya. Ia tahu jika Yung Mi tidak mempunyai penghasilan lain, selain dari hasil bekerja di sawahnya. Ia pun tahu bahwa Yung Mi tidak mempunyai keahlian untuk bekerja di tempat lain.
“Hyangji!”
Tuan Dong memanggil Hyangji dan memberikan selembar uang kertas pada gadis kecil itu. Hyangji mendongak. Dengan tersenyum ia mengucapkan terima kasih kepada Tuan Dong. Tuan Dong tersenyum. Sebenarnya ia juga merasa kasihan pada gadis kecil itu. Namun pekerjaan gadis itu tidak bisa dihargai lebih dari selembar uang yang ia berikan. Hiangji berjalan menyusul ibunya. Hatinya senang, hari ini ada rejeki yang bisa ia bawa pulang bersama ibunya. Dengan berjalan beriringan, mereka pulang.
“Aku akan membeli obat untuk ibu.” Hiangji berjalan ke arah warung yang menyediakan kebutuhan sehari hari.
Hyangji membeli obat dengan uang yang diperolehnya. Yung Mi juga menyelipkan selembar uang yang ia peroleh. Dengan uang itu Hyangji membeli keperluan mereka sehari-hari. Hyangji keluar dari warung dengan wajah cerah. Ia juga menenteng kantong plastik berwarna hitam di tangan kirinya.
“Ayo, Bu, kita pulang.” Hyangji menggamit ibunya dengan tangan kanannya.
Sambil menahan rasa sakit, wanita kurus itu berjalan pelan. Hyungji mendongak. Ia menatap wajah pucat ibunya. Ia tahu ibunya sedang menahan rasa sakit yang teramat sangat. Sepanjang perjalanan pulang, Hyungji berdoa agar mereka sampai di rumah dengan selamat. Ia khawatir jika ibunya pingsan di jalan. Siapa yang akan membantunya mengangkat tubuh ibunya? Tubuh mungilnya tidak akan kuat mengangkat ibunya seorang diri.
“Sebentar lagi kita sampai, Bu.” Hyungji mencoba memberikan kekuatan lewat genggaman jarinya.
Perlahan namun pasti, akhirnya mereka sampai di rumah. Hyungji segera membaringkan ibunya di lantai rumah yang beralsakan selembar tikar yang telah koyak. Dengan cekatan Hyungji membuat makanan sederhana untuk ibunya. Ia menyuapi ibunya perlahan-lahan. Setelah selesai, Hyungji mengambil obat yang tadi dibelinya di warung.
“Minum obatnya, Bu,” kata Hyungji dengan lembut.
Sebenarnya Hyungji tahu jika obat itu tidak akan menyembuhkan penyakit ibunya. Obat itu hanya dapat mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh ibunya. Sedangkan obat untuk penyakit ibunya belum bisa ia beli. Yung Mi meminum obat yang diberikan anak perempuannya. Tak lama kemudian ia mulai terlelap. Rasa lelah dan pengaruh obat membuatnya terbang ke alam mimpi. Hyungji segera membereskan rumah. Ia juga menyiapkan air untuk membersihkan badan dan penyakit yang bersarang di tubuh ibunya. Ia tidak tahu pasti penyakit yang diderita oleh ibunya. Ia hanya tahu jika ibunya mengidap penyakit, sejenis tumor, yang sangat berbahaya. Setiap hari Hyungji berusaha mengeluarkan nanah yang ada di tumor ibunya. Namun usahanya belum membuahkan hasil apa-apa.
Hyungji mendengar kabar kalau ada seorang tabib yang bisa mengobati penyakit ibunya. Ia ingin sekali membawa ibunya ke tabib itu. Namun ia masih menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya untuk bisa membawa ibunya ke sana. Keesokan harinya, Hyungji berangkat ke sawah seorang diri. Ibunya sudah tidak sanggup bekerja lagi. Sebenarnya Hyungji ingin menemani ibunya di rumah, tapi mereka tidak bisa makan kalau dia tidak bekerja. Maka dengan berat hati, Hyungji meninggalkan ibunya seorang diri. Selesai bekerja, Hyungji segera pulang ke rumah dan membawa ibunya ke tabib. Ia berharap ia bisa membayar tabib itu dengan tambahan upah yang dia dapatkan hari ini. Ia pun membawa ibunya ke rumah tabib itu dengan mengendarai pedati yang digunakan untuk mengangkut padi.
“Mengapa kau tidak membawa ke sini cepat-cepat? Penyakit ibumu sudah sangat parah,” kata sang Tabib sambil menggelengkan kepalanya.
Hyungji menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Saya belum ada biaya,” katanya lirih.
“Tumornya sudah menyebar hingga ke tulang. Penyakit ibumu bisa disembuhkan melalui pembedahan. Namun kondisinya terlalu lemah saat ini. Aku tidak bisa melakukannya sekarang,” lanjut sang Tabib.
“Apakah biayanya mahal?” Hyungji mulai khawatir. Ia takut tidak bisa membayar biaya pembedahan ibunya karena uang yang ia miliki tidak seberapa.
Sang Tabib tersenyum. “Kau tidak perlu memikirkan biayanya dulu. Yang terpenting adalah ibumu bisa sembuh.”
Hyungji menarik napas lega. Ia berjanji akan melunasi semua biaya pembedahan ibunya nanti.
“Berilah ibumu makanan yang bergizi tinggi, terutama daging sapi. Daging itu akan membantu pemulihan stamina ibumu, sehingga pembedahan bisa segera dilakukan,” kata tabib itu lagi.
Dalam perjalanan pulang, Hyungji berpikir keras. Uang yang dia dapatkan setiap hari hanya cukup untuk membeli makanan ala kadarnya. Bagaimana dia bisa membeli daging sapi yang dibutuhkan oleh ibunya? Apalagi sawah Tuan Dong tidak dapat dipanen lagi. Padi yang bisa dipanen tahun ini sangat sedikit. Masa paceklik telah datang. Tidak ada lagi yang bisa ia kerjakan. Akan tetapi, Hyungji tidak berputus asa. Ia pergi ke kota dan mencari pekerjaan di sana. Di sebuah tempat makan yang ramai, Hyungji menawarkan jasanya untuk mencuci piring. Pemilik rumah makan itu menolaknya karena mereka menganggap Hyungji terlalu kecil.
Dengan wajah murung, Hyungji kembali berjalan mencari rumah makan lain. Ia tidak menghiraukan terik matahari yang menyengatnya. Bekal air minum yang ia bawa dari rumah, hanya tersisa dua ruas jari. Hyungji meminumnya sedikit. Air itu mengisi perutnya yang belum terisi makanan dari pagi. Persediaan makanan di rumahnya hanya cukup untuk dimakan ibunya. Ia tidak tega melihat ibunya menahan lapar juga. Lebih baik dirinya saja yang merasa lapar. Setelah berjalan cukup jauh, Hyungji tiba di sebuah rumah makan besar. Banyak orang yang berdatangan ke sana. Hyungji segera menawarkan diri untuk membantu mencuci piring. Seorang lelaki berperut buncit membawanya ke tempat cuci piring di belakang rumah makan itu.
“Di sini tempatnya. Kamu harus mencuci piring-piring kotor itu.” Lelaki berperut buncit itu menunjuk tumpukan piring di sudut tempat itu. “Setelah itu, lap piring-piring itu dan tatalah di rak itu,” katanya lagi sambil menunjuk rak besi yang berdiri kokoh di sisi sebelah kanannya.
Hyungji mengangguk, tanda mengerti.
“Kamu tahu, kan, caranya mencuci piring?” tanya lelaki berperut buncit itu. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
“Saya bias, Tuan. Saya biasa melakukannya di rumah,” jawab Hyungji mantap. Senyum di bibirnya mulai merekah. Ia sudah mendapatkan pekerjaan. Ia pun mempunyai penghasilan untuk biaya pembedahan ibunya.
“Ingat, kalau ada piring yang pecah, maka kamu harus menggantinya. Upahmu akan digunakan untuk mengganti piring-piring yang pecah itu. Jadi, kamu harus benar-benar berhati-hati,” kata lelaki buncit itu lagi.
Hyungji menganggukkan kepala. Setelah lelaki berperut buncit itu meninggalkannya, Hyungji segera bekerja. Dengan hati-hati ia mencuci pirig-piring kotor itu. Setelah semua selesai, ia mengeringkan piring-piring itu dengan lap yang sudah disediakan. Lalu satu per satu, piring-piring itu ditata di dalam rak berwarna putih mengilat. Ketika Hyungji sedang asyik bekerja, seorang laki-laki, dari arah rumah makan, datang membawa satu nampan besar piring-piring kotor. Dengan tergesa-gesa ia meletakkan piring-piring itu dengan kasar.
“Pranggg!” Tumpukan piring itu menyentuh lantai dengan suara keras.
Hyungji terperanjat. Lelaki itu meninggalkan tempat cuci piring tanpa memedulikan Hyungji dan tumpukan piring kotor yang berantakan. Hyungji segera berjongkok, memeriksa piring-piring kotor itu. Sebuah piring besar berwarna putih pecah menjadi beberapa bagian. Dan dua piring yang lain retak.
“Sudah kubilang agar kau berhati-hati. Sekarang kamu malah memecahkan piring-piringku.” Tiba-tiba laki-laki berperut buncit itu sudah berdiri di belakang Hyungji.
“Bukan saya yang memecahkan piring itu, Tuan.” Hyungji mencoba membela diri.
“Kalau bukan kamu, lantas siapa?”
“Lelaki yang membawa nampan berisi piring kotor tadi. Dia meletakkan piring-piring itu dengan keras di lantai, hingga pecah seperti ini, Tuan.”
Keringat dingin mulai membasahi tubuh Hyungji. Hyungji tahu ia tidak bersalah. Namun ia tetap merasa takut. Ia takut lelaki pembawa nampan itu akan melimpahkan kesalahan pada dirinya.
“Cho!” Lelaki berperut buncit itu memanggil sebuah nama. Dengan tergesa-gesa, orang yang dipanggil Cho itu datang mendekat. Ia adalah lelaki pembawa nampan tadi.
“Kamu yang memecahkan piring-piring ini?” Lelaki berperut buncit itu menunjuk piring yang pecah dan retak itu.
Cho tampak gelisah. Hyungji menatap Cho, berharap Cho berkata yang sejujurnya.
“Bukan saya, Tuan. Gadis kecil ini yang melakukannya,” kata Cho dengan wajah tak bersalah.
Hyungji terperanjat. Ia tidak menyangka kalau Cho justru menuduh dirinya.
“Ia yang melakukannya, Tuan,” kata Hyungji membela dirinya.
Namun pemilik rumah makan itu tidak percaya pada Hyungji. Ia justru membela Cho. Ia menganggap Hyungji sebagai anak kecil yang belum bisa bekerja. Hyungji sedih sekali karena dituduh melakukan sesuatu yang tidak ia lakukan.
“Karena kamu telah memecahkan piring, maka hari ini kamu tidak mendapatkan upah satu won pun,” ucap pemilik rumah makan itu sore harinya.
“Tapi bukan saya yang memecahkan piring itu, Tuan.” Hyungji mencoba menjelaskan kembali.
Pemilik rumah makan itu tidak mau menerima penjelasan Hyungji. Ia tetap berkeras untuk tidak memberikan upah gadis kecil itu. Hyungji pun pulang ke rumah dengan lesu. Ia sudah bekerja keras seharian, namun tidak satu won pun ia dapatkan. Padahal ibunya membutuhkan makanan yang bergizi agar kondisi tubuhnya kuat untuk melakukan pembedahan. Ibunya memerlukan daging sapi. Tapi dari mana Hyungji mendapatkannya? Hari ini ia tidak mendapatkan upahnya.
Sepanjang perjalanan pulang, Hyungji memikirkan sebuah rencana. Sebenarnya ia takut untuk melakukannya, namun ia tidak menemukan cara lain. Demi kesembuhan ibunya, ia rela melakukan apa saja. Hyungji memikirkan rencana itu dengan matang. Tak ada orang yang membantunya. Ia pun melakukan semuanya seorang diri. Ia akan menjalankan rencana itu malam nanti, ketika ibunya sedang tidur. Keesokan harinya, Hyungji sudah membuatkan sarapan untuk ibunya. Dengan berjalan tertatih, ia mendatangi kamar ibunya.
“Ibu, makanlah ini.” Hyungji menyuapkan nasi dan daging yang sudah dimasaknya.
“Dari mana kamu mendapatkan daging ini, Nak?” tanya ibunya heran.
“Ini dari rumah makan tempat Hyungji bekerja, Bu,” jawab Hyangji sambil menundukkan wajahnya. Ia tidak ingin ibunya tahu kalau ia sedang berbohong.
Ibun Hyungji tidak bertanya apa-apa lagi. Ia menyantap masakan anaknya dengan sangat lahap. Setelah makan daging itu, kondisi kesehatan ibu Hyungji membaik. Tubuhnya menjadi lebih kuat. Hyungji merasa senang karena ibunya bisa segera melakukan pembedahan. Hyungji segera mendatangi tabib itu lagi dan pembedahan pun dilakukan. Hyungji menunggu proses pembedahan itu dengan cemas. Ia terus berdoa agar semuanya berjalan lancar. Setelah beberapa jam, sang Tabib keluar dari ruang pembedahan dan mengabarkan kalau pembedahan berjalan dengan baik. Ibunya sedang beristirahat, setelah pembedahan yang melelahkan. Hyungji menyambut kabar itu dengan gembira. Setitik air mata kebahagiaan jatuh di pipinya.
“Agar kondisi ibumu cepat membaik, berilah ia makanan yang bergizi,” pesan sang Tabib ketika Hyungji dan ibunya pamit pulang. Hyungji mengangguk. Dia berjanji akan melakukan yang terbaik untuk ibunya.
Seperti hari-hari sebelumnya, Hyungji tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ia juga tetap mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, dan pekerjaan rumah lainnya. Walaupun kakinya pincang, Hyungji melakukan semua pekerjaan itu dengan hati riang. Kesehatan ibunya yang semakin membaik dari hari ke hari menjadi kekuatan bagi Hyungji. Pagi itu Hyungji membawa satu bakul pakaian kotor. Ia akan mencuci pakaian-pakaian itu di sungai. Setelah berpamitan pada ibunya, ia berjalan pincang sembari memanggul bakul di atas kepalanya. Yung Mi memerhatikan kepergian putrinya dengan pandangan penuh tanya. Mengapa beberapa hari ini kaki Hyungji pincang? Yung Mi berusaha untuk melihat kaki putrinya itu, namun Hyungji selalu melarangnya.
Sesampai di sungai, Hyungji duduk di bebatuan. Ia merasakan luka di pahanya yang terasa sangat nyeri. Darah mulai keluar perlahan-lahan. Hyungji membersihkan luka itu dengan hati-hati. Tiba-tiba, seorang prajurit kerajaan yang sedang berpatroli mendekati Hyungji. Rupanya prajurit itu melihat lukanya.
“Kakimu kenapa gadis kecil?” tanya prajurit itu.
Hyungji terperanjat. Ia tidak tahu kalau ada seseorang yang memerhatikannya dari tadi. “Emmm…” Hyungji kebingungan. Ia ragu untuk berkata yang sejujurnya.
“Apakah seseorang telah menyakitimu?” tanya prajurit itu lagi.
“Oh, tidak Tuan.” Hyungji mengelak. Ia lalu berpikir sejenak. Kalau ia tidak berterus terang, ia khawatir ibunya akan disalahkan. Ia pun mulai bercerita.
“Ibu saya terserang penyakit ganas sejenis tumor. Ia harus melakukan pembedahan untuk membuang penyakit itu. Namun kondisi ibu saya sangat lemah. Ia harus makan daging. Saya tidak punya uang untuk membelinya, Tuan. Saya sudah bekerja keras, tapi saya tidak mendapatkan upah satu won pun karena saya difitnah oleh seseorang. Orang itu menuduh saya memecahkan piring. Padahal saya tidak melakukannya sama sekali, Tuan.” Hyungji mengatur napasnya. Matanya mulai memerah. Air mata tampak menggenang di matanya.
“Lalu kakimu itu kenapa?” tanya prajurit itu lagi.
“Agar Ibu cepat sehat, ibu saya harus makan daging. Karena saya tidak punya uang untuk membelinya, saya mengiris paha saya sendiri dan memasaknya untuk ibu saya.” Air mata Hyungji benar-benar mengalir kali ini. Ia merasa sedih karena telah membohongi ibunya.
Prajurit itu segera melaporkan kejadian itu kepada Raja. Raja merasa tersentuh mendengar cerita Hyungji. Raja sangat terharu dengan pengorbanan yang telah dilakukan Hyungji untuk ibunya. Akhirnya Hyungji mendapatkan perawatan untuk mengobati luka di pahanya. Sedangkan ibunya juga mendapat makanan yang bergizi untuk memulihkan kondisi kesehatannya. Mereka berdua pun bisa hidup lebih berkecukupan karena mendapatkan pekerjaan di Istana Raja.
***
Damayami selesai membaca bukunya.
"Cerita bagus asal dari Korea Selatan," kata Damayami.
Damayami menutup bukunya dan menaruh buku di meja dengan baik.
"Aku beres-beres dirilah," kata Damayami.
Damayami membereskan semuanya dan segera ke belakanglah untuk mandi dan berganti pakaian di kamarlah. Setelah itu duduk santailah Damayami di ruang tengah untuk nonton Tv. Acara Tv yang di tonton Damayami, ya Drama Korea yang lagi populer gitu.
No comments:
Post a Comment