Wang Haeyang merupakan sebuah kerajaan bawah laut. Rajanya sangat arif dan bijaksana, bernama Son Jiang. Kearifan Raja Son Jiang membuatnya dicintai oleh seluruh rakyat Wang Haeyang. Suatu hari, Sang Raja mengeluhkan rasa sakit di perutnya. Ia pun menyuruh Tabib Istana untuk menghadapnya.
“Tabib, aku merasa perutku sakit tak terkira. Berikanlah obat yang mujarab padaku,” pinta Sang Raja kepada Tabib Istana.
Sang Tabib tidak langsung memberikan obat yang diminta oleh Raja. Ia justru berjalan mendekati Raja dan memeriksanya.
“Ampunkan hamba, Sang Raja. Hamba akan memeriksa perut Paduka dulu, agar dapat memberikan obat yang tepat.”
“Oh, ya. Lakukanlah, Tabib. Saya sudah tidak tahan lagi dengan rasa sakit ini.” Sang Raja mempersilakan Tabib Istana memeriksa perutnya.
Sang Tabib membuka sedikit pakaian Raja di bagian perut, lalu menekan perut Raja, pelan. “Kok, bisa keras seperti ini, Paduka?” tanya Tabib sambil terus memeriksa.
“Aku tidak tahu, Tabib. Aku makan makanan seperti biasa, tidak ada yang aneh,” kata Sang Raja sambil memerhatikan Tabib yang memeriksa dirinya.
Sang Tabib kemudian mengambil tempat ramuan obat-obatan yang ia bawa dan mengeluarkan sebotol minyak berbau segar. Ia mengoleskan minyak itu ke perut Sang Raja dan memijitnya pelan.
Tiba-tiba, Sang Raja bersendawa, “Errrrg.. Agh...Errrg.. Agh.. Errrg.. Agh.” Raja tampak malu karena suara sendawanya yang keras, mengejutkan para prajurit.
“Tidak apa-apa, Tuanku. Semakin banyak angin yang dikeluarkan, maka semakin cepat rasa sakit di perut Tuanku hilang.” Sang Tabib berusaha menghibur Raja. “Sebentar lagi Tuanku akan mengeluarkan gas terus-menerus. Tapi Tuanku tidak perlu khawatir, karena itu juga akan membuat rasa sakit di perut Tuanku berkurang.” Sang Tabib menjelaskan proses pengobatan itu panjang lebar.
“Karena tugas saya sudah selesai, izinkan saya untuk kembali ke tempat saya, Tuanku,” lanjut Sang Tabib. Sebenarnya, ia ingin segera pulang karena tidak mau menghirup gas yang akan dikeluarkan oleh Raja.
Sang Raja bersendawa beberapa kali. Ia merasa perutnya tidak begah lagi. Ia pun mengizinkan Sang Tabib pulang.
Tak lama setelah kepergian Sang Tabib, perut Raja mulai terasa tidak enak lagi. Dan tiba-tiba, terdengar sebuah suara yang mengagetkan semua orang di ruangan itu. “Tiiuuuuuutttt.”
Sang Raja kaget. Semua orang di ruangan itu segera menoleh ke arah Sang Raja. Wajah Raja memerah karena merasa sangat malu. Ia buru-buru ke kamar pribadinya. Sepanjang jalan menuju kamar pribadinya, Sang Raja mengeluarkan bunyi yang membuat semua orang menutup hidung mereka rapat-rapat. Bau yang ditimbulkan bunyi itu sungguh tidak mengenakkan.
Di dalam kamar pribadinya, Sang Raja terus mengelus-elus perutnya. Rasa sakitnya sudah mulai berkurang. Rupanya, gas di dalam perutnya terlalu banyak, hingga membuat perutnya menjadi keras. Minyak yang dioleskan oleh Sang Tabib membuat gas itu keluar sedikit demi sedikit. Sang Raja merasa lega. Namun dia mulai tidak tahan dengan bau yang ditimbulkan. Dia pun menutup hidungnya sepanjang hari itu.
Selama beberapa hari, Sang Raja hanya mengurung diri di dalam kamarnya karena gas yang dikeluarkan perutnya tak kunjung habis. Ia pun terpaksa mengatur pemerintahan kerajaan dari kamarnya. Raja merasa malu jika terus-menerus mengeluarkan suara dan bau tidak sedap dari dalam tubuhnya. Apalagi, kini, aroma kamarnya pun tidak lagi wangi. Akhirnya, ia memerintahkan abdi kerajaan untuk menambah wewangian di dalam kamarnya. Keadaan Raja yang tak kunjung membaik, membuatnya kembali memanggil Tabib Kerajaan.
“Masuklah, Tabib. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu,” perintah Sang Raja.
“Hamba di luar kamar saja, Paduka Yang Mulia,” tolak Sang Tabib.
Sang Raja mulai tersinggung. Ia merasa tidak dihargai sebagai seorang raja yang seharusnya dipatuhi. Ia lalu keluar dari dalam kamarnya dengan wajah kecut.
“Mengapa kau tidak mau masuk ke dalam kamarku, Tabib? Bukankah kau yang telah memberikan obat untuk sakit perutku. Karena obat darimu, aku jadi seperti sekarang ini,” kata Sang Raja dengan nada keras.
Sang Raja mulai hilang kesabaran. Berhari-hari mengurung diri di dalam kamar, dengan perut yang terasa tidak nyaman dan bau yang kurang sedap, membuat Sang Raja mudah marah.
“Hamba mohon maaf, Paduka Yang Mulia. Hamba sedang mencari cara agar sakit perut Paduka sembuh dan tidak lagi mengeluarkan gas yang tidak enak baunya,” kata Sang Tabib sambil tertunduk. Ia merasa bersalah karena obatnya tidak menyembuhkan secara maksimal.
“Paduka, ada satu obat mujarab yang bisa menyembuhkan sakit Paduka,” lanjut Sang Tabib.
Wajah Sang Raja berubah cerah. Ia ingin segera sembuh dari sakitnya. Karena kegembiraan yang teramat sangat, tanpa sadar Sang Raja bersendawa, “Eg.. Agh..” Sang Raja tersenyum kecil. Dia senang karena yang keluar bukanlah bau tidak sedap.
“Kalau begitu, berikanlah obat itu padaku,” perintah Sang Raja.
“Obat itu hanya ada di daratan, Tuanku,” kata Sang Tabib menjelaskan. “Obat itu berupa hati kelinci.”
Sang Raja terdiam. Ia tidak tahu bagaimana mendapatkan obat itu. Semua rakyat kerajaan bawah laut tidak bisa berada di daratan terlalu lama, karena mereka bisa mati.
“Bagaimana kita mendapatkan obat itu, Tabib?” tanya Sang Raja kepada Tabib Kerajaan. Ia berharap Sang Tabib bisa menemukan cara untuk mendapatkan obat itu.
“Kita bisa meminta tolong kepada kura-kura untuk mencari obat itu di daratan, Yang Mulia.” Sang Tabib mengemukakan pendapatnya.
“Ide yang bagus, Tabib,” puji Sang Raja sambil menganggukkan kepalanya. “Kura-kura bisa hidup di laut, tapi dia juga bisa hidup di darat. Dia pasti bisa membantu kita, Tabib,” lanjut Sang Raja senang.
Sang Raja lalu memerintahkan salah seorang prajuritnya untuk memanggil kura-kura. Kura-kura pun datang dengan langkahnya yang pelan.
“Hamba datang menghadap, Tuanku,” kata Kura-kura penuh rasa hormat.
“Kura-kura, aku rasa berita tentang penyakitku ini sudah tersebar ke mana-mana. Aku kira kamu pun sudah mengetahuinya. Hari ini, Tabib Istana mengatakan padaku bahwa ada obat mujarab yang bisa menyembuhkan penyakitku. Obat itu adalah hati kelinci. Oleh karena itu, aku memerintahkan kepadamu untuk mencari hati kelinci itu,” perintah Sang Raja kepada Kura-kura.
Kura-kura sudah mengetahui tentang penyakit Raja. Sebenarnya, ada banyak orang yang merasa prihatin dengan keadaan Raja dan ingin membantunya. Akan tetapi, mereka tidak tahu bagaimana caranya. Kini, Kura-kura justru mendapat kesempatan untuk membantu Sang Raja. Ia pun menyanggupi perintah itu dengan senang hati.
“Baiklah, Paduka Raja. Hamba akan melaksanakan perintah Paduka dengan senang hati. Hamba akan mencari seekor kelinci dan meminta hatinya untuk obat bagi Tuanku.”
Kura-kura segera berpamitan kepada Sang Raja. Cangkangnya yang besar membuat langkahnya terseok-seok. Namun dengan langkah pasti, dia berjalan meninggalkan kerajaan untuk melaksanakan tugas dari Sang Raja.
Dengan penuh semangat, Kura-kura berenang ke permukaan air dan berjalan pelan di atas pasir pantai yang landai. Ia harus berjalan cukup jauh untuk menemukan seekor kelinci. Sesampainya di tepi sebuah hutan, ia bertemu dengan seekor binatang kecil, berbulu putih yang cantik.
“Kelinci yang cantik, bisakah engkau membantuku?” tanya Kura-kura kepada Kelinci.
Kelinci merasa iba melihat kura-kura yang tampak kelelahan itu. “Apa yang bisa kulakukan untukmu, Kura-kura?”
“Sebenarnya raja kami yang menginginkan pertolonganmu, Kelinci. Ia ingin kamu berkunjung ke kerajaan bawah lautan,” kata Kura-kura menjelaskan.
Kura-kura menutupi niat Raja, yang ingin mengambil hati kelinci, agar Kelinci tidak takut dan mau ikut ke kerajaan bawah laut.
Kelinci berpikir sejenak, lalu menjawab dengan tenang, “Baiklah, aku akan ikut denganmu ke kerajaan bawah laut.”
Mereka berdua pun mulai berjalan menuju lautan. Kelinci yang lincah tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke lautan. Namun, dia tetap menjaga jarak dengan Kura-kura agar mereka tidak terpisah satu sama lain. Kura-kura juga berusaha mempercepat laju langkahnya. Ia ingin segera sampai di kerajaan bawah laut, supaya penyakit Sang Raja bisa cepat disembuhkan.
Sesampai di lautan, mereka menyelam menuju kerajaan Wang Haeyang. Saat mereka tiba di kerajaan, Sang Raja sudah menunggu kedatangan mereka di pintu gerbang istana. Raja pun mempersilakan Kelinci untuk masuk ke dalam istana.
“Yang Mulia Raja Son Jiang, inilah kelinci yang Paduka inginkan. Saya serahkan dia kepadamu, wahai Rajaku,” kata Kura-kura sambil menyuruh Kelinci mendekat kepada Sang Raja.
Sang Raja tersenyum senang. “Wahai Kelinci, aku menginginkan pertolongan darimu,” ucap Sang Raja lantang.
“Pertolongan apakah itu, Tuanku Raja?” tanya Kelinci penasaran.
“Aku menginginkan hatimu sebagai obat untuk menyembuhkan sakit perutku,” kata Sang Raja sambil memegangi perutnya yang mulai terasa tidak enak.
Tiba-tiba, terdengar sebuah bunyi dari arah Sang Raja. “Tuuut...” Sang Raja memperbaiki posisi duduknya. Ia berharap tidak ada yang mendengar bunyi tadi.
Kelinci agak terkejut mendengar perkataan Sang Raja. Ia semakin heran dengan bunyi yang datang dari arah Sang Raja. Dalam hati, Kelinci tidak suka dengan sikap Sang Raja, yang kentut sembarangan. Apalagi bau yang ditimbulkan sungguh tidak sedap. Kelinci masih sedikit kesal. Tapi saat ia melihat raut wajah Raja yang memerah, pertanda malu, ia mulai berpikir, “Mungkin ini penyakit yang diderita oleh Sang Raja.”
Setelah tampak berpikir keras, Kelinci berkata, “Hamba akan memberikan hati hamba kepada Tuanku. Tapi hamba mohon maaf karena hamba meninggalkan hati hamba di sebuah lubang, di rumah hamba.” Kelinci terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Hamba akan kembali lagi untuk mengambil hati hamba, Yang Mulia.”
“Oh, baiklah. Ambillah hati yang kau tinggalkan itu. Kura-kura akan menemanimu lagi,” kata Sang Raja. Sebenarnya Sang raja takut kalau Kelinci tidak menepati janjinya untuk kembali ke Wang Haeyang. Oleh karena itu, ia memerintahkan Kura-kura untuk mengantar Kelinci pulang.
“Terima kasih, Yang Mulia. Kami akan segera kembali,” ucap Kelinci mantap.
Kelinci dan Kura-kura meninggalkan kerajaan Wang Haeyang. Mereka kembali melewati jalan yang mereka lalui kemarin. Sesampai di pantai, mereka melanjutkan perjalanan ke dalam hutan, melewati semak belukar, untuk sampai di tempat tinggal Kelinci. Kura-kura mulai kepayahan setelah menempuh perjalanan panjang untuk kedua kalinya. Ia pun memutuskan untuk beristirahat, sembari menunggu Kelinci mengambil hatinya.
“Aku akan mengambil hatiku dulu, Kura-kura,” kata Kelinci.
Ia berjalan ke sebuah lubang yang ada di bawah pohon besar. Sepanjang perjalanan, ia sudah memikirkan ‘hati’ yang akan ia berikan kepada Sang Raja agar ia tidak mati. Ia pun memasukkan kaki depannya ke dalam lubang untuk mengambil sebuah akar berukuran sedang. Akar itu berwarna coklat dan berserabut kecil di bagian bawahnya. Ia segera membawa akar itu ke tempat Kura-kura menunggu dengan wajah gembira.
“Kau sudah mengambil hatimu, Kelinci?” tanya Kura-kura yang masih beristirahat di bawah pohon.
“Ya, mari kita memberikannya kepada Raja, Kura-kura,” ajak Kelinci.
“Baiklah, ayo!” seru Kura-kura. Ia mulai bersemangat lagi.
Kelinci berjalan pelan di sebelah Kura-kura. “Sebenarnya Raja Son Jiang sakit apa, Kura-kura?”
“Ehm, awalnya dia sakit perut. Perutnya mengeras, sehingga Tabib Istana mengoleskan minyak ke perut Sang Raja. Sakit perutnya sedikit berkurang, tapi dia jadi suka kentut dan bersendawa.”
“Oh, kasihan sekali dia. Dia pasti malu pada para bawahannya karena sering kentut, ya, apalagi kentutnya bau,” kata Kelinci sambil tersenyum.
Kura-kura ikut tersenyum sambil mengangguk. “Ya, Raja bahkan mengurung diri di kamarnya karena tidak ingin bawahannya terganggu oleh bau tidak sedap.”
“Wah, lalu bagaimana dia menjalankan tugasnya sebagai raja?”
“Beliau memberi perintah dari dalam kamarnya.”
“Semoga hatiku dapat mengobati penyakitnya.”
“Ya, semoga Kelinci.”
Kelinci dan Kura-kura mengisi perjalanan panjang mereka dengan berbagai cerita. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di kerajaan bawah laut.
“Ini hati kelinci yang Tuan inginkan,” Kelinci menyerahkan ‘hati’ yang ia bawa, “rendamlah di dalam air hangat dan minumlah setiap pagi, selama tiga hari berturut-turut.”
Raja Son Jiang, yang belum pernah melihat hati kelinci, menerima akar itu dengan gembira dan tanpa curiga. Sang Tabib pun terlihat senang.
“Tabib, segeralah buat ramuan yang dikatakan oleh Kelinci,” perintah Sang Raja. Ia menyerahkan akar berwarna coklat dan berserabut itu kepada Sang Tabib untuk diolah.
Sang Tabib memerhatikan ‘hati kelinci itu’. Ia menyimpannya untuk dibuat ramuan esok pagi. “Hamba akan meletakkan ramuan hati ini di meja Tuanku besok pagi-pagi sekali,” janji Sang Tabib.
“Tuanku Raja Son Jiang, karena tugas saya sudah selasai, izinkan saya untuk kembali pulang,” pamit Kelinci.
Setelah berterima kasih dan memberikan bingkisan kepada Kelinci, Sang Raja mempersilakan Kelinci kembali ke rumahnya. Kura-kura, yang sudah menjadi teman perjalanannya beberapa kali, mengantar Kelinci sampai ke tepi pantai. Setelah itu, Kura-kura kembali ke kerajaan Wang Haeyang, sedangkan Kelinci kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya, Sang Tabib mengolah ‘hati kelinci’ itu. Dia merebus air di dalam panci. Setelah air itu masak, ia memasukkan ‘hati kelinci’ ke dalam air tersebut. Ia membiarkannya terendam selama beberapa saat. Kemudian ia menghidangkan air ramuan itu di dalam sebuah gelas untuk diberikan kepada Sang Raja. Tabib Istana segera membawa air ramuan itu ke kamar Sang Raja. Sang Raja sudah menunggu Tabib di kamarnya.
“Ini ramuan Anda, Tuanku,” kata Sang Tabib seraya menyerahkan gelas berisi ramuan itu. Sang Raja menerima air ramuan itu dan segera meminumnya.
Selama tiga hari berturut-turut Sang Raja meminum air ramuan itu dan mulai merasakan khasiatnya. Perut Raja sudah terasa lebih baik, ia juga tidak lagi bersendawa berlebihan, dan ia tidak kentut sembarangan lagi. Akhirnya, Sang Raja benar-benar sembuh dari penyakitnya. Sementara itu, akar yang dibawa oleh kelinci itu diketahui sebagai akar ginseng yang bisa digunakan untuk mengobati bermacam-macam penyakit.
***
Duck-Young selesai baca bukunya dan berkata "Cerita yang bagus asal Korea Selatan."
Duck-Young menutup bukunya dan menaruh di rak buku dengan baik. Setelah itu, ya Duck-Young keluar dari perpustakaan sekolah.
No comments:
Post a Comment